Panggilan sang ayah membuat langkah wanita itu terhenti. Dia kembali berbalik setelah menghela napas ringan. Bagaimanapun juga dia ingin tetap tenang menghadapi ayah yang sangat dia cintai itu.
“Ayah harap kamu segera mempersiapkan diri. Ayah melakukan semua ini juga untuk kebaikan kamu. Ayah akan mengatur semuanya, jadi kamu terima beres saja.”
“Nou harap Nou tidak akan kecewa dengan keputusan ayah ini.” Balasan singkat Noura mengakhiri obrolan mereka. Percuma saja dia membantah. Biarlah dia menerima untuk saat ini.
Jaka mengekor langkah wanita itu dengan matanya hingga menghilang dari pandangan. Dia menyimpulkan, Noura yang keras kepala, tidak terima akan keputusan sang ayah. Namun, wanita itu tak menunjukkan emosi yang berlebihan, tak sekali pun dia meninggikan suara. Jaka dapat melihat, seperti apa kilat kemarahan di mata wanita itu. Noura pasti diajarkan tata kerama dengan baik.
***
“Amnesia? Bisakah dia dipercaya?”
Noura masih belum jelas cerita lengkapnya. Sekarang dia memang mengalah, tapi tetap saja masih ragu sepenuhnya pada pria itu.
Bagaimanapun, sebagai seorang wartawan yang memiliki intuisi kuat, Noura tetap ingin mengetahui asal usul Prawira. “Jika sekarang pria itu terlihat baik, bukan berarti latar belakangnya juga baik, kan?”
Setelah makan malam, Noura akhirnya kembali menanyakan tentang bagaimana Prawira bisa berada di rumah ini. Seserius apa kecelakaan yang didapat hingga menyebabkan pria itu hilang ingatan. Pak Sugiarto yang menjabat sebagai Lurah selama empat tahun itu pun menceritakan pada Noura.
Semua itu terjadi pada lebih tiga bulan yang lalu, saat beberapa orang yang hendak ke ladang di kaki bukit. Mereka menemukan seorang pria dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuh penuh luka, pakaian compang camping. Tuhan sangat baik karena pria itu masih bernyawa walau tanda kehidupannya lemah. Nyawanya tertolong, tapi dia harus kehilangan semua ingatan tetang kejadian. Akhirnya Pak Sugiarto memutuskan untuk merawat pria yang diberi nama sementara Jaka tersebut.
"Jadi, Ayah membiarkan dia tinggal di rumah kita?" Jika bukan karena niat sang ayah menjodohkannya dengan pria itu, rasa keingintahuan Noura tidak akan sebesar ini.
"Iya, Nou … tidak ada cara lain. Sebagai Lurah Ayah harus bertanggung jawab, karena kecelakaan yang Jaka alami terjadi di kampung kita. Satu lagi alasan, selain Ayah, tidak ada yang mau bantu. Melihat kehidupan kita yang selama ini jauh lebih baik dari warga kampung."
Hembusan napas Noura terlihat berat. Bukan itu saja alasan yang dia pikirkan. Semua juga karena Ayahnya terlalu baik dengan warga, jadi tentu saja mereka akan mengandalkan Lurahnya.
Selama beberapa hari dia di rumah, baru ini dia menanyakan cerita keseluruhan. Sebelumnya Noura terlihat cuek karena dia berpikir pria yang kehilangan ingatannya itu hanyalah pekerja biasa di warung bakso sang ayah. Terlebih lagi kesan pertama pertemuan mereka yang membuat Noura tak menyukai pria itu.
Noura kemudian terdiam. Tampaknya dia masih ingin membujuk sang ayah untuk membatalkan perjodohan. Namun, Pak Sugiarto sebagai orang yang membesarkan gadis itu tau bagaimana menghadapinya.
"Nou ... ayah tahu kamu masih berpikir untuk menolak pernikahan ini. Ayah minta maaf jika kamu merasa terpaksa. Ayah mengerti kamu sangat mencintai pekerjaanmu, Nak. Ayah sangat bangga dengan pencapaian karir kamu di usia segini. Ayah bangga dengan semua yang kamu lakukan. Tapi, lebih bagus lagi jika kamu juga bisa menikah di usia sekarang. Dengan begini ayah menjadi semakin tenang melepas kamu di kota besar, Nak.” Perkataan Pak Sugiarto terhenti sejenak, merasakan keharuan karena kasih sayangnya pada sang putri.
