Bantu rate 5 ya. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar.
Happy Reading~
****************
Memiliki seorang kekasih yang cantik, penurut, lemah lembut, merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi seorang Arjuna Mollary. Pria berusia 27 tahun itu, memantapkan hatinya untuk segera meminang sang pujaan hati.
Sudah 5 tahun lamanya, ia merajut kasih sayang dengan teman satu profresinya semenjak duduk di bangku kuliah. Meysa Adriana, satu-satunya gadis cantik yang mampu meluluhkan seorang Arjuna.
Banyak para gadis yang mengejar-ngejar Arjuna. Tapi tak satu pun mampu menarik perhatian pria bermata sipit itu. Hanya pada Meysa lah, hati Arjuna luluh lantah.
"Sayang, kenapa berkeringat sampai kayak gini? Kamu sakit? Pucat sekali?" ucap Arjun sembari mengusap peluh Meysa.
Meysa menepis tangan Arjuna pelan, menggenggam jemarinya lembut dan menarik kedua sudut bibirnya hingga tercipta senyuman yang sangat manis.
"Aku nggak apa-apa kok. Jangan panik gitu," balas Meysa lembut memiringkan kepalanya menatap dengan mata sayunya.
"Yakin? Tapi kamu pucat sekali, Sayang. Ayo aku antar pulang." Arjuna menarik lengan Meysa namun dilepaskannya perlahan.
"A--aku mau ke toilet dulu ya," pamit Meysa melangkah terburu-buru.
Merasakan pusing yang luar biasa, ia pun bergegas menjauh dari kekasihnya. Tak mau membuat pria itu khawatir padanya. Dan benar saja, saat mematut dirinya di depan cermin yang besar, Meysa melihat darah keluar dari kedua hidungnya.
Buru-buru ia menyekanya, dan mencuci wajahnya untuk menghilangkan jejak darah yang tersisa. Sudah beberapa bulan belakangan, dia merasakan sakit luar biasa.
Namun biasanya ia bisa menyimpan rapat rasa sakit itu. Baru beberapa hari terakhir, Meysa merasa keadaan tubuhnya semakin drop.
Meysa terus mengguyur wajahnya dengan air yang mengalir di wastafel. "Aku harus tetep sadar. Nggak boleh lemah, nggak boleh pingsan," ucapnya pada diri sendiri menepuk-nepuk kedua pipinya.
Pandangannya kembali jelas, ia menghela napas panjang dan membuangnya dengan kasar. Lalu beranjak keluar dari toilet.
Meysa terlonjak kaget ketika membuka pintu. Ia memegang dadanya yang berdenyut kasar.
"Sayang! Ngagetin ih," seru Meysa.
"Aku udah urus surat izin. Kita pulang sekarang," tandas Arjuna tidak mau dibantah.
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapian. Kesehatanmu lebih penting. Bagaimana bisa kamu merawat orang sakit jika tubuhmu sendiri tidak bisa kau jaga dan kau rawat!" tukas Arjuna melayangkan tatapan tajam.
Mau tidak mau, Meysa pun mengangguk dan menurut. Arjuna memapahnya dengan perlahan. Meski Meysa meyakinkan bahwa keadaannya baik-baik saja. Feelingnya mengatakan sebaliknya.
Sampai di kediaman Meysa, mamanya terkejut dengan kepulangannya. Pasalnya jam kerjanya masih beberapa jam lagi. Dengan langkah terburu-buru, ia menghampiri anak semata wayangnya itu.
"Meysa," gumam Indah, mama Meysa dengan mata berkaca-kaca.
Meysa tersenyum manis dengan bibir pucatnya, ia menggenggam jemari mamanya dengan tatapan memohon. Segera membuka pintu lebar-lebar, mengambilkan air putih untuk putrinya yang telah duduk bersama sang kekasih.
"Ma, Meysa bandel sekali. Kalau Juna nggak memaksanya pulang, dia kekeh masih mau bekerja," adu Arjuna pada Mama Indah.
Mereka memang sudah sedekat itu. Juna adalah panggilan kesayangan keluarga Meysa. Sedangkan pria itu memanggil kedua orang tua Meysa dengan sebutan mama dan papa.
