Dimas mengerutkan keningnya dan berkata, "Jangan sembarangan, ah." Pada saat yang bersamaan, telepon pun terhubung. Rosita berkata dengan tegas, "Boris, pulang ke rumah malam ini. Kita perlu mengadakan rapat keluarga. Mama peringatkan, kalau kamu nggak pulang, kamu akan menyesal." "Ma ...." "Apa, ha? Jadi sekarang kamu nggak mengindahkan kata-kata Mama?" potong Rosita dengan sangat emosi.Dimas merebut telepon dan memotong perkataan Boris, "Kamu itu seharusnya bersikap hati-hati. Jangan lupa siapa kamu sekarang. Setiap perkataan dan tindakanmu nggak hanya mewakili dirimu sendiri, tetapi juga keluarga Morrison dan Grup Morrison, juga reputasi kakekmu."Boris dengan wajah datar berkata, "Pa, jangan dengarkan kata-kata Mama. Aku nggak ngapa-ngapain, kok." "Masih berani membantah, heh? Apa kamu mau Papa temui wanita itu?" ancam Dimas."Ya sudah, iya. Aku ngerti. Aku pulang malam ini." Setelah mengucapkan itu, telepon langsung ditutup. Boris tampak pasrah dengan kening berkerut.Tyara,
Zola menatap Boris heran, "Mana ada?""Jadi, apa maksudmu sekarang?" tanya Boris."Aku nggak ngapa-ngapain, kok.""Kita biasanya makan sama-sama, tapi hari ini kamu nggak kirim satu pun pesan ke aku. Kamu sudah melaksanakan kewajibanmu sebagai istri?" Ucapan Boris tajam dan penuh dengan ketidakpuasan.Zola tersenyum getir, "Boris, kamu rela mengorbankan tubuhmu demi Tyara, gimana aku bisa tahu kalau kamu mau pulang makan di rumah atau nggak, hah? Lagipula, kalau aku telepon, aku juga nggak bisa pastikan bukan Tyara yang angkat. Jadi, ngapain aku telepon?"Zola masih kesal karena peristiwa semalam, dimana Boris mengabaikan tubuhnya sendiri. Hal itu tak bisa Zola lupakan. Namun, Boris justru tak berpikir demikian."Bukannya kamu hanya marah karena apa yang terjadi di restoran?" tanya Boris."Em, jadi kamu bicara tentang kamu memilih makan dengan Tyara ketimbang aku dan Mama, atau Tyara yang memelukmu di depan kami berdua?"Boris seharusnya tidak menyebutnya, tapi dia sendiri yang malah m
Zola baru saja sampai di kantor ketika Mahendra menyerahkan sebuah kontrak kepadanya, “Zola, ini kontrak yang baru kita tanda tangani dengan Stonerise. Mau lihat?”Zola hanya menggeleng, “Sudah, kamu yang urus saja.”Mahendra menaruh kembali kontrak itu dan duduk di kursinya, lalu berkata, “Beberapa hari lagi kita akan ke Morrison Group untuk menyerahkan desainnya sama bos Stonerise. Kita bakal sering ketemu dengan Morrison Group untuk beberapa bulan ke depan. Itu berarti kita nggak bisa hindari ketemu Boris. Kamu sudah punya rencana belum?”Zola sedikit terkejut, “Rencana apa?”“Perceraian,” jawab Mahendra pendek.“Kakek masih belum sadar, jadi perceraiannya harus ditunda. Kalau soal kerjasama, kita sudah susah payah mendapatkan ini, jadi pasti kita lanjut. Proyek ini juga bakal bawa untung besar buat perusahaan. Meskipun nanti aku dan Boris cerai dan aku nggak di Kota Binru lagi, yang lain di perusahaan ini tetap bisa lanjutkan proyek ini di lingkungan ini.” Itu prinsip dan batas yan
Ekspresi Boris datar. Wajah tampannya terasa asing di mata Zola. Boris berkata, "Iya, sementara tinggal di sini dulu sampai dapat tempat yang cocok, baru pindah.""Jawabanmu itu mungkin bisa mengecoh orang lain, Boris, tapi aku nggak percaya kamu nggak bisa menemukan tempat yang cocok untuk Tyara dengan kemampuanmu. Apa karena kamu merasa di Kota Binru yang luas ini hanya rumah kita yang paling cocok buat dia?" tanya Zola."Zola," nada suara Boris rendah, "Tyara baru saja keluar dari rumah sakit hari ini. Bahkan walaupun aku sudah carikan tempat, nggak akan ada tempat yang senyaman di rumah. Bisa nggak kamu lebih lapang dada dan nggak sempit pikirannya?" Lanjut Boris."Aku yang sempit pikiran?" Zola tertawa dingin. Dia menyadari betapa kejamnya seseorang bisa berbicara hingga setiap kalimatnya bisa meremukkan hati orang lain. Zola menarik napas dalam-dalam, merasakan perasaan pahit yang mulai menyesakkan dadanya.Zola berkata dingin, "Kalau kamu pikir tempat ini cocok untuk dia, maka a
Ternyata Rosita yang menelpon. Zola segera mengangkat telepon, “Mama?”“Zola, Kakek sudah bangun. Dia bilang kangen kamu. Kamu bisa datang ke rumah sakit sekarang?” Rosita terdengar sangat bersemangat dan bahagia. Zola pun segera bangun dari tempat tidur, meninggalkan Boris yang masih tertidur di sampingnya tanpa membangunkan pria itu.“Iya, Ma. Aku langsung berangkat sekarang, ya. Tolong jagain Kakek dulu, aku segera sampai,” jawab Zola.“Oke,” sahut Rosita. Setelah menutup telepon, Zola hanya sempat mencuci muka dan mengganti pakaian sebelum bergegas keluar rumah. Jam masih menunjukkan belum genap pukul tujuh pagi. Bansan Mansion masih terasa sepi.Dengan cepat, Zola tiba di rumah sakit. Baru saja sampai di depan pintu kamar, Zola sudah mendengar suara garau Hartono, “Aku sudah nggak tahan lagi terkurung di sini. Kalau bukan karena ingin membuat Zola tetap tinggal, aku nggak akan pura-pura sakit sampai harus dirawat di rumah sakit kayak gini.”Dimas segera menjawab, “Papa, ini semua
Zola terdiam. Dia seketika teringat pada Tyara yang saat ini masih tinggal di Bansan Mansion. Zola tidak bilang ke Hartono, hanya menggeleng sambil tersenyum tipis, "Nggak ada, kok."Zola tidak ingin membuat Hartono khawatir. Meskipun kali ini Hartono dirawat di rumah sakit karena Boris, tapi Zola tidak ingin mempertaruhkan kesehatan Hartono."Kalau dia sampai berani macam-macam sama kamu, kasih tahu Kakek, ya. Biar Kakek yang urus," kata Hartono dengan pandangan yang penuh kelembutan seorang kakek.Zola tersenyum, "Iya, aku tahu Kakek paling baik sama aku."Zola memijat kaki Hartono. Mungkin karena belum sarapan, ditambah lagi dengan bau disinfektan yang kuat di ruangan itu, Zola berlari ke kamar mandi dan muntah hebat. Tak ada makanan di perutnya. Setelah muntah, Zola merasa jauh lebih lega.Sehabis mencuci muka, Zola kembali ke kamar. Hartono menatapnya, bertanya pelan, "Zola, kamu kenapa?"Zola menggeleng tanpa mengubah ekspresi wajahnya, "Aku baik-baik saja, Kek. Mungkin aku agak
Zola mengangguk kencang, air mata pun mulai meleleh dari matanya. “Kakek, makasih, ya. Benar-benar makasih banget.”Biasanya Zola bukan tipe orang yang mudah menangis, tapi kebaikan tanpa syarat dari Hartono benar-benar membuatnya tidak bisa menahan emosi. Pintu kamar rumah sakit pun dibuka dari luar, Rosita dan Dimas kembali membawa sarapan. Dan ternyata Boris juga ikut bersama mereka.Ketiganya melihat Zola sedang menunduk dan menangis, sementara Hartono memandangnya dengan wajah penuh kasih. Rosita langsung bertanya, “Ada apa ini?”Zola buru-buru mengelap pipinya dan tersenyum, “Nggak apa-apa, Ma. Barusan cuma lagi ngobrolin hal-hal masa lalu sama Kakek.”Zola mengalihkan topik tanpa ada yang menyadari. Akan tetapi, mata Boris terus mengawasi dia. Ekspresi Boris datar, matanya yang dalam tampak sedang mencari tahu, “Zola menangis kenapa?”Sebelum Boris sempat bertanya lebih lanjut, Rosita sudah mengajak Zola, “Zola, yuk, sarapan dulu.”Zola bangkit dan berjalan ke arah meja makan me
Hartono mendengus pelan, "Memangnya kenapa? Kamu mau cerai sama dia dan aku sebagai kakeknya nggak boleh mikirin masa depannya?"Boris terdiam. Wajah tampannya sedikit mengerutkan dahi, sorot matanya yang dalam pun terlihat agak berbeda. Setelah beberapa saat, Boris akhirnya berkata, "Kakek, aku sama Zola belum cerai, kok.""Kakek tahu kalian belum cerai. Makanya, sebelum kalian bercerai, Kakek harap kamu sudah carikan pengganti yang tepat buat dia. Biar orang-orang juga tahu kalau Zola itu banyak yang mau, nggak cuma nempel sama kamu saja."Hartono berbicara tanpa basa-basi, pandangannya ke Boris semakin menunjukkan ketidakpuasan. Boris bertanya, "Zola tahu nggak soal permintaan ini?""Tahu atau nggak, memangnya itu penting? Zola anak yang penurut, dia pasti dengerin apa kata Kakek.""Kakek, aku ini beneran cucu kandung Kakek atau bukan, sih?" Boris tentu tahu jawabannya, tapi di momen seperti ini, dia seakan merasa ragu.Hartono dengan tegas menjawab, "Kalau kamu bukan cucuku, sudah