Share

Bab 9 Tidak Tahu Diri

"Dok?" Seorang perawat menyadarkan lamunan Reza.

"Eh, iya." Reza melihat hasil diagnosisnya. Lalu kembali melakukan pemeriksaan lebih detail untuk menetapkan diagnosis dan jenis penyakitnya.

Reza melakukan beberapa tes. Di antaranya tes darah dan tes sumsum tulang belakang. Setelah mengambil sampelnya, Reza meminta segera dibawa ke laboratorium.

"Pindahkan pasien ke rawat inap," titah Reza melenggang pergi keluar ruang IGD.

"Keluarga pasien?" ucap Reza berdiri di antara mereka.

"Kami orang tua Meysa, Dok. Bagaimana keadaannya?" Papa Meysa berdiri sambil memapah istrinya.

"Untuk sementara, pasien harus dirawat intensive sampai menunggu hasil lab keluar. Apakah sudah lama Meysa mengalami gejala seperti ini?" tanya Reza.

Mamanya kembali terisak, sedang tante Meysa yang turut mengantar gadis itu, bergegas ke tempat pendaftaran.

"Dokter, dia divonis leukimia. Baru 1,5 bulan ini dia merasakan sakit yang luar biasa. Sering pingsan dan mimisan. Sebelumnya, tidak pernah merasakan gejala apa pun. Dan Dokter bilang umurnya nggak panjang lagi, tolong sembuhkan putri saya, Dokter," jelas Papa dengan wajah sendu mendekap erat istrinya yang terus terisak.

Bukan pertama kalinya Reza menangani hal seperti ini. Ia menepuk bahu Papa Indra. "Pak, sehat, sakit, hidup dan mati adalah takdir Allah. Saya hanya perantara untuk berusaha menyembuhkannya. Selebihnya Allah yang menentukan hasilnya. Tolong Bapak dan Ibu yang kuat, berikan support untuk Meysa agar ia juga kuat menjalaninya."

"Kita tunggu hasil lab keluar, agar tahu jenis kanker apa yang menyerangnya. Dan tindakan apa yang akan kita tentukan, saya permisi dulu," imbuh Reza lalu melenggang pergi bersamaan Meysa yang dipindahkan ke ruang rawat inap.

****************

"Ziya! Lu nggak balik lagi? Ini nasib anak orang gimana?" tanya Sofyan melalui sambungan telepon.

"Udah malem, Bro. Mana boleh aku keluar. Kalian tolong jagain deh ampe pagi. Besok pagi-pagi banget aku ke sana. Tolong yah yah?" ujar Ziya dengan nada merayu.

"Dih, iya iya. Yaudah bye!" Sofyan mematikan ponselnya sebelum Ziya kembali menyahut.

"Iih nggak sopan sama anak gadis. Masa matiin telepon gitu aja!" gerutu Ziya melempar ponselnya di ranjang.

Ia turut melempar tubuhnya di kasur empuknya itu. Baru mau memejamkan mata, pintu kamarnya diketuk. Dengan malas, ia pun beranjak membukanya.

"Ziya, kamu belum mandi?" Pertanyaan itu terlontar kala sang ibu melihat Ziya masih memakai bajunya tadi pagi.

Ziya hanya menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Yaampun! Sana mandi dulu. Ibu mau bicara!" Ibu pun mendorong tubuh Ziya masuk lagi ke kamarnya.

Selang beberapa menit, Ziya sudah berganti baju. Wajahnya pun sudah terlihat lebih segar. Rambutnya dicepol ke atas. Ia mencari ibunya yang ternyata duduk di meja makan. Sudah ada Rio juga di sana. Reza yang tidak kelihatan.

"Ibu mau bicara apa?" tanya Ziya menyendok nasi beserta lauk di hadapannya.

"Tadi Abangmu Reza marah-marah kenapa?" tembak ibu.

Ziya mengangkat pandangannya. Menatap Rio dengan tajam. 'Pasti Kak Rio nih biang kerok. Dasar ember bocor saringan jebol! Nggak bisa apa diem pura-pura nggak tau,' gerutu Ziya dalam hati.

"Eeumm ... enggak apa, Bu. Kak Reza cuma meminta Ziya untuk kuliah kok. Awalnya Ziya nolak, makanya Kakak aampe marah-marah," tutur Ziya.