"Iya, Meysa begitu keras kepala. Kamu harus sering menjewer telinganya, Jun," celetuk mama Indah tersenyum kaku sambil menatap iba pada putri kesayangannya.
Arjuna mengacak rambut Meysa gemas. "Tuh, dengerin kata Mama. Beliau sudah bertitah, nyuruh jewer nih kalau kamu bandel lagi," decak Arjuna.
"Mama seneng banget kalau anaknya dianiaya," desah Meysa dengan manja.
"Ya abisnya kamu dibilangin susah, Sayang. Udah sekarang istirahat ya. Aku tinggal, harus kerja lagi untuk meminangmu," Arjuna mencubit hidung kecil Meysa membuatnya berkaca-kaca.
Arjuna memberikan kecupan di kening Meysa, lalu melenggang pergi dari sana setelah berpamitan dengan Mama Indah.
Meysa menangis tersedu setelah kepergian sang kekasih. Mamanya mengerti, cobaan terberat telah menimpa putri kesayangannya. Mama Indah berpindah tempat di samping putrinya memeluknya dengan penuh kasih sayang.
"Ma, kita harus pindah secepatnya dari sini. Meysa sudah nggak kuat lagi," rengek Meysa di tengah tangisannya.
Sang mama membelai lembut rambut Meysa. Dan betapa terkejutnya dia ketika jemarinya dipenuhi oleh rambut Meysa. Mama Indah semakin tersedu dan mengeratkan pelukannya.
"Kasihan Juna, Sayang. Kenapa kamu harus menyembunyikan semuanya dari dia? Juna akan sangat terpukul, Nak." Tubuh Mama Indah bergetar mengingat kondisi putrinya.
"Ma, Juna akan lebih terpukul dengan keadaan Meysa yang sebenarnya. Juna akan mudah melupakan Meysa ketika dia membenci Meysa. Tolong, Ma. Sekali ini aja Meysa mohon sama Mama untuk menuruti keinginan Meysa. Kita pulang ke rumah eyang ya, Ma. Mey ingin menjalani sisa-sisa hidup Mey di sana dengan tenang."
Meysa memejamkan kedua matanya. Merasakan sesak di dada ketika mengucapkannya. Air matanya mengalir begitu deras, mengingat divonis dokter usianya tidak akan lama lagi.
Tidak ingin menambah kesedihan putrinya, Mama Indah segera berkemas untuk kepindahannya. Sore hari ketika papanya pulang, Mama Indah menceritakan segala keluh kesah Meysa dengan berderai air mata.
Berat memang ketika ia harus meninggalkan pekerjaan, yang sedang mencapai puncak kejayaan dalam jabatan yang diembannya.
Namun kebahagiaan putrinya adalah satu-satunya prioritas utama saat ini. Dia pun segera mengurus surat resign dari perusahaan tempatnya bekerja.
Keesokan paginya, Meysa beserta ayah ibunya telah bersiap dengan ketiga koper besar mereka. Sebuah taksi sudah berhenti di depan rumah mereka.
Meysa masuk dibantu oleh Mama Indah. Ia menatap ke luar jendela, banyak kenangan di rumah tersebut. Termasuk kenangannya bersama Arjuna, pria kesayangannya.
"Meysa," panggil mamanya lembut.
Bahkan ketika taksi mulai melaju Meysa masih menatap sendu ke belakang. Sampai bayangan rumahnya benar-benar menghilang.
"Mama tahu perasaanmu. Mama akan selalu ada di sampingmu, Sayang," ucap sang mama menarik Meysa dalam pelukannya.
"Kenapa Tuhan memberi ujian seberat ini pada Meysa, Ma? Kenapa harus Meysa? Kenapa Tuhan tidak memberikan kebahagiaan untuk Meysa?" serunya menangis meraung.
Papa Indra yang duduk di samping sopir mengusap sudut matanya yang mengeluarkan air mata. Orang tua mana yang tega melihat anaknya sedih dan kesakitan seperti itu?
