Prawira semakin mendekatkan diri, semakin mengintimidasi dengan tatapan mata elangnya. Noura telah nampak pias terpojok. Sisa langkah telah habis, dan punggung Noura melekat pada daun pintu. Debaran jantung tak bisa dikendalikan lagi. Semakin cepat seiring terkikisnya jarak di antara mereka. Dan pria di hadapannya itu pun merasakan hal yang sama.
"Mas … Pra …," lirik Noura seraya menahan dada sang suami. Menghalangi agar tubuh mereka tidak melekat. Kedua sisi wajah pun mulai terasa panas.
Namun, Prawira telah mengungkung wanita itu dengan kedua lengannya. Sehingga Noura benar-benar terlihat tak dapat bergerak saat ini. Dia pun mencoba memundurkan wajah sejauh mungkin, walau tak lagi ada ruang. Pria itu semakin mendekatkan, tatapannya mengunci mata indah milik istrinya.
"Kamu takut," bisiknya.
"Kamu mau apa sih, Mas? Ingat, kamu jangan melanggar perjanjian kita." Noura mencoba menghindari tatapan mata pria itu, membuang muka, tapi jantung mulai tidak aman karenanya.
Lalu Prawira mendekatkan hingga jarak kurang lima senti di telinga Noura. Tubuhnya nampak bergetar.
"Saya harus bagaimana menghadapi kamu, Noura? Saya suami sah kamu, saya berhak semua atas kamu." Suara berat serta hembusan napasnya membuat Noura semakin terpojok. Dan senyuman jahil terbit dari bibirnya. Pria itu memiringkan kepala dan menghembuskan napas dingin di leher Noura.
Bulu kuduk Noura dibuat merinding karena pria itu. "Jangan macam-macam kamu, Mas!" Dorongan Noura membuat tubuh mereka kembali berjarak, tatapannya nyalang pada sang suami. Sekuat mungkin dia menahan agar kinerja jantungnya kembali terkendali. "Diliat-liat ganteng juga," batinnya.
"Saya hanya ada satu macam. Saya menginginkan kamu," balas Prawira menatap tajam, semakin mendominasi. Tapi di detik kemudian dia pun melepaskan kungkungan dan mundur tiga langkah. "Kamu memang pintar bersandiwara. Di hadapan Ayah kamu memainkan peran sangat baik. Saat bersama saya kamu menjadi berbeda. Saya mau lihat, sampai di mana sandiwara kamu bisa bertahan?"
Hati Prawira rasanya seperti menggelitik melihat reaksi Noura yang sangat bisa ditebak. Dalam sekejap pria itu merubah mimik wajahnya datar. Tatapan mengintimidasi yang semula dia tunjukan, kembali datar seperti biasa.
"Maksudnya?" Noura kembali menegakkan tubuh. Dia masih merasakan panas pada wajahnya. Dia marah, tapi tak dipungkiri suasana tadi sedikit membuatnya goyah.
Prawira melipat tangannya di dada. "Mau bertaruh? Saya bisa pastikan, kamu akan jatuh cinta pada saya. Kamu yang akan melanggar perjanjian itu terlebih dahulu."
"Percaya diri sekali?" Noura meletakkan kedua tangannya di pinggang. Dia kini terlihat sangat berani setelah terlepas dari kungkungan tadi.
Pria itu tersenyum sinis, lalu berbalik seraya mengedikkan bahu. "Kita lihat saja nanti." Prawira melangkah ke arah lemari kecil di sudut ruangan. "Bantu saya keluarkan ini," ucapnya, seolah tidak ada hal yang baru terjadi.
Namun, wanita itu tampaknya sudah terlanjur kesal. "Hiihh, nggak sudi. Kerjakan saja sendiri!" Noura berbalik, mendengus dan membuka pintu secara kasar, lalu menutup kuat. Dia keluar dengan wajah masam serta memerah. Langkah kakinya bahkan terdengar menyentak ke lantai.
Sosok tubuh Noura dipandangi keluar dari kamar. Prawira menghela napas, lalu menekan dadanya. Seperti ada kelegaan setelah wanita itu akhirnya pergi sendiri dari sana.