Melihat itu, Noura pun ikut merasa sedih. Mengingat bagaimana perjuangan sang ayah membesarkannya setelah sang ibu meninggal sejak dia kecil. Noura menjadi tidak tega untuk menolak niat menjodohkannya dengan Prawira. Tubuh pria itu pun direngkuhnya, membawa dalam dekapan hangat.
“Selama ini ayah khawatir, terlebih lagi dengan resiko pekerjaan kamu yang tidak mudah. Lebih bagus lagi kalau kamu berhenti bekerja, Nou. Serahkan semua tanggung jawab pada suami nanti."
Mendengar itu, Noura melepas pelukannya. "Nggak,Yah. Noura tetap mau kerja walau udah nikah sekali pun. Lagi pula Noura masih mau ngejar karir, Yah."
"Loh, kenapa? Liat temen-temen kamu, ada yang anaknya sudah SMP."
"Ayah jangan samakan Noura sama mereka, Yah. Mereka nikah muda, dan hidup hanya bergantung sama suami. Noura mau mandiri, dan nggak mau menyusahkan orang lain."
"Kalau kamu nikah, akan ada yang gantiin Ayah menjaga kamu, Nak. Ayah sudah tua, Nou. Udah kangen mau gendong cucu," ucap Pak Sugiarto mengiba.
"Iya, Yah. Noura ngerti."
Gadis itu akhirnya mengalah. Demi membahagiakan orangtua satu-satunya. Tapi, dia tetap akan terus bekerja. Karirnya baru saja naik, bagaimana dia akan melepaskan begitu saja, hanya karena mau jadi ibu rumah tangga.
***
Prawira mengingat lagi, malam ketika Pak Sugiarto memintanya untuk menikahi Noura. Tentu saja dia sangat terkejut, kenapa pria yang telah berbaik hati menerimanya di rumah ini, serta memberinya pekerjaan, mau menjadikannya menantu?
Pria itu menghirup oksigen banyak-banyak. Perkataan Pak Sugiarto malam itu, permintaan dari seorang ayah yang sangat ingin anaknya terlindungi. Prawira tak dapat menolak, anggap saja ini merupakan caranya untuk membalas budi.
"Mas Jaka.”
“Ya.”
Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan lamunan pria yang tengah duduk di depan kamarnya. Sebuah pavilun belakang rumah utama. Dia pun menoleh ke belakang. Noura telah berdiri dengan melipat lengannya di bawah dada.
“Bukan. Harusnya sekarang saya panggil Prawira. Mas Pra ... wira,” ujarnya dengan penekanan. Tampak semburat tidak suka dari wajah wanita itu.
“Ya.”
“Kita harus bicara!"
Prawira pun menghela napas ringan, pastinya mereka akan membicarakan masalah ini dengan serius.
"Baiklah," balas pria itu datar. Dia pun berdiri dan mengajak Noura duduk menggantikannya. Karena hanya ada satu kursi di sana. "Silakan."
"Tidak perlu, saya hanya mau menyampaikan satu hal,” tolak wanita itu. “Jangan pikir saya sudah menerima begitu saja pernikahan ini. Saya tidak bisa menolak kemauan Ayah. Jadi, saya terpaksa, saya juga belum bisa percaya sepenuhnya sama kamu." Manik mata Noura menatap tajam.
"Terserah kamu, ini juga karena permintaan Ayah kamu. Saya hanya membalas budi beliau," kata Prawira datar.
"Baguslah." Tanpa berkata apa-apa lagi, Noura berbalik dam masuk kembali ke dalam rumah.
Pria yang tetap datar menanggapi situasi itu, memandangi Noura. "Wanita keras kepala," batin Prawira kemudian.
Sampai pada keesokan harinya, siang itu, Prawira tanpa sengaja mendengar percakapan Noura dengan seseorang di telepon.
"Sayang, maaf. Aku nggak maksud khianati kamu. Ayah maksa aku nikah! Aku nggak bisa nolak, aku nggak mau ngelawan keinginan Ayah."
