"Dok?" Seorang perawat menyadarkan lamunan Reza.
"Eh, iya." Reza melihat hasil diagnosisnya. Lalu kembali melakukan pemeriksaan lebih detail untuk menetapkan diagnosis dan jenis penyakitnya.
Reza melakukan beberapa tes. Di antaranya tes darah dan tes sumsum tulang belakang. Setelah mengambil sampelnya, Reza meminta segera dibawa ke laboratorium.
"Pindahkan pasien ke rawat inap," titah Reza melenggang pergi keluar ruang IGD.
"Keluarga pasien?" ucap Reza berdiri di antara mereka.
"Kami orang tua Meysa, Dok. Bagaimana keadaannya?" Papa Meysa berdiri sambil memapah istrinya.
"Untuk sementara, pasien harus dirawat intensive sampai menunggu hasil lab keluar. Apakah sudah lama Meysa mengalami gejala seperti ini?" tanya Reza.
Mamanya kembali terisak, sedang tante Meysa yang turut mengantar gadis itu, bergegas ke tempat pendaftaran.
"Dokter, dia divonis leukimia. Baru 1,5 bulan ini dia merasakan sakit yang luar biasa. Sering pingsan dan mimisan. Sebelumnya, tidak pernah merasakan gejala apa pun. Dan Dokter bilang umurnya nggak panjang lagi, tolong sembuhkan putri saya, Dokter," jelas Papa dengan wajah sendu mendekap erat istrinya yang terus terisak.
Bukan pertama kalinya Reza menangani hal seperti ini. Ia menepuk bahu Papa Indra. "Pak, sehat, sakit, hidup dan mati adalah takdir Allah. Saya hanya perantara untuk berusaha menyembuhkannya. Selebihnya Allah yang menentukan hasilnya. Tolong Bapak dan Ibu yang kuat, berikan support untuk Meysa agar ia juga kuat menjalaninya."
"Kita tunggu hasil lab keluar, agar tahu jenis kanker apa yang menyerangnya. Dan tindakan apa yang akan kita tentukan, saya permisi dulu," imbuh Reza lalu melenggang pergi bersamaan Meysa yang dipindahkan ke ruang rawat inap.
****************
"Ziya! Lu nggak balik lagi? Ini nasib anak orang gimana?" tanya Sofyan melalui sambungan telepon.
"Udah malem, Bro. Mana boleh aku keluar. Kalian tolong jagain deh ampe pagi. Besok pagi-pagi banget aku ke sana. Tolong yah yah?" ujar Ziya dengan nada merayu.
"Dih, iya iya. Yaudah bye!" Sofyan mematikan ponselnya sebelum Ziya kembali menyahut.
"Iih nggak sopan sama anak gadis. Masa matiin telepon gitu aja!" gerutu Ziya melempar ponselnya di ranjang.
Ia turut melempar tubuhnya di kasur empuknya itu. Baru mau memejamkan mata, pintu kamarnya diketuk. Dengan malas, ia pun beranjak membukanya.
"Ziya, kamu belum mandi?" Pertanyaan itu terlontar kala sang ibu melihat Ziya masih memakai bajunya tadi pagi.
Ziya hanya menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Yaampun! Sana mandi dulu. Ibu mau bicara!" Ibu pun mendorong tubuh Ziya masuk lagi ke kamarnya.
Selang beberapa menit, Ziya sudah berganti baju. Wajahnya pun sudah terlihat lebih segar. Rambutnya dicepol ke atas. Ia mencari ibunya yang ternyata duduk di meja makan. Sudah ada Rio juga di sana. Reza yang tidak kelihatan.
"Ibu mau bicara apa?" tanya Ziya menyendok nasi beserta lauk di hadapannya.
"Tadi Abangmu Reza marah-marah kenapa?" tembak ibu.
Ziya mengangkat pandangannya. Menatap Rio dengan tajam. 'Pasti Kak Rio nih biang kerok. Dasar ember bocor saringan jebol! Nggak bisa apa diem pura-pura nggak tau,' gerutu Ziya dalam hati.
"Eeumm ... enggak apa, Bu. Kak Reza cuma meminta Ziya untuk kuliah kok. Awalnya Ziya nolak, makanya Kakak aampe marah-marah," tutur Ziya.