"Gila! Wanita itu hampir membuatku tak terkendali," gumamnya.Jika bukan Noura yang memulai, Prawira mungkin tidak akan bertindak seperti tadi. Dalam percakapan dengan ayah mertuanya tadi, wanita itu menyentuhnya, dan itulah saat pertama pria itu merasakan debaran aneh. Sentuhan lembut yang seketika mengetarkan sesuatu dalam dirinya.
***
Sampai di dalam kamar, Noura menyandarkan tubuhnya ke pintu, mengipas wajahnya yang memanas dengan kedua tangan. "Dasar, Kang Bakso nyebelin!" erangnya. Dia bersungut yang entah apa. Menganggap bahwa kejadian tadi tidak seharusnya terjadi.
Noura melangkahkan kaki ke tempat tidur, menghempaskan tubuhnya, tengkurap mendekap bantal. Dia berteriak ketika debaran jantung yang masih belum dirasakan normal. Cukup lama dengan posisi itu, Noura pun berbalik. Dia merasakan aliran darah mengalir deras. Terasa sampai di puncak kepala, lalu kembali lagi ke dadanya. Pikirannya mengingat kembali kejadian beberapa menit yang lalu.
"Mas Prawira sangat tampan. Otot tubuhnya kencang. Dadanya bidang dan keras. Mata hitamnya indah bila menatap sepeti tadi. Hidungnya juga mancung pas dengan ukuran wajahnya. Rahang tegas dan bibir … Aaaaa, Aku ngapain sih?"
Kepala Noura pun menggeleng, tangan mengacak rambutnya kasar, frustasi. Mengerang sambil menaik turunkan kaki menghentak kasur. Pertanda wanita itu semakin kesal setelah mengingatnya, yang tanpa sadar telah memuji pria itu. Kemudian Noura menepuk pipinya sendiri, kiri dan kanan secara bergantian. "Nggak mungkin aku jatuh cinta sama dia. Aku gak akan biarkan kata-katanya jadi nyata."
Cukup lama Noura berusaha menyangkal apa yang telah terjadi. Hingga suara ketukan pintu terdengar, pandangan Noura sontak beralih ke arah asal suara.
"Noura, saya masuk, ya?"
Pria yang beberapa detik lalu dia pikirkan akhirnya datang. Segera Noura bangkit dan bersandar ke kepala tempat tidur. Dia meraih ponsel yang sedari tadi dibiarkan tergeletak di nakas. Mengotak atik apa pun untuk menghilangkan rasa aneh yang baru mendera.
"Masuk aja!" jawabnya setenang mungkin.
Pintu itu pun terbuka. Sosok pria tampan yang berstatus suaminya itu masuk dengan memanggul sesuatu di pundak. Mata Noura menyipit sesaat. Sebuah kain sarung yang dibentuk bulat berisi pakaian dan diikat menyilang. Seketika Noura dibuat menganga melihat cara sang suami pindahan. Tawanya nyaris saja menyembur jika dia tidak membekap mulutnya dengan cepat. Pria itu pun tampak mengernyit. Tangan jahil Noura yang memegang ponsel, secara spontan membuka kamera dan mengambil beberapa jepretan.
"Kamu kenapa?" tanya Prawira, lalu menurunkan barang bawaannya ke atas kasur.
"Mas, kamu yang ngapain? Udah kayak maling aja bawa barang seperti itu." Noura tak tahan lagi untuk tidak tertawa. Dia akhirnya menertawakan keanehan Prawira. Menepuk lututnya yang tertutup celana panjang dengan telapak tangan.
"Aneh kenapa? Saya kan sedang memindahkan barang." Prawira binggung sejenak, lalu menggaruk belakang kepala. Otak pintarnya itu ternyata bisa bekerja lambat juga.
Pria itu tersadar saat Noura menunjuk sarung hijau kotak-kotak yang membungkus pakaiannya. Prawira ikut tersenyum kecil, mengingat tampilannya tadi sedikit mirip dengan maling kampung yang ada di sinetron, seperti yang Noura katakan.
“Ooo … ini?”
“Ya iya. Mas kaya maling kampung tau.”
“Lalu, ada tidak maling yang tampan seperti saya?”
“Nggak tau. Belum pernah dimalingin, dan nggak mau kemalingan juga. Tapi kalau maling seharusnya wajahnya tertutup, tidak tau dia tampan atau tidak.”
