"Ziya, yang sopan kamu sama tamu!" tegur Rio pada adiknya dengan tatapan tak suka. Ia takut akan menimbulkan ketidaknyamanan pada gadis di sebelahnya.
"Iih, aku 'kan cuma nanya. Kenalin, Kak, aku Ziya. Adeknya Rio yang paling imut manis seantero desa ini," cetus Ziya mengulurkan tangannya.
Belum sampai dibalas, Rio segera menepis tangan Ziya. Pria itu menatapnya tajam, membuat Ziya bergidik dan mengapit kedua bibirnya. Menandakan dia akan berhenti berbicara.
"Ziya, kamu mandi dulu, Nak. Keburu habis waktu maghribnya." Ibu Resi memperingatkan dengan lembut.
Akhirnya Ziya beranjak dari duduknya. Bersungut kesal pada sang kakak yang suka bersikap semena-mena dan pemaksa. Saat melangkah melalui wanita yang dianggap asing itu, tiba-tiba lengannya disergap.
"Aku Meysa," tuturnya lembut tersenyum manis.
"Ah, cantik sekali. Senang bisa kenal sama Kakak yang lembut dan baik hati," celetuk Ziya tertawa kecil.
"Ehm!" Deheman Rio membuyarkan tatapan kedua wanita itu.
Seketika Ziya lari terbirit-birit, takut jika kakaknya murka. Meysa tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Maaf ya, Mey. Adikku terlalu banyak bicara," ujar Rio merasa tak enak hati.
"Nggak apa, dia lucu," sahut Meysa.
Tak lama, Ziya kembali duduk di meja makan. Ikut bergabung dengan keluarganya. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mandi ala bebek.
"Pake sabun nggak kamu mandinya? Cepet amat!" cibir Rio memicingkan mata.
"Pake lah. Eh ya, Bu, Kak. Nanti diajak temen-temen makan di luar boleh nggak?" ujar Ziya memohon.
Ibu Resi mengambilkan putri bawelnya itu nasi beserta lauk pauknya. Lalu meletakkannya di hadapan Ziya.
"Makasih, ibuku Sayang." Ziya memeluk sang ibu.
"Heleh, modus!" sindir Rio.
"Apa? Aku emang sayang sama ibu kok," sanggah Ziya tidak terima.
Meysa hanya terkekeh melihat dua saudara itu saling sindir. Meski begitu terpancar kasih sayang antar keduanya.
"Sudah, sudah ayo makan. Meysa, jangan dengerin mereka, Nak. Mereka emang gitu. Suka kaya kucing sama tikus kalau ketemu," celetuk Ibu Resi setelah meneguk air putih.
"Iya, Bu," sahut Meysa tersenyum.
Sesudah santap malam, Meysa berpamitan pulang diantar oleh Rio. Sedang Ziya bersama ibunya masih duduk di depan TV sambil memakan keripik kentang favoritnya.
"Bu, siapa Meysa itu? Di mana rumahnya? Kenapa bisa ada di sini? Apa dia calon kakak iparku?" tanya Ziya beruntun bersandar manja pada bahu ibunya.
****************
Di sisi lain, Arjuna sedang mengepak baju-bajunya ke dalam tas ransel miliknya. Emosi yang masih bergelayut, membakar hatinya membulatkan tekad untuk mencari Meysa hari itu juga. Tak sabar menunggu hari esok.
"Mas Juna mau ke mana?" tanya Bibi yang menyiapkan makan malam.
"Pergi. Bibi, tolong sampein ke Papa kalau sudah pulang. Aku ke luar kota beberapa hari ke depan. Mau ngabarin sekarang takut ganggu," jelas Arjuna. "Titip rumah ya, Bi," imbuhnya lagi melangkah panjang keluar rumah.
"Iya, Mas. Eh tapi luar kotanya di mana ya, Mas?" tanya Bibi setengah berlari mengejarnya.
"Mau ke Yogja, Bi," ujar Arjuna singkat.