Rio sedari tadi tidak menatap adiknya yang seperti hendak mencincangnya hidup-hidup. Ia terus melahap santap malamnya. Ziya hanya khawatir ibunya terlalu banyak pikiran. Karenanya ia takut, jika ibu mendengar masalah anak-anaknya.
"Beneran cuma itu? Kok aku nggak yakin!" gumam Rio menatap Ziya.
'Cari mati nih. Dasar Rio, awas aja nanti gue puter, gue gulung terus gue celup-pin!' umpat Ziya kesal yang hanya ditahan dalam hatinya.
"Ziya, katakan sama ibu, Nak. Ibu nggak mau anak-anak ibu pada berantem," tutur ibu lembut menyentuh tangan Ziya.
"Ibuku sayang, beneran kok. Ziya sama Kak Reza baik-baik aja. Jangan mikir aneh-aneh ya, Bu. Kak Rio jangan ngomporin dong!" sentak Ziya pada kakaknya.
"Syukurlah kalau gitu. Ayo lanjutin lagi makannya," desah ibu penuh kelegaan.
Seusai santap malam, Ziya membantu ibunya membereskan meja makan. Lalu menghampiri Rio ke kamarnya.
"Brak!"
Pintu terbuka kasar membuat Rio terlonjak. Dia langsung menyerang kakaknya. Menindih dan memukul-mukul bahu Rio.
"Jangan ulangi lagi! Aku tuh nggak mau Ibu banyak pikiran. Sudah cukup penderitaan ibu. Bukannya bantu nutupin malah jadi kompor!" sentak Ziya penuh amarah.
Puas mengamuk, Ziya kembali ke kamarnya sebelum sang kakak melayangkan protes.
****************
Pagi-pagi sekali Ziya sudah berangkat menuju klinik kakaknya. Ia mampir di warung makan, membeli sarapan untuk teman-temannya.
"Hei. Udah sadar belum?" ujar Ziya berdiri di depan teman-temannya.
"Kita selalu sadar kelles," sahut Wahyu yang matanya merah.
"Bukan kamu iih. Dia yang di dalam." Ziya menunjuk ruangan di mana Arjuna dirawat.
"Dahlah, nih nih sarapan dulu biar fokus dan kuat hadapi segala jenis penumpang!" canda Ziya membagikan nasi pada teman-temannya.
Masih sisa satu, ia tujukan untuk Arjuna. Ziya sudah memegang handle pintu hendak melenggang masuk.
"Ziyaa! Aku padamu!" teriak teman-temannya kompak.
"Paan sih!" Ziya menggelengkan kepalanya menghilang di balik pintu.
Ziya melangkah perlahan, menuju ranjang Arjuna terbaring. Ternyata masih tidur. Gadis itu pun meletakkan bungkusan makanannya di atas nakas.
Matanya menelisik mengamati laki-laki di hadapannya. Bulu mata yang lentik, hidung yang mancung, alis dan rahang yang tegas membuatnya meneguk saliva.
"Tampan," gumamnya pelan tanpa mengedipkan mata.
Tiba-tiba Arjuna membuka matanya. Pandangannya langsung menggerjap, bersirobok dengan manik Ziya. Gadis itu terkejut, sontak terpundur beberapa langkah.
"Siapa kamu?" tanyanya dengan suara serak.
"Hai, kamu udah sadar. Kenalin, aku Ziya," sapanya dengan seulas senyum lalu mengulurkan tangannya.
Namun Arjuna cuma memicingkan mata melihatnya. Ia bahkan tidak membalas uluran tangan Ziya. Arjuna beranjak duduk, Ziya ingin membantunya, namun tangannya ditepis oleh Arjuna.
Mata pria itu mengeliling menyapu sekitarnya. Ruangan berwarna serba putih, lalu melihat tangannya diinfus dapat disimpulkan bahwa saat ini ia berada di rumah sakit atau sejenisnya.
"Kenapa aku bisa di sini," gumamnya mendesis merasakan nyeri-nyeri pada sekujur tubuhnya.
"Hah? Kamu nggak ingat kejadian kemarin? Lalu, kamu inget nggak siapa namamu? Atau jangan-jangan kamu amnesia. Tapi kepalamu nggak terbentur atau kena benda tumpul, bagaimana bisa amnesia?" cerocos Ziya tanpa jeda sambil mondar-mandir seperti setrikaan.
