“Pak Boris, saya rasa agak aneh. Kota Binru begitu besar, seharusnya nggak mudah untuk mencari orang. Tapi kali ini sepertinya lancar-lancar saja. Kita bisa temukan target yang jelas dengan begitu cepat.”Boris duduk di dalam mobil dengan wajah tanpa ekspresi. Dia mengemudikan mobil dengan satu tangan dan memegang ponselnya dengan tangan lainnya. Sorot matanya menjadi dingin. “Temukan orang itu dulu dan bawa dia ke depanku. Sedangkan yang lain, semua akan jadi jelas setelah orang itu ditemukan.”“Baik, saya mengerti,” jawab Jesse sambil mengangguk.Saat Jesse hendak bertanya kepada Boris apakah ada perintah lain, tiba-tiba Jesse mendengar Boris bertanya dengan emosi yang tidak jelas, “Kamu coba tanya pada psikiater yang tangani Tyara apakah belakangan ini dia benar-benar pergi ke sana tepat waktu.”Seharusnya kemarin Boris sudah ingin menyuruh Jesse pergi bertanya. Namun, tertunda karena dia sedang mencari Zola. Lantas, mengapa Boris ingin bertanya pada psikiater itu? Tentu saja untuk
Namun, baik makanan yang rasanya lebih kuat maupun yang lebih ringan ada di atas meja makan mereka.Begitu melihat meja yang penuh dengan makanan lezat, Jeni langsung tersenyum lebar. “Pak Boris, aku nggak terbiasa dengan kamu yang antusias begini. Kamu mau suap aku?”“Pernah kepikiran. Hanya saja nggak tahu kamu bakal setuju atau nggak.”Boris makan dengan elegan. Dia meletakkan sendoknya, lalu mengambil cangkir teh dan menyesap tehnya. Setelah itu, dia menatap Jeni dengan tatapan hangat.Jeni jelas sedikit terkejut dengan sikap Boris. Dia spontan melihat ke arah Zola yang duduk di sebelahnya. “La, kamu nggak tanya kepikiran apa?”“Dia lagi ngomong sama kamu, bukan ngomong sama aku.” Zola tertawa pelan.Jeni mengerutkan kening dan menatap Boris, berusaha mencari jawaban di wajah pria yang ekspresinya tak terbaca itu. “Kepikiran apa? Aku jelaskan dulu, ya. Aku nggak akan lakukan apa pun yang melanggar hukum.”Boris tertawa sebentar lalu kembali ke topik. “Morrison Group ada proyek baru
“Tedy, kamu mau makan bareng?” tanya Boris dengan suara beratnya.“Nggak, nggak usah peduli dengan apa yang dia katakan.” Tedy menyipitkan matanya dan menatap Wina dengan dingin. “Kamu merasa kamu akrab dengan mereka?”Tedy sama sekali tidak berniat menjaga harga diri Wina di depan orang lain. Wajah Wina seketika menjadi kaku, dia pun langsung terdiam.Tedy memandang Boris dan berkata, “Aku pergi dulu.”“Hmm.” Boris hanya bergumam pelan.Tedy pergi lebih dulu, lalu diikuti oleh Wina. Suasana di dalam ruangan menjadi sunyi senyap. Zola tanpa sadar memandang ke arah Jeni yang ada di sebelahnya. Jeni sendiri masih asyik makan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Saat dia menyadari Zola sedang menatapnya, Jeni tertawa pelan.“Kenapa kamu lihat aku? Ayo makan, nanti keburu dingin makanannya. Tenang saja, aku nggak apa-apa.”Wajah Zola menjadi muram. Meskipun Jeni berkata kalau dia baik-baik saja, Zola tetap saja merasa sedikit khawatir.Boris berinisiatif menjelaskan situasi, “Aku nggak ajak
Zola tidak mengatakan apa pun, juga tidak menanggapi perkataan Boris. Meskipun dia tahu apa yang Boris katakan memang masuk akal, dia tetap saja masih merasa bersalah karena tidak menjaga Jeni dengan baik.Karena tidak tidur dari subuh, satu jam kemudian Zola tidak tahan dan akhirnya tertidur. Boris membaringkannya di sofa, lalu menutupi tubuh Zola dengan jaketnya. Dia mengatur suhu AC agar tidak terlalu dingin. Setelah itu, dia keluar dari bangsal.Boris mengeluarkan ponselnya. Setelah ragu-ragu sejenak, pada akhirnya dia memutuskan untuk menelepon Tedy. Saat ini, Tedy masih belum bangun. Jadi dia sedikit terkejut ketika menerima telepon dari Boris.“Pagi amat, Ris. Ada apa?”“Kamu lagi sendirian?” tanya Boris.“Kamu ngomong apa, sih? Tentu saja aku sendirian. Memangnya kamu mau temani aku?” tukas Tedy sambil tertawa pelan.“Jeni masuk rumah sakit. Baru saja bilas lambung. Masih belum sadar,” kata Boris dengan acuh tak acuh.“Dia kenapa?”“Dia kenapa aku nggak tahu. Aku hanya tahu ten