"Sabar ya, Sayang." Hanya itu yang mampu diucapkan Mama Indah. Tenggorokannya tercekat menahan tangis.
****
Senja, semburat jingga membias langit yang cerah sore itu. Arjuna bersemangat berkunjung ke rumah Meysa. Sehari tidak berjumpa, rasa rindu membuncah di dasar sanubarinya.
Kedua kakinya menjejak sempurna di teras rumah yang tertutup rapat itu. Arjuna mengayunkan jemarinya untuk mengetuk-ngetuk pintu tersebut. Sambil membawa sebuah keranjang buah di tangan satunya.
"Ma, Meysa!" serunya memanggil sang pemilik rumah.
Sudah lima belas menit lamanya, dia berdiri dan mengetuk pintu. Kini, ia mulai merasa gusar karena tak kunjung dibuka. Namun Arjuna pantang menyerah. Ia meletakkan keranjang buah di meja yang ada di teras lalu berjalan ke samping rumah.
Mengetuk-ngetuk jendela, menyerukan nama Meysa berulang, bahkan mengintip dari balik kaca gelap dan juga di balik pintu.
Tidak menemukan apa pun. Dadanya berdegub kencang. Ia takut terjadi sesuatu dengan Meysa. Arjuna gusar, ia segera merogoh ponselnya dan menghubungi Meysa.
"Sayang, kamu di mana?" gumam Arjuna gusar mondar mandir menempelkan ponsel di telinganya.
Puluhan kali Arjuna menghubunginya, namun sama sekali tidak dapat tersambung. Selalu saja operator yang menjawabnya. Begitu pun dengan nomor ponsel sang mama.
Kedua lutut pria itu melemas, ia menangis terduduk di lantai. Banyak pikiran buruk bergelayut di hatinya saat ini.
Bersambung~
Beberapa hari berlalu, Arjuna selalu menyempatkan diri untuk mendatangi kediaman Meysa. Namun ia selalu mendapat situasi yang sama. Tidak bisa menemukan keberadaan Meysa beserta keluarganya.Pria itu begitu frustasi, penampilannya acak-acakan. Ia selalu kurang tidur, tengah malam baru meninggalkan rumh Meysa. Sampai di rumah pun tidak langsung tidur. Duduk di balkon sambil menyesap rokok sampai habis beberapa puntung."Arjuna, boleh papa masuk?" seru seorang pria paruh baya di balik pintu kamarnya.Arjuna hanya tinggal bersama sang papa. Mamanya meninggal ketika ia masih berusia delapan tahun. Dan sampai sekarang papanya tidak pernah berniat mencarikannya ibu sambung. Sungguh, papa yang hebat bisa menjadi ayah sekaligus ibu untuk putranya."Masuk aja, Pa!" teriak Arjuna mematikan puntung rokok terakhirnya.Suara pintu terbuka, lampu kamar pun dinyalakan. Sedari tadi hanya cahaya rembulan yang menero
"Emm ... duh si teteh mah enggak bilang mau ke mana," jawab ibu-ibu menggaruk kepalanya.Arjuna mendesah kecewa. Kepalanya menunduk dalam, lalu berbalik melangkah gontai kembali ke teras rumah."Etapi itu, seingat saya teteh dulu dari Yogja. Mungkin mereka balik ke sana," seru wanita itu menghentikan langkah Arjuna."Yogja? Sebelah mana, Buk?" timpal Arjuna berlari kecil mendekatinya."He, maaf atuh. Saya teh juga nggak paham. Punten," sahut Ibu itu lalu melenggang pergi.Arjuna diam sejenak, dia pun kembali pulang bersama motor kesayangannya. Pikirannya kosong, tak tahu lagi harus bagaimana. Semangat hidupnya sudah meredup bersamaan dengan kepergian Meysa.Arjuna berhenti di sebuah taman. Mengingat masa-masa indah bersama sang kekasih. Setiap akhir pekan mereka selalu libur bersama, menghabiskan waktu bersama.Duduk termenung, mengingat