Rio sedari tadi tidak menatap adiknya yang seperti hendak mencincangnya hidup-hidup. Ia terus melahap santap malamnya. Ziya hanya khawatir ibunya terlalu banyak pikiran. Karenanya ia takut, jika ibu mendengar masalah anak-anaknya.

"Beneran cuma itu? Kok aku nggak yakin!" gumam Rio menatap Ziya.

'Cari mati nih. Dasar Rio, awas aja nanti gue puter, gue gulung terus gue celup-pin!' umpat Ziya kesal yang hanya ditahan dalam hatinya.

"Ziya, katakan sama ibu, Nak. Ibu nggak mau anak-anak ibu pada berantem," tutur ibu lembut menyentuh tangan Ziya.

"Ibuku sayang, beneran kok. Ziya sama Kak Reza baik-baik aja. Jangan mikir aneh-aneh ya, Bu. Kak Rio jangan ngomporin dong!" sentak Ziya pada kakaknya.

"Syukurlah kalau gitu. Ayo lanjutin lagi makannya," desah ibu penuh kelegaan.

Seusai santap malam, Ziya membantu ibunya membereskan meja makan. Lalu menghampiri Rio ke kamarnya.

"Brak!"

Pintu terbuka kasar membuat Rio terlonjak. Dia langsung menyerang kakaknya. Menindih dan memukul-mukul bahu Rio.

"Jangan ulangi lagi! Aku tuh nggak mau Ibu banyak pikiran. Sudah cukup penderitaan ibu. Bukannya bantu nutupin malah jadi kompor!" sentak Ziya penuh amarah.

Puas mengamuk, Ziya kembali ke kamarnya sebelum sang kakak melayangkan protes.

****************

Pagi-pagi sekali Ziya sudah berangkat menuju klinik kakaknya. Ia mampir di warung makan, membeli sarapan untuk teman-temannya.

"Hei. Udah sadar belum?" ujar Ziya berdiri di depan teman-temannya.

"Kita selalu sadar kelles," sahut Wahyu yang matanya merah.

"Bukan kamu iih. Dia yang di dalam." Ziya menunjuk ruangan di mana Arjuna dirawat.

"Dahlah, nih nih sarapan dulu biar fokus dan kuat hadapi segala jenis penumpang!" canda Ziya membagikan nasi pada teman-temannya.

Masih sisa satu, ia tujukan untuk Arjuna. Ziya sudah memegang handle pintu hendak melenggang masuk.

"Ziyaa! Aku padamu!" teriak teman-temannya kompak.

"Paan sih!" Ziya menggelengkan kepalanya menghilang di balik pintu.

Ziya melangkah perlahan, menuju ranjang Arjuna terbaring. Ternyata masih tidur. Gadis itu pun meletakkan bungkusan makanannya di atas nakas.

Matanya menelisik mengamati laki-laki di hadapannya. Bulu mata yang lentik, hidung yang mancung, alis dan rahang yang tegas membuatnya meneguk saliva.

"Tampan," gumamnya pelan tanpa mengedipkan mata.

Tiba-tiba Arjuna membuka matanya. Pandangannya langsung menggerjap, bersirobok dengan manik Ziya. Gadis itu terkejut, sontak terpundur beberapa langkah.

"Siapa kamu?" tanyanya dengan suara serak.


"Hai, kamu udah sadar. Kenalin, aku Ziya," sapanya dengan seulas senyum lalu mengulurkan tangannya.

Namun Arjuna cuma memicingkan mata melihatnya. Ia bahkan tidak membalas uluran tangan Ziya. Arjuna beranjak duduk, Ziya ingin membantunya, namun tangannya ditepis oleh Arjuna.

Mata pria itu mengeliling menyapu sekitarnya. Ruangan berwarna serba putih, lalu melihat tangannya diinfus dapat disimpulkan bahwa saat ini ia berada di rumah sakit atau sejenisnya.

"Kenapa aku bisa di sini," gumamnya mendesis merasakan nyeri-nyeri pada sekujur tubuhnya.

"Hah? Kamu nggak ingat kejadian kemarin? Lalu, kamu inget nggak siapa namamu? Atau jangan-jangan kamu amnesia. Tapi kepalamu nggak terbentur atau kena benda tumpul, bagaimana bisa amnesia?" cerocos Ziya tanpa jeda sambil mondar-mandir seperti setrikaan.

