Share

Bab 10 Diagnosa

Jam pulang sudah terlewati, namun Reza tidak beranjak dari tempat duduknya. Menunggu hasil laborat seorang pasien yang pernah ditolong oleh adiknya. Meski ia tidak begitu mengenal Meysa. Namun hati kecilnya ingin membantu penyembuhannya.

Terdengar suara pintu yang diketuk. Lalu menyembullah seorang perawat membawakan hasil yang dia tunggu-tunggu sejak semalam. Biasanya membutuhkan waktu berhari-hari. Namun, ia terus mendesak agar segera ditangani.

"Permisi, Dok. Ini hasilnya," ucap perawat itu menyerahkan sebuah stopmap.

"Terima kasih. Oh iya tolong panggilkan orang tua pasien kemari," titah Reza.

"Baik, Dok. Permisi." Perawat itu undur diri.

Sedangkan Reza mengambil kaca matanya untuk mengamati dan membaca hasil pemeriksaan Meysa. Setiap kata dan angka ia cerna dengan baik. Agar tidak ada kesalahan dalam menetapkan diagnosis.

Keningnya berkerut dalam, menandakan ia sangat serius kali ini. Tak berapa lama, terdengat ketukan pintu ruangannya.

"Silahkan masuk!" seru Reza dari ruangannya.

Seorang pria paruh baya yang masih gagah nan tampan, masuk ke ruangannya. Reza tersenyum kala orang itu mengangguk menyapanya.

"Silahkan duduk, Pak," ujar Reza.

Pria itu lalu mendaratkan tubuhnya di hadapan Reza. Dengan dibatasi meja kerja milik Reza yang berukuran lumayan besar itu.

"Bagaimana, Dok?" tanya Papa Indra.

Reza membuka kacamatanya, mengucek kedua matanya lalu mengenakannya kembali. Ia mengembuskan napasnya kasar. Menatap dalam kedua mata pria di hadapannya.

"Bapak, berdasarkan hasil pemeriksaan, kanker yang diderita oleh putri Bapak adalah Acute lymphoblastic leukemia (ALL) atau leukemia limfoblastik akut. Ini terjadi karena sumsum tulang terlalu banyak memproduksi sel darah putih jenis limfosit yang belum matang atau yang disebut limfoblas," jelas Reza secara rinci.

Papa Indra awam dengan istilah Dokter. Namun perasaannya tidak enak. Bibirnya mengatup sempurna, tidak ingin bertanya sampai Dokter selesai menjelaskan.

"Untuk pengobatan utama leukemia limfoblastik akut adalah kemoterapi, yang akan diberikan dalam beberapa fase, yaitu fase induksi, fase konsolidasi, dan fase pemeliharaan."

Lagi-lagi Reza menghela napas panjang. Papa Indra nampak termenung mendengar berbagai pengobatan yang harus ditempuh oleh putrinya.

"Apakah sudah pasti berhasil, Dok?" Akhirnya Papa bersuara.

"Jujur, tidak. Faktor usia sangat memengaruhi. Semakin dewasa, akan semakin sulit untuk sembuh. Selain usia, faktor lain yang memengaruhi tingkat kesembuhan pasien LLA adalah jenis LLA, jumlah sel darah putih, dan penyebaran sel kanker di dalam tubuh. Kami akan berusaha semaksimal mungkin," ungkap Reza pada Papa.

Papa mengembuskan napas beratnya, "Baik, terima kasih penjelasannya, Dok. Saya permisi dulu," pamit Papa beranjak dari duduknya.

"Iya, Pak. Tolong Anda sekeluarga turut memberinya semangat agar kuat," ucap Reza lagi. Lalu Papa Indra kembali ke ruangan Meysa dengan tertunduk lesu.

Reza mengusap wajahnya kasar. Ia berlalu ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Setelahnya ia memeriksa keadaan Meysa terlebih dahulu. Yang ternyata sudah sadarkan diri pagi ini.

"Hai, Meysa. Kita ketemu lagi," sapa Reza mengulum senyum. Perawat mulai memeriksa tensi, cairan infus yang menetes, sedangkan Reza memeriksa menggunakan stetoskopnya.

"Kak Reza! Eh maaf, Dokter Reza," balas Meysa keceplosan.

"Tidak apa-apa. Panggil Kak Reza aja. Siapin diri untuk sembuh ya. Apa yang dirasain sekarang?"