Prawira yang ingin masuk ke rumah utama. Diam-diam menguping dari balik tembok. Mendengar suara Noura yang sedang berada di halaman belakang rumah. Prawira sadar, Pernikahan ini Noura terima karena terpaksa, dan ternyata alasan lainnya juga karena sudah memiliki tambatan hati. Lalu kenapa mereka tidak merencanakan pernikahan saja, apakah Noura belum mengenalkan kekasihnya itu kepada ayahnya? Sehingga kini dia diminta untuk menikah segera. Pemikiran itu seketika Prawira bayangkan.
"Iya, Sayang, aku janji. Pernikahan ini hanya untuk sementara, agar ayah senang, nggak lebih dari itu. Aku juga akan minta dia menandatangani perjanjian." Suara Noura terdengar memohon.
***"Saya terima nikah dan kawinnya Noura Arumi binti Sugiarto dengan mas kawin seperangkat alat shalat serta uang satu juta rupiah dibayar tunai!""Sah?""Sah!""Sah …!"Dengan sekali hembusan napas, Prawira mengucapkan lafas akad, dan resmi menjadikan Noura sebagai istrinya. Dia tidak menyangka, akan selega ini rasanya. Seakan seluruh beban yang tak dia harapkan terasa ringan seketika. Statusnya telah berubah, menjadi seorangpun suami. Otomatis tanggung jawab pun kian bertambah. Semua janji yang dia ucapkan di depan saksi, penghulu serta dihadapan tamu, akan menjadi pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Namun, pernikahan ini baru awal dari sebuah perjalanan. Akankah dia bisa menjalani rumah tangga dengan wanita itu?Di sisi lain, setetes air mata jatuh tanpa dipaksa di pipi wanita yang kini telah resmi menjadi seorang istri. Semua karena keterpaksaan yang membuatnya harus mengalah demi kebahagiaan sang Ayah. Pria yang merupakan cinta pertama, yang melakukan banyak hal demi hidupny
Prawira menghela napas berat. Tidak tahukah wanita itu? Hal yang dipikirkan Prawira sudah tidak sama. Sejak setelah dia melafaskan akad, sejak pertama dia mengecup kening wanita itu. Prawira telah berjanji dalam hatinya, janjinya bukan sekedar amanah, bukan juga karena sekedar rasa balas budi. Tetapi, kesungguhan yang akan dia pertanggungjawaban di hadapan Allah."Bagaimana, Mas? Ada poin yang harus ditambahkan?" tanya Noura dan Prawira menggeleng. "Kalau begitu, silakan tanda tangan." Dia menyerahkan pulpen hitam di hadapan Prawira.Tanpa kerelaan dalam hati, Prawira pun menandatangani perjanjian itu. Tangannya bergetar, tanpa bisa dia kendalikan. Sebuah pernikahan seharusnya tidak boleh dibuat seperti ini. Salah, tentu saja ini salah. Namun, dia juga tidak bisa memaksa sang istri untuk menerima dirinya kini. Biarkanlah sekarang berjalan apa adanya."Terima kasih, Mas Prawira." Noura pun menandatangani bagiannya.Kini mereka kembali terdiam setelah urusan perjanjian selesai. Prawira
Suara azan subuh berkumandang sangat merdu. Prawira terbangun karena nyanyian itu memanggil untuk melaksanakan ibadah. Setelah mandi dan rapi dengan baju koko juga sarung, pria itu membangunkan sang istri. Noura menggeliat, melenguh merasakan tubuhnya tergoncang.Noura membuka mata dan langsung mendorong tangan pria itu. "Mau apa kamu, Mas!" Dia langsung beringsut ke belakang. Menyilangkan kedua tangan di dada."Saya cuma membangunkan kamu, ayo subuhan dulu," jawab Prawira datar mengembalikan tangan ke posisi semula. Dia mundur selangkah.Tatapan mata Noura lurus sejajar pada pria di hadapannya. "Tapi jangan pegang-pegang juga. Panggil aja, kan bisa." Dia menatap nyalang."Maaf, saya sudah panggil kamu beberapa kali tadi," jawab Prawira kemudian. Ini hari pertama sebagai suami istri, dan mereka sudah berdebat.Tak memperpanjang masalah, wanita itu beranjak dari tempat tidurnya. Langsung masuk ke kamar mandi dengan wajah masam. Dia mengerutu entah apa, menutup pintu sedikit keras.Praw
Di meja makan sudah menunggu Pak Sugiarto serta Noura. Prawira yang sudah berganti pakaian, langsung menghampiri mereka. Sarapan sudah tertata di tengah meja. Sekilas dia memandang Noura yang tersenyum, lalu Pak Sugiarto. Prawira mengangguk sopan. Ini pertama kalinya pria itu duduk bersama di meja makan, sebagai seorang menantu. Sebelumnya Prawira jarang mau ikut makan dengan ayah dari istrinya itu."Jaka, duduk sini. Mulai sekarang kamu harus makan satu meja dengan saya. Jangan nolak lagi kayak kemarin-kemarin," ujar Pak Sugiarto."Iya, Yah." Prawira pun duduk berseberangan dengan mertuanya itu, sementara Noura di sebelah. Dia melihat hidangan di meja makan. Sarapannya pagi ini sepertinya akan terasa sangat nikmat.Tanpa diminta, Noura mengambilkannya makanan. Menanyainya mau makan apa, sambil tersenyum ramah. Layaknya seperti suami sungguhan, dia dilayani. Sepertinya wanita itu memainkan peran sangat baik. Prawira pun harus melakukan hal yang sama, bersikap mesra pada sang istri dan
Prawira semakin mendekatkan diri, semakin mengintimidasi dengan tatapan mata elangnya. Noura telah nampak pias terpojok. Sisa langkah telah habis, dan punggung Noura melekat pada daun pintu. Debaran jantung tak bisa dikendalikan lagi. Semakin cepat seiring terkikisnya jarak di antara mereka. Dan pria di hadapannya itu pun merasakan hal yang sama."Mas … Pra …," lirik Noura seraya menahan dada sang suami. Menghalangi agar tubuh mereka tidak melekat. Kedua sisi wajah pun mulai terasa panas.Namun, Prawira telah mengungkung wanita itu dengan kedua lengannya. Sehingga Noura benar-benar terlihat tak dapat bergerak saat ini. Dia pun mencoba memundurkan wajah sejauh mungkin, walau tak lagi ada ruang. Pria itu semakin mendekatkan, tatapannya mengunci mata indah milik istrinya."Kamu takut," bisiknya."Kamu mau apa sih, Mas? Ingat, kamu jangan melanggar perjanjian kita." Noura mencoba menghindari tatapan mata pria itu, membuang muka, tapi jantung mulai tidak aman karenanya.Lalu Prawira mendeka
***Sesaat suasana menjadi canggung. Prawira berdeham kecil, lalu membuka ikatan simpul pada sarung. "Saya simpan di mana ini?" tanyanya setelah menetralkan kegugupan yang sempat terasa.Noura pun melakukan hal yang sama. "Sebentar, Mas. Aku kosongkan satu sisi lemari dulu." Dia bangkit dan berjalan ke arah lemari. Kemudian membuka pintu sisi kanan, memindahkan pakaian lama yang ada di sana ke atas kasur. Menatanya sedikit demi sedikit, dengan cepat tangannya bekerja. Pakaiannya pun berpindah dari lemari ke tempat tidur dalam sekejab.Mata Prawira mengekori setiap gerakan istrinya itu. "Terus pakaian kamu itu mau diapakan?"Noura diam sejenak. "Ini baju-baju lama. Beberapa ada pakaian waktu masih sekolah. Sebagian lagi udah nggak bisa aku pakai. Emm, besok mau aku sumbangin aja ke panti," jawab Noura sambil terus mengosongkan ketiga slot lemari itu."Semuanya?" Prawira melihat tempat tidur itu sudah tertutup pakaian hampir setengahnya. Lalu mendekat memperbaiki tatanan ketika satu tum
Sebelum jam makan siang, Prawira yang baru kembali dari pangkalan mendatangi Noura ke kamar. Istrinya itu masih istirahat setelah selesai membereskan barang sejak pagi tadi. Noura tampaknya masih kelelahan, tidurnya begitu pulas memeluk guling. Namun, Prawira tetap akan membangunkan karena telah masuk waktu salat Zuhur.Setelah selesai melaksanakan ibadah secara bergantian. Mereka turun bersama menuju meja makan. Makan siang sudah terhidang di atas meja, Noura dan Prawira duduk di posisi masing-masing. Tak lama, Pak Sugiarto pun ikut bergabung. Mereka bercengkerama seperti tadi pagi. Percakapan keluarga yang baru bertambah satu anggota itu terlihat sangat hangat. Prawira masih berusaha menyesuaikan diri dengan suasana baru ini. Perlahan dia mulai terbiasa, dirinya merasa sangat beruntung diterima dengan baik.Malam harinya, Noura sudah terlelap setelah salat Isa selesai, sepertinya tak akan bangun lagi sampai esok pagi. Sedangkan Prawira yang matanya masih belum bisa terpejam, menopan
Pagi itu suasana di kampung Ciptoasih terlihat sedikit riuh. Peristiwa pencurian ternak yang telah lama tidak terjadi di sana, kali ini terjadi lagi. Puluhan tahun lalu hal ini pernah tejadi, karena masih merebaknya preman dan geng pemuda nakal.Beberapa warga berkumpul di kelurahan, menanti informasi dari warga yang mencari di sekitar kampung, dan sebagian besar warga lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing.Pencarian di sekitar kampung sudah dilakukan, tetapi tidak ada tanda-tanda ternak disembunyikan di mana pun. Dugaantentang penyembelihan di tempat juga tidak ditemukan. Mereka pun menyerahkan semua untuk ditangani oleh Lurah.Noura satu-satunya wartawan yang kebetulan berada di kampung. Dia akan mengangkatberita ini ke media walaupun hanya berita kecil, tapi jika kasus telah terungkap, dia bisa mendapat pujian dari atasan. Prawira ikut menemani sang istri meliput berita pencurian ternak yang terjadi. Prawira mendampingi
Noura ingin berkata sesuatu. Namun, lidahnya seakan kelu, sulit untuk mengungkapkan. Dipandangi wajah suaminya yang menunggu. Dia tampak ragu untuk mengungkapkan.Apa yang akan dia katakan sebenarnya telah menjadi beban di pikiran wanita itu. Terlebih lagi setelah tahy bahwa Prawira adalah teman masa kecil yang pernah memberi kenangan indah di hidupnya."Kenapa?" tanya Prawira karena wanita itu cukup lama diam."Aku minta maaf soal surat perjanjian itu. Jika kamu keberatan, kita bisa batalkan saja. Dan ... kamu bisa tinggalkan aku jika kamu merasa terbebani," tutur Noura kemudian. Sebenarnya dia juga tidak habis pikir kenapa bisa mengeluarkan kata-kata itu. Mungkin karena adanya rasa bersalah."Jadi itu yang kamu mau?" Prawira menatap teduh pada sang istri. Dia juga tau, pernyataan itu bukan yang ingin Noura katakan. "Jika itu mau kamu, saya akan turuti. Saya sudah katakan, bahwa saya akan menuruti setiap kemauan kamu. Jadi kamu mau?"Dengan cepat Noura mengelengkan kepala. Langsung m
Noura mencari keberadaan sang suami dari saat selesai sholat isya. Entah kenapa rasanya semakin tidak mengerti, dia sadar Prawira sengaja menghindarinya. Noura menempatkan dirinya sebagai seorang sahabat yang sedang membutuhkan. Dan dia sangat merasa kesepian. Ingin rasanya bercerita banyak hal dengan teman masa kecilnya itu. Mengenai kehidupannya beberapa tahun ini, tentang bagaimana dia melewati hari setelah perpisahan mereka. Bagaimanapun juga, Prawira pernah menjadi bagian di hidup seorang Noura.Ketika Noura ingin melangkah ke luar kamar. Pintu tiba-tiba saja terbuka. Sosok pria yang dia tunggu sejak satu jam lalu, muncul dari balik pintu. Mereka sama-sama terjingkat kaget, saling pandang wajah satu sama lain. Detik kemudian, Prawira mengalihkan pandangan, lalu berjalan melewati Noura.Noura berbalik saat pria itu lewat begitu saja dan acuh padanya. "Mas, dari mana?" tanyanya mengikuti langkah sang suami.Pria itu langsung menuju tempat tidur mengambil bantal dan selimutnya. Terl
