Prawira menghela napas berat. Tidak tahukah wanita itu? Hal yang dipikirkan Prawira sudah tidak sama. Sejak setelah dia melafaskan akad, sejak pertama dia mengecup kening wanita itu. Prawira telah berjanji dalam hatinya, janjinya bukan sekedar amanah, bukan juga karena sekedar rasa balas budi. Tetapi, kesungguhan yang akan dia pertanggungjawaban di hadapan Allah.
"Bagaimana, Mas? Ada poin yang harus ditambahkan?" tanya Noura dan Prawira menggeleng. "Kalau begitu, silakan tanda tangan." Dia menyerahkan pulpen hitam di hadapan Prawira.
Tanpa kerelaan dalam hati, Prawira pun menandatangani perjanjian itu. Tangannya bergetar, tanpa bisa dia kendalikan. Sebuah pernikahan seharusnya tidak boleh dibuat seperti ini. Salah, tentu saja ini salah. Namun, dia juga tidak bisa memaksa sang istri untuk menerima dirinya kini. Biarkanlah sekarang berjalan apa adanya.
"Terima kasih, Mas Prawira." Noura pun menandatangani bagiannya.
Kini mereka kembali terdiam setelah urusan perjanjian selesai. Prawira tampak ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi, niatnya itu dia urungkan. Hingga Noura akhirnya membuka suara memecah kesunyian.
"Maaf, saya harus membuat perjanjian ini," ucap Noura lirih. Mencoba menatap pria di hadapannya, dan berkata sejujur-jujurnya.
Prawira tetap dengan posisi tegapnya. "Bukankah ini yang kamu mau, kenapa meminta maaf?" Dia menatap lurus kedepan, menghindari tatapan wanita itu. Wajahnya terlihat datar dan menahan amarah.
"Iya, Mas. Saya punya alasan melakukan hal ini. Selain karena kita belum terlalu saling kenal, masih ada alasan utama." Noura menghela napas sejenak. "Sekarang saya harus jujur pada, Mas. Sebenarnya saya punya kekasih. Kami sudah berhubungan selama tiga tahun. Sebelumnya saya berniat untuk memperkenalkannya pada ayah. Tapi, pacar saya masih bertugas di papua. Dan dia juga belum siap menikah untuk sekarang ini."
Pernyataan Noura akhirnya membuat Prawira menoleh. Haruskah wanita itu sejujur ini?
Perasaan terluka serta merta Prawira rasakan. Walau sekarang dia belum mempunyai perasaan apa pun pada wanita di depan ini. Namun, hati pria itu pernah sedikit tersentuh pada Noura sebelum menjadi istrinya. Seorang wanita yang pantang menyerah, Prawira dapat menilai dengan pengamatannya selama satu Minggu ini. Sepertinya perjuangan Noura mencapai titik sekarang tidaklah mudah.
Prawira mengepalkan tangan menekan pahanya. Entah kenapa sakit, begitu mendengar penuturan yang sangat jujur dari istri sahnya tersebut. Mungkin karena merasa dia yang lebih berhak akan Noura, dari segi hukum maupun agama. Seharusnya Prawira tak dapat dibandingkan dengan pria manapun di luar sana.
"Poin keempat yang tertulis di sini. Saya harap Mas Prawira tidak mencampuri urusan pribadi dengan kekasih saya." Lanjut Noura menjelaskan. Namun, dia tak melihat reaksi pada pria itu. "Mas … Pra?"
Senyum kecut pria sematkan. "Saya paham … tapi saya harap kamu tau batasan. Sebab, apa pun yang dilakukan seorang istri, suami yang akan bertanggung jawab. Baik di hadapan ayah kamu juga di hadapan Allah, saya yang akan menanggungnya," ucap Prawira datar. Dia sebenarnya ingin mengubah keadaan, tapi sepertinya belum bisa.
Noura terhenyak. "Iya, Mas … saya tau.”
Awal pertemuannya dengan Noura sudah buruk. Kini dengan status mereka sekarang, Prawira ingin lebih dekat lagi dengan wanita itu. Tetapi, Cara Noura ini … ya sudahlah.
Kemudian suasana hening. Dalam beberapa saat tak ada dari mereka yang ingin melanjutkan pembicaraan, tak memandang satu sama lain. Lalu, terdengar helaan napas kecil Prawira. Dia berdiri, mendekati tempat tidur dan mengambil satu bantal.
