Zola mengangguk kencang, air mata pun mulai meleleh dari matanya. “Kakek, makasih, ya. Benar-benar makasih banget.”Biasanya Zola bukan tipe orang yang mudah menangis, tapi kebaikan tanpa syarat dari Hartono benar-benar membuatnya tidak bisa menahan emosi. Pintu kamar rumah sakit pun dibuka dari luar, Rosita dan Dimas kembali membawa sarapan. Dan ternyata Boris juga ikut bersama mereka.Ketiganya melihat Zola sedang menunduk dan menangis, sementara Hartono memandangnya dengan wajah penuh kasih. Rosita langsung bertanya, “Ada apa ini?”Zola buru-buru mengelap pipinya dan tersenyum, “Nggak apa-apa, Ma. Barusan cuma lagi ngobrolin hal-hal masa lalu sama Kakek.”Zola mengalihkan topik tanpa ada yang menyadari. Akan tetapi, mata Boris terus mengawasi dia. Ekspresi Boris datar, matanya yang dalam tampak sedang mencari tahu, “Zola menangis kenapa?”Sebelum Boris sempat bertanya lebih lanjut, Rosita sudah mengajak Zola, “Zola, yuk, sarapan dulu.”Zola bangkit dan berjalan ke arah meja makan me
Hartono mendengus pelan, "Memangnya kenapa? Kamu mau cerai sama dia dan aku sebagai kakeknya nggak boleh mikirin masa depannya?"Boris terdiam. Wajah tampannya sedikit mengerutkan dahi, sorot matanya yang dalam pun terlihat agak berbeda. Setelah beberapa saat, Boris akhirnya berkata, "Kakek, aku sama Zola belum cerai, kok.""Kakek tahu kalian belum cerai. Makanya, sebelum kalian bercerai, Kakek harap kamu sudah carikan pengganti yang tepat buat dia. Biar orang-orang juga tahu kalau Zola itu banyak yang mau, nggak cuma nempel sama kamu saja."Hartono berbicara tanpa basa-basi, pandangannya ke Boris semakin menunjukkan ketidakpuasan. Boris bertanya, "Zola tahu nggak soal permintaan ini?""Tahu atau nggak, memangnya itu penting? Zola anak yang penurut, dia pasti dengerin apa kata Kakek.""Kakek, aku ini beneran cucu kandung Kakek atau bukan, sih?" Boris tentu tahu jawabannya, tapi di momen seperti ini, dia seakan merasa ragu.Hartono dengan tegas menjawab, "Kalau kamu bukan cucuku, sudah
Seorang pelayan keluarga menjawab telepon di rumah keluarga Leonarto. Ketika dia mendengar suara Zola, pelayan itu bersikap agak acuh tak acuh. Meskipun dia tahu Zola adalah putri kedua dari keluarga Leonarto, Zola tidak terlalu disayangi. Jadi pelayan itu juga tidak terlalu menganggapnya penting.Pelayan itu berkata, “Non Zola, ada yang bisa saya bantu?”“Mama ada di rumah?” tanya Zola.“Ibu tidak ada di rumah,” jawab pelayan pendek.“Papa ada?”“Bapak juga tidak ada di rumah,” lalu pelayan itu mulai mencari alasan untuk menutup pembicaraan. “Non Zola, saya masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Kalau nggak ada lagi yang bisa saya bantu, saya tutup teleponnya, ya.”Tanpa menunggu jawaban Zola, pelayan itu langsung memutus sambungan. Dia segera melapor pada Selena yang kebetulan turun dari lantai atas, “Non, Non Zola barusan menelepon dan saya sudah menjawab sesuai instruksi Non Selena.”Selena hanya mengangguk sambil berkata, “Nggak perlu bilang ke Mama. Beliau lagi nggak ena
Zola benar-benar bingung. Apakah Tyara sedang memanfaatkan ketidakhadiran Boris untuk menantangnya? Hmph.Bukannya dia selalu berperilaku lembut dan anggun? Kenapa begitu Boris tak ada, dia berubah seolah menjadi orang lain? Dia pikir Zola akan terus membiarkannya?Zola berkata, “Jadi, menurutmu salahku kalau dia pulang terlambat? Kenapa kamu nggak introspeksi diri? Bisa jadi dia nggak pengin ketemu sama kamu. Lagipula, sebelum kamu tinggal di sini, dia selalu pulang tepat waktu.”Tentu saja, itu hanya kata-kata balasan dari Zola kepada Tyara. Memang sebelumnya, Boris tidak mungkin selalu pulang tepat waktu, karena Zola sama sekali tidak berani ikut campur dalam urusannya. Jadi, saat Boris bisa pulang, itu saja sudah membuat Zola sangat bahagia.Kini Zola mulai merenung. Sepertinya dirinya memang orang yang mudah puas. Apa daya, kini kepuasan sederhana itu semakin sulit diraih.Setelah mengucapkan semua itu, Zola tidak lagi menatap Tyara, dia melanjutkan pekerjaannya dan benar-benar me