“Ya … kecuali dia ketehuan.”
“Ya.”
Keduanya kembali terkikik. Obrolan tidak jelas seperti ini ternyata tidak buruk juga. Terasa santai dan nyaman. Mungkin karena Noura yang selalu bisa mencairkan suasana, siapa pun dikekatnya akan cepat terbiasa. Suasana pun terasa sedikit hangat. Dekekatan mereka mulai terasa sejenak.
“Kalau saya yang malingin kamu bagaimana?”
Kemudian tatapan mata mereka tiba-tiba bersirobok. Seketika itu juga mereka terdiam, saling pandang, dan sedetik kemudian memalingkan wajah secara bersamaan. Noura menghirup oksigen banyak-banyak. Begitu pun juga dengan Prawira.
“Emmm, itu ….”
Wuuiihh gebrakan
***Sesaat suasana menjadi canggung. Prawira berdeham kecil, lalu membuka ikatan simpul pada sarung. "Saya simpan di mana ini?" tanyanya setelah menetralkan kegugupan yang sempat terasa.Noura pun melakukan hal yang sama. "Sebentar, Mas. Aku kosongkan satu sisi lemari dulu." Dia bangkit dan berjalan ke arah lemari. Kemudian membuka pintu sisi kanan, memindahkan pakaian lama yang ada di sana ke atas kasur. Menatanya sedikit demi sedikit, dengan cepat tangannya bekerja. Pakaiannya pun berpindah dari lemari ke tempat tidur dalam sekejab.Mata Prawira mengekori setiap gerakan istrinya itu. "Terus pakaian kamu itu mau diapakan?"Noura diam sejenak. "Ini baju-baju lama. Beberapa ada pakaian waktu masih sekolah. Sebagian lagi udah nggak bisa aku pakai. Emm, besok mau aku sumbangin aja ke panti," jawab Noura sambil terus mengosongkan ketiga slot lemari itu."Semuanya?" Prawira melihat tempat tidur itu sudah tertutup pakaian hampir setengahnya. Lalu mendekat memperbaiki tatanan ketika satu tum
Sebelum jam makan siang, Prawira yang baru kembali dari pangkalan mendatangi Noura ke kamar. Istrinya itu masih istirahat setelah selesai membereskan barang sejak pagi tadi. Noura tampaknya masih kelelahan, tidurnya begitu pulas memeluk guling. Namun, Prawira tetap akan membangunkan karena telah masuk waktu salat Zuhur.Setelah selesai melaksanakan ibadah secara bergantian. Mereka turun bersama menuju meja makan. Makan siang sudah terhidang di atas meja, Noura dan Prawira duduk di posisi masing-masing. Tak lama, Pak Sugiarto pun ikut bergabung. Mereka bercengkerama seperti tadi pagi. Percakapan keluarga yang baru bertambah satu anggota itu terlihat sangat hangat. Prawira masih berusaha menyesuaikan diri dengan suasana baru ini. Perlahan dia mulai terbiasa, dirinya merasa sangat beruntung diterima dengan baik.Malam harinya, Noura sudah terlelap setelah salat Isa selesai, sepertinya tak akan bangun lagi sampai esok pagi. Sedangkan Prawira yang matanya masih belum bisa terpejam, menopan
Pagi itu suasana di kampung Ciptoasih terlihat sedikit riuh. Peristiwa pencurian ternak yang telah lama tidak terjadi di sana, kali ini terjadi lagi. Puluhan tahun lalu hal ini pernah tejadi, karena masih merebaknya preman dan geng pemuda nakal.Beberapa warga berkumpul di kelurahan, menanti informasi dari warga yang mencari di sekitar kampung, dan sebagian besar warga lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing.Pencarian di sekitar kampung sudah dilakukan, tetapi tidak ada tanda-tanda ternak disembunyikan di mana pun. Dugaantentang penyembelihan di tempat juga tidak ditemukan. Mereka pun menyerahkan semua untuk ditangani oleh Lurah.Noura satu-satunya wartawan yang kebetulan berada di kampung. Dia akan mengangkatberita ini ke media walaupun hanya berita kecil, tapi jika kasus telah terungkap, dia bisa mendapat pujian dari atasan. Prawira ikut menemani sang istri meliput berita pencurian ternak yang terjadi. Prawira mendampingi
Setelah menempuh satu jam perjalanan, mereka pun tiba di tujuan. Anak-anak panti dan juga ibu pengurus menyambut kedatangan mereka di halaman depan. Sambutan itu begitu hangat. ternyata kehadiran Noura selalu dinantikan oleh mereka, dia sangat disukai oleh penghuni panti yang rata-rata anak usia lima hingga lima belas tahun. Ibu kepala panti mempersilakan Noura dan Prawira masuk."Biar saya ambil barang-barang dulu, Buk." Prawira pamit dengan sopan."Terima kasih, Nak." Ibu Hasna--kepala panti tersenyum ramah. "Kalau gitu kalian bantuin Mas Jaka ya!" ucap Ibu Hasna kepada anak asuhnya.Salah seorang anak perempuan enam tahun berlari dari arah belakang. Noura yang baru masuk ke ruang tamu tersenyum, bergerak turun, lalu menempelkan lutut ke lantai dan membentang tangan menyambut gadis kecil itu."Kak … Nou!" teriaknya sambil melambaikan tangan. Detik kemudian, dia berakhir di dekapan Noura."Citra, apa kabar, Sayang?" Noura mencium pipi gadis itu."Citra baik, Kak. Citra udah lama nung
Area panti itu lumayan luas dengan tiga gedung di setiap fungsinya. Satu gedung untuk kamar, serta ruang santai anak-anak. Satu gedung lagi untuk dapur, ruang makan sekaligus aula. Lalu, gedung yang lain digunakan untuk kantor dan ruang tamu. Dahulu di lokasi lama, panti itu memiliki banyak anak asuh, sehingga mendapat bantuan untuk memindahkan mereka ke tempat yang lebih luas.Hanya satu tempat yang belum mereka periksa dalam kawasan, yaitu halaman belakang, tempat bermain outdoor. Citra tidak mungkin keluar area panti, jadi Noura pun mengajak suaminya ke taman belakang. Mereka langsung menuju area bermain bajak laut, dan Citra benar ada di sana. Gadis itu sedang bersembunyi dalam perosotan yang berbentuk tabung."Citra?" Panggil Noura lembut, helaan napasnya lega setelah berhasil menemukan gadis kecil itu. "Kamu ngapain di sini, Sayang?"Citra sedang menopang kening di lutut yang dipeluknya, lalu menoleh ke samping. Tangisan yang dia tahan sedari tadi pun berderai sudah. "Kak Noura,
Ucapan Prawira tegas, memandang lurus pada wajah cantik Noura. Membuat wanita itu terpaku sejenak, menyembunyikan perasaan gugupnya. Kemudian Noura mengangguk santai menanggapi dan menatap balik sang suami."Kenapa mikirin aku?" tanya Noura kemudian. Raut wajah dibuat setenang mungkin, berusahan tidak terlihat terpengaruh dengan ucapan pria itu."Ya karena menikahi kamu ternyata adalah pilihan tepat,” jawab Prawira tersenyum tipis. “Kamu bukan hanya baik dan patuh sama Ayah. Kamu juga sangat menyayangi anak-anak. Pasti rasa sayang kamu ke anak-anak kita nanti bisa lebih daripada tadi," ujarnya jujur, yang sebenarnya pria itu rasakan. Sepertinya, semakin hari rasanya dia benar-benar semakin jatuh cinta pada Noura.Namun, wanita itu mengerutkan kening sebagai reaksi menyembunyikan rasa gugupnya. "Apaan sih, Mas?"Noura jadi berpikir, apa pria itu mulai menganggap serius dengan pernikahan mereka? Tidak, ini tidak mungkin bisa diterima, Noura pasti tidak akan serius, karena hatinya sudah p
