Tamu tidak terduga Dugaan Aluna sangat tepat, seringnya mendoktrin pikiran agar menganggap perhatian Bima tak ubahnya kebaikan semata membuat dia benar-benar 'kebal' terhadap sikap manis lelaki tersebut. Memang masih harus banyak berlatih, tetapi Aluna yakin perlahan-lahan dia tidak akan 'nelangsa' melihat Bima pergi ziarah. Sang Ibu, yang merupakan sarjana Pendidikan Biologi pernah mengatakan soal ini kepada Aluna, sebuah masalah adalah hal yang harus dihadapi bukan dihindari. Masalah, Lizy analogikan sebagai mikroba yang bisa membuat kekebalan tubuh seorang anak makin kuat. Sel imunitas di dalam tubuh 'belajar mengendalikan diri' setiap mikroba datang menyerangnya. Ini sudah ada penelitiannya dan mendukung banyak fakta; bahwa anak-anak yang sering bermain mengeksplor dunia luar lebih kebal dibanding anak-anak yang 'dikurung' di dalam rumah. Pun dengan Bima. Semua kebaikan lelaki itu sama sekali tidak Aluna tolak. Dia terima dan pelajari semuanya. Sehingga dalam kurun satu Min
Ingatan Aluna melompati banyak kenangan. Dia sedang mengingat-ingat sesuatu. Aluna melihat dirinya ada di kamar Bima, menguak album yang berisi potret manis Abimanyu Basudewa beserta kekasihnya yang sangat anggun. Cassandra Sudjono. Ya, seraut wajah yang dia kenali dari album itu kini ada di hadapannya. Dengan rambut lurus serupa, sepasang mata besar yang sama dan bibir dengan lekukan sensual. Namun ada kerutan samar di kulit wajahnya yang membuat intuisi Aluna mengatakan ini bukan Cassandra. Dan ketika dilihat secara teliti, Cassandra lebih lonjong dan matanya lebih bagus. Mereka hanya mirip sedikit. Tidak sepenuhnya serupa. Aluna berpikir perempuan di hadapannya ini Sandra sebab dia memang hanya mengenali Sandra lewat sebuah buku album. "Halo?" sapa perempuan itu tersenyum. Sangat lebar. Perempuan itu mengulurkan tangan yang tidak langsung diterima oleh Aluna. "Istrinya Bima ya?""Iya," jawab Aluna. "Saya Maudy, dan ini ibu saya.""Siapa ya?" tanya Aluna menanyakan status m
Abimanyu Basudewa beserta masalah peliknya ibarat pusaran air. Aluna adalah orang luar yang tak tahu apapun ketika Bima duduk di meja perjodohan menawari Aluna sebuah pernikahan.Seharusnya Aluna tidak perlu buru-buru seperti itu sampai menikah tanpa melihat masalah rumit yang menjerat Bima.Sekarang, semuanya sudah terlambat. Aluna mendapat satu cakaran dari Maudy yang dia tampar duluan. Ya, mendengar jawaban Maudy membuat Aluna tidak mengontrol emosinya. Dia menampar pipi Maudy, dan perempuan itu balas mencakar wajahnya. "Kenapa kami masih mempermasalahkan Bima sekarang? Tentu jawabannya ada di kalimat kamu sendiri Al, yaitu karena Bima masih hidup di masa lalunya. Dia menjadikan masa lalunya sebagai masa depan. Dan kamu, mungkin hanya sebagai pajangan saja."Aluna memejamkan mata mengingat kalimat menyakitkan itu lagi. Namun sekuat apapun dia menepis pemikiran itu, suara Maudy yang cempreng tetap berdengung. Ucapan itu nyatanya lebih membekas dibanding goresan kuku di pipi kanan
Barangkali Pak Dosen satu itu tersindir dan mengakui kesalahannya sehingga ketika Aluna terang-terangan menunjuk-nunjuk wajahnya, lelaki itu hanya bergeming. Baguslah ...Lagipula ini sudah malam dan Aluna lelah untuk memperpanjang urusan dengan orang-orang aneh 'seperti suaminya' ini. Di kamar ketika hendak tidur, Bima tiba-tiba meminta maaf. Lelaki itu hanya berkata 'maaf' tanpa menjelaskan kesalahan yang diakuinya. "Kamu tahu Bim, aku marah bukan karena cemburu suamiku masih hidup di masa lalunya." Aluna berbicara hanya ingin menekankan hal itu. "Tapi kemarahanku ini ... karena mereka lancang hina aku. Ayo gunakan akal sehat dan enggak ada satupun alasan yang membenarkan tingkah mereka 'mengunjungi rumah ini' menemuiku, menghina fisikku, dan merendahkan harga diriku sebagai istri kamu.""Mereka udah lancang melanggar hakku di pernikahan ini Bim. Kalau kamu waras, kamu tahu kan apa yang harus kamu lakuin?""Aku enggak tahu harus ngapain," kata Bima menjawab pertanyaan Aluna. "K