Zola terpaku sejenak. Dia mengabaikan bagian awal kata-kata Boris yang terdengar hanya formalitas, dan memusatkan seluruh perhatiannya pada bagian akhir.Zola mengerutkan alisnya, "Kamu bilang kakek menyuruh kamu mencarikan pasangan yang cocok untukku?""Kamu nggak tahu?" tanya Boris."Kamu pikir aku seharusnya tahu?" Zola merasa sedikit frustasi, apa maksudnya sekarang? Apa Boris berpikir Zola yang mengusulkan itu kepada kakek?Zola berkata, "Boris, itu hanya bentuk perhatian kakek sama aku, kamu nggak perlu terlalu memikirkannya. Aku juga nggak minta itu, jadi sebaiknya kamu anggap saja nggak tahu."Kakek tahu bahwa Zola hamil, mungkin Kakek khawatir akan sulit bagi Zola membesarkan anak sendirian. Namun, sebenarnya Zola tidak membutuhkan hubungan baru sebelum benar-benar melupakan Boris dari hatinya.Bagaimanapun juga, Zola tidak menyalahkan Kakek. Toh, Kakek hanya ingin yang terbaik untuknya. Apa yang dipikirkan Zola tentu saja tidak diketahui oleh Boris. Sedari tadi Boris hanya te
Boris tidak memberi Tyara pandangan sama sekali, suaranya terdengar sangat datar saat ia menjawab, “Tidak.”“Tapi kamu kelihatannya nggak senang,” kata Tyara dengan suara pelan.Sorot mata Boris yang tajam dan dingin membuat orang lain enggan mendekat. Tyara sendiri pun merasa takut, matanya penuh keengganan saat menatap Boris.Namun pada akhirnya, Boris hanya berkata ringan, “Sore ini aku harus pergi ke Jiangcheng untuk dinas, baru bisa kembali dua hari lagi. Jika ada apa-apa, kamu bisa kontak Xena, dia akan bantu. Oh ya, selama aku nggak ada, kamu jaga jarak dengan Zola, ya?”Xena adalah asisten perempuan Boris. Tyara terdiam sejenak. Namun, dia mengangguk cepat, “Oke, aku ngerti.”Tyara merasa ada sesuatu yang tersirat dalam kata-kata terakhir Boris, mungkinkah Zola telah mengatakan sesuatu tadi malam? Tyara hanya bisa berandai-andai dalam hati, tapi dia tidak berani bertanya langsung kepada Boris.Boris tidak memberitahu Zola tentang perjalanannya. Zola baru tahu dari Tyara ketika
Begitulah, dua hari pun dengan damai seperti ini.Selama dua hari ini, Zola dan Boris tidak saling kontak sama sekali. Bahkan, Boris tidak memberi tahu Zola saat mau melakukan perjalanan bisnis. Itu sama saja dengan memberitahu Zola bahwa Zola tidak perlu menghubunginya, dan Zola pun mengabulkannya. Dua hari bukanlah waktu yang singkat, juga tidak lama. Hartono keluar dari rumah sakit pada pagi hari ketiga. Karena Zola tidak tahu kapan Boris akan kembali, dia bergegas ke rumah sakit pagi-pagi sekali untuk menjemput Kakek Hartono, bersama Dimas dan Rosita.Hartono sudah melakukan pemeriksaan dan ternyata tekanan darah dan gula darahnya agak tinggi, tapi yang lainnya normal. Zola mengurus semua prosedur keluar dari rumah sakit sendiri. Hartono, Dimas dan Rosita bisa melihat sikap hormatnya pada orang tua.Rosita berkata, “Zola, kamu nggak usah repot-repot lagi. Biarkan mereka saja yang mengurusnya. Kamu ke sini saja, temani Kakek mengobrol.”Zola berhenti dan berkata, “Aku nggak repot,
Boris tampak cukup kucel, mungkin baru saja kembali. Hanya saja, begitu kembali langsung menemani Tyara ke rumah sakit. Perhatian sekali. Zola menggerutu dalam hati.Boris memandang Hartono dan berkata, “Kakek ….”“Kamu masih memandang aku sebagai kakekmu? Aku lihat kamu berharap aku segera mati.” Hartono langsung memotong perkataan Boris.“Kakek, aku nggak pernah berpikir seperti itu. Tolong jangan berkata seperti itu.” Boris menjelaskan.Hartono mengabaikannya.Dimas segera menenangkan, “Pa, jaga kesehatan Papa. Jangan sampai kesehatan Papa memburuk lagi karena marah padanya.”Lalu, Dimas menatap Boris dengan dingin dan berkata, “Kakek keluar dari rumah sakit, kamu bilang kamu sedang dalam perjalanan bisnis. Sekarang kenapa ada di sini?”“Aku baru saja kembali. Tyara lagi nggak enak badan, jadi aku menemaninya ke dokter. Kupikir ada Mama dan Zola yang menjemput Kakek, jadi aku berencana untuk langsung pulang ke rumah untuk melihat Kakek nanti malam.”“Aku nggak membutuhkannya. Jangan