Suasana di kantor kelurahan telah riuh ketika Prawira dan Noura sampai. Banyak warga berkumpul di halaman dan dalam aula. Mayoritas warga yang bekerja di sawah dan ladang, menyempatkan hadir di sela waktu. Ada juga kalangan ibu-ibu yang datang meski repot dengan momongan mereka. Seketika balai desa itu dipenuhi warga yang datang karena penasaran dengan kejadian ini.Setelah berhasil melewati kerumunan, pasangan pengantin baru itu masuk ke dalam langsung menemui Pak Lurah. Sosok sang ayah terlihat sedang berbicara dengan Pak Usep dan Pak Dadang. Rapat sepertinya masih belum dimulai."Ayah, ada apa ini?" Noura langsung bertanya setelah mendekat.Pak Sugiarto berbalik, lalu menyahut panggilan Noura. "Noura, Jaka, bagus kalian sudah datang. Keduanya mengangguk bersamaan."Jadi benar, ternak Pak Usep dan Pak Dadang sudah ketemu? Di mana, Yah?" tanya Noura kemudian."Ayah juga tidak tahu. Kata Pak Dadang ada yang bantu cari dan bawa pulang. Langsung diantar ke rumah. Rapat ini juga ayah ta
Warga sangat antusias saat sembako mulai dibagikan. Satu persatu warga berbondong bondong mendekat pada dua orang pria tegap di luar pintu. Suara riuh dari banyaknya mulut membuat suasana kelurahan desa itu seketika ramai. Para rombongan ibu-ibu mendesak ke depan. Sedangkan yang bapak-bapak menunggu giliran belakangan. Sesuai slogan, 'wanita selalu terdepan, laki-laki harus mengalah'."Sabar ibu-ibu! Semua pasti kebagian!" teriak pria yang membagikan sembako. Kerumunan itu sudah hampir seperti kerusuhan.Dari kejauhan, Pak Sugiarto masih bersama dengan Pak Hernanto di dalam aula. Masih ditemani Prawira dan Noura ikut mendengarkan semua pembicaraan. Mereka merasa harus mendampingi sang ayah dalam keadaan ini."Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Pak. Warga terlihat sangat senang dengan pemberian Anda. Semoga kembalinya Anda ke kampung ini, bisa saling berbaur dan merasa nyaman. Tapi, lain kali kalau mau mengadakan keramaian, tolong izin ke saya dulu, ya?" tutur Pak Sugiarto sekedar
Noura ingin berkata sesuatu. Namun, lidahnya seakan kelu, sulit untuk mengungkapkan. Dipandangi wajah suaminya yang menunggu. Dia tampak ragu untuk mengungkapkan.Apa yang akan dia katakan sebenarnya telah menjadi beban di pikiran wanita itu. Terlebih lagi setelah tahy bahwa Prawira adalah teman masa kecil yang pernah memberi kenangan indah di hidupnya."Kenapa?" tanya Prawira karena wanita itu cukup lama diam."Aku minta maaf soal surat perjanjian itu. Jika kamu keberatan, kita bisa batalkan saja. Dan ... kamu bisa tinggalkan aku jika kamu merasa terbebani," tutur Noura kemudian. Sebenarnya dia juga tidak habis pikir kenapa bisa mengeluarkan kata-kata itu. Mungkin karena adanya rasa bersalah."Jadi itu yang kamu mau?" Prawira menatap teduh pada sang istri. Dia juga tau, pernyataan itu bukan yang ingin Noura katakan. "Jika itu mau kamu, saya akan turuti. Saya sudah katakan, bahwa saya akan menuruti setiap kemauan kamu. Jadi kamu mau?"Dengan cepat Noura mengelengkan kepala. Langsung m
Noura mencari keberadaan sang suami dari saat selesai sholat isya. Entah kenapa rasanya semakin tidak mengerti, dia sadar Prawira sengaja menghindarinya. Noura menempatkan dirinya sebagai seorang sahabat yang sedang membutuhkan. Dan dia sangat merasa kesepian. Ingin rasanya bercerita banyak hal dengan teman masa kecilnya itu. Mengenai kehidupannya beberapa tahun ini, tentang bagaimana dia melewati hari setelah perpisahan mereka. Bagaimanapun juga, Prawira pernah menjadi bagian di hidup seorang Noura.Ketika Noura ingin melangkah ke luar kamar. Pintu tiba-tiba saja terbuka. Sosok pria yang dia tunggu sejak satu jam lalu, muncul dari balik pintu. Mereka sama-sama terjingkat kaget, saling pandang wajah satu sama lain. Detik kemudian, Prawira mengalihkan pandangan, lalu berjalan melewati Noura.Noura berbalik saat pria itu lewat begitu saja dan acuh padanya. "Mas, dari mana?" tanyanya mengikuti langkah sang suami.Pria itu langsung menuju tempat tidur mengambil bantal dan selimutnya. Terl
