Hari pun berganti, semburat jingga melukis langit di Kota Yogja sore itu. Saat berhenti di lampu merah, pandangan Arjuna terusik kala melihat segerombolan orang-orang yang sedang mengintimidasi seorang pedagang.
Sebenarnya ia malas ikut campur, tapi hati nuraninya berkata sebaliknya. Rasa kasihan akhirnya menuntunnya untuk berhenti di sebuah kedai angkringan.
"Mana setoran!" teriak seorang berbadan kekar menggebrak meja.
"Maaf, Mas. Tapi saya baru buka. Belum ada pembeli," sahut seorang Bapak tua dengan gemetar.
"Alah alasan!" pekiknya lalu menendang sebuah kursi panjang dan beberapa kursi plastik membuat penjual itu terlonjak kaget. Semua porak poranda.
Arjuna mendekat, mendorong pelan bahu pria itu. "Jangan kasar sama orang tua. Bicara pelan-pelan kan bisa?" ujarnya menatap tajam.
"Siapa kamu! Nggak usah ikut campur!" teriak preman itu lagi tepat di hadapan Arjuna.
"Bukan ikut campur, Bung. Hati-hati dengan azab karena kasar dengan orang tua." Arjuna membantu membenarkan posisi kursi tadi, hendak menghampiri penjual tua itu namun ranselnya ditarik oleh preman tersebut.
"Bacot! Kurang ajar doain kena azab." Mata ketua preman sudah menyalang merah. Tangannya terkepal kuat.
Tak ada yang pernah berani melawan preman-preman itu. Mereka terkenal bengis dan tak kenal ampun. Karenanya orang-orang seolah menutup mata berpura-pura tak melihat.
"Itu biasanya yang aku liat di salah satu stasiun TV di tempat kerja. Hmmm ... semoga dapet hidayah, Bung!" sindir Arjuna mengusap bahu besar dan kuat di depannya.
Orang itu menggeram marah, merasa tersinggung dengan setiap ucapan Arjuna. Lalu, satu tendangan kuat mendarat di perut Arjuna.
Lelah, lapar, ngantuk menderanya setelah menempuh perjalanan panjang membuatnya tak bisa menangkis serangan mendadak itu. Ah bukan itu saja, Arjuna memang tak pandai adu jotos. Ia sama sekali tak memiliki kemampuan silat atau sejenis apa pun itu.
Arjuna terhempas ke belakang beberapa langkah. Ia menekan perutnya yang terkena hantaman kaki preman tersebut. Arjuna hanya menghela napas kasar.
"Hajar!" pekik ketua preman itu menyuruh anak buahnya untuk menyerang Arjuna. Penjual tua itu pun berusaha mencegahnya, tapi tak berani mendekat. Tubuh rentanya tidak akan mampu melawan orang-orang itu.
"Sial!" gumam Arjuna pasrah. Karena saat ini memang tenaganya benar-benar sudah terkuras.
Dari seberang jalan, nampak Meysa yang sedang berjalan-jalan menikmati senja kala itu. Semenjak pulang ke kampung halaman, Meysa menghabiskan waktunya sehari-hari untuk berjalan-jalan, melukis dan membidik apa pun yang menurutnya indah dengan kamera yang menggantung di lehernya.
Terkesiap ketika melihat motor yang selama lima tahun selalu mengantarnya kemanapun. Ia hapal dengan plat nomor dan helm sang pemilik. Matanya kembali menelisik bertambah terkejut ketika melihat Arjuna terkapar terlempar di trotoar.
Meysa menangis seketika. Hendak berlari namun situasi sangat ramai. "Juna! Berhenti! Jangan sakiti dia!" pekiknya menoleh ke kiri dan kanan untuk menyeberang jalan raya yang sangat luas itu.
Mereka membabi buta menyerang Arjuna. Samar-samar matanya melihat bayangan Meysa dari kejauhan, yang nampak sedang panik di seberang jalan. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Meski raganya remuk redam.
"Aku menemukanmu," gumam Arjuna di ambang kesadarannya.
"Woi! Woi! Banci! Main kroyokan!" teriak seorang perempuan turun dari motornya masih mengenakan helm. Sebelumnya ia telah meminta bala bantuan pada teman-temannya melalui sambungan telepon ketika melihat pengeroyokan dari kejauhan.
"Pergilah manis, ini bukan urusanmu!" tandas salah seorang preman hendak mencubit dagunya. Namun segera ditepis dengan kasar.