Belum 24 jam Aluna pergi, Bima sudah dua kali memegang handle pintu ruangan perempuan itu. Refleks tubuhnya membuat dia bertanya-tanya; kenapa dia melakukannya? Bima mengusap wajahnya secara kasar. Lelaki itu putuskan tetap membuka pintu ruangan kerja Aluna kendati penghuninya pun tidak ada. Pandangannya menyapu kursi putar yang ada di depan meja. Biasanya Aluna duduk dengan kaki kanan terangkat, perempuan itu akan berputar-putar saat pekerjaan telah berhasil menyeretnya ke lubang kesuntukkan. Bima menghidupkan laptop dan mendapati Aluna menggunakan background hitam sebagai wallpaper depan dan juga kunci.Kuncinya dengan mudah Bima ketik, sebab Aluna memang pernah mengatakannya. Entah perempuan itu sadar atau tidak. Bima menatap quick access laptop Aluna yang berisi banyak file. Perempuan itu menghandle banyak pekerjaan dan selalu pintar mengerjakannya. Aluna terlihat 'tidak peduli' terhadap apapun, tetapi mengenalnya secara lebih dekat membuat Bima paham istrinya itu sangat pek
Aluna menceritakan banyak hal; tripnya di Bali yang melibatkan banyak tempat-tempat eksotis dan menyenangkan. Bima terdiam. Bukan ini yang dia inginkan ketika Aluna pulang. Dia ingin penjelasan kenapa Aluna berlama-lama di Bali. Tujuh hari bukan waktu yang singkat. Bima punya kedua mata berkantung, bibir pecah-pecah karena sariawan kurang tidur serta riwayat rasa malu di kelasnya mengajar. Semua itu adalah efek khawatir memikirkan Aluna. Dan perempuan ini bertingkah seolah mereka tidak ada masalah? "Kenapa kamu diem aja? Bosen ya?" tanya Aluna menghentikan ucapannya. "Kamu sadar udah berapa hari pergi?" tanya Bima dengan nanar. Dia sama sekali tidak menghapuskan tatapannya. Semua yang dia tampilkan apa adanya; betapa Bima tersiksa dengan raut wajah bahagia Aluna. Ketika dirinya uring-uringan, Aluna malah bersenang-senang? "Tahu, 7 hari. Tapi aku sama sekali enggak berhutang penjelasan karena sejak awal aku enggak menjanjikan pulang cepat," jawab Aluna lagi-lagi dengan raut w
Aluna tahu, keputusannya untuk bahagia 'sendiri' akan menimbulkan tanya bagi Bima. Terlebih Aluna memang pergi ke Bali dalam keadaan sangat marah. Namun seperti kata Bagaspati, hidup hanya sekali, sangat sia-sia jika dihabiskan memikirkan satu perkara kecil. Aluna telah membebaskan diri dari masalah Bima dan sekarang dia benar-benar bahagia. Tanpa kepura-puraan tentu saja. Satu masalah selesai, masalah lainnya datang. Ya, masalah Bima yang sering marah-marah. Pasca kejadian foto pernikahan mereka Aluna turunkan dari dinding, Bima pergi ke kampus dalam keadaan marah. Lelaki itu tersinggung karena Aluna mengartikan pujiannya sebagai bujukan berhubungan badan, padahal dari itu semua, seharusnya Bima mengevaluasi semua ucap dan tindakannya. Bukannya mengedepankan emosi. Seolah waktu yang bergulir tak membilas kemarahannya, lelaki itu pulang 'masih' dalam keadaan marah. Padahal cuaca di luar sangat indah. Sangat bagus dipakai untuk bersepeda mengelilingi jalanan perumahan yang asri.
"Kamu enggak makan Bim?" tanya Aluna setelah sekian lama dia menghitung hari apakah harus menyapa Bima atau tidak. Keputusan akhir, jari kelingkingnya memberi keputusan paling bijak; dia harus menanyakan soal kondisi perut lelaki itu. Semata hanya agar dia terlihat manusiawi bukan karena perhatian. Akan kentara menghindar, jika Aluna benar-benar menutup mata dari lelaki tersebut. Bima yang belum tidur dan sedang memangku laptop di pahanya, mendongak mendengar pertanyaan Aluna. Lelaki itu melepas kacamata dan mengurut pangkal hidungnya. Aluna menunggu jawaban. Dia masih mematung di depan pintu. "Kalau enggak makan, aku masukin ayam kamu ke kulkas," tambah Aluna. Bima melongo dibuatnya. Mungkin lelaki itu berpikir pertanyannya berkonteks khawatir, padahal Aluna hanya 'khawatir' ke ayamnya. Lebih aman bagi ayam madu itu di dalam kulkas dengan suhu dingin alih-alih di microwave semalaman. "Biarin aja nanti a