"Non Noura. Sepertinya tadi Jaka sudah minta maaf, lagian dagangan pada jatuh semua, jadi dia kebingungan mau beresin. Untung ada warga yang bantu." Sepertinya akan ada kesalah pahaman, Kardiman pun anggkat bicara lagi ingin meluruskan.Namun, mendengar hal itu Pak Sugiarto tersentak kaget, fokusnya malah beralih. "Apa? Gerobak saya gimana? Rusak parah nggak, Man?""Hihhh, ayah bukannya tanya keadaan anaknya. Malah mikirin gerobak. Lihat nih, aku luka, Yah." Noura menunjukan telapak tangannya yang tergores, dia kembali protes. Pak Sugiarto malah terkekeh.Dan tiba-tiba gadis itu berpikir jail, dia mendekat langsung mendekap sang ayah."Ehh Nou … kamu basah, Nou!" Pak Sugiarto mencoba mendorong Moura menjauh, tapi tubuhnya dipeluk erat. Sehingga bajunya pun ikut basah.Noura tertawa puas ketika sang ayah telah basah. Tak terima, Pak Sugiarto mengangkat kedua tangan, mengarahkan pada pinggang Noura. Dengan cepat, Pak Sugiarto meraup dan menggelitiki Noura. Gadis itu tertawa serta mengg
Noura mengalihkan pandangan pada pria yang hampir menabraknya. Keadaan pria itu lebih mengenaskan, lalu dia melihat gerobak bakso yang sudah dibenarkan posisinya. Mata Noura menyipit, ternyata dia tahu pemilik usaha bakso tersebut. Sedikit merasa bersalah, Noura menghela napas panjang. Pasti akhirnya si Tukang Bakso itu akan dimarahi sang juragan, yaitu ayahnya sendiri. Tetapi, Noura bukan menyesal karena kecelakaan ini, lagi pula juga bukan kesalahannya. Dia merasa, pasti banyak kerugian yang ayahnya dapat."Mbak Noura nggak apa-apa?" tanya bapak di sebelah Noura, kasihan.Noura tersenyum dan berterima kasih sekali lagi. "Itu gerobak bakso Ayah saya, kan, Pak?" tanyanya."Iya, Mbak. Duhh, sampai peot gitu, kacanya pecah juga. Tapi, sepertinya ... baksonya udah habis," ujar si bapak setelah melihat keadaan gerobak tadi sekilas."Baru jam segini, udah habis?" Noura merasa terkejut. Baru sekitar jam empat sore, biasanya setelah magrib atau isya dagangan habis.Sebuah motor bebek tiba-ti
Dua Minggu setelah kondisi Prawira membaik. Pak Sugiarto membawanya pulang, memberinya tempat tinggal, juga merawat dengan baik. Warga kampung juga bergantian datang melihatnya. Prawira diperkenalkan sebagai anak kenalan Pak Lurah yang mendapat kecelakaan. Tidak punya sanak saudara, hanya bisa bergantung padanya.Entah warga yang datang karena kasihan, atau hanya sekedar ingin tau siapa sosok yang baru dibawa pulang dari rumah sakit?Prawira sangat berterima kasih pada warga kampung yang menemukannya, terutama pada Pak Sugiarto yang suka rela mau menampung dirinya. Telah banyak hutang budi yang dia miliki, terutama akan biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Prawira berjanji dalam hatinya, akan membalas atas semua keberuntungan dan kesempatan. Hutang nyawa dibalas nyawa.Satu bulan setelah kejadian itu, Prawira benar-benar pulih dengan baik. Dia sudah bisa beraktivitas secara normal. Ingatannya juga perlahan kembali. Namun, ketika menyadari tentang jati dirinya, Prawira akhirnya bungka