“Nenek nggak apa-apa. Nenek suruh kamu ke sini hanya karena ingin ngobrol sama kamu. Tadi pagi Dokter Guntur baru datang. Untung ada Boris. Kalau nggak ada Boris, kita nggak mungkin kenal dokter ahli seperti Dokter Guntur,” kata sang nenek dengan tulus.Tentu saja Zola mengerti maksud di balik kata-kata neneknya. Dia pun menganggukkan kepala tanda mengerti.“Zola, akhir-akhir ini kamu ada kontak dengan orang rumah?”Orang rumah yang dimaksud nenek Zola tentunya mengacu kepada keluarga Leonarto. Namun, Zola tercengang sejenak, baru menangkap maksud neneknya.Zola menatap neneknya dan bertanya, “Nenek mau ngomong soal apa?”Nenek Zola tersenyum lembut. Hati nenek Zola sangat baik, dia juga orang yang sangat bijaksana. “Sebentar lagi Nenek akan menjalani operasi. Nenek ingin bertemu mama kamu dulu sebelum operasi. Sekarang aku nggak leluasa pergi ke rumah keluarga Leonarto. Coba kamu tanya dia, bisa nggak dia datang ke rumah sakit sebentar.”Zola menatap neneknya dengan wajah tanpa ekspre
“Kalau aku bilang nggak bisa ya nggak bisa. Zola, dia baik padamu tapi nggak padaku. Kamu mau tanggung jawab itu urusanmu sendiri, nggak ada hubungannya denganku. Kalau kamu nggak ada urusan lain, kamu pergi saja.”Usai berkata, Lydia berdiri dan hendak naik ke lantai atas. Tutur kata dan perbuatannya membuat Zola merasa semakin kesal dan marah. Zola berdiri dan menatap Lydia.“Kalau kamu nggak pergi ke rumah sakit jenguk nenek, aku akan batalkan kerja sama Leonarto Group sekarang juga,” ancam Zola. “Kalau kamu nggak percaya, kamu tanya saja pada Selena. Sekarang Leonarto Group sedang kerja sama denganku. Selama aku menolak, Leonarto Group nggak akan bisa temukan mitra kerja sama lagi. Proyek akan dibatalkan, maka jalan yang akan ditempuh Leonarto Group akan menjadi semakin sulit.”Kata-kata Zola membuat langkah kaki Lydia seketika berhenti. Dia menoleh dan melihat Zola dengan tatapan dingin. Wajahnya penuh dengan amarah. “Apa maksudmu? Kamu tahu kamu lagi ngomong apa? Demi orang luar,
Jeni juga spontan melepaskan Zola, tapi tidak ada niat untuk menjauh. Sebaliknya, dia bertanya, “Pak Boris, aku masih sakit. Aku peluk sebentar istrimu, kamu nggak akan keberatan, kan?”“Aku rasa aku akan keberatan,” jawab Boris dengan terus terang.Jeni mengangkat alisnya, lalu memiringkan kepalanya dan bersandar di bahu Zola. “Pak Boris, aku sudah bantu kamu yakinkan Sianta Group untuk kerja sama denganmu. Habis manis sepah dibuang.”“Hmm, kerja sama ya kerja sama. Suatu saat kalau kamu butuh bantuan dalam pekerjaan, katakan saja padaku.”Boris memberitahu Jeni kalau Jeni tidak bisa memeluk istrinya hanya karena soal kerja sama. Zola yang menjadi objek pembicaraan hanya menundukkan kepala tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Jeni justru sengaja berkata, “Lihat, La. Pak Boris galak banget sama aku!”“Hmm, dia juga galak sama aku. Jadi jangan buat dia marah, oke?” kata Zola.“Cemen.”Zola tertawa acuh tak acuh. Boris pun memotong percakapan mereka dengan bertanya, “Kabari aku kapan Pak
“Dia ada di Kota Jantera. Saya sudah atur orang untuk awasi dia terus.”“Kenapa nggak langsung bawa ke sini?” tanya Boris sambil mengerutkan kening. Wajahnya menjadi muram.“Pak Boris, kami menemukan hubungan Gilang yang lain selama penyelidikan,” jawab Jesse.“Hubungan apa?” tanya Boris.“Gilang mungkin ada hubungannya dengan Bu Zola. Istri Gilang yang selama ini merawat nenek Bu Zola. Bibi yang sekarang jaga nenek Bu Zola. Alasan Gilang datang ke Kota Binru juga karena untuk menemui istrinya.”Begitu Jesse selesai bicara, ekspresi Boris menjadi sangat muram. Dia mengerutkan kening tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Jesse mengambil risiko dan lanjut berkata, “Pak Boris, jika masalah ini benar-benar ada hubungan dengan Gilang, apakah Bu Zola juga tahu?”Boris tidak menjawab. Dia hanya menatap Jesse dengan dingin, sebagai ungkapan rasa tidak senangnya. Boris mengibaskan tangannya sebagai isyarat menyuruh Jesse pergi. Kemudian, dia duduk sendirian di kantor dan menyalakan sebatang rokok