"Kamu masih ada selimut lain?" tanya pria itu kemudian.
"Hah? Selimut?"
"Iya, saya mau tidur di bawah. Atau kamu mau saya tidur di atas kasur sama kamu?" tunjuknya pada tempat tidur dan bawah bergantian. Tatapannya datar pada wanita itu, yang seketika membuat Noura gelagapan.
"Ehh … iya, sebentar, Mas." Noura lalu mengambil selimut ekstra di lemari. Lalu memberikan pada Prawira yang telah berdiri di sisi kiri ranjang.
Selimut itu dia ambil dan mengibaskan pada karpet, kemudian menata bantal, lalu dia pun berbaring. "Selamat malam, Noura," ucap Prawira sebelum memejamkan mata.
"Iya, Mas. Selamat malam," balas Noura. Dia juga kembali naik ke tempat tidur.
Prawira memiringkan tubuhnya membelakangi ranjang. Dia kembali membuka mata, tampaknya tengah memikirkan tentang kehidupan yang dia jalani beberapa bulan ini. Hidupnya yang terlalu rumit, terlalu banyak keadaan yang sulit. Hingga kini dia bertemu dengan Noura. Selama ini tidak ada wanita manapun yang pernah membuatnya tertarik.
Semula Prawira pikir, keadaan tidak akan seperti ini. Apakah tadi saat akad pria itu salah melihat? Ketika detik pertama setelah dia mengecup kening Noura, Prawira yakin wanita itu tersenyum. Bukan senyuman yang terpaksa. Tergambar keridaan dalam raut wajah wanita itu, terlihat teduh dan aura kecantikan benar-benar muncul dari sana.
"Hah … sepertinya aku salah," batinnya. Prawira sekali lagi menghela napas, dia pun memejamkan mata, tak ingin terlalu larut memikirkan yang akan terjadi.
Sama halnya dengan Noura. Mata wanita itu juga masih belum bisa terpejam. Banyak hal yang berputar dalam pikirannya kini. Tentang bagaimana dia menjalani pernikahan palsu ini. Bagaimana caranya dia menghadapi kekasihnya nanti. Cara apa yang harus dia gunakan untuk mengakhiri semua ini.
“Mas Pra.”
Wanita itu mencoba membuka suara. Entah karena keheningan ini atau karena dia juga merasa pria yang tengah berbaring di bawah juga belum terlelap. Namun, panggilannya tidak mendapat jawaban.
“Mas Prawira ... sudah tidur?” Dia mencoba sekali lagi.
“Ada apa?” jawab pria itu masih diam dalam posisi tidurnya. Ingin terus diam, tapi hatinya tergerak untuk menjawab.
“Mas sama sekali tidak ingat di mana keluarga Mas? Apa Mas sudah pernah mencoba mengingat?”
Pertanyaan Noura sontak membuat pria itu mengubah posisinya hingga telentang. "Saya sudah coba mengingat, tapi tidak bisa."
Noura pun kembali duduk, menggeser posisi mendekat. Membuat pria itu juga ikut bangkit karena merasakan gerakan Noura.
“Di KTP alamat Mas juga di kota, bukan? Sudah hilang selama beberapa bulan, mungkin saja keluarga Mas sudah melapor.”
“Mungkin saja.”
“Mau saya bantu mencari keluarga, Mas?”
“Bagaimana?”
“Besok kita ke kantor polisi.”
Prawira lantas terdiam, enggan untuk melanjutkan pembicaraan. “Sebaiknya kita tidur dulu. Sudah lelah seharian ini. Masalah ini bisa dibahas lain kali lagi.” Dan dia kembali ke posisi tidur.
Rasa penasaran Noura semakin besar. Seperti ada yang ditutupi oleh pria itu. Setidaknya saat ini dia tau apa yang dilakukan selanjutnya. Jika Prawira tidak mau bekerjasama, dia akan melakukan pencarian sendiri.
“Apa yang sedang kamu sembunyikan, Mas? Apa kamu benar-benar amnesia?”
Suara azan subuh berkumandang sangat merdu. Prawira terbangun karena nyanyian itu memanggil untuk melaksanakan ibadah. Setelah mandi dan rapi dengan baju koko juga sarung, pria itu membangunkan sang istri. Noura menggeliat, melenguh merasakan tubuhnya tergoncang.Noura membuka mata dan langsung mendorong tangan pria itu. "Mau apa kamu, Mas!" Dia langsung beringsut ke belakang. Menyilangkan kedua tangan di dada."Saya cuma membangunkan kamu, ayo subuhan dulu," jawab Prawira datar mengembalikan tangan ke posisi semula. Dia mundur selangkah.Tatapan mata Noura lurus sejajar pada pria di hadapannya. "Tapi jangan pegang-pegang juga. Panggil aja, kan bisa." Dia menatap nyalang."Maaf, saya sudah panggil kamu beberapa kali tadi," jawab Prawira kemudian. Ini hari pertama sebagai suami istri, dan mereka sudah berdebat.Tak memperpanjang masalah, wanita itu beranjak dari tempat tidurnya. Langsung masuk ke kamar mandi dengan wajah masam. Dia mengerutu entah apa, menutup pintu sedikit keras.Praw
Di meja makan sudah menunggu Pak Sugiarto serta Noura. Prawira yang sudah berganti pakaian, langsung menghampiri mereka. Sarapan sudah tertata di tengah meja. Sekilas dia memandang Noura yang tersenyum, lalu Pak Sugiarto. Prawira mengangguk sopan. Ini pertama kalinya pria itu duduk bersama di meja makan, sebagai seorang menantu. Sebelumnya Prawira jarang mau ikut makan dengan ayah dari istrinya itu."Jaka, duduk sini. Mulai sekarang kamu harus makan satu meja dengan saya. Jangan nolak lagi kayak kemarin-kemarin," ujar Pak Sugiarto."Iya, Yah." Prawira pun duduk berseberangan dengan mertuanya itu, sementara Noura di sebelah. Dia melihat hidangan di meja makan. Sarapannya pagi ini sepertinya akan terasa sangat nikmat.Tanpa diminta, Noura mengambilkannya makanan. Menanyainya mau makan apa, sambil tersenyum ramah. Layaknya seperti suami sungguhan, dia dilayani. Sepertinya wanita itu memainkan peran sangat baik. Prawira pun harus melakukan hal yang sama, bersikap mesra pada sang istri dan
"Ayah … Nou nggak mau. Dia …."Tatapan mata Noura nyalang melihat pada Jaka yang duduk diseberangnya. Sedangkan pria itu hanya berwajah datar setelah Pak Sugiarto mengatakan keinginan. Apalagi, tentu saja Jaka sudah tahu tentang hal ini sebelumnya."Menikah dengan, Mas Jaka? Yang benar aja, Yah. Noura baru kenal dia juga tiga hari ini. Tau nama aslinya juga tidak. Sama dirinya sendiri saja dia tidak ingat. Kami tidak dekat, ngobrol juga jarang. Kenapa tiba-tiba Ayah suruh Nou nikah sama dia?" Noura lantas menolak setengah merengek."Karena pilihan Ayah jatuh pada Jaka, Nou." Pak Sugiarto memberi alasan.Noura tampak bersedekap, menegangkan otot wajah. Dia terlihat sangat marah. "Kamu juga, Mas. Kenapa diam aja, sih? Pasti kamu sudah setuju dari awal, kan?" Sekarang matanya beralih menatap pria itu, nyalang.Jaka hanya bisa diam melihat wanita itu mendengus, menajamkan matanya. Terlihat dia menahan rasa di dirinya. Hati pria itu sama sekali tidak dipaksa, dia ikhlas menerima keputusan
Panggilan sang ayah membuat langkah wanita itu terhenti. Dia kembali berbalik setelah menghela napas ringan. Bagaimanapun juga dia ingin tetap tenang menghadapi ayah yang sangat dia cintai itu.“Ayah harap kamu segera mempersiapkan diri. Ayah melakukan semua ini juga untuk kebaikan kamu. Ayah akan mengatur semuanya, jadi kamu terima beres saja.”“Nou harap Nou tidak akan kecewa dengan keputusan ayah ini.” Balasan singkat Noura mengakhiri obrolan mereka. Percuma saja dia membantah. Biarlah dia menerima untuk saat ini.Jaka mengekor langkah wanita itu dengan matanya hingga menghilang dari pandangan. Dia menyimpulkan, Noura yang keras kepala, tidak terima akan keputusan sang ayah. Namun, wanita itu tak menunjukkan emosi yang berlebihan, tak sekali pun dia meninggikan suara. Jaka dapat melihat, seperti apa kilat kemarahan di mata wanita itu. Noura pasti diajarkan tata kerama dengan baik.***“Amnesia? Bisakah dia dipercaya?” Noura masih belum jelas cerita lengkapnya. Sekarang dia memang
***"Saya terima nikah dan kawinnya Noura Arumi binti Sugiarto dengan mas kawin seperangkat alat shalat serta uang satu juta rupiah dibayar tunai!""Sah?""Sah!""Sah …!"Dengan sekali hembusan napas, Prawira mengucapkan lafas akad, dan resmi menjadikan Noura sebagai istrinya. Dia tidak menyangka, akan selega ini rasanya. Seakan seluruh beban yang tak dia harapkan terasa ringan seketika. Statusnya telah berubah, menjadi seorangpun suami. Otomatis tanggung jawab pun kian bertambah. Semua janji yang dia ucapkan di depan saksi, penghulu serta dihadapan tamu, akan menjadi pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Namun, pernikahan ini baru awal dari sebuah perjalanan. Akankah dia bisa menjalani rumah tangga dengan wanita itu?Di sisi lain, setetes air mata jatuh tanpa dipaksa di pipi wanita yang kini telah resmi menjadi seorang istri. Semua karena keterpaksaan yang membuatnya harus mengalah demi kebahagiaan sang Ayah. Pria yang merupakan cinta pertama, yang melakukan banyak hal demi hidupny
Di meja makan sudah menunggu Pak Sugiarto serta Noura. Prawira yang sudah berganti pakaian, langsung menghampiri mereka. Sarapan sudah tertata di tengah meja. Sekilas dia memandang Noura yang tersenyum, lalu Pak Sugiarto. Prawira mengangguk sopan. Ini pertama kalinya pria itu duduk bersama di meja makan, sebagai seorang menantu. Sebelumnya Prawira jarang mau ikut makan dengan ayah dari istrinya itu."Jaka, duduk sini. Mulai sekarang kamu harus makan satu meja dengan saya. Jangan nolak lagi kayak kemarin-kemarin," ujar Pak Sugiarto."Iya, Yah." Prawira pun duduk berseberangan dengan mertuanya itu, sementara Noura di sebelah. Dia melihat hidangan di meja makan. Sarapannya pagi ini sepertinya akan terasa sangat nikmat.Tanpa diminta, Noura mengambilkannya makanan. Menanyainya mau makan apa, sambil tersenyum ramah. Layaknya seperti suami sungguhan, dia dilayani. Sepertinya wanita itu memainkan peran sangat baik. Prawira pun harus melakukan hal yang sama, bersikap mesra pada sang istri dan
Suara azan subuh berkumandang sangat merdu. Prawira terbangun karena nyanyian itu memanggil untuk melaksanakan ibadah. Setelah mandi dan rapi dengan baju koko juga sarung, pria itu membangunkan sang istri. Noura menggeliat, melenguh merasakan tubuhnya tergoncang.Noura membuka mata dan langsung mendorong tangan pria itu. "Mau apa kamu, Mas!" Dia langsung beringsut ke belakang. Menyilangkan kedua tangan di dada."Saya cuma membangunkan kamu, ayo subuhan dulu," jawab Prawira datar mengembalikan tangan ke posisi semula. Dia mundur selangkah.Tatapan mata Noura lurus sejajar pada pria di hadapannya. "Tapi jangan pegang-pegang juga. Panggil aja, kan bisa." Dia menatap nyalang."Maaf, saya sudah panggil kamu beberapa kali tadi," jawab Prawira kemudian. Ini hari pertama sebagai suami istri, dan mereka sudah berdebat.Tak memperpanjang masalah, wanita itu beranjak dari tempat tidurnya. Langsung masuk ke kamar mandi dengan wajah masam. Dia mengerutu entah apa, menutup pintu sedikit keras.Praw