Tanpa memedulikan pertanyaan ARTnya lagi, Arjuna dengan cepat menuju garasi. Merapatkan jaketnya, memakai atribut jalan raya, seperti helm, masker juga sarung tangan. Ia lalu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
"Aku harus memastikannya sendiri. Aku yakin kamu nggak akan sejahat itu, Mey," gumam Arjuna.
"Tunggu aku Meysa Adriana," imbuhnya lagi menambah laju kecepatan motornya.
"Anak ibu kok jadi kepo gini?" ujar Ibu membelai rambut Ziya.
Seketika Ziya menjauhkan diri dari ibunya. Kedua alisnya saling bertaut. Bibirnya tertawa kecil. "Ibu tau kata kepo dari mana? Gaul amat, Bu," sindir Ziya pada ibunya kembali bersandar.
"Ibu 'kan belajar dari kamu," cetus Ibu mencubit hidung putrinya gemas.
"Jadi?"
"Jadi apa?" sahut ibu.
"Iiih ibu! Meysa itu siapa?" ulang Ziya dengan gemas.
"Mmm ... kata abangmu sih temen. Tadi Meysa pingsan di jalan, terus ditolongin sama Rio, abis diperiksa mampir dulu ke rumah karena udah magrib," jelas ibu yang masih membuat Ziya tidak puas dengan jawaban itu.
Tak berapa lama, terdengar ketukan pintu dari luar. Ziya beranjak dari duduknya, bergegas membukanya. Tampak kelima sohib yang kesemuanya laki-laki itu meringis melihatkan deretan gigi putih mereka.
"Kok belum siap sih Zi?" protes Farid yang melihat Ziya masih mengenakan baju rumahan. Kaos kedodoran dan celana kombrong selutut.
"Lah, aku mah siap aja. Tinggal nunggu izin dari ibu. Buru sana! Tuh ibu lagi nonton tv." Ziya menggerakkan dagu tepat dimana sang ibu berada.
Semuanya serempak masuk menemui ibu. Satu per satu mencium punggung tangan beliau. Mereka memang sudah dekat sejak lama. Kelima pria tampan itu, sering berhadapan dengan Ibu Resi juga Rio, abangnya. Kalau dua orang itu sih masih bisa teratasi. Tapi jika berhadapan dengan Reza, kakak pertama Ziya, mengkeret dah semuanya.
Farid pun memulai pembicaraan, meminta izin agar Ziya diperbolehkan keluar bersama mereka.
"Mau ngapain sih? Bukannya sehari-hari kalian itu udah kumpul. Masih kurang apa?" Ibu melipat kedua lengannya. Menilik satu persatu teman-teman Ziya.
"Eeem ... beda, Bu, kalau sehari-hari 'kan kita kerja. Tapi kalau malam 'kan kita santai, Bu," sahut Wahyu takut-takut.
"Yaudah! Kembalikan Ziya sebelum jam 9 malam. Dan jangan sampai kurang satu apa pun. Kalau ada yang lecet dikit aja, ibu sunat kalian semua!" ancam Ibu Resi tegas.
Mereka semua terlonjak dan bergidik. Refleks memyentuh harta karun masing-masing. "Abis dong, Bu. Hahaha!" celetuk Ziya cekikikan yang mendengar ancaman ibunya.
"Biar abis sekalian. Ibu percayakan sama kalian. Jangan pernah sekalipun mengajak Ziya ke jalan yang nggak bener!" tegasnya lagi.
"Siap, Bu!" jawab mereka serempak.
Karena memang sudah lama mengenal, ibu percaya dengan mereka. Ibu pun mengenal orang tua mereka semua. Kelima pemuda itu memang baik dan tidak neko-neko.
"Makasih ibuku tayang," ujar Ziya memeluk ibunya.
"1 jam 45 menit!" Ibu memperingati sambil menunjuk jam dinding di atas TV yang ditontonnya.
Mereka segera beranjak dari duduknya dan berpamitan. Baru semangat melangkah keluar, sebuah mobil BMW hitam berhenti di depan rumah. Hawa dingin seketika menelusup pada kelima orang itu.
"Eh Bang Reza."
"Malem, Bang."
"Apa kabar, Bang."
Sapa mereka ketika langkah Reza sampai di depannya. Kakak pertama Ziya itu, memiliki sebuah klinik tak jauh dari rumahnya. Seringainya tajam ketika melihat adik perempuannya keluar rumah malam-malam.
Mereka tertunduk, tanpa mendengar satu patah kata pun sudah mengerti bahwa pria itu sedang marah.
"Kak, Ziya udah izin sama Ibu. Cuma sekedar ke kafe ujung jalan sono. Ibu bilang boleh asal nggak lebih dari jam 9 malam pulangnya." Ziya merangkul lengan kakaknya yang masih berdiri tegap dengan pandangan lurus ke depan, menatap segerombolan rekan-rekan Ziya.
"Kakak jangan gitu, dong lihatnya." Ziya menggigit bibir bawahnya. Takut-takut Abang posesifnya itu bakal kasar sama teman-temannya.
Bersambung~
Bagai kerupuk yang disiram air, kelima pemuda sohib Ziya merunduk semakin dalam setelah tatapan tajam dari Reza yang membuat suasana tiba-tiba mencekam."Hem!" balas Reza singkat melenggang masuk ke rumah."Eh," seru semua orang terkejut."Itu beneran Bang Reza?" canda Sofyan menunjuk ke arah pintu yang tertutup."Iyalah, lu pikir siapa? Hantu?" balas Ziya menggembungkan pipinya."Aneh aja, kek bukan Bang Reza. Nggak ada ceramah kek tempo hari," timpal Wahyu."Dahlah ayo, waktu kita nggak banyak nih!" ajak Farid tidak sabaran. Ia menarik lengan Ziya agar mengikutinya. Membukakan pintu mobil di samping kemudi diikuti semua kawan-kawan yang duduk di belakang.Di sepanjang jalan, mereka masih terheran-heran dengan sikap Reza tadi. Sedang Ziya cuek saja sambil memainkan ponselnya. Sedang Farid hanya berani mencuri-curi pandang melalui ekor matanya.
Hari pun berganti, semburat jingga melukis langit di Kota Yogja sore itu. Saat berhenti di lampu merah, pandangan Arjuna terusik kala melihat segerombolan orang-orang yang sedang mengintimidasi seorang pedagang.Sebenarnya ia malas ikut campur, tapi hati nuraninya berkata sebaliknya. Rasa kasihan akhirnya menuntunnya untuk berhenti di sebuah kedai angkringan."Mana setoran!" teriak seorang berbadan kekar menggebrak meja."Maaf, Mas. Tapi saya baru buka. Belum ada pembeli," sahut seorang Bapak tua dengan gemetar."Alah alasan!" pekiknya lalu menendang sebuah kursi panjang dan beberapa kursi plastik membuat penjual itu terlonjak kaget. Semua porak poranda.Arjuna mendekat, mendorong pelan bahu pria itu. "Jangan kasar sama orang tua. Bicara pelan-pelan kan bisa?" ujarnya menatap tajam."Siapa kamu! Nggak usah ikut campur!" teriak preman itu lagi tepat di hadapan Arjuna."Bukan ikut campur, Bung. Hati-hati dengan azab karena kasar dengan orang t
Ziya berlari menghampiri teman-temannya yang menunggu di depan UGD. "Gaeess, thankyou banget ya. Kalian hebat deh kek super hero yang pernah aku tonton waktu kecil," kelakar Ziya merangkul sahabat-sahabatnya yang bisa terjangkau.Mereka mengerutkan dahinya bersamaan. "Apaan? Power rangers? Yeah, aku ranger merah. Merah kan berani!" sahut Sofyan memamerkan otot lengannya yang kecil."Ih bukan," tampik Ziya cepat."Apaan dong?" Kali ini Wahyu yang bertanya."Teletubbies, berpelukan!" seru Ziya memeluk teman-temannya. Membuat mereka menepuk jidatnya saling berpelukan."Ehm!" Suara deheman membuat keenam orang yang saling merangkul itu kalang kabut. Mereka segera saling melepas tautan lengan berpura-pura sibuk.Ada yang sibuk mengoperasikan ponsel, padahal tidak ada notif apa pun. Ada yang menggaruk kepalanya, ada juga yang berpura-pura saling mengobrol.Reza melipat
"Dok?" Seorang perawat menyadarkan lamunan Reza."Eh, iya." Reza melihat hasil diagnosisnya. Lalu kembali melakukan pemeriksaan lebih detail untuk menetapkan diagnosis dan jenis penyakitnya.Reza melakukan beberapa tes. Di antaranya tes darah dan tes sumsum tulang belakang. Setelah mengambil sampelnya, Reza meminta segera dibawa ke laboratorium."Pindahkan pasien ke rawat inap," titah Reza melenggang pergi keluar ruang IGD."Keluarga pasien?" ucap Reza berdiri di antara mereka."Kami orang tua Meysa, Dok. Bagaimana keadaannya?" Papa Meysa berdiri sambil memapah istrinya."Untuk sementara, pasien harus dirawat intensive sampai menunggu hasil lab keluar. Apakah sudah lama Meysa mengalami gejala seperti ini?" tanya Reza.Mamanya kembali terisak, sedang tante Meysa yang turut mengantar gadis itu, bergegas ke tempat pendaftaran."Dokter, dia divonis l
Jam pulang sudah terlewati, namun Reza tidak beranjak dari tempat duduknya. Menunggu hasil laborat seorang pasien yang pernah ditolong oleh adiknya. Meski ia tidak begitu mengenal Meysa. Namun hati kecilnya ingin membantu penyembuhannya.Terdengar suara pintu yang diketuk. Lalu menyembullah seorang perawat membawakan hasil yang dia tunggu-tunggu sejak semalam. Biasanya membutuhkan waktu berhari-hari. Namun, ia terus mendesak agar segera ditangani."Permisi, Dok. Ini hasilnya," ucap perawat itu menyerahkan sebuah stopmap."Terima kasih. Oh iya tolong panggilkan orang tua pasien kemari," titah Reza."Baik, Dok. Permisi." Perawat itu undur diri.Sedangkan Reza mengambil kaca matanya untuk mengamati dan membaca hasil pemeriksaan Meysa. Setiap kata dan angka ia cerna dengan baik. Agar tidak ada kesalahan dalam menetapkan diagnosis.Keningnya berkerut dalam, menandakan ia sangat serius ka
Wanita baya itu menoleh sangat pelan, bibinya bergetar ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa terucap. Sampai pada akhirnya ibu itu pingsan. Dengan sigap Arjuna menopangnya.Lalu Arjuna beranjak dan merebahkan tubuhnya perlahan untuk memosisikan agar nyaman. Bukan di kursi, melainkan di trotoar. Karena letaknya yang datar dan keras. Ia berlutut sejajar dengan kepala dan bahu ibu tersebut.Sampai beberapa saat, Catuda Squad berbondong-bondong hendak berangkat ke pangkalan ojek, minus Ziya."Gengs, itu laki-laki yang kita tolong bukan?" Edi menunjuk ke arah Arjuna yang menghadap ke jalan raya."Iya betul. Eh eh, ngapain tuh orang. Gila mau bunuh orang di keramaian," cetus Sofyan menimpali.Mereka segera menghampiri Arjuna. Lalu segera turun dan memiting tangan Arjuna ke belakang."Mau ngapain kamu?" sembur Wahyu."Apaan sih, tolong ibu itu
"Atas nama adikku, saya benar-benar minta maaf. Langsung saja ini darurat. Apa kamu seorang dokter kardiologi?" tanya Reza tanpa basa basi setelah masuk ke ruang IGD.Arjuna mengangguk tanpa suara. Keduanya saling bersitatap, tampak sorot mata kesedihan dipancarkan oleh Reza. Dokter spesialis kanker itu mengembuskan napas lega. Ia seolah mendapat oksigen berlebih di sekitarnya setelah sedari tadi dadanya serasa sesak terhimpit beban yang sangat berat."Saya Reza, atas nama klinik ini saya mohon bantuanmu untuk menyelamatkan nyawa ibu saya sekali lagi. Ini sangat darurat. Kondisinya semakin melemah. Kepala divisi kardiologi sedang seminar di luar kota, dokter bedahnya mengalami kecelakaan." Reza menatap penuh permohonan.Arjuna berkerut kening, "Apa yang bisa saya bantu, Dok?" tanyanya.Hembusan napas kasar Reza terdengar menggelitik indera pendengaran. "Tolong operasi ibuku," ucap Reza lirih menepuk
Arjuna masih menangis, tanpa mempedulikan pertanyaan Ziya. Pandangannya menunduk tak mau beralih, seolah lantai itu adalah sesuatu yang sangat menarik."Kak! Tolong katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Ziya menarik-narik baju Arjuna.Pria itu masih diam saja, ia terus mengabaikan Ziya yang terus berteriak di sampingnya. Sampai pada akhirnya, Arjuna beranjak dari duduknya. Berjalan gontai entah kemana.Ziya menarik lengan Arjuna, "Apa yang Anda lakukan pada ibu saya!" geram Ziya berteriak.Arjuna hanya melirik lengannya, menatap Ziya yang berlinang air mata. Juna masih merasakan sesak di dadanya. Tenggorokannya masih tercekat.Pintu operasi terbuka, semua perawat mendorong brankar dengan senyum mengukir wajah mereka. Mengangguk ketika melihat Ziya."Ibu," sapanya melepas lengan Arjuna mendekati brankar."Operasi berhasil, beliau masih di bawah pengaruh bius. Aka
Ziya bersemangat turun dari motor Arjuna. Ia mengenakan kebaya berwarna peach dengan celana berbahan satin berwarna senada. Rambutnya digerai dan hanya diikat beberapa helai ke belakang. Riasannya pun sederhana, kalau tidak dipaksa sang ibu, dia malas melakukannya."Eh, mau ke mana?" tanya Juna menarik lengan Ziya."Mau masuk lah, Kak. Acaranya 'kan di dalam," tunjuk Ziya ke arah masjid.Arjuna turun dari motornya dan melepas helm yang dikenakannya. "Masuk masjid pake helm?" decak Arjuna tertawa terbahak."Eh!" Ziya meraba-raba kepalnya lalu menyengir kuda. Segera ia lepas helm lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan melalui kaca spion motor Juna."Nih, Kak. Makasih ya," ujar Ziya mengulurkan lengannya.Langkah Ziya pun semakin dipercepat, tak sabar menjadi saksi kebahagiaan kakak pertamanya. Mungkin karena mengenakan flat shoes, makanya ia mudah berlari.
"Zii? Zizi? Ziya?" seloroh Arjuna melambaikan tangan, memanggil Ziya yang lagi-lagi terbengong."Eh," Ziya terkejut. Ia pun jadi salah tingkah karena ketahuan menatap Arjuna sedari tadi.Ziya mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Jemarinya menyelipkan anak rambutnya yang tidak berantakan ke belakang telinga. Ia juga meraih gelas dan minum untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering."Segitunya liatin aku. Naksir ya?" goda Arjuna melipat kedua lengannya di atas meja, sambil tersenyum lebar pada Ziya. Memperlihatkan kedua lesung pipinya."Apaan sih. Tadi, tanya apa, Kak? Maaf lagi nggak fokus," elak Ziya tidak berani menatap manik sang lawan bicara."Eemm ... kenapa kemarin malam-malam telepon? Aku telepon balik tapi nggak tersambung," tanya Arjuna kembali melanjutkan makannya.Ziya terdiam, ingatannya berputar pada kejadian malam itu. Tubuhnya kembali ge
Juna mengerutkan alisnya. Pasalnya tiba-tiba malam-malam begini Ziya telepon. Banyak pertanyaan di benaknya. Namun baru sepersekian detik dingkatnya, sambungan terputus. Bahkan mati ketika ditelepon balik."Ada apa, ya? Ah mungkin mau mastiin aja kali lusa aku dateng apa nggak," pikir Arjuna meletakkan kembali ponselnya lalu merebahkan tubuhnya dan tidur.Sementara itu, Ziya masih gemetaran dipelukan Alvin. Pria itu lalu melepas jaketnya dan dipakaikan pada Ziya. Alvin keluar dari gudang memapah Ziya. Pandangannya mengedar mendapati tas dan seisinya berhamburan di jalan yang amat sepi tersebut."Udah, tenang aja. Ada aku, okay?" ucap Alvin menenangkan Ziya. Gadis itu hanya mengangguk, sesekali menyeka air mata yang berjatuhan."Jangan tinggal," rengek Ziya ketika Alvin hendak memunguti barang-barangnya."Aku mau ambilin tas kamu. Tuh bukunya juga. Bentar, tenang aja. Temen-temenku pasti ud
Langkah kaki tanpa suara, dengan pandangan lurus ke depan, senyum yang tak lepas dari bibirnya menyapa siapa saja orang yang dikenalnya.Ziya Thalia, perempuan tegas dan tidak bisa feminim seperti wanita pada umumnya, mulai menyesuaikan diri dengan dunia perkuliahan. Namun ia benci pada pria yang agresif dan terang-terangan mendekatinya.Baru saja memarkirkan motor matic dan melepaskan helm, seseorang menepuk bahunya. Sontak Ziya memutar pandangan menatap sang pemilik tangan."Ih, apaan sih Al pegang-pegang! Bukan muhrim tahu!" tandas Ziya pada Alvin--teman satu kelasnya, sembari menepis tangan pria itu."Yaelah, Zi jangan galak-galak napa sama Abang," ujar Alvin terus menggodanya.Ziya memutar bola matanya malas. Kalau saja teman-temannya kuliah juga, sudah tak berbentuk tuh muka. Malah, bisa jadi rata kali dihabisi para Catuda.'Hemm ... jadi rindu kalian,' gumam Ziya melangkah masuk kelas.Walau dicuekin, Alvin tak gentar untuk ter
Sudah beberapa jam berlalu, Arjuna masih bergelut dengan pikiran dan hatinya. Ia memutuskan keluar kamar, tak sengaja berpapasan dengan Ziya yang mau ke dapur."Eh! Mau ke mana, Kak?" tanya Ziya. Matanya yang tadi mengantuk tiba-tiba melek lagi."Cari angin," balas Arjuna singkat.Ziya melihat jam dinding masih menunjukkan pukul 2 malam. "He? Tengah malam mau cari angin di mana? ACnya mati?" ucap Ziya lagi.Namun tak membalas lagi, Arjuna melenggang ke dapur. Ia mulai membuka kulkas dan menuangkan air putih lalu meneguknya dengan cepat. Ziya yang tadinya ingin minum pun mengikutinya.Setelahnya, Arjuna tak langsung kembali ke kamar. Ia duduk di kursi makan tak jauh dari dapur. Kedua lengannya menopang dagunya."Apa yang sedang kakak pikirkan?" tanya Ziya memperhatikan sedari tadi."Bukan urusanmu!" jawab Arjuna tanpa menoleh.'Lah, perasaa