"Non Noura. Sepertinya tadi Jaka sudah minta maaf, lagian dagangan pada jatuh semua, jadi dia kebingungan mau beresin. Untung ada warga yang bantu." Sepertinya akan ada kesalah pahaman, Kardiman pun anggkat bicara lagi ingin meluruskan.Namun, mendengar hal itu Pak Sugiarto tersentak kaget, fokusnya malah beralih. "Apa? Gerobak saya gimana? Rusak parah nggak, Man?""Hihhh, ayah bukannya tanya keadaan anaknya. Malah mikirin gerobak. Lihat nih, aku luka, Yah." Noura menunjukan telapak tangannya yang tergores, dia kembali protes. Pak Sugiarto malah terkekeh.Dan tiba-tiba gadis itu berpikir jail, dia mendekat langsung mendekap sang ayah."Ehh Nou … kamu basah, Nou!" Pak Sugiarto mencoba mendorong Moura menjauh, tapi tubuhnya dipeluk erat. Sehingga bajunya pun ikut basah.Noura tertawa puas ketika sang ayah telah basah. Tak terima, Pak Sugiarto mengangkat kedua tangan, mengarahkan pada pinggang Noura. Dengan cepat, Pak Sugiarto meraup dan menggelitiki Noura. Gadis itu tertawa serta mengg
Noura mengalihkan pandangan pada pria yang hampir menabraknya. Keadaan pria itu lebih mengenaskan, lalu dia melihat gerobak bakso yang sudah dibenarkan posisinya. Mata Noura menyipit, ternyata dia tahu pemilik usaha bakso tersebut. Sedikit merasa bersalah, Noura menghela napas panjang. Pasti akhirnya si Tukang Bakso itu akan dimarahi sang juragan, yaitu ayahnya sendiri. Tetapi, Noura bukan menyesal karena kecelakaan ini, lagi pula juga bukan kesalahannya. Dia merasa, pasti banyak kerugian yang ayahnya dapat."Mbak Noura nggak apa-apa?" tanya bapak di sebelah Noura, kasihan.Noura tersenyum dan berterima kasih sekali lagi. "Itu gerobak bakso Ayah saya, kan, Pak?" tanyanya."Iya, Mbak. Duhh, sampai peot gitu, kacanya pecah juga. Tapi, sepertinya ... baksonya udah habis," ujar si bapak setelah melihat keadaan gerobak tadi sekilas."Baru jam segini, udah habis?" Noura merasa terkejut. Baru sekitar jam empat sore, biasanya setelah magrib atau isya dagangan habis.Sebuah motor bebek tiba-ti
Dua Minggu setelah kondisi Prawira membaik. Pak Sugiarto membawanya pulang, memberinya tempat tinggal, juga merawat dengan baik. Warga kampung juga bergantian datang melihatnya. Prawira diperkenalkan sebagai anak kenalan Pak Lurah yang mendapat kecelakaan. Tidak punya sanak saudara, hanya bisa bergantung padanya.Entah warga yang datang karena kasihan, atau hanya sekedar ingin tau siapa sosok yang baru dibawa pulang dari rumah sakit?Prawira sangat berterima kasih pada warga kampung yang menemukannya, terutama pada Pak Sugiarto yang suka rela mau menampung dirinya. Telah banyak hutang budi yang dia miliki, terutama akan biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Prawira berjanji dalam hatinya, akan membalas atas semua keberuntungan dan kesempatan. Hutang nyawa dibalas nyawa.Satu bulan setelah kejadian itu, Prawira benar-benar pulih dengan baik. Dia sudah bisa beraktivitas secara normal. Ingatannya juga perlahan kembali. Namun, ketika menyadari tentang jati dirinya, Prawira akhirnya bungka