Pertarungan semakin sengit ….Sekali lagi, Prawira melawan ketiganya secara bersamaan. Sisa-sisa tenaga yang dia miliki dikerahkan seluruhnya. Menangkis serangan, membalas, memukul dan menendang.Segala cara yang dia bisa, dia lakukan. Satu pukulan melayang di udara, segera Prawira tahan dengan kepalan tangan. Tangan satunya menyerang di bagian perut lawan, hingga sang lawan menunduk karena dorongan yang kuat. Satu lagi serangan tiba-tiba dari belakang, Prawira menangkis tanpa melihat. Lawan yang terkena tinjunya tadi, ditendang hingga memental. Dengan gerakan cepat berbalik, membalas serangan di belakang. Satu serangan dan balasan terjadi dalam hitungan detik. Erangan dalam pergumulan terdengar dari mulut mereka bergantian."Sial, kalian membuatku kewalahan!" teriak Prawira di sela pertarungan. Napas terengah-engah, sekujur tubuh sakit, tenaga hampir habis.Deruan napasnya memburu setiap melakukan gerakan. Prawira menahan serangan tongkat dengan kedua tangan menyilang, mendorong dan
Janji mereka saling terucap. Dengan tautan jari kelingking sebagai tanda kesepakatan mereka. Moment itu pun diakhiri dengan foto bersama. Menyimpan memori indah mereka kala itu.Tanpa mereka tau, tanpa mereka prediksi. Janji yang terucap kala itu, tak selamanya bisa ditempati. Beberapa bulan setelah itu, Prawira diboyong kedua orang tuanya pergi jauh dari Jakarta. Dengan terpaksa Prawira kecil ikut sang papa pindah tugas ke kota lain. Lebih tepatnya ke wilayah bagian timur Indonesia.Noura, Didit, juga orang tua mereka, akan mengantar kepergian Prawira beserta keluarga di bandara. Mata Noura tampak memerah, dia telah menangis di sepanjang perjalanan. Membuat sang ayah kewalahan membujuknya agar diam.Ketika tiba di bandara, Noura dan Didit kecil langsung dibawa ke terminal keberangkatan. Mendatangi Prawira beserta keluarganya yang sengaja duduk di bangku tunggu. Tampak Prawira yang tengah tertunduk di sana. Dia enggan untuk memperhatikan sekitarnya. Pria kecil itu sangat berat untuk m
Gadis kecil ituterlihat sangat bersemangat, berlari ke arah kedua anak laki-laki yang sudah seperti saudara baginya. Beberapa hari ini dia selalumurung, berpikir apakah Prawira jadi datang atau tidak.Noura sudah menantikan kedatangannya.Ketika Noura hampir sampai di dekat mereka, tiba-tiba Didit maju dan menghalangi, sehingga gadis itu pun menghentikan langkahnya."Eiittt, tunggu dulu," ucap Didit seraya membentangkan tangan."Mas Didit, minggir!" Noura dengan wajahkesal."Jangan marah dulu … ayo hadap belakang." Didit membalikkan badan Noura bersamaan dengannya."Kenapa, sih, Mas!""Huussss jangan banyak tanya, diam aja." Didit menutup mulut Noura yang sedang manyun. "Ayo,Bhisma!"Prawira kecil pun mendekat, lalu mengikatkan kain hitam panjang pada mata Noura yang dia keluarkan dari kantung celananya. Gadis kecil itu hanya diam membiarkan mereka memperlakukannya. Dia hanya terkekeh dan sedi
Prawira mengendarai motornya menuju padepokan Didit, tempatnya membuat janji. Saat dalam perjalanan, dia sedikit merasa aneh dengan suasananya. Rasanya seperti ada yang mengikuti, dia dibuntuti sosok pria misterius. Tak ingin terlihat curiga karena menyadari hal itu, Prawira pura-pura tidak melihat. Sampai di tempat tujuan, dia langsung masuk ke dalam. Sudah ada Didit menunggu sendirian."Mas, Didit,” sapa Prawira setelah pria itu mengangkat tangan menyambut dirinya.Didit tersenyum tipis dan menyambut Prawira melakukan brohug. "Bhisma, apa kamu diikuti?""Iya, Mas. Seperti yang kita duga, aku sudah mulai dicurigai." Prawira duduk di kursi yang tersedia. "Sepertinya aku harus segera pergi dari sini.""Apa mereka orang-orang yang mencelakaimu waktu itu?""Belum bisa dipastikan, Mas. Penampilanku waktu itu dan sekarang sangat berbeda. Kematian Dendi—samaranku juga sudah diumumkan di media. Jika mereka mencurigaiku, mungkin ….""Kamu harus lebih berhati-hati, jangan terlalu mencolok. Sese