"Emm ... duh si teteh mah enggak bilang mau ke mana," jawab ibu-ibu menggaruk kepalanya.
Arjuna mendesah kecewa. Kepalanya menunduk dalam, lalu berbalik melangkah gontai kembali ke teras rumah.
"Etapi itu, seingat saya teteh dulu dari Yogja. Mungkin mereka balik ke sana," seru wanita itu menghentikan langkah Arjuna.
"Yogja? Sebelah mana, Buk?" timpal Arjuna berlari kecil mendekatinya.
"He, maaf atuh. Saya teh juga nggak paham. Punten," sahut Ibu itu lalu melenggang pergi.
Arjuna diam sejenak, dia pun kembali pulang bersama motor kesayangannya. Pikirannya kosong, tak tahu lagi harus bagaimana. Semangat hidupnya sudah meredup bersamaan dengan kepergian Meysa.
Arjuna berhenti di sebuah taman. Mengingat masa-masa indah bersama sang kekasih. Setiap akhir pekan mereka selalu libur bersama, menghabiskan waktu bersama.
Duduk termenung, mengingat kisah balik momen-momen indah yang tercipta selama 5 tahun terakhir ini. Dalam hati ia berteriak, "Apa salahku?"
Lumayan lama Arjuna menyendiri di tengah keramaian. Semakin melihat bayang-bayang Meysa. Semakin terasa sesak dadanya. Pria itu pun segera beranjak dan memutuskan pergi dari sana.
Berdiam diri di rumah, hingga beberapa hari tidak keluar dari kamar. Asap pekat dari puntung rokok menemani hari-harinya di balkon.
Ayahnya ada tugas di luar kota. Sehingga, ia pun bebas melakukan apa pun di rumah. Bagusnya sih cuma rokok aja untuk pelampiasan, karena Arjuna tidak bisa minum-minuman beralkohol sedikit pun.
Dika rekan kerja satu timnya mendatangi rumah Arjuna. Pria itu sudah beberapa hari mangkir, karena suasana hatinya yang kian memburuk.
"Den, ada tamu!" Suara ketukan pintu disambung dengan suara bibi membuyarkan lamunannya.
"Bilang aja aku nggak di rumah, Bi," teriak Arjuna dengan tatapan kosong.
Lalu terdengar ketukan yang lebih arogant dari sebelumnya. Hampir-hampir didobrak pintu tersebut.
"Heh Junaidi, kalau kamu nggak keluar aku dobrak nih pintu kamar!" timpal Dika berapi-api.
"Jun, woy! Keluar!" teriak Dika lagi.
Tidak ada sahutan apa pun dari dalam kamar. Dika membulatkan tekadnya untuk mendobrak pintu tersebut.
Sudah memasang ancang-ancang, mundur beberapa langkah, lalu berlari sekuat tenaga agar bisa mendobrak pintu. Dalam hatinya pun sudah berhitung. Dan pada hitungan ketiga, Dika menghantamkan tubuhnya dengan keras pada pintu tersebut.
"BRUGH!"
Dika tersungkur di lantai karena Arjuna sudah membuka pintunya tepat saat Dika akan menerobos masuk.
"Aduuuuhh! Sialan lo! Ngomong dong kalau pintunya udah kebuka," gerutu Dika meringis kesakitan menyentuh punggungnya yang membentur lantai duluan.
"Apaan sih lembek banget jadi laki!" sahut Arjuna dingin tak peduli temannya tersungkur di lantai. Ia berlalu begitu saja ke arah balkon.
"Woi! Bantuin kek, main pergi aja. Gara-gara kamu nih!" omel Dika mengulurkan tangan.
Tapi tetap saja tak digubris. Alhasil, dengan sisa-sisa tenaga pria berkulit putih itu berdiri dan berjalan sempoyongan menyusul Arjuna.
"Ngapain ke sini?" sembur Arjuna tanpa basa-basi.
"Kamu ngapain beberapa hari mangkir? Kamu pikir itu rumah sakit milik nenek moyangmu apa?" Dika berkacak pinggang, dengan kedua bola mata yang mendelik tajam.