"Pada ributin apa sih?" tanya Ziya memutar topinya ke belakang. Gadis itu mengenakan inner kaos pendek berlapis hem panjang kedodoran dengan celana jeans sobek-sobek."Kamu!" seru mereka semua bersamaan.Ziya mengerjap-ngerjapkan matanya. Dua telunjuknya mengarah pada wajahnya. "Aku kenapa?" gumamnya.Pertemanan yang terjalin sejak mereka duduk di bangku SMP, hingga lulus SMA, sampai kini kompak bekerja sebagai pengemudi ojol, membuat mereka semua begitu akrab. Berkumpul dengan para lelaki sama sekali tidak membuat Ziya khawatir.Mereka tulus dan baik. Jika ada yang mendekati Ziya atau ada yang mengerjai gadis itu, para sahabatnya akan menjadi garda terdepan untuk melindunginya. Namun karenanya, Ziya tidak pernah bisa berpenampilan feminim."Nggak apa, lupain aja. Ntar malem nongki-nongki yuk. Ada kafe baru buka loh di persimpangan jalan sana," sanggah Farid yang tak mau semakin
"Ziya, yang sopan kamu sama tamu!" tegur Rio pada adiknya dengan tatapan tak suka. Ia takut akan menimbulkan ketidaknyamanan pada gadis di sebelahnya."Iih, aku 'kan cuma nanya. Kenalin, Kak, aku Ziya. Adeknya Rio yang paling imut manis seantero desa ini," cetus Ziya mengulurkan tangannya.Belum sampai dibalas, Rio segera menepis tangan Ziya. Pria itu menatapnya tajam, membuat Ziya bergidik dan mengapit kedua bibirnya. Menandakan dia akan berhenti berbicara."Ziya, kamu mandi dulu, Nak. Keburu habis waktu maghribnya." Ibu Resi memperingatkan dengan lembut.Akhirnya Ziya beranjak dari duduknya. Bersungut kesal pada sang kakak yang suka bersikap semena-mena dan pemaksa. Saat melangkah melalui wanita yang dianggap asing itu, tiba-tiba lengannya disergap."Aku Meysa," tuturnya lembut tersenyum manis."Ah, cantik sekali. Senang bisa kenal sama Kakak yang lembut dan baik hati," celetuk Zi
Bagai kerupuk yang disiram air, kelima pemuda sohib Ziya merunduk semakin dalam setelah tatapan tajam dari Reza yang membuat suasana tiba-tiba mencekam."Hem!" balas Reza singkat melenggang masuk ke rumah."Eh," seru semua orang terkejut."Itu beneran Bang Reza?" canda Sofyan menunjuk ke arah pintu yang tertutup."Iyalah, lu pikir siapa? Hantu?" balas Ziya menggembungkan pipinya."Aneh aja, kek bukan Bang Reza. Nggak ada ceramah kek tempo hari," timpal Wahyu."Dahlah ayo, waktu kita nggak banyak nih!" ajak Farid tidak sabaran. Ia menarik lengan Ziya agar mengikutinya. Membukakan pintu mobil di samping kemudi diikuti semua kawan-kawan yang duduk di belakang.Di sepanjang jalan, mereka masih terheran-heran dengan sikap Reza tadi. Sedang Ziya cuek saja sambil memainkan ponselnya. Sedang Farid hanya berani mencuri-curi pandang melalui ekor matanya.