Prawira menghela napas berat. Tidak tahukah wanita itu? Hal yang dipikirkan Prawira sudah tidak sama. Sejak setelah dia melafaskan akad, sejak pertama dia mengecup kening wanita itu. Prawira telah berjanji dalam hatinya, janjinya bukan sekedar amanah, bukan juga karena sekedar rasa balas budi. Tetapi, kesungguhan yang akan dia pertanggungjawaban di hadapan Allah."Bagaimana, Mas? Ada poin yang harus ditambahkan?" tanya Noura dan Prawira menggeleng. "Kalau begitu, silakan tanda tangan." Dia menyerahkan pulpen hitam di hadapan Prawira.Tanpa kerelaan dalam hati, Prawira pun menandatangani perjanjian itu. Tangannya bergetar, tanpa bisa dia kendalikan. Sebuah pernikahan seharusnya tidak boleh dibuat seperti ini. Salah, tentu saja ini salah. Namun, dia juga tidak bisa memaksa sang istri untuk menerima dirinya kini. Biarkanlah sekarang berjalan apa adanya."Terima kasih, Mas Prawira." Noura pun menandatangani bagiannya.Kini mereka kembali terdiam setelah urusan perjanjian selesai. Prawira
***"Saya terima nikah dan kawinnya Noura Arumi binti Sugiarto dengan mas kawin seperangkat alat shalat serta uang satu juta rupiah dibayar tunai!""Sah?""Sah!""Sah …!"Dengan sekali hembusan napas, Prawira mengucapkan lafas akad, dan resmi menjadikan Noura sebagai istrinya. Dia tidak menyangka, akan selega ini rasanya. Seakan seluruh beban yang tak dia harapkan terasa ringan seketika. Statusnya telah berubah, menjadi seorangpun suami. Otomatis tanggung jawab pun kian bertambah. Semua janji yang dia ucapkan di depan saksi, penghulu serta dihadapan tamu, akan menjadi pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Namun, pernikahan ini baru awal dari sebuah perjalanan. Akankah dia bisa menjalani rumah tangga dengan wanita itu?Di sisi lain, setetes air mata jatuh tanpa dipaksa di pipi wanita yang kini telah resmi menjadi seorang istri. Semua karena keterpaksaan yang membuatnya harus mengalah demi kebahagiaan sang Ayah. Pria yang merupakan cinta pertama, yang melakukan banyak hal demi hidupny
Panggilan sang ayah membuat langkah wanita itu terhenti. Dia kembali berbalik setelah menghela napas ringan. Bagaimanapun juga dia ingin tetap tenang menghadapi ayah yang sangat dia cintai itu.“Ayah harap kamu segera mempersiapkan diri. Ayah melakukan semua ini juga untuk kebaikan kamu. Ayah akan mengatur semuanya, jadi kamu terima beres saja.”“Nou harap Nou tidak akan kecewa dengan keputusan ayah ini.” Balasan singkat Noura mengakhiri obrolan mereka. Percuma saja dia membantah. Biarlah dia menerima untuk saat ini.Jaka mengekor langkah wanita itu dengan matanya hingga menghilang dari pandangan. Dia menyimpulkan, Noura yang keras kepala, tidak terima akan keputusan sang ayah. Namun, wanita itu tak menunjukkan emosi yang berlebihan, tak sekali pun dia meninggikan suara. Jaka dapat melihat, seperti apa kilat kemarahan di mata wanita itu. Noura pasti diajarkan tata kerama dengan baik.***“Amnesia? Bisakah dia dipercaya?” Noura masih belum jelas cerita lengkapnya. Sekarang dia memang
"Ayah … Nou nggak mau. Dia …."Tatapan mata Noura nyalang melihat pada Jaka yang duduk diseberangnya. Sedangkan pria itu hanya berwajah datar setelah Pak Sugiarto mengatakan keinginan. Apalagi, tentu saja Jaka sudah tahu tentang hal ini sebelumnya."Menikah dengan, Mas Jaka? Yang benar aja, Yah. Noura baru kenal dia juga tiga hari ini. Tau nama aslinya juga tidak. Sama dirinya sendiri saja dia tidak ingat. Kami tidak dekat, ngobrol juga jarang. Kenapa tiba-tiba Ayah suruh Nou nikah sama dia?" Noura lantas menolak setengah merengek."Karena pilihan Ayah jatuh pada Jaka, Nou." Pak Sugiarto memberi alasan.Noura tampak bersedekap, menegangkan otot wajah. Dia terlihat sangat marah. "Kamu juga, Mas. Kenapa diam aja, sih? Pasti kamu sudah setuju dari awal, kan?" Sekarang matanya beralih menatap pria itu, nyalang.Jaka hanya bisa diam melihat wanita itu mendengus, menajamkan matanya. Terlihat dia menahan rasa di dirinya. Hati pria itu sama sekali tidak dipaksa, dia ikhlas menerima keputusan