Arjuna menoleh sekilas, "Bukan urusan kamu!" kata Arjuna ketus.
"Dasar batu!" umpat Dika.
Dika lalu mengeluarkan sebuah amplop panjang dengan kop surat Rumah Sakit Cahaya Sehat, tempat ia mengabdikan diri.
"Paan nih?" tanya Arjuna malas.
"Buka aja sendiri," sahut Dika tak kalah malasnya.
Arjuna pun mengambil amplop tersebut dan mulai membukanya.
Setelah membaca deretan tinta hitam di kertas itu, Arjuna meremas kertas tersebut, mengepalkannya hingga membentuk bola kertas lalu membuangnya ke sembarang arah.
"Hei hei hei! Itu surat peringatan. Kamu abaikan begitu saja? Bisa-bisa dipecat kamu!" cetus Dika kembali meradang melihat Juna acuh tak acuh.
"Bodo!" gumam Arjuna tak peduli.
Pria itu menekuk kedua lututnya. Kembali menghisap rokok yang baru saja dinyalakannya. Kepalanya mendongak, mengepulkan asap rokok ke udara.
Dika mengembuskan napasnya kasar. Turut mendaratkan tubuhnya di lantai tersebut. Dia menepuk bahu Arjuna sampai pria itu terjingkat karena melamun.
"Kamu nggak kasihan sama bokap? Udah kerja keras banting tulang buat jadiin kamu dokter. Setelah lulus pun masih dikuliahin lagi ke spesialis. Dan sekarang? Apa balasan kamu? Melepaskan tanggung jawab begitu saja?" geram Dika mengguruinya.
Arjuna menelan kasar salivanya. Tersadar, selama ini dirinya belum bisa memberikan apa-apa pada papanya. Pria yang selama 19 tahun mendidiknya seorang diri setelah mamanya meninggal.
"Aku nggak akan bisa konsentrasi jika memaksa bekerja. Bukankah pekerjaan kita bersangkutan dengan nyawa? Aku tidak mau bermain-main dengan nyawa orang," aku Arjuna melirik sang sahabat.
Dika menyentuh bahu Arjuna, "Sob, ini bukan kamu banget. Selama ini ketika kamu berada di meja operasi, kamu selalu fokus, melemparkan semua masalah dan kegundahan hati kamu. Mengenyampingkan egomu demi menyelamatkan nyawa di hadapanmu. Tapi apa sekarang?" Masih mencoba membujuk.
Arjuna menyunggingkan seringai tawa. Lalu sedetik kemudian menangis. Ia matikan puntung rokok, menggerusnya di asbak bersamaan dengan beberapa puntung lainnya.
"Kali ini beda, aku kehilangan separuh jiwaku, Dika." Arjuna meraih sesuatu dari kantung celananya.
Sebuah kotak bludru berwarna merah, Arjuna membukanya, menatapnya dengan seksama. "Aku bahkan hendak melamarnya. Tapi tiba-tiba dia menghilang bagai ditelan bumi," gumamnya menyapu cincin bermata satu berlian yang indah dengan kedua ibu jarinya.
"Aku mengerti," sahut Dika pelan.
Arjuna kembali menutupnya, menyimpannya kembali di saku. "Kamu tidak akan mengerti. Karena kamu tidak mengalaminya!" cibir Arjuna menatapnya remeh.
Lagi-lagi Dika mendengus. "Kenapa kamu nggak nanya HRD aja? Siapa tahu bisa melacak keberadaan Meysa dari identitas lengkapnya.
Arjuna menepuk pipi Dika dengan keras. Secercah harapan kembali ia dapat. Tawanya kembali menghias bibir. "Ide bagus! Ayo!" ajak Arjuna berteriak dengan semangat.
****************
Ziya Talia, gadis belia yang supel, pekerja keras, berusia 20 tahun. Ia tinggal bersama ibu dan kakaknya. Orang tuanya bercerai sejak dia masih kecil.