Hari pun berganti, semburat jingga melukis langit di Kota Yogja sore itu. Saat berhenti di lampu merah, pandangan Arjuna terusik kala melihat segerombolan orang-orang yang sedang mengintimidasi seorang pedagang.Sebenarnya ia malas ikut campur, tapi hati nuraninya berkata sebaliknya. Rasa kasihan akhirnya menuntunnya untuk berhenti di sebuah kedai angkringan."Mana setoran!" teriak seorang berbadan kekar menggebrak meja."Maaf, Mas. Tapi saya baru buka. Belum ada pembeli," sahut seorang Bapak tua dengan gemetar."Alah alasan!" pekiknya lalu menendang sebuah kursi panjang dan beberapa kursi plastik membuat penjual itu terlonjak kaget. Semua porak poranda.Arjuna mendekat, mendorong pelan bahu pria itu. "Jangan kasar sama orang tua. Bicara pelan-pelan kan bisa?" ujarnya menatap tajam."Siapa kamu! Nggak usah ikut campur!" teriak preman itu lagi tepat di hadapan Arjuna."Bukan ikut campur, Bung. Hati-hati dengan azab karena kasar dengan orang t
Ziya berlari menghampiri teman-temannya yang menunggu di depan UGD. "Gaeess, thankyou banget ya. Kalian hebat deh kek super hero yang pernah aku tonton waktu kecil," kelakar Ziya merangkul sahabat-sahabatnya yang bisa terjangkau.Mereka mengerutkan dahinya bersamaan. "Apaan? Power rangers? Yeah, aku ranger merah. Merah kan berani!" sahut Sofyan memamerkan otot lengannya yang kecil."Ih bukan," tampik Ziya cepat."Apaan dong?" Kali ini Wahyu yang bertanya."Teletubbies, berpelukan!" seru Ziya memeluk teman-temannya. Membuat mereka menepuk jidatnya saling berpelukan."Ehm!" Suara deheman membuat keenam orang yang saling merangkul itu kalang kabut. Mereka segera saling melepas tautan lengan berpura-pura sibuk.Ada yang sibuk mengoperasikan ponsel, padahal tidak ada notif apa pun. Ada yang menggaruk kepalanya, ada juga yang berpura-pura saling mengobrol.Reza melipat
"Dok?" Seorang perawat menyadarkan lamunan Reza."Eh, iya." Reza melihat hasil diagnosisnya. Lalu kembali melakukan pemeriksaan lebih detail untuk menetapkan diagnosis dan jenis penyakitnya.Reza melakukan beberapa tes. Di antaranya tes darah dan tes sumsum tulang belakang. Setelah mengambil sampelnya, Reza meminta segera dibawa ke laboratorium."Pindahkan pasien ke rawat inap," titah Reza melenggang pergi keluar ruang IGD."Keluarga pasien?" ucap Reza berdiri di antara mereka."Kami orang tua Meysa, Dok. Bagaimana keadaannya?" Papa Meysa berdiri sambil memapah istrinya."Untuk sementara, pasien harus dirawat intensive sampai menunggu hasil lab keluar. Apakah sudah lama Meysa mengalami gejala seperti ini?" tanya Reza.Mamanya kembali terisak, sedang tante Meysa yang turut mengantar gadis itu, bergegas ke tempat pendaftaran."Dokter, dia divonis l
Ziya bersemangat turun dari motor Arjuna. Ia mengenakan kebaya berwarna peach dengan celana berbahan satin berwarna senada. Rambutnya digerai dan hanya diikat beberapa helai ke belakang. Riasannya pun sederhana, kalau tidak dipaksa sang ibu, dia malas melakukannya."Eh, mau ke mana?" tanya Juna menarik lengan Ziya."Mau masuk lah, Kak. Acaranya 'kan di dalam," tunjuk Ziya ke arah masjid.Arjuna turun dari motornya dan melepas helm yang dikenakannya. "Masuk masjid pake helm?" decak Arjuna tertawa terbahak."Eh!" Ziya meraba-raba kepalnya lalu menyengir kuda. Segera ia lepas helm lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan melalui kaca spion motor Juna."Nih, Kak. Makasih ya," ujar Ziya mengulurkan lengannya.Langkah Ziya pun semakin dipercepat, tak sabar menjadi saksi kebahagiaan kakak pertamanya. Mungkin karena mengenakan flat shoes, makanya ia mudah berlari.
