Boris tidak menjawab pertanyaan itu, hanya sikapnya yang terlihat semakin dingin.Boris merenggangkan matanya, kemudian berbicara dengan suara datar, “Tyara, aku antar kamu kembali ke rumah sakit.”“Boris, apa kamu nggak senang? Apa karena Zola marah makanya kamu merasa kasihan sama dia? Bilang saja yang sebenarnya, aku nggak akan menyalahkan kamu. Aku mengerti, kok, setelah setahun kalian menikah, berbagai hal yang seharusnya dan tidak seharusnya terjadi sudah kalian lewati. Kalau kamu bilang sekarang kamu mencintai dia, aku akan pergi, aku nggak akan mengganggumu lagi.”Tyara mulai emosional, matanya menatap Boris seraya menunggu jawabannya. Boris kemudian memandang Tyara dengan tatapan datar dan wajah tanpa emosi apa pun.Boris berkata tenang, “Tyara, kamu khawatirkan apa? Sudah kubilang, aku akan menceraikan dia dan menikahi kamu. Atau kamu ingin aku benar-benar jatuh cinta sama Zola dan meninggalkanmu? Kalau memang itu yang kamu mau, mungkin aku bisa mencobanya, hmm?”“Jangan, Bor
Dimas mengerutkan keningnya dan berkata, "Jangan sembarangan, ah." Pada saat yang bersamaan, telepon pun terhubung. Rosita berkata dengan tegas, "Boris, pulang ke rumah malam ini. Kita perlu mengadakan rapat keluarga. Mama peringatkan, kalau kamu nggak pulang, kamu akan menyesal." "Ma ...." "Apa, ha? Jadi sekarang kamu nggak mengindahkan kata-kata Mama?" potong Rosita dengan sangat emosi.Dimas merebut telepon dan memotong perkataan Boris, "Kamu itu seharusnya bersikap hati-hati. Jangan lupa siapa kamu sekarang. Setiap perkataan dan tindakanmu nggak hanya mewakili dirimu sendiri, tetapi juga keluarga Morrison dan Grup Morrison, juga reputasi kakekmu."Boris dengan wajah datar berkata, "Pa, jangan dengarkan kata-kata Mama. Aku nggak ngapa-ngapain, kok." "Masih berani membantah, heh? Apa kamu mau Papa temui wanita itu?" ancam Dimas."Ya sudah, iya. Aku ngerti. Aku pulang malam ini." Setelah mengucapkan itu, telepon langsung ditutup. Boris tampak pasrah dengan kening berkerut.Tyara,
Zola menatap Boris heran, "Mana ada?""Jadi, apa maksudmu sekarang?" tanya Boris."Aku nggak ngapa-ngapain, kok.""Kita biasanya makan sama-sama, tapi hari ini kamu nggak kirim satu pun pesan ke aku. Kamu sudah melaksanakan kewajibanmu sebagai istri?" Ucapan Boris tajam dan penuh dengan ketidakpuasan.Zola tersenyum getir, "Boris, kamu rela mengorbankan tubuhmu demi Tyara, gimana aku bisa tahu kalau kamu mau pulang makan di rumah atau nggak, hah? Lagipula, kalau aku telepon, aku juga nggak bisa pastikan bukan Tyara yang angkat. Jadi, ngapain aku telepon?"Zola masih kesal karena peristiwa semalam, dimana Boris mengabaikan tubuhnya sendiri. Hal itu tak bisa Zola lupakan. Namun, Boris justru tak berpikir demikian."Bukannya kamu hanya marah karena apa yang terjadi di restoran?" tanya Boris."Em, jadi kamu bicara tentang kamu memilih makan dengan Tyara ketimbang aku dan Mama, atau Tyara yang memelukmu di depan kami berdua?"Boris seharusnya tidak menyebutnya, tapi dia sendiri yang malah m