Semenjak lulus SMA, Ziya bersikeras ingin membantu ibunya mencari uang. Meski sang ibu melarang. Kakaknya, Rio bekerja di salah satu perusahaan swasta. Pria lajang berusia 27 tahun itu, enggan menikah karena masih ingin membahagiakan sang mama. Sedang kakak pertamanya, Reza berusia 33 tahun. Masih betah juga dengan kejombloannya. Namun ia pria mapan, membuka praktik klinik mandiri.
"Baru keliatan dari mana, Zii?" tanya Farid rekan seprofesinya.
"Biasa, anter nyokap ke pasar dulu," sahut Ziya setelah memarkirkan motornya.
Ziya satu-satunya perempuan yang menjadi pengemudi ojek yang ber-icon hijau itu. Ia hanya akan menerima penumpang perempuan saja.
Meskipun begitu semua rekan-rekannya sangat menyayanginya dan melindunginya. Tak terkecuali Farid, yang sedari dulu menyimpan perasaan lebih padanya. Namun Ziya tidak pernah menganggapnya lebih dari sekedar teman saja.
"Zii, nanti malam keluar yuk." Farid merangkul bahu Ziya yang segera ditangkis oleh gadis itu.
"Ke mana?" tanyanya.
"Kencan!" cetusnya mendapat pelototan tajam dari Ziya.
Wahyu, Edi, Eko dan Sofyan turut membelalak mendengar perkataan Farid. Mereka melayangkan tatapan intimidasi pada Farid.
Farid pun mengangkat kedua tangannya. "Woy, santai dong. Bercanda," ucapnya cepat takut teman-temannya salah paham. Meski sebenarnya itu ungkapan hatinya yang sesungguhnya.
"Tidak boleh ada cinta yang bersemi dalam persahabatan kita. Karena hanya akan menghancurkan hubungan yang telah kita bangun bertahun-tahun!" tandas Wahyu memperingatkan janji mereka sejak persahabatan awal mereka.
Bersambung~
"Pada ributin apa sih?" tanya Ziya memutar topinya ke belakang. Gadis itu mengenakan inner kaos pendek berlapis hem panjang kedodoran dengan celana jeans sobek-sobek."Kamu!" seru mereka semua bersamaan.Ziya mengerjap-ngerjapkan matanya. Dua telunjuknya mengarah pada wajahnya. "Aku kenapa?" gumamnya.Pertemanan yang terjalin sejak mereka duduk di bangku SMP, hingga lulus SMA, sampai kini kompak bekerja sebagai pengemudi ojol, membuat mereka semua begitu akrab. Berkumpul dengan para lelaki sama sekali tidak membuat Ziya khawatir.Mereka tulus dan baik. Jika ada yang mendekati Ziya atau ada yang mengerjai gadis itu, para sahabatnya akan menjadi garda terdepan untuk melindunginya. Namun karenanya, Ziya tidak pernah bisa berpenampilan feminim."Nggak apa, lupain aja. Ntar malem nongki-nongki yuk. Ada kafe baru buka loh di persimpangan jalan sana," sanggah Farid yang tak mau semakin
"Ziya, yang sopan kamu sama tamu!" tegur Rio pada adiknya dengan tatapan tak suka. Ia takut akan menimbulkan ketidaknyamanan pada gadis di sebelahnya."Iih, aku 'kan cuma nanya. Kenalin, Kak, aku Ziya. Adeknya Rio yang paling imut manis seantero desa ini," cetus Ziya mengulurkan tangannya.Belum sampai dibalas, Rio segera menepis tangan Ziya. Pria itu menatapnya tajam, membuat Ziya bergidik dan mengapit kedua bibirnya. Menandakan dia akan berhenti berbicara."Ziya, kamu mandi dulu, Nak. Keburu habis waktu maghribnya." Ibu Resi memperingatkan dengan lembut.Akhirnya Ziya beranjak dari duduknya. Bersungut kesal pada sang kakak yang suka bersikap semena-mena dan pemaksa. Saat melangkah melalui wanita yang dianggap asing itu, tiba-tiba lengannya disergap."Aku Meysa," tuturnya lembut tersenyum manis."Ah, cantik sekali. Senang bisa kenal sama Kakak yang lembut dan baik hati," celetuk Zi
Bagai kerupuk yang disiram air, kelima pemuda sohib Ziya merunduk semakin dalam setelah tatapan tajam dari Reza yang membuat suasana tiba-tiba mencekam."Hem!" balas Reza singkat melenggang masuk ke rumah."Eh," seru semua orang terkejut."Itu beneran Bang Reza?" canda Sofyan menunjuk ke arah pintu yang tertutup."Iyalah, lu pikir siapa? Hantu?" balas Ziya menggembungkan pipinya."Aneh aja, kek bukan Bang Reza. Nggak ada ceramah kek tempo hari," timpal Wahyu."Dahlah ayo, waktu kita nggak banyak nih!" ajak Farid tidak sabaran. Ia menarik lengan Ziya agar mengikutinya. Membukakan pintu mobil di samping kemudi diikuti semua kawan-kawan yang duduk di belakang.Di sepanjang jalan, mereka masih terheran-heran dengan sikap Reza tadi. Sedang Ziya cuek saja sambil memainkan ponselnya. Sedang Farid hanya berani mencuri-curi pandang melalui ekor matanya.