Mata Arjuna refleks mengikuti gerakan gadis itu. Dan itu membuatnya geram. "Woi! Diem nggak? Tambah pusing aku liatnya!" gerutu Arjuna memijat keningnya.
"Aku panggilin Dokter ya, Bang. Tunggu di sini! Jangan kemana-mana!" ucap Ziya mengacungkan jari telunjuk di depan Arjuna.
"Heh! Bang, Bang! Kamu pikir aku Abang tukang bakso apa?" sentak Arjuna menghentikan langkah Ziya.
Gadis itu berbalik, mendekati Arjuna lagi. "Lah terus mau dipanggil apa? Tadi diajak kenalan malah amnesia," cebik Ziya merasa kesal.
'Ni orang kagak ada rasa terima kasihnya, ganteng sih ganteng. Tapi attitude zonk!' gerutu Ziya dalam hati.
"Siapa yang amnesia? Aku 'kan cuma mengingat-ingat kenapa bisa sampai di sini. Bukan amnesia. Dasar Lampir," elak Arjuna seenaknya sendiri mengatai Ziya.
Ziya semakin dibuat naik darah. Ia berkacak pinggang, kepalanya mendongak dengan mengetatkan gerahamnya. "Apa kamu bilang? Lampir? Dasar gila, udah ditolongin bukannya terima kasih malah ngata-ngatain orang seenaknya!" pekik Ziya.
"DUAR!"
Ziya menendang nakas di samping Arjuna, membuat pria itu terjingkat karena terkejut. Ia mengelus dadanya yang berdetak kuat.
"Bar-bar banget sih jadi cewek! Aku sumpahin jadi perawan tua! Mana ada laki-laki yang mau sama cewek galak kayak kamu!" Lagi-lagi Arjuna tak henti menggoda Ziya.
"Sialan! Bener-bener kebangeten yah Lu, Bambang. Masih imut-imut gini dibilang perawan tua," geram Ziya mengumpat kesal.
Mendengar keributan rekan-rekannya bergegas masuk ke ruangan. Tadinya mereka hendak pulang, namun saat suara Ziya terdengar melengking di luar ruangan, membuat mereka mengurungkan niatnya. Takut terjadi apa-apa dengan perempuan yang sangat disayangi mereka. Buru-buru mereka masuk ruangan serentak.
"Ziya, ada apa?"
"Zii ... Lu nggak apa-apa?"
"Ziya, apa yang terjadi?"
"Kenapa teriak-teriak, Zi?"
Ucap mereka bergantian karena khawatir dengan keadaan Ziya. Apalagi melihat Ziya yang seolah ingin menelan orang hidup-hidup.
"Tau tuh si Bambang. Udah ditolongin nggak tau terima kasih malah ngata-ngatain! Mana nyumpahi pula. Tau gitu kita biarin aja kemarin biar tergeletak di pingging jalan. Terus dipatokin ama burung dara! Iih ngeselin. Dahlah aku pulang," gerutu Ziya melangkah keluar.
Kelima sahabat Ziya mengitari ranjang Arjuna. Jari jemarinya saling bertautan dan bergemelatuk. Leher mereka pun di gerakkan patah-patah, wajah mereka tampak tak bersahabat.
"Woy woy jangan main kroyokan dong! Apa-apaan nih!" Arjuna menyandarkan punggungnya terasa terintimidasi.
"Lu ngata-ngatain sahabat kita sama aja ngatain kita! Lu ngehina dia sama aja ngehina kita! Dan Lu mau ngelawan dia, sama aja Lu ngelawan kita!" tutur Sofyan menunjuk-nunjuk wajah Arjuna.
"Kalau nggak ada Ziya kamu pasti udah mati kemarin dihabisi preman kampung itu!" Wahyu menimpali.
"Yup, dan kalau bukan karena Ziya kami juga nggak bakal sudi nolongin Lo!" imbuh Wahyu melipat kedua lengannya.
'Ebuset komplotan cewek bar-bar itu banyak banget. Jadi bener dia nolongin aku? Oh iya ya, aku baru inget kemarin dikeroyok sama preman-preman. Tapi abis itu nggak tau lagi. Tunggu! Aku juga sempat melihat Meysa. Lalu di mana dia sekarang?' Arjuna nampak berpikir keras bergumam dalam hatinya.