Zola baru saja sampai di kantor ketika Mahendra menyerahkan sebuah kontrak kepadanya, “Zola, ini kontrak yang baru kita tanda tangani dengan Stonerise. Mau lihat?”Zola hanya menggeleng, “Sudah, kamu yang urus saja.”Mahendra menaruh kembali kontrak itu dan duduk di kursinya, lalu berkata, “Beberapa hari lagi kita akan ke Morrison Group untuk menyerahkan desainnya sama bos Stonerise. Kita bakal sering ketemu dengan Morrison Group untuk beberapa bulan ke depan. Itu berarti kita nggak bisa hindari ketemu Boris. Kamu sudah punya rencana belum?”Zola sedikit terkejut, “Rencana apa?”“Perceraian,” jawab Mahendra pendek.“Kakek masih belum sadar, jadi perceraiannya harus ditunda. Kalau soal kerjasama, kita sudah susah payah mendapatkan ini, jadi pasti kita lanjut. Proyek ini juga bakal bawa untung besar buat perusahaan. Meskipun nanti aku dan Boris cerai dan aku nggak di Kota Binru lagi, yang lain di perusahaan ini tetap bisa lanjutkan proyek ini di lingkungan ini.” Itu prinsip dan batas yan
Ekspresi Boris datar. Wajah tampannya terasa asing di mata Zola. Boris berkata, "Iya, sementara tinggal di sini dulu sampai dapat tempat yang cocok, baru pindah.""Jawabanmu itu mungkin bisa mengecoh orang lain, Boris, tapi aku nggak percaya kamu nggak bisa menemukan tempat yang cocok untuk Tyara dengan kemampuanmu. Apa karena kamu merasa di Kota Binru yang luas ini hanya rumah kita yang paling cocok buat dia?" tanya Zola."Zola," nada suara Boris rendah, "Tyara baru saja keluar dari rumah sakit hari ini. Bahkan walaupun aku sudah carikan tempat, nggak akan ada tempat yang senyaman di rumah. Bisa nggak kamu lebih lapang dada dan nggak sempit pikirannya?" Lanjut Boris."Aku yang sempit pikiran?" Zola tertawa dingin. Dia menyadari betapa kejamnya seseorang bisa berbicara hingga setiap kalimatnya bisa meremukkan hati orang lain. Zola menarik napas dalam-dalam, merasakan perasaan pahit yang mulai menyesakkan dadanya.Zola berkata dingin, "Kalau kamu pikir tempat ini cocok untuk dia, maka a
Ternyata Rosita yang menelpon. Zola segera mengangkat telepon, “Mama?”“Zola, Kakek sudah bangun. Dia bilang kangen kamu. Kamu bisa datang ke rumah sakit sekarang?” Rosita terdengar sangat bersemangat dan bahagia. Zola pun segera bangun dari tempat tidur, meninggalkan Boris yang masih tertidur di sampingnya tanpa membangunkan pria itu.“Iya, Ma. Aku langsung berangkat sekarang, ya. Tolong jagain Kakek dulu, aku segera sampai,” jawab Zola.“Oke,” sahut Rosita. Setelah menutup telepon, Zola hanya sempat mencuci muka dan mengganti pakaian sebelum bergegas keluar rumah. Jam masih menunjukkan belum genap pukul tujuh pagi. Bansan Mansion masih terasa sepi.Dengan cepat, Zola tiba di rumah sakit. Baru saja sampai di depan pintu kamar, Zola sudah mendengar suara garau Hartono, “Aku sudah nggak tahan lagi terkurung di sini. Kalau bukan karena ingin membuat Zola tetap tinggal, aku nggak akan pura-pura sakit sampai harus dirawat di rumah sakit kayak gini.”Dimas segera menjawab, “Papa, ini semua
Zola terdiam. Dia seketika teringat pada Tyara yang saat ini masih tinggal di Bansan Mansion. Zola tidak bilang ke Hartono, hanya menggeleng sambil tersenyum tipis, "Nggak ada, kok."Zola tidak ingin membuat Hartono khawatir. Meskipun kali ini Hartono dirawat di rumah sakit karena Boris, tapi Zola tidak ingin mempertaruhkan kesehatan Hartono."Kalau dia sampai berani macam-macam sama kamu, kasih tahu Kakek, ya. