Suara azan subuh berkumandang sangat merdu. Prawira terbangun karena nyanyian itu memanggil untuk melaksanakan ibadah. Setelah mandi dan rapi dengan baju koko juga sarung, pria itu membangunkan sang istri. Noura menggeliat, melenguh merasakan tubuhnya tergoncang.
Noura membuka mata dan langsung mendorong tangan pria itu. "Mau apa kamu, Mas!" Dia langsung beringsut ke belakang. Menyilangkan kedua tangan di dada.
"Saya cuma membangunkan kamu, ayo subuhan dulu," jawab Prawira datar mengembalikan tangan ke posisi semula. Dia mundur selangkah.
Tatapan mata Noura lurus sejajar pada pria di hadapannya. "Tapi jangan pegang-pegang juga. Panggil aja, kan bisa." Dia menatap nyalang.
"Maaf, saya sudah panggil kamu beberapa kali tadi," jawab Prawira kemudian. Ini hari pertama sebagai suami istri, dan mereka sudah berdebat.
Tak memperpanjang masalah, wanita itu beranjak dari tempat tidurnya. Langsung masuk ke kamar mandi dengan wajah masam. Dia mengerutu entah apa, menutup pintu sedikit keras.
Prawira pun menghembuskan napas panjang. Sebaiknya dia langsung ke masjid saja. "Noura, saya ke masjid dulu, ya!" seru Prawira saat di depan pintu kamar mandi.
Tak terdengar jawaban dari dalam sana, pria itu pun melangkah meninggalkan kamar. Setelah berada di ruang tamu, terlihat sang mertua juga baru keluar dari kamar. Tampak Pak Sugiarto sepertinya juga ingin solat ke masjid.
"Bapak mau ke masjid?" sapanya menghentikan langkah kaki Pak Sugiarto.
Ayah mertua Prawira menoleh, sambil mengerutkan kening. "Loh … kamu mau ke Masjid, Jaka?" Dia pikir menantunya itu akan salat di rumah saja dengan Noura.
"Iya, Pak." Prawira mengangguk.
"Jangan panggil saya 'bapak' lagi dong, Prawira. Kamu itu sudah menjadi menantu saya. Panggil saya 'ayah' sama seperti Noura!" perintah Pak Sugiarto.
"Baik … Ayah."
Pundak Prawira ditepuk, Ayah mertuanya itu tersenyum. Ada perasaan hangat ketika merasakan cara Pak Sugiarto memperlakukannya. Selama bertahun-tahun Prawira tidak pernah merasakan seperti ini lagi kebersamaan bersama orang tua laki-lakinya. Kini perasaan itu kembali hadir setelah bertemu dengan sang penyelamatnya ini.
Rasanya sedikit aneh atau hanya kebetulan. Pak Sugiarto terlalu baik padanya. Sangat baik, seperti mereka sudah saling mengenal sangat lama. Seolah dirinya sudah dianggap anak sendiri.
***
Setelah kembali dari masjid Prawira langsung masuk ke kamarnya di paviliun belakang rumah. Mengganti pakaian dan segera menuju pangkalan Bakso untuk bekerja. Tak tau bagaimana dengan Noura, dia pun rasanya enggan untuk mengganggu istrinya itu.
"Mas Jaka? Kenapa di sini?" Mas Kardiman, orang yang biasa mengatur semua keperluan untuk Bakso, menyapa. Dia baru saja akan menyiapkan bahan-bahan.
Prawira memasuki dapur hendak membantu Kardiman mengiling adonan. "Lalu, saya seharusnya di mana, Man?" tanyanya.
"Ya di kamar manten lah, Mas. Pengantin baru … emang nggak capek ya, semalam?" Alis Kardiman terlihat naik turun.
"Ya, capek lah, Man." Prawira menanggapi pertanyaan yang sebenarnya mengarah ke maksud lain. Namun, jawabannya tidak salah juga, karena dia memang kelelahan karena berdiri seharian penuh.
Kardiman tersenyum mesum. "Jadi … berapa ronde, Mas?" tanya Kardiman menaik turunkan alis, lagi. Senyumnya terlihat menggelikan, sampai membuat Prawira mendelik tajam. Dia pun tertawa terbahak-bahak. Pengantin baru memang mengasyikkan jika digoda, pikirannya.
Prawira menggeleng, hanya bisa tersenyum digoda seperti itu. "Kamu tidak akan sanggup kalau tau saya kuat berapa ronde. Stamina saya jauh lebih kuat dari kamu," sarkasnya, lalu tertawa.
Namun, tentu saja ejekan itu hanya candaan, Kardiman tau itu. Dia pun ikut tertawa bersama.
Hari ini tidak banyak adonan bakso dibuat. Warung juga tidak dibuka, hanya empat gerobak bakso saja yang akan berkeliling kampung. Itu pun hanya setengah dari target hari biasa per gerobak. Walau baru selesai mengadakan hajatan, tidak mungkin membiarkan pada pegawai tidak berpenghasilan. Pak Sugiarto selalu mengutamakan kesejahteraan pegawainya adalah yang paling penting.
Satu jam setelah membantu Kardiman menyiapkan adonan. Prawira kembali ke rumah untuk sarapan. Dia pun langsung menuju kamarnya. Namun, seketika pria itu dikejutkan dengan sosok wanita yang duduk di kursi santai di teras kamarnya, sedang menyilangkan kedua kaki. Noura sepertinya sedang menunggunya datang.
"Mas, dari mana?" serang Noura langsung bertanya. Wajahnya tampak tidak bersahabat.
"Noura? Saya dari pangkalan, bantu Kardiman buat adonan," jawab Prawira. Lalu dia lebih mendekat, ingin masuk ke kamar, tetapi Noura menghalangi. Wanita itu langsung berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang.
"Ya seharusnya Mas bilang dong kalau mau keluar, Ayah jadi nyalahin aku karena nggak tau Mas pergi ke mana!"
"Iya, maaf, saya lupa. Lain kali saya akan kasih tau kamu." Prawira masih bersikap lembut. Salahnya juga tidak memberitahu istrinya itu. Statusnya kini telah berbeda, dia juga harus mempertimbangkan posisinya sebagai suami dan juga menantu di rumah ini.
"Ya udah, sekarang ke dalam, Ayah suruh kita sarapan sama-sama," ucap Noura sedikit kesal.
"Iya, sebentar ya. Saya ganti baju dulu."
Prawira maju selangkah. Noura dengan cepat menghindar menjauhkan tubuhnya. Dia mendengus langsung berbalik dan meninggalkan Prawira. Pria itu menghela napas. Jelas sikap Noura padanya terlihat jauh berbeda ketika dibandingkan dengan orang lain.
***
“Suami kamu mana, Nou?”
“Masih ganti baju di paviliun, Yah. Tadi setelah subuh Mas Pra bantuin bikin adonan di pangkalan.”
Jawaban Noura dibalas anggukan kepala pria paruh baya itu. Hari ini hari pertama sang putri di kehidupan rumah tangga. Di setiap sujud dia berharap, anak sematawayangnya itu dapat bahagia. Meski pilihannya sulit diterima Noura, tapi semua harapan telah dia tanamkan di sana. Kelak saat dia tidak lagi ada, hatinya pun sudah merasa tenang.
“Ayah minta kamu bisa jaga sikap ke suamimu ya, Nou. Ingat kalian sudah menikah, jadi berusahalah untuk patuh dan mendengar perkataan suami. Kamu harus minta persetujuan suamimu kalau mau melakukan apa pun.”
“Iya, Yah. Nou mengerti.”
Percakapan tiba-tiba terhenti karena sebuah panggilan telepon. Saat melihat layar dengan nomor yang familiar, kening Noura mengerut. Ini waktu liburnya, mendapat panggilan tersebut sepertinya sesuatu yang sangat penting.
“Telpon dari kantor?” sela sang ayah.
“Iya, Yah. Sebentar ya, Noura jawab dulu.”
Usai anggukan Noura menekan tombol terima. “Halo ... ya.”
“Halo, Noura. Saya ada perkerjaan penting buat kamu.”
Noura terlihat mendengarkan ucapan lawan bicaranya dengan serius. “Tapi saya masih di kampung, masih cuti, Pak.”
Entah hal mendesak apa yang sedang menyambutnya. Kemungkinan besar itu pasti berhubungan dengan pekerjaan. Suatu hal yang sepertinya tak dapat Noura tolak. Mau bagaimana lagi, profesinya sebagai jurnalis memang harus selalu siap dalam keadaan apa pun. Apalagi jika itu adalah keadaan darurat, sulit bagi Noura untuk menolak.
“Baik, saya harus bagaimana?” balas Noura membalas sebuah arahan. “Selama tidak terlalu mengganggu waktu liburan, saya tidak terlalu masalah.”
Di meja makan sudah menunggu Pak Sugiarto serta Noura. Prawira yang sudah berganti pakaian, langsung menghampiri mereka. Sarapan sudah tertata di tengah meja. Sekilas dia memandang Noura yang tersenyum, lalu Pak Sugiarto. Prawira mengangguk sopan. Ini pertama kalinya pria itu duduk bersama di meja makan, sebagai seorang menantu. Sebelumnya Prawira jarang mau ikut makan dengan ayah dari istrinya itu."Jaka, duduk sini. Mulai sekarang kamu harus makan satu meja dengan saya. Jangan nolak lagi kayak kemarin-kemarin," ujar Pak Sugiarto."Iya, Yah." Prawira pun duduk berseberangan dengan mertuanya itu, sementara Noura di sebelah. Dia melihat hidangan di meja makan. Sarapannya pagi ini sepertinya akan terasa sangat nikmat.Tanpa diminta, Noura mengambilkannya makanan. Menanyainya mau makan apa, sambil tersenyum ramah. Layaknya seperti suami sungguhan, dia dilayani. Sepertinya wanita itu memainkan peran sangat baik. Prawira pun harus melakukan hal yang sama, bersikap mesra pada sang istri dan
Prawira semakin mendekatkan diri, semakin mengintimidasi dengan tatapan mata elangnya. Noura telah nampak pias terpojok. Sisa langkah telah habis, dan punggung Noura melekat pada daun pintu. Debaran jantung tak bisa dikendalikan lagi. Semakin cepat seiring terkikisnya jarak di antara mereka. Dan pria di hadapannya itu pun merasakan hal yang sama."Mas … Pra …," lirik Noura seraya menahan dada sang suami. Menghalangi agar tubuh mereka tidak melekat. Kedua sisi wajah pun mulai terasa panas.Namun, Prawira telah mengungkung wanita itu dengan kedua lengannya. Sehingga Noura benar-benar terlihat tak dapat bergerak saat ini. Dia pun mencoba memundurkan wajah sejauh mungkin, walau tak lagi ada ruang. Pria itu semakin mendekatkan, tatapannya mengunci mata indah milik istrinya."Kamu takut," bisiknya."Kamu mau apa sih, Mas? Ingat, kamu jangan melanggar perjanjian kita." Noura mencoba menghindari tatapan mata pria itu, membuang muka, tapi jantung mulai tidak aman karenanya.Lalu Prawira mendeka
***Sesaat suasana menjadi canggung. Prawira berdeham kecil, lalu membuka ikatan simpul pada sarung. "Saya simpan di mana ini?" tanyanya setelah menetralkan kegugupan yang sempat terasa.Noura pun melakukan hal yang sama. "Sebentar, Mas. Aku kosongkan satu sisi lemari dulu." Dia bangkit dan berjalan ke arah lemari. Kemudian membuka pintu sisi kanan, memindahkan pakaian lama yang ada di sana ke atas kasur. Menatanya sedikit demi sedikit, dengan cepat tangannya bekerja. Pakaiannya pun berpindah dari lemari ke tempat tidur dalam sekejab.Mata Prawira mengekori setiap gerakan istrinya itu. "Terus pakaian kamu itu mau diapakan?"Noura diam sejenak. "Ini baju-baju lama. Beberapa ada pakaian waktu masih sekolah. Sebagian lagi udah nggak bisa aku pakai. Emm, besok mau aku sumbangin aja ke panti," jawab Noura sambil terus mengosongkan ketiga slot lemari itu."Semuanya?" Prawira melihat tempat tidur itu sudah tertutup pakaian hampir setengahnya. Lalu mendekat memperbaiki tatanan ketika satu tum
Sebelum jam makan siang, Prawira yang baru kembali dari pangkalan mendatangi Noura ke kamar. Istrinya itu masih istirahat setelah selesai membereskan barang sejak pagi tadi. Noura tampaknya masih kelelahan, tidurnya begitu pulas memeluk guling. Namun, Prawira tetap akan membangunkan karena telah masuk waktu salat Zuhur.Setelah selesai melaksanakan ibadah secara bergantian. Mereka turun bersama menuju meja makan. Makan siang sudah terhidang di atas meja, Noura dan Prawira duduk di posisi masing-masing. Tak lama, Pak Sugiarto pun ikut bergabung. Mereka bercengkerama seperti tadi pagi. Percakapan keluarga yang baru bertambah satu anggota itu terlihat sangat hangat. Prawira masih berusaha menyesuaikan diri dengan suasana baru ini. Perlahan dia mulai terbiasa, dirinya merasa sangat beruntung diterima dengan baik.Malam harinya, Noura sudah terlelap setelah salat Isa selesai, sepertinya tak akan bangun lagi sampai esok pagi. Sedangkan Prawira yang matanya masih belum bisa terpejam, menopan
Pagi itu suasana di kampung Ciptoasih terlihat sedikit riuh. Peristiwa pencurian ternak yang telah lama tidak terjadi di sana, kali ini terjadi lagi. Puluhan tahun lalu hal ini pernah tejadi, karena masih merebaknya preman dan geng pemuda nakal.Beberapa warga berkumpul di kelurahan, menanti informasi dari warga yang mencari di sekitar kampung, dan sebagian besar warga lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing.Pencarian di sekitar kampung sudah dilakukan, tetapi tidak ada tanda-tanda ternak disembunyikan di mana pun. Dugaantentang penyembelihan di tempat juga tidak ditemukan. Mereka pun menyerahkan semua untuk ditangani oleh Lurah.Noura satu-satunya wartawan yang kebetulan berada di kampung. Dia akan mengangkatberita ini ke media walaupun hanya berita kecil, tapi jika kasus telah terungkap, dia bisa mendapat pujian dari atasan. Prawira ikut menemani sang istri meliput berita pencurian ternak yang terjadi. Prawira mendampingi
Setelah menempuh satu jam perjalanan, mereka pun tiba di tujuan. Anak-anak panti dan juga ibu pengurus menyambut kedatangan mereka di halaman depan. Sambutan itu begitu hangat. ternyata kehadiran Noura selalu dinantikan oleh mereka, dia sangat disukai oleh penghuni panti yang rata-rata anak usia lima hingga lima belas tahun. Ibu kepala panti mempersilakan Noura dan Prawira masuk."Biar saya ambil barang-barang dulu, Buk." Prawira pamit dengan sopan."Terima kasih, Nak." Ibu Hasna--kepala panti tersenyum ramah. "Kalau gitu kalian bantuin Mas Jaka ya!" ucap Ibu Hasna kepada anak asuhnya.Salah seorang anak perempuan enam tahun berlari dari arah belakang. Noura yang baru masuk ke ruang tamu tersenyum, bergerak turun, lalu menempelkan lutut ke lantai dan membentang tangan menyambut gadis kecil itu."Kak … Nou!" teriaknya sambil melambaikan tangan. Detik kemudian, dia berakhir di dekapan Noura."Citra, apa kabar, Sayang?" Noura mencium pipi gadis itu."Citra baik, Kak. Citra udah lama nung
Area panti itu lumayan luas dengan tiga gedung di setiap fungsinya. Satu gedung untuk kamar, serta ruang santai anak-anak. Satu gedung lagi untuk dapur, ruang makan sekaligus aula. Lalu, gedung yang lain digunakan untuk kantor dan ruang tamu. Dahulu di lokasi lama, panti itu memiliki banyak anak asuh, sehingga mendapat bantuan untuk memindahkan mereka ke tempat yang lebih luas.Hanya satu tempat yang belum mereka periksa dalam kawasan, yaitu halaman belakang, tempat bermain outdoor. Citra tidak mungkin keluar area panti, jadi Noura pun mengajak suaminya ke taman belakang. Mereka langsung menuju area bermain bajak laut, dan Citra benar ada di sana. Gadis itu sedang bersembunyi dalam perosotan yang berbentuk tabung."Citra?" Panggil Noura lembut, helaan napasnya lega setelah berhasil menemukan gadis kecil itu. "Kamu ngapain di sini, Sayang?"Citra sedang menopang kening di lutut yang dipeluknya, lalu menoleh ke samping. Tangisan yang dia tahan sedari tadi pun berderai sudah. "Kak Noura,
Ucapan Prawira tegas, memandang lurus pada wajah cantik Noura. Membuat wanita itu terpaku sejenak, menyembunyikan perasaan gugupnya. Kemudian Noura mengangguk santai menanggapi dan menatap balik sang suami."Kenapa mikirin aku?" tanya Noura kemudian. Raut wajah dibuat setenang mungkin, berusahan tidak terlihat terpengaruh dengan ucapan pria itu."Ya karena menikahi kamu ternyata adalah pilihan tepat,” jawab Prawira tersenyum tipis. “Kamu bukan hanya baik dan patuh sama Ayah. Kamu juga sangat menyayangi anak-anak. Pasti rasa sayang kamu ke anak-anak kita nanti bisa lebih daripada tadi," ujarnya jujur, yang sebenarnya pria itu rasakan. Sepertinya, semakin hari rasanya dia benar-benar semakin jatuh cinta pada Noura.Namun, wanita itu mengerutkan kening sebagai reaksi menyembunyikan rasa gugupnya. "Apaan sih, Mas?"Noura jadi berpikir, apa pria itu mulai menganggap serius dengan pernikahan mereka? Tidak, ini tidak mungkin bisa diterima, Noura pasti tidak akan serius, karena hatinya sudah p
Noura ingin berkata sesuatu. Namun, lidahnya seakan kelu, sulit untuk mengungkapkan. Dipandangi wajah suaminya yang menunggu. Dia tampak ragu untuk mengungkapkan.Apa yang akan dia katakan sebenarnya telah menjadi beban di pikiran wanita itu. Terlebih lagi setelah tahy bahwa Prawira adalah teman masa kecil yang pernah memberi kenangan indah di hidupnya."Kenapa?" tanya Prawira karena wanita itu cukup lama diam."Aku minta maaf soal surat perjanjian itu. Jika kamu keberatan, kita bisa batalkan saja. Dan ... kamu bisa tinggalkan aku jika kamu merasa terbebani," tutur Noura kemudian. Sebenarnya dia juga tidak habis pikir kenapa bisa mengeluarkan kata-kata itu. Mungkin karena adanya rasa bersalah."Jadi itu yang kamu mau?" Prawira menatap teduh pada sang istri. Dia juga tau, pernyataan itu bukan yang ingin Noura katakan. "Jika itu mau kamu, saya akan turuti. Saya sudah katakan, bahwa saya akan menuruti setiap kemauan kamu. Jadi kamu mau?"Dengan cepat Noura mengelengkan kepala. Langsung m
Noura mencari keberadaan sang suami dari saat selesai sholat isya. Entah kenapa rasanya semakin tidak mengerti, dia sadar Prawira sengaja menghindarinya. Noura menempatkan dirinya sebagai seorang sahabat yang sedang membutuhkan. Dan dia sangat merasa kesepian. Ingin rasanya bercerita banyak hal dengan teman masa kecilnya itu. Mengenai kehidupannya beberapa tahun ini, tentang bagaimana dia melewati hari setelah perpisahan mereka. Bagaimanapun juga, Prawira pernah menjadi bagian di hidup seorang Noura.Ketika Noura ingin melangkah ke luar kamar. Pintu tiba-tiba saja terbuka. Sosok pria yang dia tunggu sejak satu jam lalu, muncul dari balik pintu. Mereka sama-sama terjingkat kaget, saling pandang wajah satu sama lain. Detik kemudian, Prawira mengalihkan pandangan, lalu berjalan melewati Noura.Noura berbalik saat pria itu lewat begitu saja dan acuh padanya. "Mas, dari mana?" tanyanya mengikuti langkah sang suami.Pria itu langsung menuju tempat tidur mengambil bantal dan selimutnya. Terl
"Non Noura. Sepertinya tadi Jaka sudah minta maaf, lagian dagangan pada jatuh semua, jadi dia kebingungan mau beresin. Untung ada warga yang bantu." Sepertinya akan ada kesalah pahaman, Kardiman pun anggkat bicara lagi ingin meluruskan.Namun, mendengar hal itu Pak Sugiarto tersentak kaget, fokusnya malah beralih. "Apa? Gerobak saya gimana? Rusak parah nggak, Man?""Hihhh, ayah bukannya tanya keadaan anaknya. Malah mikirin gerobak. Lihat nih, aku luka, Yah." Noura menunjukan telapak tangannya yang tergores, dia kembali protes. Pak Sugiarto malah terkekeh.Dan tiba-tiba gadis itu berpikir jail, dia mendekat langsung mendekap sang ayah."Ehh Nou … kamu basah, Nou!" Pak Sugiarto mencoba mendorong Moura menjauh, tapi tubuhnya dipeluk erat. Sehingga bajunya pun ikut basah.Noura tertawa puas ketika sang ayah telah basah. Tak terima, Pak Sugiarto mengangkat kedua tangan, mengarahkan pada pinggang Noura. Dengan cepat, Pak Sugiarto meraup dan menggelitiki Noura. Gadis itu tertawa serta mengg
Noura mengalihkan pandangan pada pria yang hampir menabraknya. Keadaan pria itu lebih mengenaskan, lalu dia melihat gerobak bakso yang sudah dibenarkan posisinya. Mata Noura menyipit, ternyata dia tahu pemilik usaha bakso tersebut. Sedikit merasa bersalah, Noura menghela napas panjang. Pasti akhirnya si Tukang Bakso itu akan dimarahi sang juragan, yaitu ayahnya sendiri. Tetapi, Noura bukan menyesal karena kecelakaan ini, lagi pula juga bukan kesalahannya. Dia merasa, pasti banyak kerugian yang ayahnya dapat."Mbak Noura nggak apa-apa?" tanya bapak di sebelah Noura, kasihan.Noura tersenyum dan berterima kasih sekali lagi. "Itu gerobak bakso Ayah saya, kan, Pak?" tanyanya."Iya, Mbak. Duhh, sampai peot gitu, kacanya pecah juga. Tapi, sepertinya ... baksonya udah habis," ujar si bapak setelah melihat keadaan gerobak tadi sekilas."Baru jam segini, udah habis?" Noura merasa terkejut. Baru sekitar jam empat sore, biasanya setelah magrib atau isya dagangan habis.Sebuah motor bebek tiba-ti
Dua Minggu setelah kondisi Prawira membaik. Pak Sugiarto membawanya pulang, memberinya tempat tinggal, juga merawat dengan baik. Warga kampung juga bergantian datang melihatnya. Prawira diperkenalkan sebagai anak kenalan Pak Lurah yang mendapat kecelakaan. Tidak punya sanak saudara, hanya bisa bergantung padanya.Entah warga yang datang karena kasihan, atau hanya sekedar ingin tau siapa sosok yang baru dibawa pulang dari rumah sakit?Prawira sangat berterima kasih pada warga kampung yang menemukannya, terutama pada Pak Sugiarto yang suka rela mau menampung dirinya. Telah banyak hutang budi yang dia miliki, terutama akan biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Prawira berjanji dalam hatinya, akan membalas atas semua keberuntungan dan kesempatan. Hutang nyawa dibalas nyawa.Satu bulan setelah kejadian itu, Prawira benar-benar pulih dengan baik. Dia sudah bisa beraktivitas secara normal. Ingatannya juga perlahan kembali. Namun, ketika menyadari tentang jati dirinya, Prawira akhirnya bungka
