Jam pulang sudah terlewati, namun Reza tidak beranjak dari tempat duduknya. Menunggu hasil laborat seorang pasien yang pernah ditolong oleh adiknya. Meski ia tidak begitu mengenal Meysa. Namun hati kecilnya ingin membantu penyembuhannya.
Terdengar suara pintu yang diketuk. Lalu menyembullah seorang perawat membawakan hasil yang dia tunggu-tunggu sejak semalam. Biasanya membutuhkan waktu berhari-hari. Namun, ia terus mendesak agar segera ditangani.
"Permisi, Dok. Ini hasilnya," ucap perawat itu menyerahkan sebuah stopmap.
"Terima kasih. Oh iya tolong panggilkan orang tua pasien kemari," titah Reza.
"Baik, Dok. Permisi." Perawat itu undur diri.
Sedangkan Reza mengambil kaca matanya untuk mengamati dan membaca hasil pemeriksaan Meysa. Setiap kata dan angka ia cerna dengan baik. Agar tidak ada kesalahan dalam menetapkan diagnosis.
Keningnya berkerut dalam, menandakan ia sangat serius kali ini. Tak berapa lama, terdengat ketukan pintu ruangannya.
"Silahkan masuk!" seru Reza dari ruangannya.
Seorang pria paruh baya yang masih gagah nan tampan, masuk ke ruangannya. Reza tersenyum kala orang itu mengangguk menyapanya.
"Silahkan duduk, Pak," ujar Reza.
Pria itu lalu mendaratkan tubuhnya di hadapan Reza. Dengan dibatasi meja kerja milik Reza yang berukuran lumayan besar itu.
"Bagaimana, Dok?" tanya Papa Indra.
Reza membuka kacamatanya, mengucek kedua matanya lalu mengenakannya kembali. Ia mengembuskan napasnya kasar. Menatap dalam kedua mata pria di hadapannya.
"Bapak, berdasarkan hasil pemeriksaan, kanker yang diderita oleh putri Bapak adalah Acute lymphoblastic leukemia (ALL) atau leukemia limfoblastik akut. Ini terjadi karena sumsum tulang terlalu banyak memproduksi sel darah putih jenis limfosit yang belum matang atau yang disebut limfoblas," jelas Reza secara rinci.
Papa Indra awam dengan istilah Dokter. Namun perasaannya tidak enak. Bibirnya mengatup sempurna, tidak ingin bertanya sampai Dokter selesai menjelaskan.
"Untuk pengobatan utama leukemia limfoblastik akut adalah kemoterapi, yang akan diberikan dalam beberapa fase, yaitu fase induksi, fase konsolidasi, dan fase pemeliharaan."
Lagi-lagi Reza menghela napas panjang. Papa Indra nampak termenung mendengar berbagai pengobatan yang harus ditempuh oleh putrinya.
"Apakah sudah pasti berhasil, Dok?" Akhirnya Papa bersuara.
"Jujur, tidak. Faktor usia sangat memengaruhi. Semakin dewasa, akan semakin sulit untuk sembuh. Selain usia, faktor lain yang memengaruhi tingkat kesembuhan pasien LLA adalah jenis LLA, jumlah sel darah putih, dan penyebaran sel kanker di dalam tubuh. Kami akan berusaha semaksimal mungkin," ungkap Reza pada Papa.
Papa mengembuskan napas beratnya, "Baik, terima kasih penjelasannya, Dok. Saya permisi dulu," pamit Papa beranjak dari duduknya.
"Iya, Pak. Tolong Anda sekeluarga turut memberinya semangat agar kuat," ucap Reza lagi. Lalu Papa Indra kembali ke ruangan Meysa dengan tertunduk lesu.
Reza mengusap wajahnya kasar. Ia berlalu ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Setelahnya ia memeriksa keadaan Meysa terlebih dahulu. Yang ternyata sudah sadarkan diri pagi ini.
"Hai, Meysa. Kita ketemu lagi," sapa Reza mengulum senyum. Perawat mulai memeriksa tensi, cairan infus yang menetes, sedangkan Reza memeriksa menggunakan stetoskopnya.
"Kak Reza! Eh maaf, Dokter Reza," balas Meysa keceplosan.
"Tidak apa-apa. Panggil Kak Reza aja. Siapin diri untuk sembuh ya. Apa yang dirasain sekarang?"
"Iya, Kak. Terima kasih. Pusing banget, Kak. Mual juga rasanya," sahut Meysa.
Reza menyuntikkan sesuatu untuk membantu meredakan rasa sakit melalui selang infusnya.
"Semangat ya, Meysa," ujar Reza.
Setelah melakukan kunjungan, Reza pun segera bergegas pulang. Lelah dan ngantuk pun berbaur menjadi satu. Sampai di rumah ia bergegas mandi dan mengistirahatkan tubuhnya.
****************
"Gengs, mulai hari ini aku udah berhenti jadi Ojol ya. Babang Reza tamvan nggak ngizinin aku. Disuruh jadi orang yang bener nih. Emang selama ini aku nggak bener ya jadi orang🙄😏 Nanti mau resign ke kantor."
Pesan Ziya dalam grup watsapp Catuda Squads. Tidak ada balasan. Bahkan dibaca pun tidak. Akhirnya dia melempar ponselnya di ranjang bersamaan dengan merebahkan tubuhnya.
Matanya kembali terpejam. Suasana rumah yang sepi, membuatnya bebas. Karena sang ibu sedang sibuk membantu tetangga yang akan ada hajatan nanti malam.
Di sisi lain, Geng Catuda masih mengintimidasi Arjuna. Arjuna menelan ketika Wahyu menepuk bahunya keras hingga membuyarkan lamunannya.
"Malah melamun! Masih mau ngelawan?" pekiknya tepat di telinga Arjuna.
"I ... iya, Bang. Eh enggak maksudnya," jawab Arjuna gugup.
"Lo harus minta maaf ke Ziya! Kalau tidak jangan harap bisa keluar dari sini dengan selamat!" ancam Sofyan diikuti teman-temannya.
'Masih pengen iduplah. Aku belum nemuin Meysa. Dahlah ngalah aja. Nggak mungkin juga lawan mereka, biarpun mereka masih bau kencur, tapi 'kan rombongan," gumamnya dalam hati.
"Iya, Bang. Nanti aku minta maaf. Kalau gitu minta alamatnya," ucap Arjuna mengalah.
"Sini KTP Lo!" Imbuh wahyu lagi mengulurkan tangannya.
"Buat apa, Bang?"
"Siniin aja! Buat jaminan sampai lo bener-bener minta maaf, inget-inget rumahnya di Jalan Cendana no. 111," seru Wahyu lagi melotot dengan tajam.
Arjuna pun menyerahkan KTPnya. Dibacanya satu per satu identitas pria itu. Keningnya berkerut. "Orang Bandung bisa nyasar ke sini! By the way motor Lo ada di parkiran klinik ini. Nih kuncinya." Wahyu menyerahkan kunci motor Arjuna.
"Terima kasih, Bang," ucap Arjuna.
"Simpen makasihnya buat Ziya!" seru Edi yang sedari tadi diam saja. Dalam geng mereka cuma Sofyan dan Wahyu yang banyak bicara. Eh Ziya juga, lainnya mah lebih suka membisu, jarang bicara, tapi tetep setia kawan.
"Cabut!" ujar Wahyu mengangkat tangannya. Mengisyaratkan untuk keluar ruangan.
Fyuuuuuhh!
Arjuna bernapas lega setelah kepergian mereka semua. Ia mengacak rambutnya frustasi. "Bisa-bisanya terlibat dengan orang-orang seperti itu. Coba di kota sendiri. Abis kalian gua pites-pites," geram Arjuna mempraktikkan, menjentikkan dua ibu jarinya. Seperti sedang menghabisi kutu.
"Meysa? Aku harus ke tempat itu lagi," gumam Arjuna.
Arjuna melepas selang infus di tangannya. Ia berjalan menuju administrasi, untuk melunasi biaya pengobatannya. Namun ia terkejut, ketika suster itu mengatakan bahwa semua biaya pengobatannya sudah lunas.
"Siapa yang membayar tagihannya, Sus?" tanya Arjuna penasaran.
"Atas nama Bapak sendiri," terang perawat tersebut.
Kening Arjuna berkerut dalam, nampak ia sedang berpikir keras. "Baiklah, terima kasih," ujarnya lalu meninggalkan tempat pembayaran.
Langkahnya pelan menuju parkiran untuk menemukan motornya. Teringat akan dompet, Arjuna memeriksanya ketika sudah bersandar di motor miliknya.
Saat membuka lipatan dompet, Arjuna terkejut ketika melihat uang cashnya hanya tinggal beberapa lembar saja.
"Kirain beneran dibayarin. Taunya pake uangku sendiri. Ckckck!" gumamnya tertawa sumbang.
Jalan raya begitu padat pagi itu. Arjuna mengikuti petunjuk jalan dari g****e maps untuk menemukan lokasi kemarin. Tak berapa lama, ia pun menemukannya.
Tepat di tempat Meysa berdiri kemarin, di sanalah Arjuna sekarang. Duduk di kursi besi yang panjang menghadap jalan raya yang begitu besar. Berharap, hari itu Meysa datang kembali. Pandangan Arjuna terus mengedar, namun hanya ramainya kendaraan yang berlalu lalang melintas di matanya.
Sesekali Arjuna berdiri, membeli minuman juga rokok pada penjual keliling yang lewat di depannya. Ia sampai mengabaikan rasa laparnya.
"Mey, apa kamu nggak datang ke sini lagi?" gumamnya menyangga kedua lengan di atas pahanya. Jemarinya terkepal menopang dagu. Matanya bahkan enggan berkedip, takut jika Meysa lewat namun tidak tahu.
Dering ponsel Arjuna membuyarkan lamunannya. Segera merogoh kantong celana dan meraih benda pipih itu. Matanya membulat, ketika melihat ID pemanggil. Buru-buru ia menggeser slide hijau. Baru mau meletakkan di daun telinga, langsung dijauhkan ketika mendengar teriakan menggelegar di seberang telepon.
"ARJUNA MOLLARY! Kamu di mana? Dengan siapa? Lagi apa?" berondong Dika berteriak.
"Woilah. Kira-kira dong kalau ngomong. Itu mulut abis dikasih toa apa? Rusak nih gendang telinga," sahut Arjuna kesal.
"Abisnya lu tiba-tiba pergi tanpa alasan. Kan gue yang kena imbasnya, alhasil gue ngarang alur hidup lo biar nggak dipecat," sambung Dika tak kalah kesal.
"Hahaha! Awas aja kalau dibuat sad ending! Btw thanks ya, Bro. Aku mau lurusin jalan hidup dulu biar nggak nyasar. Aku percaya kamu bisa mengatasinya. Bye!" Arjuna segera mematikan sambungan teleponnya. Kembali fokus pada tujuan awalnya ke sana.
Sementara itu, Dika memaki-maki ponselnya karena mati tiba-tiba. Lebih tepatnya dimatiin sepihak oleh Arjuna.
Tak lama berselang, ponsel Arjuna kembali berdering. Tanpa melihat ID pemanggil, ia mengangkat panggilan tersebut.
"Apa lagi sih? Pokoknya kamu atur ajalah suka-suka kamu! Jangan ganggu aku dulu!" tandas Arjuna hendak mematikan ponselnya lagi. Namun diurungkan ketika mendengar pekikan suara yang amat dikenalnya.
"Arjuna!"
"I ... iya, Pa. Hadir," sahut Arjuna terbata.
"Apa maksudmu bicara seperti itu?" seru Papa.
"Eee ... maaf, Pa. Juna pikir tadi Dika yang telepon," ujar Arjuna menggaruk tengkuknya.
"Di mana kamu? Kata Bibi udah pergi sejak tiga hari yang lalu?" tanya Papa dengan suara lantang.
"Di Yogja, Pa," jawab Arjuna pelan.
"Ngapain kamu di Yogja? Jadi kamu mangkir kerja selama beberapa hari? Pulang sekarang! Kebiasaan kalau Papa lagi dinas semaunya sendiri. Tuman! " Klik!
"Tap ... tapi, Pa. Aaarggh!" kesal Arjuna menarik rambutnya. Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah terputus.
Helaan napas panjang terdengar dari mulut Arjuna. Ia melipat kedua lengannya. Dilema, pulang atau lanjut. Sudah kepalang tanggung, dan hampir menemukan jejak Meysa.
Seorang wanita paruh baya yang duduk di sampingnya, mengalihkan perhatian Arjuna. Ia nampak kesulitan bernapas, peluhnya membanjir di wajah wanita itu. Bibirnya pucat, tangannya terus menekan dadanya sembari meringis kesakitan.
"Bu, Anda kenapa?" tanya Arjuna menyentuh lengan wanita itu.
Bersambung~
Wanita baya itu menoleh sangat pelan, bibinya bergetar ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa terucap. Sampai pada akhirnya ibu itu pingsan. Dengan sigap Arjuna menopangnya.Lalu Arjuna beranjak dan merebahkan tubuhnya perlahan untuk memosisikan agar nyaman. Bukan di kursi, melainkan di trotoar. Karena letaknya yang datar dan keras. Ia berlutut sejajar dengan kepala dan bahu ibu tersebut.Sampai beberapa saat, Catuda Squad berbondong-bondong hendak berangkat ke pangkalan ojek, minus Ziya."Gengs, itu laki-laki yang kita tolong bukan?" Edi menunjuk ke arah Arjuna yang menghadap ke jalan raya."Iya betul. Eh eh, ngapain tuh orang. Gila mau bunuh orang di keramaian," cetus Sofyan menimpali.Mereka segera menghampiri Arjuna. Lalu segera turun dan memiting tangan Arjuna ke belakang."Mau ngapain kamu?" sembur Wahyu."Apaan sih, tolong ibu itu
"Atas nama adikku, saya benar-benar minta maaf. Langsung saja ini darurat. Apa kamu seorang dokter kardiologi?" tanya Reza tanpa basa basi setelah masuk ke ruang IGD.Arjuna mengangguk tanpa suara. Keduanya saling bersitatap, tampak sorot mata kesedihan dipancarkan oleh Reza. Dokter spesialis kanker itu mengembuskan napas lega. Ia seolah mendapat oksigen berlebih di sekitarnya setelah sedari tadi dadanya serasa sesak terhimpit beban yang sangat berat."Saya Reza, atas nama klinik ini saya mohon bantuanmu untuk menyelamatkan nyawa ibu saya sekali lagi. Ini sangat darurat. Kondisinya semakin melemah. Kepala divisi kardiologi sedang seminar di luar kota, dokter bedahnya mengalami kecelakaan." Reza menatap penuh permohonan.Arjuna berkerut kening, "Apa yang bisa saya bantu, Dok?" tanyanya.Hembusan napas kasar Reza terdengar menggelitik indera pendengaran. "Tolong operasi ibuku," ucap Reza lirih menepuk
Arjuna masih menangis, tanpa mempedulikan pertanyaan Ziya. Pandangannya menunduk tak mau beralih, seolah lantai itu adalah sesuatu yang sangat menarik."Kak! Tolong katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Ziya menarik-narik baju Arjuna.Pria itu masih diam saja, ia terus mengabaikan Ziya yang terus berteriak di sampingnya. Sampai pada akhirnya, Arjuna beranjak dari duduknya. Berjalan gontai entah kemana.Ziya menarik lengan Arjuna, "Apa yang Anda lakukan pada ibu saya!" geram Ziya berteriak.Arjuna hanya melirik lengannya, menatap Ziya yang berlinang air mata. Juna masih merasakan sesak di dadanya. Tenggorokannya masih tercekat.Pintu operasi terbuka, semua perawat mendorong brankar dengan senyum mengukir wajah mereka. Mengangguk ketika melihat Ziya."Ibu," sapanya melepas lengan Arjuna mendekati brankar."Operasi berhasil, beliau masih di bawah pengaruh bius. Aka
Klontang!Sendok yang digenggam Arjuna tetiba terlepas dari tangannya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak baik. Tapi ia sendiri pun tak tahu apa itu.Rio dan Reza beralih pandang pada pria itu. Pandangannya mendadak kosong. Sebuah senggolan di lengannya membuyarkan lamunannya."Ada apa, Jun?" tanya Reza khawatir."Eh, enggak apa-apa, Za." Arjuna meneguk segelas air putih dalam 4 kali tegukan besar."Kalau gitu, aku mandi dulu, Kak," ucap Rio bergegas meninggalkan ruang makan.Arjuna nampak sudah tak berselera makan. Ia meletakkan sendoknya. Mengembuskan napas beratnya berulang kali."Mungkin kamu lelah, beristirahatlah. Bibi sudah menyiapkan kamar tamu untukmu," terang Reza."Iya, terima kasih," balas Arjuna beranjak menuju kamarnya.Tubuhnya yang memang terasa amat letih, membuat Arjuna cepat terlelap. Melemaskan otot-oto
Sudah beberapa jam berlalu, Arjuna masih bergelut dengan pikiran dan hatinya. Ia memutuskan keluar kamar, tak sengaja berpapasan dengan Ziya yang mau ke dapur."Eh! Mau ke mana, Kak?" tanya Ziya. Matanya yang tadi mengantuk tiba-tiba melek lagi."Cari angin," balas Arjuna singkat.Ziya melihat jam dinding masih menunjukkan pukul 2 malam. "He? Tengah malam mau cari angin di mana? ACnya mati?" ucap Ziya lagi.Namun tak membalas lagi, Arjuna melenggang ke dapur. Ia mulai membuka kulkas dan menuangkan air putih lalu meneguknya dengan cepat. Ziya yang tadinya ingin minum pun mengikutinya.Setelahnya, Arjuna tak langsung kembali ke kamar. Ia duduk di kursi makan tak jauh dari dapur. Kedua lengannya menopang dagunya."Apa yang sedang kakak pikirkan?" tanya Ziya memperhatikan sedari tadi."Bukan urusanmu!" jawab Arjuna tanpa menoleh.'Lah, perasaa
Langkah kaki tanpa suara, dengan pandangan lurus ke depan, senyum yang tak lepas dari bibirnya menyapa siapa saja orang yang dikenalnya.Ziya Thalia, perempuan tegas dan tidak bisa feminim seperti wanita pada umumnya, mulai menyesuaikan diri dengan dunia perkuliahan. Namun ia benci pada pria yang agresif dan terang-terangan mendekatinya.Baru saja memarkirkan motor matic dan melepaskan helm, seseorang menepuk bahunya. Sontak Ziya memutar pandangan menatap sang pemilik tangan."Ih, apaan sih Al pegang-pegang! Bukan muhrim tahu!" tandas Ziya pada Alvin--teman satu kelasnya, sembari menepis tangan pria itu."Yaelah, Zi jangan galak-galak napa sama Abang," ujar Alvin terus menggodanya.Ziya memutar bola matanya malas. Kalau saja teman-temannya kuliah juga, sudah tak berbentuk tuh muka. Malah, bisa jadi rata kali dihabisi para Catuda.'Hemm ... jadi rindu kalian,' gumam Ziya melangkah masuk kelas.Walau dicuekin, Alvin tak gentar untuk ter
Juna mengerutkan alisnya. Pasalnya tiba-tiba malam-malam begini Ziya telepon. Banyak pertanyaan di benaknya. Namun baru sepersekian detik dingkatnya, sambungan terputus. Bahkan mati ketika ditelepon balik."Ada apa, ya? Ah mungkin mau mastiin aja kali lusa aku dateng apa nggak," pikir Arjuna meletakkan kembali ponselnya lalu merebahkan tubuhnya dan tidur.Sementara itu, Ziya masih gemetaran dipelukan Alvin. Pria itu lalu melepas jaketnya dan dipakaikan pada Ziya. Alvin keluar dari gudang memapah Ziya. Pandangannya mengedar mendapati tas dan seisinya berhamburan di jalan yang amat sepi tersebut."Udah, tenang aja. Ada aku, okay?" ucap Alvin menenangkan Ziya. Gadis itu hanya mengangguk, sesekali menyeka air mata yang berjatuhan."Jangan tinggal," rengek Ziya ketika Alvin hendak memunguti barang-barangnya."Aku mau ambilin tas kamu. Tuh bukunya juga. Bentar, tenang aja. Temen-temenku pasti ud
"Zii? Zizi? Ziya?" seloroh Arjuna melambaikan tangan, memanggil Ziya yang lagi-lagi terbengong."Eh," Ziya terkejut. Ia pun jadi salah tingkah karena ketahuan menatap Arjuna sedari tadi.Ziya mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Jemarinya menyelipkan anak rambutnya yang tidak berantakan ke belakang telinga. Ia juga meraih gelas dan minum untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering."Segitunya liatin aku. Naksir ya?" goda Arjuna melipat kedua lengannya di atas meja, sambil tersenyum lebar pada Ziya. Memperlihatkan kedua lesung pipinya."Apaan sih. Tadi, tanya apa, Kak? Maaf lagi nggak fokus," elak Ziya tidak berani menatap manik sang lawan bicara."Eemm ... kenapa kemarin malam-malam telepon? Aku telepon balik tapi nggak tersambung," tanya Arjuna kembali melanjutkan makannya.Ziya terdiam, ingatannya berputar pada kejadian malam itu. Tubuhnya kembali ge