Hari pun berganti, semburat jingga melukis langit di Kota Yogja sore itu. Saat berhenti di lampu merah, pandangan Arjuna terusik kala melihat segerombolan orang-orang yang sedang mengintimidasi seorang pedagang.Sebenarnya ia malas ikut campur, tapi hati nuraninya berkata sebaliknya. Rasa kasihan akhirnya menuntunnya untuk berhenti di sebuah kedai angkringan."Mana setoran!" teriak seorang berbadan kekar menggebrak meja."Maaf, Mas. Tapi saya baru buka. Belum ada pembeli," sahut seorang Bapak tua dengan gemetar."Alah alasan!" pekiknya lalu menendang sebuah kursi panjang dan beberapa kursi plastik membuat penjual itu terlonjak kaget. Semua porak poranda.Arjuna mendekat, mendorong pelan bahu pria itu. "Jangan kasar sama orang tua. Bicara pelan-pelan kan bisa?" ujarnya menatap tajam."Siapa kamu! Nggak usah ikut campur!" teriak preman itu lagi tepat di hadapan Arjuna."Bukan ikut campur, Bung. Hati-hati dengan azab karena kasar dengan orang t
Ziya berlari menghampiri teman-temannya yang menunggu di depan UGD. "Gaeess, thankyou banget ya. Kalian hebat deh kek super hero yang pernah aku tonton waktu kecil," kelakar Ziya merangkul sahabat-sahabatnya yang bisa terjangkau.Mereka mengerutkan dahinya bersamaan. "Apaan? Power rangers? Yeah, aku ranger merah. Merah kan berani!" sahut Sofyan memamerkan otot lengannya yang kecil."Ih bukan," tampik Ziya cepat."Apaan dong?" Kali ini Wahyu yang bertanya."Teletubbies, berpelukan!" seru Ziya memeluk teman-temannya. Membuat mereka menepuk jidatnya saling berpelukan."Ehm!" Suara deheman membuat keenam orang yang saling merangkul itu kalang kabut. Mereka segera saling melepas tautan lengan berpura-pura sibuk.Ada yang sibuk mengoperasikan ponsel, padahal tidak ada notif apa pun. Ada yang menggaruk kepalanya, ada juga yang berpura-pura saling mengobrol.Reza melipat
"Dok?" Seorang perawat menyadarkan lamunan Reza."Eh, iya." Reza melihat hasil diagnosisnya. Lalu kembali melakukan pemeriksaan lebih detail untuk menetapkan diagnosis dan jenis penyakitnya.Reza melakukan beberapa tes. Di antaranya tes darah dan tes sumsum tulang belakang. Setelah mengambil sampelnya, Reza meminta segera dibawa ke laboratorium."Pindahkan pasien ke rawat inap," titah Reza melenggang pergi keluar ruang IGD."Keluarga pasien?" ucap Reza berdiri di antara mereka."Kami orang tua Meysa, Dok. Bagaimana keadaannya?" Papa Meysa berdiri sambil memapah istrinya."Untuk sementara, pasien harus dirawat intensive sampai menunggu hasil lab keluar. Apakah sudah lama Meysa mengalami gejala seperti ini?" tanya Reza.Mamanya kembali terisak, sedang tante Meysa yang turut mengantar gadis itu, bergegas ke tempat pendaftaran."Dokter, dia divonis l