Klontang!Sendok yang digenggam Arjuna tetiba terlepas dari tangannya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak baik. Tapi ia sendiri pun tak tahu apa itu.Rio dan Reza beralih pandang pada pria itu. Pandangannya mendadak kosong. Sebuah senggolan di lengannya membuyarkan lamunannya."Ada apa, Jun?" tanya Reza khawatir."Eh, enggak apa-apa, Za." Arjuna meneguk segelas air putih dalam 4 kali tegukan besar."Kalau gitu, aku mandi dulu, Kak," ucap Rio bergegas meninggalkan ruang makan.Arjuna nampak sudah tak berselera makan. Ia meletakkan sendoknya. Mengembuskan napas beratnya berulang kali."Mungkin kamu lelah, beristirahatlah. Bibi sudah menyiapkan kamar tamu untukmu," terang Reza."Iya, terima kasih," balas Arjuna beranjak menuju kamarnya.Tubuhnya yang memang terasa amat letih, membuat Arjuna cepat terlelap. Melemaskan otot-oto
Arjuna masih menangis, tanpa mempedulikan pertanyaan Ziya. Pandangannya menunduk tak mau beralih, seolah lantai itu adalah sesuatu yang sangat menarik."Kak! Tolong katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Ziya menarik-narik baju Arjuna.Pria itu masih diam saja, ia terus mengabaikan Ziya yang terus berteriak di sampingnya. Sampai pada akhirnya, Arjuna beranjak dari duduknya. Berjalan gontai entah kemana.Ziya menarik lengan Arjuna, "Apa yang Anda lakukan pada ibu saya!" geram Ziya berteriak.Arjuna hanya melirik lengannya, menatap Ziya yang berlinang air mata. Juna masih merasakan sesak di dadanya. Tenggorokannya masih tercekat.Pintu operasi terbuka, semua perawat mendorong brankar dengan senyum mengukir wajah mereka. Mengangguk ketika melihat Ziya."Ibu," sapanya melepas lengan Arjuna mendekati brankar."Operasi berhasil, beliau masih di bawah pengaruh bius. Aka
"Atas nama adikku, saya benar-benar minta maaf. Langsung saja ini darurat. Apa kamu seorang dokter kardiologi?" tanya Reza tanpa basa basi setelah masuk ke ruang IGD.Arjuna mengangguk tanpa suara. Keduanya saling bersitatap, tampak sorot mata kesedihan dipancarkan oleh Reza. Dokter spesialis kanker itu mengembuskan napas lega. Ia seolah mendapat oksigen berlebih di sekitarnya setelah sedari tadi dadanya serasa sesak terhimpit beban yang sangat berat."Saya Reza, atas nama klinik ini saya mohon bantuanmu untuk menyelamatkan nyawa ibu saya sekali lagi. Ini sangat darurat. Kondisinya semakin melemah. Kepala divisi kardiologi sedang seminar di luar kota, dokter bedahnya mengalami kecelakaan." Reza menatap penuh permohonan.Arjuna berkerut kening, "Apa yang bisa saya bantu, Dok?" tanyanya.Hembusan napas kasar Reza terdengar menggelitik indera pendengaran. "Tolong operasi ibuku," ucap Reza lirih menepuk
Wanita baya itu menoleh sangat pelan, bibinya bergetar ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa terucap. Sampai pada akhirnya ibu itu pingsan. Dengan sigap Arjuna menopangnya.Lalu Arjuna beranjak dan merebahkan tubuhnya perlahan untuk memosisikan agar nyaman. Bukan di kursi, melainkan di trotoar. Karena letaknya yang datar dan keras. Ia berlutut sejajar dengan kepala dan bahu ibu tersebut.Sampai beberapa saat, Catuda Squad berbondong-bondong hendak berangkat ke pangkalan ojek, minus Ziya."Gengs, itu laki-laki yang kita tolong bukan?" Edi menunjuk ke arah Arjuna yang menghadap ke jalan raya."Iya betul. Eh eh, ngapain tuh orang. Gila mau bunuh orang di keramaian," cetus Sofyan menimpali.Mereka segera menghampiri Arjuna. Lalu segera turun dan memiting tangan Arjuna ke belakang."Mau ngapain kamu?" sembur Wahyu."Apaan sih, tolong ibu itu