Mata Arjuna refleks mengikuti gerakan gadis itu. Dan itu membuatnya geram. "Woi! Diem nggak? Tambah pusing aku liatnya!" gerutu Arjuna memijat keningnya.

"Aku panggilin Dokter ya, Bang. Tunggu di sini! Jangan kemana-mana!" ucap Ziya mengacungkan jari telunjuk di depan Arjuna.

"Heh! Bang, Bang! Kamu pikir aku Abang tukang bakso apa?" sentak Arjuna menghentikan langkah Ziya.

Gadis itu berbalik, mendekati Arjuna lagi. "Lah terus mau dipanggil apa? Tadi diajak kenalan malah amnesia," cebik Ziya merasa kesal.

'Ni orang kagak ada rasa terima kasihnya, ganteng sih ganteng. Tapi attitude zonk!' gerutu Ziya dalam hati.

"Siapa yang amnesia? Aku 'kan cuma mengingat-ingat kenapa bisa sampai di sini. Bukan amnesia. Dasar Lampir," elak Arjuna seenaknya sendiri mengatai Ziya.

Ziya semakin dibuat naik darah. Ia berkacak pinggang, kepalanya mendongak dengan mengetatkan gerahamnya. "Apa kamu bilang? Lampir? Dasar gila, udah ditolongin bukannya terima kasih malah ngata-ngatain orang seenaknya!" pekik Ziya.

"DUAR!"

Ziya menendang nakas di samping Arjuna, membuat pria itu terjingkat karena terkejut. Ia mengelus dadanya yang berdetak kuat.

"Bar-bar banget sih jadi cewek! Aku sumpahin jadi perawan tua! Mana ada laki-laki yang mau sama cewek galak kayak kamu!" Lagi-lagi Arjuna tak henti menggoda Ziya.

"Sialan! Bener-bener kebangeten yah Lu, Bambang. Masih imut-imut gini dibilang perawan tua," geram Ziya mengumpat kesal.

Mendengar keributan rekan-rekannya bergegas masuk ke ruangan. Tadinya mereka hendak pulang, namun saat suara Ziya terdengar melengking di luar ruangan, membuat mereka mengurungkan niatnya. Takut terjadi apa-apa dengan perempuan yang sangat disayangi mereka. Buru-buru mereka masuk ruangan serentak.

"Ziya, ada apa?"

"Zii ... Lu nggak apa-apa?"

"Ziya, apa yang terjadi?"

"Kenapa teriak-teriak, Zi?"

Ucap mereka bergantian karena khawatir dengan keadaan Ziya. Apalagi melihat Ziya yang seolah ingin menelan orang hidup-hidup.

"Tau tuh si Bambang. Udah ditolongin nggak tau terima kasih malah ngata-ngatain! Mana nyumpahi pula. Tau gitu kita biarin aja kemarin biar tergeletak di pingging jalan. Terus dipatokin ama burung dara! Iih ngeselin. Dahlah aku pulang," gerutu Ziya melangkah keluar.

Kelima sahabat Ziya mengitari ranjang Arjuna. Jari jemarinya saling bertautan dan bergemelatuk. Leher mereka pun di gerakkan patah-patah, wajah mereka tampak tak bersahabat.

"Woy woy jangan main kroyokan dong! Apa-apaan nih!" Arjuna menyandarkan punggungnya terasa terintimidasi.

"Lu ngata-ngatain sahabat kita sama aja ngatain kita! Lu ngehina dia sama aja ngehina kita! Dan Lu mau ngelawan dia, sama aja Lu ngelawan kita!" tutur Sofyan menunjuk-nunjuk wajah Arjuna.

"Kalau nggak ada Ziya kamu pasti udah mati kemarin dihabisi preman kampung itu!" Wahyu menimpali.

"Yup, dan kalau bukan karena Ziya kami juga nggak bakal sudi nolongin Lo!" imbuh Wahyu melipat kedua lengannya.

'Ebuset komplotan cewek bar-bar itu banyak banget. Jadi bener dia nolongin aku? Oh iya ya, aku baru inget kemarin dikeroyok sama preman-preman. Tapi abis itu nggak tau lagi. Tunggu! Aku juga sempat melihat Meysa. Lalu di mana dia sekarang?' Arjuna nampak berpikir keras bergumam dalam hatinya.

Bersambung~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status