Pertarungan semakin sengit ….Sekali lagi, Prawira melawan ketiganya secara bersamaan. Sisa-sisa tenaga yang dia miliki dikerahkan seluruhnya. Menangkis serangan, membalas, memukul dan menendang.Segala cara yang dia bisa, dia lakukan. Satu pukulan melayang di udara, segera Prawira tahan dengan kepalan tangan. Tangan satunya menyerang di bagian perut lawan, hingga sang lawan menunduk karena dorongan yang kuat. Satu lagi serangan tiba-tiba dari belakang, Prawira menangkis tanpa melihat. Lawan yang terkena tinjunya tadi, ditendang hingga memental. Dengan gerakan cepat berbalik, membalas serangan di belakang. Satu serangan dan balasan terjadi dalam hitungan detik. Erangan dalam pergumulan terdengar dari mulut mereka bergantian."Sial, kalian membuatku kewalahan!" teriak Prawira di sela pertarungan. Napas terengah-engah, sekujur tubuh sakit, tenaga hampir habis.Deruan napasnya memburu setiap melakukan gerakan. Prawira menahan serangan tongkat dengan kedua tangan menyilang, mendorong dan
Janji mereka saling terucap. Dengan tautan jari kelingking sebagai tanda kesepakatan mereka. Moment itu pun diakhiri dengan foto bersama. Menyimpan memori indah mereka kala itu.Tanpa mereka tau, tanpa mereka prediksi. Janji yang terucap kala itu, tak selamanya bisa ditempati. Beberapa bulan setelah itu, Prawira diboyong kedua orang tuanya pergi jauh dari Jakarta. Dengan terpaksa Prawira kecil ikut sang papa pindah tugas ke kota lain. Lebih tepatnya ke wilayah bagian timur Indonesia.Noura, Didit, juga orang tua mereka, akan mengantar kepergian Prawira beserta keluarga di bandara. Mata Noura tampak memerah, dia telah menangis di sepanjang perjalanan. Membuat sang ayah kewalahan membujuknya agar diam.Ketika tiba di bandara, Noura dan Didit kecil langsung dibawa ke terminal keberangkatan. Mendatangi Prawira beserta keluarganya yang sengaja duduk di bangku tunggu. Tampak Prawira yang tengah tertunduk di sana. Dia enggan untuk memperhatikan sekitarnya. Pria kecil itu sangat berat untuk m
Gadis kecil ituterlihat sangat bersemangat, berlari ke arah kedua anak laki-laki yang sudah seperti saudara baginya. Beberapa hari ini dia selalumurung, berpikir apakah Prawira jadi datang atau tidak.Noura sudah menantikan kedatangannya.Ketika Noura hampir sampai di dekat mereka, tiba-tiba Didit maju dan menghalangi, sehingga gadis itu pun menghentikan langkahnya."Eiittt, tunggu dulu," ucap Didit seraya membentangkan tangan."Mas Didit, minggir!" Noura dengan wajahkesal."Jangan marah dulu … ayo hadap belakang." Didit membalikkan badan Noura bersamaan dengannya."Kenapa, sih, Mas!""Huussss jangan banyak tanya, diam aja." Didit menutup mulut Noura yang sedang manyun. "Ayo,Bhisma!"Prawira kecil pun mendekat, lalu mengikatkan kain hitam panjang pada mata Noura yang dia keluarkan dari kantung celananya. Gadis kecil itu hanya diam membiarkan mereka memperlakukannya. Dia hanya terkekeh dan sedi
Prawira mengendarai motornya menuju padepokan Didit, tempatnya membuat janji. Saat dalam perjalanan, dia sedikit merasa aneh dengan suasananya. Rasanya seperti ada yang mengikuti, dia dibuntuti sosok pria misterius. Tak ingin terlihat curiga karena menyadari hal itu, Prawira pura-pura tidak melihat. Sampai di tempat tujuan, dia langsung masuk ke dalam. Sudah ada Didit menunggu sendirian."Mas, Didit,” sapa Prawira setelah pria itu mengangkat tangan menyambut dirinya.Didit tersenyum tipis dan menyambut Prawira melakukan brohug. "Bhisma, apa kamu diikuti?""Iya, Mas. Seperti yang kita duga, aku sudah mulai dicurigai." Prawira duduk di kursi yang tersedia. "Sepertinya aku harus segera pergi dari sini.""Apa mereka orang-orang yang mencelakaimu waktu itu?""Belum bisa dipastikan, Mas. Penampilanku waktu itu dan sekarang sangat berbeda. Kematian Dendi—samaranku juga sudah diumumkan di media. Jika mereka mencurigaiku, mungkin ….""Kamu harus lebih berhati-hati, jangan terlalu mencolok. Sese