Sebenarnya jantungnya berdegub hebat seperti habis marathon. Dia berusaha mengulur waktu sampai tim penyelamatnya datang. Tidak tega melihat seorang pria terkapar di jalanan dengan banyak luka di tubuhnya.
"Jangan kurang ajar! Ini kriminal, mana bisa dibiarin!" Ziya mengambil ranting yang cukup besar lalu mengayunkan pada orang-orang kekar itu.
Namun ia terkejut kala rantingnya patah saat mengenai tubuh mereka. Matanya membelalak, orang-orang itu tertawa terbahak-bahak.
Ziya meneguk salivanya dengan kasar. Dalam hatinya terus berdoa, berharap teman-temannya lekas datang. Satu kepalan tangan hendak mendarat di pipi mulusnya. Mata Ziya sudah terpejam erat, namun Farid datang tepat waktu. Memegang kepalan tangan itu lalu memelintir lengannya.
Orang itu pun memekik kesakitan. "Jangan pernah menyentuhnya seujung kuku pun!" ancam Farid menatap tajam.
Catuda Squad tiba di lokasi tepat waktu. Segera saja mereka saling adu jotos mengeluarkan kemampuan masing-masing. Dari semua geng Catuda cuma Ziya yang tidak bisa pencak silat.
Sewaktu baru bergabung dan ikut latihan pertama, tubuhnya memar-memar dan terus mengaduh sepanjang malam. Kelelahan selama latihan. Akhirnya ibunya melarang keras Ziya ikut latihan lagi.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Farid memeriksa wajah Ziya. Kedua tangannya menangkup pipi Ziya. Sedang gadis itu menggeleng.
Meysa terpundur beberapa langkah sembari menutup mulutnya, egonya menghentikannya untuk menemui Arjuna. Meski khawatir kini bergelayut di hatinya. Deraian air matanya semakin deras, namun saat melihat Ziya and the genk ia jauh lebih tenang.
"Maafin aku, Jun," lirihnya menahan sakit dalam hatinya. Meysa memutuskan untuk pulang ke rumah. Walau dengan kondisi hati yang acak-acakan.
Kalah jumlah, akhirnya preman-preman itu menyerah. Mereka berlarian menyelamatkan diri.
"Segitu doang?" ucap Wahyu menepuk-nepuk telapak tangannya.
"Cih! Badan gede doang. Nyatanya kalah ama kita yang kuker," celetuk Sofyan menimpali menatap kepergian mereka.
"Kuker? Apaan? Setahuku kue kering yang biasa dijual emak," sahut Eko menatap salah satu sahabat tengilnya itu.
"Jiahaaha! Itu 'kan versi emak Lo, versi gue mah kurus kering," balas Sofyan melipat kedua lengannya di dada.
Mereka semua tertawa terbahak-bahak. "Sa ae lu Kang Ojek!" Edi menimpali.
Hanya Ziya yang tidak menanggapi ocehan receh mereka. Dia menghampiri Arjuna yang sudah tidak sadarkan diri. Ziya berjongkok memeriksa denyut nadinya, hembusan napasnya yang terakhir menempelkan telinga di dada.
"Masih idup, ayo bawa ke tempat Kak Reza!" pekik Ziya membuyarkan tawa teman-temannya.
"Gimana caranya?" Eko menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Panggil taksi lah, Dudul! Buruan!" Ziya kembali berteriak.
Mereka lalu mengangkat Arjuna, merebahkannya di jok belakang taksi yang baru saja dihentikan. Sedang Ziya dan kawan-kawan mengikuti naik motor.
Tak lama, mereka sampai di Klinik Permata milik sang kakak. Catuda Squad segera mengeluarkan Arjuna dan mengangkatnya masuk ke klinik.
Ziya berlari menuju ruangan sang kakak. "Kak Reza! Kak! Kak Reza keluar!" teriak Ziya menggedor pintu.
Pintu pun terbuka, "Apa sih, Dek? Kayak orang kesurupan aja!" cebik Reza kesal.
"Tolong, ada orang pingsan abis digebukin!" Ziya menunjuk sembarang arah. Maksudnya ke ruang UGD.
"Kan udah ada Dokter jaga Ziya!" sahut Reza santai bersandar di pintu.
Ziya pun menyengir, menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. "Gitu ya, Kak? Ya maap, hehehe." Segera Ziya berbalik langkah menuju UGD tempat Arjuna ditangani.