"Iya, Kak. Terima kasih. Pusing banget, Kak. Mual juga rasanya," sahut Meysa.

Reza menyuntikkan sesuatu untuk membantu meredakan rasa sakit melalui selang infusnya.

"Semangat ya, Meysa," ujar Reza.

Setelah melakukan kunjungan, Reza pun segera bergegas pulang. Lelah dan ngantuk pun berbaur menjadi satu. Sampai di rumah ia bergegas mandi dan mengistirahatkan tubuhnya.

****************

"Gengs, mulai hari ini aku udah berhenti jadi Ojol ya. Babang Reza tamvan nggak ngizinin aku. Disuruh jadi orang yang bener nih. Emang selama ini aku nggak bener ya jadi orang🙄😏 Nanti mau resign ke kantor."

Pesan Ziya dalam grup watsapp Catuda Squads. Tidak ada balasan. Bahkan dibaca pun tidak. Akhirnya dia melempar ponselnya di ranjang bersamaan dengan merebahkan tubuhnya.

Matanya kembali terpejam. Suasana rumah yang sepi, membuatnya bebas. Karena sang ibu sedang sibuk membantu tetangga yang akan ada hajatan nanti malam.

Di sisi lain, Geng Catuda masih mengintimidasi Arjuna. Arjuna menelan ketika Wahyu menepuk bahunya keras hingga membuyarkan lamunannya.

"Malah melamun! Masih mau ngelawan?" pekiknya tepat di telinga Arjuna.

"I ... iya, Bang. Eh enggak maksudnya," jawab Arjuna gugup.

"Lo harus minta maaf ke Ziya! Kalau tidak jangan harap bisa keluar dari sini dengan selamat!" ancam Sofyan diikuti teman-temannya.

'Masih pengen iduplah. Aku belum nemuin Meysa. Dahlah ngalah aja. Nggak mungkin juga lawan mereka, biarpun mereka masih bau kencur, tapi 'kan rombongan," gumamnya dalam hati.

"Iya, Bang. Nanti aku minta maaf. Kalau gitu minta alamatnya," ucap Arjuna mengalah.

"Sini KTP Lo!" Imbuh wahyu lagi mengulurkan tangannya.

"Buat apa, Bang?"

"Siniin aja! Buat jaminan sampai lo bener-bener minta maaf, inget-inget rumahnya di Jalan Cendana no. 111," seru Wahyu lagi melotot dengan tajam.

Arjuna pun menyerahkan KTPnya. Dibacanya satu per satu identitas pria itu. Keningnya berkerut. "Orang Bandung bisa nyasar ke sini! By the way motor Lo ada di parkiran klinik ini. Nih kuncinya." Wahyu menyerahkan kunci motor Arjuna.

"Terima kasih, Bang," ucap Arjuna.

"Simpen makasihnya buat Ziya!" seru Edi yang sedari tadi diam saja. Dalam geng mereka cuma Sofyan dan Wahyu yang banyak bicara. Eh Ziya juga, lainnya mah lebih suka membisu, jarang bicara, tapi tetep setia kawan.

"Cabut!" ujar Wahyu mengangkat tangannya. Mengisyaratkan untuk keluar ruangan.

Fyuuuuuhh!

Arjuna bernapas lega setelah kepergian mereka semua. Ia mengacak rambutnya frustasi. "Bisa-bisanya terlibat dengan orang-orang seperti itu. Coba di kota sendiri. Abis kalian gua pites-pites," geram Arjuna mempraktikkan, menjentikkan dua ibu jarinya. Seperti sedang menghabisi kutu.

"Meysa? Aku harus ke tempat itu lagi," gumam Arjuna.

Arjuna melepas selang infus di tangannya. Ia berjalan menuju administrasi, untuk melunasi biaya pengobatannya. Namun ia terkejut, ketika suster itu mengatakan bahwa semua biaya pengobatannya sudah lunas.

"Siapa yang membayar tagihannya, Sus?" tanya Arjuna penasaran.

"Atas nama Bapak sendiri," terang perawat tersebut.

Kening Arjuna berkerut dalam, nampak ia sedang berpikir keras. "Baiklah, terima kasih," ujarnya lalu meninggalkan tempat pembayaran.

Langkahnya pelan menuju parkiran untuk menemukan motornya. Teringat akan dompet, Arjuna memeriksanya ketika sudah bersandar di motor miliknya.