Bersambung~
Jam pulang sudah terlewati, namun Reza tidak beranjak dari tempat duduknya. Menunggu hasil laborat seorang pasien yang pernah ditolong oleh adiknya. Meski ia tidak begitu mengenal Meysa. Namun hati kecilnya ingin membantu penyembuhannya.Terdengar suara pintu yang diketuk. Lalu menyembullah seorang perawat membawakan hasil yang dia tunggu-tunggu sejak semalam. Biasanya membutuhkan waktu berhari-hari. Namun, ia terus mendesak agar segera ditangani."Permisi, Dok. Ini hasilnya," ucap perawat itu menyerahkan sebuah stopmap."Terima kasih. Oh iya tolong panggilkan orang tua pasien kemari," titah Reza."Baik, Dok. Permisi." Perawat itu undur diri.Sedangkan Reza mengambil kaca matanya untuk mengamati dan membaca hasil pemeriksaan Meysa. Setiap kata dan angka ia cerna dengan baik. Agar tidak ada kesalahan dalam menetapkan diagnosis.Keningnya berkerut dalam, menandakan ia sangat serius ka
Wanita baya itu menoleh sangat pelan, bibinya bergetar ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa terucap. Sampai pada akhirnya ibu itu pingsan. Dengan sigap Arjuna menopangnya.Lalu Arjuna beranjak dan merebahkan tubuhnya perlahan untuk memosisikan agar nyaman. Bukan di kursi, melainkan di trotoar. Karena letaknya yang datar dan keras. Ia berlutut sejajar dengan kepala dan bahu ibu tersebut.Sampai beberapa saat, Catuda Squad berbondong-bondong hendak berangkat ke pangkalan ojek, minus Ziya."Gengs, itu laki-laki yang kita tolong bukan?" Edi menunjuk ke arah Arjuna yang menghadap ke jalan raya."Iya betul. Eh eh, ngapain tuh orang. Gila mau bunuh orang di keramaian," cetus Sofyan menimpali.Mereka segera menghampiri Arjuna. Lalu segera turun dan memiting tangan Arjuna ke belakang."Mau ngapain kamu?" sembur Wahyu."Apaan sih, tolong ibu itu
"Atas nama adikku, saya benar-benar minta maaf. Langsung saja ini darurat. Apa kamu seorang dokter kardiologi?" tanya Reza tanpa basa basi setelah masuk ke ruang IGD.Arjuna mengangguk tanpa suara. Keduanya saling bersitatap, tampak sorot mata kesedihan dipancarkan oleh Reza. Dokter spesialis kanker itu mengembuskan napas lega. Ia seolah mendapat oksigen berlebih di sekitarnya setelah sedari tadi dadanya serasa sesak terhimpit beban yang sangat berat."Saya Reza, atas nama klinik ini saya mohon bantuanmu untuk menyelamatkan nyawa ibu saya sekali lagi. Ini sangat darurat. Kondisinya semakin melemah. Kepala divisi kardiologi sedang seminar di luar kota, dokter bedahnya mengalami kecelakaan." Reza menatap penuh permohonan.Arjuna berkerut kening, "Apa yang bisa saya bantu, Dok?" tanyanya.Hembusan napas kasar Reza terdengar menggelitik indera pendengaran. "Tolong operasi ibuku," ucap Reza lirih menepuk
Arjuna masih menangis, tanpa mempedulikan pertanyaan Ziya. Pandangannya menunduk tak mau beralih, seolah lantai itu adalah sesuatu yang sangat menarik."Kak! Tolong katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Ziya menarik-narik baju Arjuna.Pria itu masih diam saja, ia terus mengabaikan Ziya yang terus berteriak di sampingnya. Sampai pada akhirnya, Arjuna beranjak dari duduknya. Berjalan gontai entah kemana.Ziya menarik lengan Arjuna, "Apa yang Anda lakukan pada ibu saya!" geram Ziya berteriak.Arjuna hanya melirik lengannya, menatap Ziya yang berlinang air mata. Juna masih merasakan sesak di dadanya. Tenggorokannya masih tercekat.Pintu operasi terbuka, semua perawat mendorong brankar dengan senyum mengukir wajah mereka. Mengangguk ketika melihat Ziya."Ibu," sapanya melepas lengan Arjuna mendekati brankar."Operasi berhasil, beliau masih di bawah pengaruh bius. Aka