Bersambung~
Ziya berlari menghampiri teman-temannya yang menunggu di depan UGD. "Gaeess, thankyou banget ya. Kalian hebat deh kek super hero yang pernah aku tonton waktu kecil," kelakar Ziya merangkul sahabat-sahabatnya yang bisa terjangkau.Mereka mengerutkan dahinya bersamaan. "Apaan? Power rangers? Yeah, aku ranger merah. Merah kan berani!" sahut Sofyan memamerkan otot lengannya yang kecil."Ih bukan," tampik Ziya cepat."Apaan dong?" Kali ini Wahyu yang bertanya."Teletubbies, berpelukan!" seru Ziya memeluk teman-temannya. Membuat mereka menepuk jidatnya saling berpelukan."Ehm!" Suara deheman membuat keenam orang yang saling merangkul itu kalang kabut. Mereka segera saling melepas tautan lengan berpura-pura sibuk.Ada yang sibuk mengoperasikan ponsel, padahal tidak ada notif apa pun. Ada yang menggaruk kepalanya, ada juga yang berpura-pura saling mengobrol.Reza melipat
"Dok?" Seorang perawat menyadarkan lamunan Reza."Eh, iya." Reza melihat hasil diagnosisnya. Lalu kembali melakukan pemeriksaan lebih detail untuk menetapkan diagnosis dan jenis penyakitnya.Reza melakukan beberapa tes. Di antaranya tes darah dan tes sumsum tulang belakang. Setelah mengambil sampelnya, Reza meminta segera dibawa ke laboratorium."Pindahkan pasien ke rawat inap," titah Reza melenggang pergi keluar ruang IGD."Keluarga pasien?" ucap Reza berdiri di antara mereka."Kami orang tua Meysa, Dok. Bagaimana keadaannya?" Papa Meysa berdiri sambil memapah istrinya."Untuk sementara, pasien harus dirawat intensive sampai menunggu hasil lab keluar. Apakah sudah lama Meysa mengalami gejala seperti ini?" tanya Reza.Mamanya kembali terisak, sedang tante Meysa yang turut mengantar gadis itu, bergegas ke tempat pendaftaran."Dokter, dia divonis l
Jam pulang sudah terlewati, namun Reza tidak beranjak dari tempat duduknya. Menunggu hasil laborat seorang pasien yang pernah ditolong oleh adiknya. Meski ia tidak begitu mengenal Meysa. Namun hati kecilnya ingin membantu penyembuhannya.Terdengar suara pintu yang diketuk. Lalu menyembullah seorang perawat membawakan hasil yang dia tunggu-tunggu sejak semalam. Biasanya membutuhkan waktu berhari-hari. Namun, ia terus mendesak agar segera ditangani."Permisi, Dok. Ini hasilnya," ucap perawat itu menyerahkan sebuah stopmap."Terima kasih. Oh iya tolong panggilkan orang tua pasien kemari," titah Reza."Baik, Dok. Permisi." Perawat itu undur diri.Sedangkan Reza mengambil kaca matanya untuk mengamati dan membaca hasil pemeriksaan Meysa. Setiap kata dan angka ia cerna dengan baik. Agar tidak ada kesalahan dalam menetapkan diagnosis.Keningnya berkerut dalam, menandakan ia sangat serius ka
Wanita baya itu menoleh sangat pelan, bibinya bergetar ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa terucap. Sampai pada akhirnya ibu itu pingsan. Dengan sigap Arjuna menopangnya.Lalu Arjuna beranjak dan merebahkan tubuhnya perlahan untuk memosisikan agar nyaman. Bukan di kursi, melainkan di trotoar. Karena letaknya yang datar dan keras. Ia berlutut sejajar dengan kepala dan bahu ibu tersebut.Sampai beberapa saat, Catuda Squad berbondong-bondong hendak berangkat ke pangkalan ojek, minus Ziya."Gengs, itu laki-laki yang kita tolong bukan?" Edi menunjuk ke arah Arjuna yang menghadap ke jalan raya."Iya betul. Eh eh, ngapain tuh orang. Gila mau bunuh orang di keramaian," cetus Sofyan menimpali.Mereka segera menghampiri Arjuna. Lalu segera turun dan memiting tangan Arjuna ke belakang."Mau ngapain kamu?" sembur Wahyu."Apaan sih, tolong ibu itu