Jam pulang sudah terlewati, namun Reza tidak beranjak dari tempat duduknya. Menunggu hasil laborat seorang pasien yang pernah ditolong oleh adiknya. Meski ia tidak begitu mengenal Meysa. Namun hati kecilnya ingin membantu penyembuhannya.Terdengar suara pintu yang diketuk. Lalu menyembullah seorang perawat membawakan hasil yang dia tunggu-tunggu sejak semalam. Biasanya membutuhkan waktu berhari-hari. Namun, ia terus mendesak agar segera ditangani."Permisi, Dok. Ini hasilnya," ucap perawat itu menyerahkan sebuah stopmap."Terima kasih. Oh iya tolong panggilkan orang tua pasien kemari," titah Reza."Baik, Dok. Permisi." Perawat itu undur diri.Sedangkan Reza mengambil kaca matanya untuk mengamati dan membaca hasil pemeriksaan Meysa. Setiap kata dan angka ia cerna dengan baik. Agar tidak ada kesalahan dalam menetapkan diagnosis.Keningnya berkerut dalam, menandakan ia sangat serius ka
Wanita baya itu menoleh sangat pelan, bibinya bergetar ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa terucap. Sampai pada akhirnya ibu itu pingsan. Dengan sigap Arjuna menopangnya.Lalu Arjuna beranjak dan merebahkan tubuhnya perlahan untuk memosisikan agar nyaman. Bukan di kursi, melainkan di trotoar. Karena letaknya yang datar dan keras. Ia berlutut sejajar dengan kepala dan bahu ibu tersebut.Sampai beberapa saat, Catuda Squad berbondong-bondong hendak berangkat ke pangkalan ojek, minus Ziya."Gengs, itu laki-laki yang kita tolong bukan?" Edi menunjuk ke arah Arjuna yang menghadap ke jalan raya."Iya betul. Eh eh, ngapain tuh orang. Gila mau bunuh orang di keramaian," cetus Sofyan menimpali.Mereka segera menghampiri Arjuna. Lalu segera turun dan memiting tangan Arjuna ke belakang."Mau ngapain kamu?" sembur Wahyu."Apaan sih, tolong ibu itu
Ziya bersemangat turun dari motor Arjuna. Ia mengenakan kebaya berwarna peach dengan celana berbahan satin berwarna senada. Rambutnya digerai dan hanya diikat beberapa helai ke belakang. Riasannya pun sederhana, kalau tidak dipaksa sang ibu, dia malas melakukannya."Eh, mau ke mana?" tanya Juna menarik lengan Ziya."Mau masuk lah, Kak. Acaranya 'kan di dalam," tunjuk Ziya ke arah masjid.Arjuna turun dari motornya dan melepas helm yang dikenakannya. "Masuk masjid pake helm?" decak Arjuna tertawa terbahak."Eh!" Ziya meraba-raba kepalnya lalu menyengir kuda. Segera ia lepas helm lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan melalui kaca spion motor Juna."Nih, Kak. Makasih ya," ujar Ziya mengulurkan lengannya.Langkah Ziya pun semakin dipercepat, tak sabar menjadi saksi kebahagiaan kakak pertamanya. Mungkin karena mengenakan flat shoes, makanya ia mudah berlari.