Klontang!Sendok yang digenggam Arjuna tetiba terlepas dari tangannya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak baik. Tapi ia sendiri pun tak tahu apa itu.Rio dan Reza beralih pandang pada pria itu. Pandangannya mendadak kosong. Sebuah senggolan di lengannya membuyarkan lamunannya."Ada apa, Jun?" tanya Reza khawatir."Eh, enggak apa-apa, Za." Arjuna meneguk segelas air putih dalam 4 kali tegukan besar."Kalau gitu, aku mandi dulu, Kak," ucap Rio bergegas meninggalkan ruang makan.Arjuna nampak sudah tak berselera makan. Ia meletakkan sendoknya. Mengembuskan napas beratnya berulang kali."Mungkin kamu lelah, beristirahatlah. Bibi sudah menyiapkan kamar tamu untukmu," terang Reza."Iya, terima kasih," balas Arjuna beranjak menuju kamarnya.Tubuhnya yang memang terasa amat letih, membuat Arjuna cepat terlelap. Melemaskan otot-oto
Sudah beberapa jam berlalu, Arjuna masih bergelut dengan pikiran dan hatinya. Ia memutuskan keluar kamar, tak sengaja berpapasan dengan Ziya yang mau ke dapur."Eh! Mau ke mana, Kak?" tanya Ziya. Matanya yang tadi mengantuk tiba-tiba melek lagi."Cari angin," balas Arjuna singkat.Ziya melihat jam dinding masih menunjukkan pukul 2 malam. "He? Tengah malam mau cari angin di mana? ACnya mati?" ucap Ziya lagi.Namun tak membalas lagi, Arjuna melenggang ke dapur. Ia mulai membuka kulkas dan menuangkan air putih lalu meneguknya dengan cepat. Ziya yang tadinya ingin minum pun mengikutinya.Setelahnya, Arjuna tak langsung kembali ke kamar. Ia duduk di kursi makan tak jauh dari dapur. Kedua lengannya menopang dagunya."Apa yang sedang kakak pikirkan?" tanya Ziya memperhatikan sedari tadi."Bukan urusanmu!" jawab Arjuna tanpa menoleh.'Lah, perasaa
Langkah kaki tanpa suara, dengan pandangan lurus ke depan, senyum yang tak lepas dari bibirnya menyapa siapa saja orang yang dikenalnya.Ziya Thalia, perempuan tegas dan tidak bisa feminim seperti wanita pada umumnya, mulai menyesuaikan diri dengan dunia perkuliahan. Namun ia benci pada pria yang agresif dan terang-terangan mendekatinya.Baru saja memarkirkan motor matic dan melepaskan helm, seseorang menepuk bahunya. Sontak Ziya memutar pandangan menatap sang pemilik tangan."Ih, apaan sih Al pegang-pegang! Bukan muhrim tahu!" tandas Ziya pada Alvin--teman satu kelasnya, sembari menepis tangan pria itu."Yaelah, Zi jangan galak-galak napa sama Abang," ujar Alvin terus menggodanya.Ziya memutar bola matanya malas. Kalau saja teman-temannya kuliah juga, sudah tak berbentuk tuh muka. Malah, bisa jadi rata kali dihabisi para Catuda.'Hemm ... jadi rindu kalian,' gumam Ziya melangkah masuk kelas.Walau dicuekin, Alvin tak gentar untuk ter
Juna mengerutkan alisnya. Pasalnya tiba-tiba malam-malam begini Ziya telepon. Banyak pertanyaan di benaknya. Namun baru sepersekian detik dingkatnya, sambungan terputus. Bahkan mati ketika ditelepon balik."Ada apa, ya? Ah mungkin mau mastiin aja kali lusa aku dateng apa nggak," pikir Arjuna meletakkan kembali ponselnya lalu merebahkan tubuhnya dan tidur.Sementara itu, Ziya masih gemetaran dipelukan Alvin. Pria itu lalu melepas jaketnya dan dipakaikan pada Ziya. Alvin keluar dari gudang memapah Ziya. Pandangannya mengedar mendapati tas dan seisinya berhamburan di jalan yang amat sepi tersebut."Udah, tenang aja. Ada aku, okay?" ucap Alvin menenangkan Ziya. Gadis itu hanya mengangguk, sesekali menyeka air mata yang berjatuhan."Jangan tinggal," rengek Ziya ketika Alvin hendak memunguti barang-barangnya."Aku mau ambilin tas kamu. Tuh bukunya juga. Bentar, tenang aja. Temen-temenku pasti ud