"Atas nama adikku, saya benar-benar minta maaf. Langsung saja ini darurat. Apa kamu seorang dokter kardiologi?" tanya Reza tanpa basa basi setelah masuk ke ruang IGD.Arjuna mengangguk tanpa suara. Keduanya saling bersitatap, tampak sorot mata kesedihan dipancarkan oleh Reza. Dokter spesialis kanker itu mengembuskan napas lega. Ia seolah mendapat oksigen berlebih di sekitarnya setelah sedari tadi dadanya serasa sesak terhimpit beban yang sangat berat."Saya Reza, atas nama klinik ini saya mohon bantuanmu untuk menyelamatkan nyawa ibu saya sekali lagi. Ini sangat darurat. Kondisinya semakin melemah. Kepala divisi kardiologi sedang seminar di luar kota, dokter bedahnya mengalami kecelakaan." Reza menatap penuh permohonan.Arjuna berkerut kening, "Apa yang bisa saya bantu, Dok?" tanyanya.Hembusan napas kasar Reza terdengar menggelitik indera pendengaran. "Tolong operasi ibuku," ucap Reza lirih menepuk
Arjuna masih menangis, tanpa mempedulikan pertanyaan Ziya. Pandangannya menunduk tak mau beralih, seolah lantai itu adalah sesuatu yang sangat menarik."Kak! Tolong katakan sesuatu, jangan diam saja!" pekik Ziya menarik-narik baju Arjuna.Pria itu masih diam saja, ia terus mengabaikan Ziya yang terus berteriak di sampingnya. Sampai pada akhirnya, Arjuna beranjak dari duduknya. Berjalan gontai entah kemana.Ziya menarik lengan Arjuna, "Apa yang Anda lakukan pada ibu saya!" geram Ziya berteriak.Arjuna hanya melirik lengannya, menatap Ziya yang berlinang air mata. Juna masih merasakan sesak di dadanya. Tenggorokannya masih tercekat.Pintu operasi terbuka, semua perawat mendorong brankar dengan senyum mengukir wajah mereka. Mengangguk ketika melihat Ziya."Ibu," sapanya melepas lengan Arjuna mendekati brankar."Operasi berhasil, beliau masih di bawah pengaruh bius. Aka
Klontang!Sendok yang digenggam Arjuna tetiba terlepas dari tangannya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak baik. Tapi ia sendiri pun tak tahu apa itu.Rio dan Reza beralih pandang pada pria itu. Pandangannya mendadak kosong. Sebuah senggolan di lengannya membuyarkan lamunannya."Ada apa, Jun?" tanya Reza khawatir."Eh, enggak apa-apa, Za." Arjuna meneguk segelas air putih dalam 4 kali tegukan besar."Kalau gitu, aku mandi dulu, Kak," ucap Rio bergegas meninggalkan ruang makan.Arjuna nampak sudah tak berselera makan. Ia meletakkan sendoknya. Mengembuskan napas beratnya berulang kali."Mungkin kamu lelah, beristirahatlah. Bibi sudah menyiapkan kamar tamu untukmu," terang Reza."Iya, terima kasih," balas Arjuna beranjak menuju kamarnya.Tubuhnya yang memang terasa amat letih, membuat Arjuna cepat terlelap. Melemaskan otot-oto
Sudah beberapa jam berlalu, Arjuna masih bergelut dengan pikiran dan hatinya. Ia memutuskan keluar kamar, tak sengaja berpapasan dengan Ziya yang mau ke dapur."Eh! Mau ke mana, Kak?" tanya Ziya. Matanya yang tadi mengantuk tiba-tiba melek lagi."Cari angin," balas Arjuna singkat.Ziya melihat jam dinding masih menunjukkan pukul 2 malam. "He? Tengah malam mau cari angin di mana? ACnya mati?" ucap Ziya lagi.Namun tak membalas lagi, Arjuna melenggang ke dapur. Ia mulai membuka kulkas dan menuangkan air putih lalu meneguknya dengan cepat. Ziya yang tadinya ingin minum pun mengikutinya.Setelahnya, Arjuna tak langsung kembali ke kamar. Ia duduk di kursi makan tak jauh dari dapur. Kedua lengannya menopang dagunya."Apa yang sedang kakak pikirkan?" tanya Ziya memperhatikan sedari tadi."Bukan urusanmu!" jawab Arjuna tanpa menoleh.'Lah, perasaa