"Zii? Zizi? Ziya?" seloroh Arjuna melambaikan tangan, memanggil Ziya yang lagi-lagi terbengong."Eh," Ziya terkejut. Ia pun jadi salah tingkah karena ketahuan menatap Arjuna sedari tadi.Ziya mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Jemarinya menyelipkan anak rambutnya yang tidak berantakan ke belakang telinga. Ia juga meraih gelas dan minum untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering."Segitunya liatin aku. Naksir ya?" goda Arjuna melipat kedua lengannya di atas meja, sambil tersenyum lebar pada Ziya. Memperlihatkan kedua lesung pipinya."Apaan sih. Tadi, tanya apa, Kak? Maaf lagi nggak fokus," elak Ziya tidak berani menatap manik sang lawan bicara."Eemm ... kenapa kemarin malam-malam telepon? Aku telepon balik tapi nggak tersambung," tanya Arjuna kembali melanjutkan makannya.Ziya terdiam, ingatannya berputar pada kejadian malam itu. Tubuhnya kembali ge
Juna mengerutkan alisnya. Pasalnya tiba-tiba malam-malam begini Ziya telepon. Banyak pertanyaan di benaknya. Namun baru sepersekian detik dingkatnya, sambungan terputus. Bahkan mati ketika ditelepon balik."Ada apa, ya? Ah mungkin mau mastiin aja kali lusa aku dateng apa nggak," pikir Arjuna meletakkan kembali ponselnya lalu merebahkan tubuhnya dan tidur.Sementara itu, Ziya masih gemetaran dipelukan Alvin. Pria itu lalu melepas jaketnya dan dipakaikan pada Ziya. Alvin keluar dari gudang memapah Ziya. Pandangannya mengedar mendapati tas dan seisinya berhamburan di jalan yang amat sepi tersebut."Udah, tenang aja. Ada aku, okay?" ucap Alvin menenangkan Ziya. Gadis itu hanya mengangguk, sesekali menyeka air mata yang berjatuhan."Jangan tinggal," rengek Ziya ketika Alvin hendak memunguti barang-barangnya."Aku mau ambilin tas kamu. Tuh bukunya juga. Bentar, tenang aja. Temen-temenku pasti ud
Langkah kaki tanpa suara, dengan pandangan lurus ke depan, senyum yang tak lepas dari bibirnya menyapa siapa saja orang yang dikenalnya.Ziya Thalia, perempuan tegas dan tidak bisa feminim seperti wanita pada umumnya, mulai menyesuaikan diri dengan dunia perkuliahan. Namun ia benci pada pria yang agresif dan terang-terangan mendekatinya.Baru saja memarkirkan motor matic dan melepaskan helm, seseorang menepuk bahunya. Sontak Ziya memutar pandangan menatap sang pemilik tangan."Ih, apaan sih Al pegang-pegang! Bukan muhrim tahu!" tandas Ziya pada Alvin--teman satu kelasnya, sembari menepis tangan pria itu."Yaelah, Zi jangan galak-galak napa sama Abang," ujar Alvin terus menggodanya.Ziya memutar bola matanya malas. Kalau saja teman-temannya kuliah juga, sudah tak berbentuk tuh muka. Malah, bisa jadi rata kali dihabisi para Catuda.'Hemm ... jadi rindu kalian,' gumam Ziya melangkah masuk kelas.Walau dicuekin, Alvin tak gentar untuk ter
Sudah beberapa jam berlalu, Arjuna masih bergelut dengan pikiran dan hatinya. Ia memutuskan keluar kamar, tak sengaja berpapasan dengan Ziya yang mau ke dapur."Eh! Mau ke mana, Kak?" tanya Ziya. Matanya yang tadi mengantuk tiba-tiba melek lagi."Cari angin," balas Arjuna singkat.Ziya melihat jam dinding masih menunjukkan pukul 2 malam. "He? Tengah malam mau cari angin di mana? ACnya mati?" ucap Ziya lagi.Namun tak membalas lagi, Arjuna melenggang ke dapur. Ia mulai membuka kulkas dan menuangkan air putih lalu meneguknya dengan cepat. Ziya yang tadinya ingin minum pun mengikutinya.Setelahnya, Arjuna tak langsung kembali ke kamar. Ia duduk di kursi makan tak jauh dari dapur. Kedua lengannya menopang dagunya."Apa yang sedang kakak pikirkan?" tanya Ziya memperhatikan sedari tadi."Bukan urusanmu!" jawab Arjuna tanpa menoleh.'Lah, perasaa