Pertarungan semakin sengit ….Sekali lagi, Prawira melawan ketiganya secara bersamaan. Sisa-sisa tenaga yang dia miliki dikerahkan seluruhnya. Menangkis serangan, membalas, memukul dan menendang.Segala cara yang dia bisa, dia lakukan. Satu pukulan melayang di udara, segera Prawira tahan dengan kepalan tangan. Tangan satunya menyerang di bagian perut lawan, hingga sang lawan menunduk karena dorongan yang kuat. Satu lagi serangan tiba-tiba dari belakang, Prawira menangkis tanpa melihat. Lawan yang terkena tinjunya tadi, ditendang hingga memental. Dengan gerakan cepat berbalik, membalas serangan di belakang. Satu serangan dan balasan terjadi dalam hitungan detik. Erangan dalam pergumulan terdengar dari mulut mereka bergantian."Sial, kalian membuatku kewalahan!" teriak Prawira di sela pertarungan. Napas terengah-engah, sekujur tubuh sakit, tenaga hampir habis.Deruan napasnya memburu setiap melakukan gerakan. Prawira menahan serangan tongkat dengan kedua tangan menyilang, mendorong dan
Janji mereka saling terucap. Dengan tautan jari kelingking sebagai tanda kesepakatan mereka. Moment itu pun diakhiri dengan foto bersama. Menyimpan memori indah mereka kala itu.Tanpa mereka tau, tanpa mereka prediksi. Janji yang terucap kala itu, tak selamanya bisa ditempati. Beberapa bulan setelah itu, Prawira diboyong kedua orang tuanya pergi jauh dari Jakarta. Dengan terpaksa Prawira kecil ikut sang papa pindah tugas ke kota lain. Lebih tepatnya ke wilayah bagian timur Indonesia.Noura, Didit, juga orang tua mereka, akan mengantar kepergian Prawira beserta keluarga di bandara. Mata Noura tampak memerah, dia telah menangis di sepanjang perjalanan. Membuat sang ayah kewalahan membujuknya agar diam.Ketika tiba di bandara, Noura dan Didit kecil langsung dibawa ke terminal keberangkatan. Mendatangi Prawira beserta keluarganya yang sengaja duduk di bangku tunggu. Tampak Prawira yang tengah tertunduk di sana. Dia enggan untuk memperhatikan sekitarnya. Pria kecil itu sangat berat untuk m
Gadis kecil ituterlihat sangat bersemangat, berlari ke arah kedua anak laki-laki yang sudah seperti saudara baginya. Beberapa hari ini dia selalumurung, berpikir apakah Prawira jadi datang atau tidak.Noura sudah menantikan kedatangannya.Ketika Noura hampir sampai di dekat mereka, tiba-tiba Didit maju dan menghalangi, sehingga gadis itu pun menghentikan langkahnya."Eiittt, tunggu dulu," ucap Didit seraya membentangkan tangan."Mas Didit, minggir!" Noura dengan wajahkesal."Jangan marah dulu … ayo hadap belakang." Didit membalikkan badan Noura bersamaan dengannya."Kenapa, sih, Mas!""Huussss jangan banyak tanya, diam aja." Didit menutup mulut Noura yang sedang manyun. "Ayo,Bhisma!"Prawira kecil pun mendekat, lalu mengikatkan kain hitam panjang pada mata Noura yang dia keluarkan dari kantung celananya. Gadis kecil itu hanya diam membiarkan mereka memperlakukannya. Dia hanya terkekeh dan sedi
Prawira mengendarai motornya menuju padepokan Didit, tempatnya membuat janji. Saat dalam perjalanan, dia sedikit merasa aneh dengan suasananya. Rasanya seperti ada yang mengikuti, dia dibuntuti sosok pria misterius. Tak ingin terlihat curiga karena menyadari hal itu, Prawira pura-pura tidak melihat. Sampai di tempat tujuan, dia langsung masuk ke dalam. Sudah ada Didit menunggu sendirian."Mas, Didit,” sapa Prawira setelah pria itu mengangkat tangan menyambut dirinya.Didit tersenyum tipis dan menyambut Prawira melakukan brohug. "Bhisma, apa kamu diikuti?""Iya, Mas. Seperti yang kita duga, aku sudah mulai dicurigai." Prawira duduk di kursi yang tersedia. "Sepertinya aku harus segera pergi dari sini.""Apa mereka orang-orang yang mencelakaimu waktu itu?""Belum bisa dipastikan, Mas. Penampilanku waktu itu dan sekarang sangat berbeda. Kematian Dendi—samaranku juga sudah diumumkan di media. Jika mereka mencurigaiku, mungkin ….""Kamu harus lebih berhati-hati, jangan terlalu mencolok. Sese