"Ayah … Nou nggak mau. Dia …."
Tatapan mata Noura nyalang melihat pada Jaka yang duduk diseberangnya. Sedangkan pria itu hanya berwajah datar setelah Pak Sugiarto mengatakan keinginan. Apalagi, tentu saja Jaka sudah tahu tentang hal ini sebelumnya.
"Menikah dengan, Mas Jaka? Yang benar aja, Yah. Noura baru kenal dia juga tiga hari ini. Tau nama aslinya juga tidak. Sama dirinya sendiri saja dia tidak ingat. Kami tidak dekat, ngobrol juga jarang. Kenapa tiba-tiba Ayah suruh Nou nikah sama dia?" Noura lantas menolak setengah merengek.
"Karena pilihan Ayah jatuh pada Jaka, Nou." Pak Sugiarto memberi alasan.
Noura tampak bersedekap, menegangkan otot wajah. Dia terlihat sangat marah. "Kamu juga, Mas. Kenapa diam aja, sih? Pasti kamu sudah setuju dari awal, kan?" Sekarang matanya beralih menatap pria itu, nyalang.
Jaka hanya bisa diam melihat wanita itu mendengus, menajamkan matanya. Terlihat dia menahan rasa di dirinya. Hati pria itu sama sekali tidak dipaksa, dia ikhlas menerima keputusan sang juragan yang menampungnya selama beberapa bulan ini.
Reaksi Noura sangat menolak keras, Jaka bisa mengerti itu. Dia tidak terlalu banyak berinteraksi. Baru beberapa hari kenal, dan sekarang diminta untuk hidup bersama dalam ikatan pernikahan. Bukan Jaka merasa ini tidak boleh, hanya saja ini terlalu cepat. Namun, atas permintaan penyelamatnya, dan juga karena merasa harus membalas budi, Jaka pun menyetujuinya. Walau dia tidak bertanya kenapa harus dengan cara menikah untuk menjaga Noura, tapi dia akan menjalankan amanah tersebut.
Pria paruh baya itu menghela napas sejenak. "Ayah mau kamu ada yang jaga, Nou. Kamu sudah 28 tahun, sudah pantas untuk menikah. Tanggung jawab untuk menjaga kamu sudah seharusnya diserahkan kepada orang yang menjadi suamimu."
Ucapannya penuh kelembutan, tidak ingin terbawa emosi dengan penolakan sang putri. Dia tentu mengerti perasaan putrinya itu. Tetapi, keputusannya sudah bulat. Hanya Jaka yang dia rasa, pria yang tepat untuk dinikahkan dengan Noura, setelah dia mengenal kepribadian pemuda itu beberapa bulan ini.
"Tapi kenapa harus sama dia, Yah! Kita tidak tau asal usulnya. Bagaimana dia bisa menikahi Nou, Yah?" Rengekan Noura makin menjadi. Terlihat semburat matanya telah berembun.
Jaka hanya bisa menjadi pendengar di antara perdebatan ayah dan anak itu. Entah harus pada siapa akan berpihak. Satu sisi penyelamat, sisi lain wanita yang baru dikenal. Terima saja apa yang akan terjadi, tidak buruk juga baginya.
"Untuk itu udah ada cara, Nou. Beberapa hari yang lalu ada yang menemukan dompet di kaki bukit, dan itu punya Jaka," tutur Pak Sugiarto lagi.
Noura mendengus, alasan ayahnya tidak dapat diterima. Kemudian beralih pada Jaka seraya menadahkan tangan. “Mana, sini saya liat?”
Kartu identitas Jaka keluarkan dari dompet lusuh di kantongnya. Dengan hati-hati dia letakkan di atas meja. Noura mengambil dengan cepat, dan membaca informasi di sana.
Jikapun identitas Jaka sudah kembali, apa hubungannya dengan pernikahan. Seharusnya dia di suruh pulang ke rumah sendiri, cari keluarganya. Logikanya Noura akan berpikir seperti itu.
Pak Sugiarto pun menghela napas berat. "Nou, Ayah tidak akan merasa tenang sebelum kamu menikah. Jaka bisa menjaga kamu nantinya," ucapnya lirih sedikit mengiba. Seolah tak ada cara lain lagi. Harapan terbesarnya tentu ingin melihat sang putri bahagia.
"Selama ini Nou bisa menjaga diri sendiri, Yah. Bukan ini alasan sebenarnya, kan?" tanya Noura menyelidik sambil menyipitkan mata. Seolah dia yakin ada niat lain, dia tahu ayahnya tidak akan mengambil keputusan berdasarkan satu alasan saja.
"Haah ... baiklah, Ayah akan katakan." Pak Sugiarto berdeham sesaat, matanya mengerjap perlahan. "Ayah sebenarnya suka sama Bu Farida, Nou. Dia mau Ayah nikahi dia jika memang ada niat serius. Tapi, Ayah tidak tenang kalau kamu belum menikah. Jadi, Ayah mau kamu nikah duluan," ujarnya sambil tersenyum malu-malu.
Noura pun menganga tak percaya. "Bu Farida? Ibunya Mas Didit? Yang benar aja, Yah?" Tidak menyangka ternyata alasan ini yang membuat sang ayah memaksanya. “Ayah nggak bohong, kan?”
"Kenapa Ayah harus bohong? Ayah udah naksir Bu Farida dari lama. Ayah lihat kamu dan Didit juga dekat, kan nantinya bisa jadi saudara," ujar Pak Sugiarto melanjutkan.
Dari kecil, Noura memang selalu dekat dengan pemuda itu. Didit tampak selalu menjaga Noura. Mengajarinya bela diri hingga sang putri mengenakan sabuk hitam kini.
"Memangnya Mas Didit setuju Ayah menikah sama ibunya?" Pria sang pemilik pedepokan silat pun memang sudah Noura anggap seperti kakak sendiri. Tapi, tak menyangka akhirnya akan menjadi saudara.
"Itu, masih perlu usaha. Lagi pula cepat atau lambat kamu akan nikah juga. Apa kamu mau lihat Ayah hidup sendiri terus sampai tua?" tanya Pak Sugiarto dalam bujukannya.
Noura terdiam. Ternyata ini yang menjadi alasan Ayahnya memaksanya untuk segera menikah. Tapi, kenapa harus dia? Noura kembali mendelik pada Jaka. Marah dan kesal karena pria itu hanya diam, tak berniat menolak sama sekali.
"Kenapa ini jadi bahas masalah Ayah? Cukup ya Nou, urusan Ayah biar dipikirkan nanti saja. Sekarang Ayah mau kamu nikah dulu sama Nak Jaka. Ayah tidak mau ada penolakan! Jadi, acara akad akan dilakukan dalam tiga hari lagi."
"Tiga hari? Ayah ...!”
"Noura Arumi ...!" tegas Pak Sugiarto tak ingin dibantah lagi. Lalu beralih pada pria muda di depannya. "Nak Jaka, bersiaplah."
Pria itu mengangguk kecil, melirik Noura sesaat. "Baik Pak," jawab Jaka, yang membuat Noura mendengus menatapnya.
"Saya akan menyerahkan tanggung jawab besar sama kamu. Saya harap kamu bisa memegang amanah." tutur Pak Sugiarto tegas.
"Iya, Pak … saya akan menjalankan amanah dari Bapak. Saya akan menikahi Noura dan menjaganya." jawab Jaka yakin akhirnya.
"Bagus, saya pegang kata-kata kamu."
Noura kembali menatap tajam pada Jaka, lalu bangun dan pergi hendak masuk ke kamarnya. Meninggalkan obrolan yang memberi kesan paksaan, kenapa dia harus mendengarkan lagi jika tidak bisa menolak.
“Noura, tunggu.”
Panggilan sang ayah membuat langkah wanita itu terhenti. Dia kembali berbalik setelah menghela napas ringan. Bagaimanapun juga dia ingin tetap tenang menghadapi ayah yang sangat dia cintai itu.“Ayah harap kamu segera mempersiapkan diri. Ayah melakukan semua ini juga untuk kebaikan kamu. Ayah akan mengatur semuanya, jadi kamu terima beres saja.”“Nou harap Nou tidak akan kecewa dengan keputusan ayah ini.” Balasan singkat Noura mengakhiri obrolan mereka. Percuma saja dia membantah. Biarlah dia menerima untuk saat ini.Jaka mengekor langkah wanita itu dengan matanya hingga menghilang dari pandangan. Dia menyimpulkan, Noura yang keras kepala, tidak terima akan keputusan sang ayah. Namun, wanita itu tak menunjukkan emosi yang berlebihan, tak sekali pun dia meninggikan suara. Jaka dapat melihat, seperti apa kilat kemarahan di mata wanita itu. Noura pasti diajarkan tata kerama dengan baik.***“Amnesia? Bisakah dia dipercaya?” Noura masih belum jelas cerita lengkapnya. Sekarang dia memang
***"Saya terima nikah dan kawinnya Noura Arumi binti Sugiarto dengan mas kawin seperangkat alat shalat serta uang satu juta rupiah dibayar tunai!""Sah?""Sah!""Sah …!"Dengan sekali hembusan napas, Prawira mengucapkan lafas akad, dan resmi menjadikan Noura sebagai istrinya. Dia tidak menyangka, akan selega ini rasanya. Seakan seluruh beban yang tak dia harapkan terasa ringan seketika. Statusnya telah berubah, menjadi seorangpun suami. Otomatis tanggung jawab pun kian bertambah. Semua janji yang dia ucapkan di depan saksi, penghulu serta dihadapan tamu, akan menjadi pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Namun, pernikahan ini baru awal dari sebuah perjalanan. Akankah dia bisa menjalani rumah tangga dengan wanita itu?Di sisi lain, setetes air mata jatuh tanpa dipaksa di pipi wanita yang kini telah resmi menjadi seorang istri. Semua karena keterpaksaan yang membuatnya harus mengalah demi kebahagiaan sang Ayah. Pria yang merupakan cinta pertama, yang melakukan banyak hal demi hidupny
Prawira menghela napas berat. Tidak tahukah wanita itu? Hal yang dipikirkan Prawira sudah tidak sama. Sejak setelah dia melafaskan akad, sejak pertama dia mengecup kening wanita itu. Prawira telah berjanji dalam hatinya, janjinya bukan sekedar amanah, bukan juga karena sekedar rasa balas budi. Tetapi, kesungguhan yang akan dia pertanggungjawaban di hadapan Allah."Bagaimana, Mas? Ada poin yang harus ditambahkan?" tanya Noura dan Prawira menggeleng. "Kalau begitu, silakan tanda tangan." Dia menyerahkan pulpen hitam di hadapan Prawira.Tanpa kerelaan dalam hati, Prawira pun menandatangani perjanjian itu. Tangannya bergetar, tanpa bisa dia kendalikan. Sebuah pernikahan seharusnya tidak boleh dibuat seperti ini. Salah, tentu saja ini salah. Namun, dia juga tidak bisa memaksa sang istri untuk menerima dirinya kini. Biarkanlah sekarang berjalan apa adanya."Terima kasih, Mas Prawira." Noura pun menandatangani bagiannya.Kini mereka kembali terdiam setelah urusan perjanjian selesai. Prawira
Suara azan subuh berkumandang sangat merdu. Prawira terbangun karena nyanyian itu memanggil untuk melaksanakan ibadah. Setelah mandi dan rapi dengan baju koko juga sarung, pria itu membangunkan sang istri. Noura menggeliat, melenguh merasakan tubuhnya tergoncang.Noura membuka mata dan langsung mendorong tangan pria itu. "Mau apa kamu, Mas!" Dia langsung beringsut ke belakang. Menyilangkan kedua tangan di dada."Saya cuma membangunkan kamu, ayo subuhan dulu," jawab Prawira datar mengembalikan tangan ke posisi semula. Dia mundur selangkah.Tatapan mata Noura lurus sejajar pada pria di hadapannya. "Tapi jangan pegang-pegang juga. Panggil aja, kan bisa." Dia menatap nyalang."Maaf, saya sudah panggil kamu beberapa kali tadi," jawab Prawira kemudian. Ini hari pertama sebagai suami istri, dan mereka sudah berdebat.Tak memperpanjang masalah, wanita itu beranjak dari tempat tidurnya. Langsung masuk ke kamar mandi dengan wajah masam. Dia mengerutu entah apa, menutup pintu sedikit keras.Praw
Di meja makan sudah menunggu Pak Sugiarto serta Noura. Prawira yang sudah berganti pakaian, langsung menghampiri mereka. Sarapan sudah tertata di tengah meja. Sekilas dia memandang Noura yang tersenyum, lalu Pak Sugiarto. Prawira mengangguk sopan. Ini pertama kalinya pria itu duduk bersama di meja makan, sebagai seorang menantu. Sebelumnya Prawira jarang mau ikut makan dengan ayah dari istrinya itu."Jaka, duduk sini. Mulai sekarang kamu harus makan satu meja dengan saya. Jangan nolak lagi kayak kemarin-kemarin," ujar Pak Sugiarto."Iya, Yah." Prawira pun duduk berseberangan dengan mertuanya itu, sementara Noura di sebelah. Dia melihat hidangan di meja makan. Sarapannya pagi ini sepertinya akan terasa sangat nikmat.Tanpa diminta, Noura mengambilkannya makanan. Menanyainya mau makan apa, sambil tersenyum ramah. Layaknya seperti suami sungguhan, dia dilayani. Sepertinya wanita itu memainkan peran sangat baik. Prawira pun harus melakukan hal yang sama, bersikap mesra pada sang istri dan
Di meja makan sudah menunggu Pak Sugiarto serta Noura. Prawira yang sudah berganti pakaian, langsung menghampiri mereka. Sarapan sudah tertata di tengah meja. Sekilas dia memandang Noura yang tersenyum, lalu Pak Sugiarto. Prawira mengangguk sopan. Ini pertama kalinya pria itu duduk bersama di meja makan, sebagai seorang menantu. Sebelumnya Prawira jarang mau ikut makan dengan ayah dari istrinya itu."Jaka, duduk sini. Mulai sekarang kamu harus makan satu meja dengan saya. Jangan nolak lagi kayak kemarin-kemarin," ujar Pak Sugiarto."Iya, Yah." Prawira pun duduk berseberangan dengan mertuanya itu, sementara Noura di sebelah. Dia melihat hidangan di meja makan. Sarapannya pagi ini sepertinya akan terasa sangat nikmat.Tanpa diminta, Noura mengambilkannya makanan. Menanyainya mau makan apa, sambil tersenyum ramah. Layaknya seperti suami sungguhan, dia dilayani. Sepertinya wanita itu memainkan peran sangat baik. Prawira pun harus melakukan hal yang sama, bersikap mesra pada sang istri dan
Suara azan subuh berkumandang sangat merdu. Prawira terbangun karena nyanyian itu memanggil untuk melaksanakan ibadah. Setelah mandi dan rapi dengan baju koko juga sarung, pria itu membangunkan sang istri. Noura menggeliat, melenguh merasakan tubuhnya tergoncang.Noura membuka mata dan langsung mendorong tangan pria itu. "Mau apa kamu, Mas!" Dia langsung beringsut ke belakang. Menyilangkan kedua tangan di dada."Saya cuma membangunkan kamu, ayo subuhan dulu," jawab Prawira datar mengembalikan tangan ke posisi semula. Dia mundur selangkah.Tatapan mata Noura lurus sejajar pada pria di hadapannya. "Tapi jangan pegang-pegang juga. Panggil aja, kan bisa." Dia menatap nyalang."Maaf, saya sudah panggil kamu beberapa kali tadi," jawab Prawira kemudian. Ini hari pertama sebagai suami istri, dan mereka sudah berdebat.Tak memperpanjang masalah, wanita itu beranjak dari tempat tidurnya. Langsung masuk ke kamar mandi dengan wajah masam. Dia mengerutu entah apa, menutup pintu sedikit keras.Praw
Prawira menghela napas berat. Tidak tahukah wanita itu? Hal yang dipikirkan Prawira sudah tidak sama. Sejak setelah dia melafaskan akad, sejak pertama dia mengecup kening wanita itu. Prawira telah berjanji dalam hatinya, janjinya bukan sekedar amanah, bukan juga karena sekedar rasa balas budi. Tetapi, kesungguhan yang akan dia pertanggungjawaban di hadapan Allah."Bagaimana, Mas? Ada poin yang harus ditambahkan?" tanya Noura dan Prawira menggeleng. "Kalau begitu, silakan tanda tangan." Dia menyerahkan pulpen hitam di hadapan Prawira.Tanpa kerelaan dalam hati, Prawira pun menandatangani perjanjian itu. Tangannya bergetar, tanpa bisa dia kendalikan. Sebuah pernikahan seharusnya tidak boleh dibuat seperti ini. Salah, tentu saja ini salah. Namun, dia juga tidak bisa memaksa sang istri untuk menerima dirinya kini. Biarkanlah sekarang berjalan apa adanya."Terima kasih, Mas Prawira." Noura pun menandatangani bagiannya.Kini mereka kembali terdiam setelah urusan perjanjian selesai. Prawira
***"Saya terima nikah dan kawinnya Noura Arumi binti Sugiarto dengan mas kawin seperangkat alat shalat serta uang satu juta rupiah dibayar tunai!""Sah?""Sah!""Sah …!"Dengan sekali hembusan napas, Prawira mengucapkan lafas akad, dan resmi menjadikan Noura sebagai istrinya. Dia tidak menyangka, akan selega ini rasanya. Seakan seluruh beban yang tak dia harapkan terasa ringan seketika. Statusnya telah berubah, menjadi seorangpun suami. Otomatis tanggung jawab pun kian bertambah. Semua janji yang dia ucapkan di depan saksi, penghulu serta dihadapan tamu, akan menjadi pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Namun, pernikahan ini baru awal dari sebuah perjalanan. Akankah dia bisa menjalani rumah tangga dengan wanita itu?Di sisi lain, setetes air mata jatuh tanpa dipaksa di pipi wanita yang kini telah resmi menjadi seorang istri. Semua karena keterpaksaan yang membuatnya harus mengalah demi kebahagiaan sang Ayah. Pria yang merupakan cinta pertama, yang melakukan banyak hal demi hidupny
Panggilan sang ayah membuat langkah wanita itu terhenti. Dia kembali berbalik setelah menghela napas ringan. Bagaimanapun juga dia ingin tetap tenang menghadapi ayah yang sangat dia cintai itu.“Ayah harap kamu segera mempersiapkan diri. Ayah melakukan semua ini juga untuk kebaikan kamu. Ayah akan mengatur semuanya, jadi kamu terima beres saja.”“Nou harap Nou tidak akan kecewa dengan keputusan ayah ini.” Balasan singkat Noura mengakhiri obrolan mereka. Percuma saja dia membantah. Biarlah dia menerima untuk saat ini.Jaka mengekor langkah wanita itu dengan matanya hingga menghilang dari pandangan. Dia menyimpulkan, Noura yang keras kepala, tidak terima akan keputusan sang ayah. Namun, wanita itu tak menunjukkan emosi yang berlebihan, tak sekali pun dia meninggikan suara. Jaka dapat melihat, seperti apa kilat kemarahan di mata wanita itu. Noura pasti diajarkan tata kerama dengan baik.***“Amnesia? Bisakah dia dipercaya?” Noura masih belum jelas cerita lengkapnya. Sekarang dia memang
"Ayah … Nou nggak mau. Dia …."Tatapan mata Noura nyalang melihat pada Jaka yang duduk diseberangnya. Sedangkan pria itu hanya berwajah datar setelah Pak Sugiarto mengatakan keinginan. Apalagi, tentu saja Jaka sudah tahu tentang hal ini sebelumnya."Menikah dengan, Mas Jaka? Yang benar aja, Yah. Noura baru kenal dia juga tiga hari ini. Tau nama aslinya juga tidak. Sama dirinya sendiri saja dia tidak ingat. Kami tidak dekat, ngobrol juga jarang. Kenapa tiba-tiba Ayah suruh Nou nikah sama dia?" Noura lantas menolak setengah merengek."Karena pilihan Ayah jatuh pada Jaka, Nou." Pak Sugiarto memberi alasan.Noura tampak bersedekap, menegangkan otot wajah. Dia terlihat sangat marah. "Kamu juga, Mas. Kenapa diam aja, sih? Pasti kamu sudah setuju dari awal, kan?" Sekarang matanya beralih menatap pria itu, nyalang.Jaka hanya bisa diam melihat wanita itu mendengus, menajamkan matanya. Terlihat dia menahan rasa di dirinya. Hati pria itu sama sekali tidak dipaksa, dia ikhlas menerima keputusan