"Zii? Zizi? Ziya?" seloroh Arjuna melambaikan tangan, memanggil Ziya yang lagi-lagi terbengong."Eh," Ziya terkejut. Ia pun jadi salah tingkah karena ketahuan menatap Arjuna sedari tadi.Ziya mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Jemarinya menyelipkan anak rambutnya yang tidak berantakan ke belakang telinga. Ia juga meraih gelas dan minum untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering."Segitunya liatin aku. Naksir ya?" goda Arjuna melipat kedua lengannya di atas meja, sambil tersenyum lebar pada Ziya. Memperlihatkan kedua lesung pipinya."Apaan sih. Tadi, tanya apa, Kak? Maaf lagi nggak fokus," elak Ziya tidak berani menatap manik sang lawan bicara."Eemm ... kenapa kemarin malam-malam telepon? Aku telepon balik tapi nggak tersambung," tanya Arjuna kembali melanjutkan makannya.Ziya terdiam, ingatannya berputar pada kejadian malam itu. Tubuhnya kembali ge
Juna mengerutkan alisnya. Pasalnya tiba-tiba malam-malam begini Ziya telepon. Banyak pertanyaan di benaknya. Namun baru sepersekian detik dingkatnya, sambungan terputus. Bahkan mati ketika ditelepon balik."Ada apa, ya? Ah mungkin mau mastiin aja kali lusa aku dateng apa nggak," pikir Arjuna meletakkan kembali ponselnya lalu merebahkan tubuhnya dan tidur.Sementara itu, Ziya masih gemetaran dipelukan Alvin. Pria itu lalu melepas jaketnya dan dipakaikan pada Ziya. Alvin keluar dari gudang memapah Ziya. Pandangannya mengedar mendapati tas dan seisinya berhamburan di jalan yang amat sepi tersebut."Udah, tenang aja. Ada aku, okay?" ucap Alvin menenangkan Ziya. Gadis itu hanya mengangguk, sesekali menyeka air mata yang berjatuhan."Jangan tinggal," rengek Ziya ketika Alvin hendak memunguti barang-barangnya."Aku mau ambilin tas kamu. Tuh bukunya juga. Bentar, tenang aja. Temen-temenku pasti ud
Langkah kaki tanpa suara, dengan pandangan lurus ke depan, senyum yang tak lepas dari bibirnya menyapa siapa saja orang yang dikenalnya.Ziya Thalia, perempuan tegas dan tidak bisa feminim seperti wanita pada umumnya, mulai menyesuaikan diri dengan dunia perkuliahan. Namun ia benci pada pria yang agresif dan terang-terangan mendekatinya.Baru saja memarkirkan motor matic dan melepaskan helm, seseorang menepuk bahunya. Sontak Ziya memutar pandangan menatap sang pemilik tangan."Ih, apaan sih Al pegang-pegang! Bukan muhrim tahu!" tandas Ziya pada Alvin--teman satu kelasnya, sembari menepis tangan pria itu."Yaelah, Zi jangan galak-galak napa sama Abang," ujar Alvin terus menggodanya.Ziya memutar bola matanya malas. Kalau saja teman-temannya kuliah juga, sudah tak berbentuk tuh muka. Malah, bisa jadi rata kali dihabisi para Catuda.'Hemm ... jadi rindu kalian,' gumam Ziya melangkah masuk kelas.Walau dicuekin, Alvin tak gentar untuk ter
Sudah beberapa jam berlalu, Arjuna masih bergelut dengan pikiran dan hatinya. Ia memutuskan keluar kamar, tak sengaja berpapasan dengan Ziya yang mau ke dapur."Eh! Mau ke mana, Kak?" tanya Ziya. Matanya yang tadi mengantuk tiba-tiba melek lagi."Cari angin," balas Arjuna singkat.Ziya melihat jam dinding masih menunjukkan pukul 2 malam. "He? Tengah malam mau cari angin di mana? ACnya mati?" ucap Ziya lagi.Namun tak membalas lagi, Arjuna melenggang ke dapur. Ia mulai membuka kulkas dan menuangkan air putih lalu meneguknya dengan cepat. Ziya yang tadinya ingin minum pun mengikutinya.Setelahnya, Arjuna tak langsung kembali ke kamar. Ia duduk di kursi makan tak jauh dari dapur. Kedua lengannya menopang dagunya."Apa yang sedang kakak pikirkan?" tanya Ziya memperhatikan sedari tadi."Bukan urusanmu!" jawab Arjuna tanpa menoleh.'Lah, perasaa
Klontang!Sendok yang digenggam Arjuna tetiba terlepas dari tangannya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak baik. Tapi ia sendiri pun tak tahu apa itu.Rio dan Reza beralih pandang pada pria itu. Pandangannya mendadak kosong. Sebuah senggolan di lengannya membuyarkan lamunannya."Ada apa, Jun?" tanya Reza khawatir."Eh, enggak apa-apa, Za." Arjuna meneguk segelas air putih dalam 4 kali tegukan besar."Kalau gitu, aku mandi dulu, Kak," ucap Rio bergegas meninggalkan ruang makan.Arjuna nampak sudah tak berselera makan. Ia meletakkan sendoknya. Mengembuskan napas beratnya berulang kali."Mungkin kamu lelah, beristirahatlah. Bibi sudah menyiapkan kamar tamu untukmu," terang Reza."Iya, terima kasih," balas Arjuna beranjak menuju kamarnya.Tubuhnya yang memang terasa amat letih, membuat Arjuna cepat terlelap. Melemaskan otot-oto
Arjuna masih menangis, tanpa mempedulikan pertanyaan Ziya. Pandangannya menunduk tak mau beralih, seolah lantai itu adalah sesuatu yang sangat menarik."Kak! Tolong katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Ziya menarik-narik baju Arjuna.Pria itu masih diam saja, ia terus mengabaikan Ziya yang terus berteriak di sampingnya. Sampai pada akhirnya, Arjuna beranjak dari duduknya. Berjalan gontai entah kemana.Ziya menarik lengan Arjuna, "Apa yang Anda lakukan pada ibu saya!" geram Ziya berteriak.Arjuna hanya melirik lengannya, menatap Ziya yang berlinang air mata. Juna masih merasakan sesak di dadanya. Tenggorokannya masih tercekat.Pintu operasi terbuka, semua perawat mendorong brankar dengan senyum mengukir wajah mereka. Mengangguk ketika melihat Ziya."Ibu," sapanya melepas lengan Arjuna mendekati brankar."Operasi berhasil, beliau masih di bawah pengaruh bius. Aka
"Atas nama adikku, saya benar-benar minta maaf. Langsung saja ini darurat. Apa kamu seorang dokter kardiologi?" tanya Reza tanpa basa basi setelah masuk ke ruang IGD.Arjuna mengangguk tanpa suara. Keduanya saling bersitatap, tampak sorot mata kesedihan dipancarkan oleh Reza. Dokter spesialis kanker itu mengembuskan napas lega. Ia seolah mendapat oksigen berlebih di sekitarnya setelah sedari tadi dadanya serasa sesak terhimpit beban yang sangat berat."Saya Reza, atas nama klinik ini saya mohon bantuanmu untuk menyelamatkan nyawa ibu saya sekali lagi. Ini sangat darurat. Kondisinya semakin melemah. Kepala divisi kardiologi sedang seminar di luar kota, dokter bedahnya mengalami kecelakaan." Reza menatap penuh permohonan.Arjuna berkerut kening, "Apa yang bisa saya bantu, Dok?" tanyanya.Hembusan napas kasar Reza terdengar menggelitik indera pendengaran. "Tolong operasi ibuku," ucap Reza lirih menepuk
Wanita baya itu menoleh sangat pelan, bibinya bergetar ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa terucap. Sampai pada akhirnya ibu itu pingsan. Dengan sigap Arjuna menopangnya.Lalu Arjuna beranjak dan merebahkan tubuhnya perlahan untuk memosisikan agar nyaman. Bukan di kursi, melainkan di trotoar. Karena letaknya yang datar dan keras. Ia berlutut sejajar dengan kepala dan bahu ibu tersebut.Sampai beberapa saat, Catuda Squad berbondong-bondong hendak berangkat ke pangkalan ojek, minus Ziya."Gengs, itu laki-laki yang kita tolong bukan?" Edi menunjuk ke arah Arjuna yang menghadap ke jalan raya."Iya betul. Eh eh, ngapain tuh orang. Gila mau bunuh orang di keramaian," cetus Sofyan menimpali.Mereka segera menghampiri Arjuna. Lalu segera turun dan memiting tangan Arjuna ke belakang."Mau ngapain kamu?" sembur Wahyu."Apaan sih, tolong ibu itu