Klontang!Sendok yang digenggam Arjuna tetiba terlepas dari tangannya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak baik. Tapi ia sendiri pun tak tahu apa itu.Rio dan Reza beralih pandang pada pria itu. Pandangannya mendadak kosong. Sebuah senggolan di lengannya membuyarkan lamunannya."Ada apa, Jun?" tanya Reza khawatir."Eh, enggak apa-apa, Za." Arjuna meneguk segelas air putih dalam 4 kali tegukan besar."Kalau gitu, aku mandi dulu, Kak," ucap Rio bergegas meninggalkan ruang makan.Arjuna nampak sudah tak berselera makan. Ia meletakkan sendoknya. Mengembuskan napas beratnya berulang kali."Mungkin kamu lelah, beristirahatlah. Bibi sudah menyiapkan kamar tamu untukmu," terang Reza."Iya, terima kasih," balas Arjuna beranjak menuju kamarnya.Tubuhnya yang memang terasa amat letih, membuat Arjuna cepat terlelap. Melemaskan otot-oto
Arjuna masih menangis, tanpa mempedulikan pertanyaan Ziya. Pandangannya menunduk tak mau beralih, seolah lantai itu adalah sesuatu yang sangat menarik."Kak! Tolong katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Ziya menarik-narik baju Arjuna.Pria itu masih diam saja, ia terus mengabaikan Ziya yang terus berteriak di sampingnya. Sampai pada akhirnya, Arjuna beranjak dari duduknya. Berjalan gontai entah kemana.Ziya menarik lengan Arjuna, "Apa yang Anda lakukan pada ibu saya!" geram Ziya berteriak.Arjuna hanya melirik lengannya, menatap Ziya yang berlinang air mata. Juna masih merasakan sesak di dadanya. Tenggorokannya masih tercekat.Pintu operasi terbuka, semua perawat mendorong brankar dengan senyum mengukir wajah mereka. Mengangguk ketika melihat Ziya."Ibu," sapanya melepas lengan Arjuna mendekati brankar."Operasi berhasil, beliau masih di bawah pengaruh bius. Aka
"Atas nama adikku, saya benar-benar minta maaf. Langsung saja ini darurat. Apa kamu seorang dokter kardiologi?" tanya Reza tanpa basa basi setelah masuk ke ruang IGD.Arjuna mengangguk tanpa suara. Keduanya saling bersitatap, tampak sorot mata kesedihan dipancarkan oleh Reza. Dokter spesialis kanker itu mengembuskan napas lega. Ia seolah mendapat oksigen berlebih di sekitarnya setelah sedari tadi dadanya serasa sesak terhimpit beban yang sangat berat."Saya Reza, atas nama klinik ini saya mohon bantuanmu untuk menyelamatkan nyawa ibu saya sekali lagi. Ini sangat darurat. Kondisinya semakin melemah. Kepala divisi kardiologi sedang seminar di luar kota, dokter bedahnya mengalami kecelakaan." Reza menatap penuh permohonan.Arjuna berkerut kening, "Apa yang bisa saya bantu, Dok?" tanyanya.Hembusan napas kasar Reza terdengar menggelitik indera pendengaran. "Tolong operasi ibuku," ucap Reza lirih menepuk
Wanita baya itu menoleh sangat pelan, bibinya bergetar ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa terucap. Sampai pada akhirnya ibu itu pingsan. Dengan sigap Arjuna menopangnya.Lalu Arjuna beranjak dan merebahkan tubuhnya perlahan untuk memosisikan agar nyaman. Bukan di kursi, melainkan di trotoar. Karena letaknya yang datar dan keras. Ia berlutut sejajar dengan kepala dan bahu ibu tersebut.Sampai beberapa saat, Catuda Squad berbondong-bondong hendak berangkat ke pangkalan ojek, minus Ziya."Gengs, itu laki-laki yang kita tolong bukan?" Edi menunjuk ke arah Arjuna yang menghadap ke jalan raya."Iya betul. Eh eh, ngapain tuh orang. Gila mau bunuh orang di keramaian," cetus Sofyan menimpali.Mereka segera menghampiri Arjuna. Lalu segera turun dan memiting tangan Arjuna ke belakang."Mau ngapain kamu?" sembur Wahyu."Apaan sih, tolong ibu itu