Saat membuka lipatan dompet, Arjuna terkejut ketika melihat uang cashnya hanya tinggal beberapa lembar saja.

"Kirain beneran dibayarin. Taunya pake uangku sendiri. Ckckck!" gumamnya tertawa sumbang.

Jalan raya begitu padat pagi itu. Arjuna mengikuti petunjuk jalan dari g****e maps untuk menemukan lokasi kemarin. Tak berapa lama, ia pun menemukannya.

Tepat di tempat Meysa berdiri kemarin, di sanalah Arjuna sekarang. Duduk di kursi besi yang panjang menghadap jalan raya yang begitu besar. Berharap, hari itu Meysa datang kembali. Pandangan Arjuna terus mengedar, namun hanya ramainya kendaraan yang berlalu lalang melintas di matanya.

Sesekali Arjuna berdiri, membeli minuman juga rokok pada penjual keliling yang lewat di depannya. Ia sampai mengabaikan rasa laparnya.

"Mey, apa kamu nggak datang ke sini lagi?" gumamnya menyangga kedua lengan di atas pahanya. Jemarinya terkepal menopang dagu. Matanya bahkan enggan berkedip, takut jika Meysa lewat namun tidak tahu.

Dering ponsel Arjuna membuyarkan lamunannya. Segera merogoh kantong celana dan meraih benda pipih itu. Matanya membulat, ketika melihat ID pemanggil. Buru-buru ia menggeser slide hijau. Baru mau meletakkan di daun telinga, langsung dijauhkan ketika mendengar teriakan menggelegar di seberang telepon.

"ARJUNA MOLLARY! Kamu di mana? Dengan siapa? Lagi apa?" berondong Dika berteriak.

"Woilah. Kira-kira dong kalau ngomong. Itu mulut abis dikasih toa apa? Rusak nih gendang telinga," sahut Arjuna kesal.

"Abisnya lu tiba-tiba pergi tanpa alasan. Kan gue yang kena imbasnya, alhasil gue ngarang alur hidup lo biar nggak dipecat," sambung Dika tak kalah kesal.

"Hahaha! Awas aja kalau dibuat sad ending! Btw thanks ya, Bro. Aku mau lurusin jalan hidup dulu biar nggak nyasar. Aku percaya kamu bisa mengatasinya. Bye!" Arjuna segera mematikan sambungan teleponnya. Kembali fokus pada tujuan awalnya ke sana.

Sementara itu, Dika memaki-maki ponselnya karena mati tiba-tiba. Lebih tepatnya dimatiin sepihak oleh Arjuna.

Tak lama berselang, ponsel Arjuna kembali berdering. Tanpa melihat ID pemanggil, ia mengangkat panggilan tersebut.

"Apa lagi sih? Pokoknya kamu atur ajalah suka-suka kamu! Jangan ganggu aku dulu!" tandas Arjuna hendak mematikan ponselnya lagi. Namun diurungkan ketika mendengar pekikan suara yang amat dikenalnya.

"Arjuna!"

"I ... iya, Pa. Hadir," sahut Arjuna terbata.

"Apa maksudmu bicara seperti itu?" seru Papa.

"Eee ... maaf, Pa. Juna pikir tadi Dika yang telepon," ujar Arjuna menggaruk tengkuknya.

"Di mana kamu? Kata Bibi udah pergi sejak tiga hari yang lalu?" tanya Papa dengan suara lantang.

"Di Yogja, Pa," jawab Arjuna pelan.

"Ngapain kamu di Yogja? Jadi kamu mangkir kerja selama beberapa hari? Pulang sekarang! Kebiasaan kalau Papa lagi dinas semaunya sendiri. Tuman! " Klik!

"Tap ... tapi, Pa. Aaarggh!" kesal Arjuna menarik rambutnya. Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah terputus.

Helaan napas panjang terdengar dari mulut Arjuna. Ia melipat kedua lengannya. Dilema, pulang atau lanjut. Sudah kepalang tanggung, dan hampir menemukan jejak Meysa.

Seorang wanita paruh baya yang duduk di sampingnya, mengalihkan perhatian Arjuna. Ia nampak kesulitan bernapas, peluhnya membanjir di wajah wanita itu. Bibirnya pucat, tangannya terus menekan dadanya sembari meringis kesakitan.

"Bu, Anda kenapa?" tanya Arjuna menyentuh lengan wanita itu.

Bersambung~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status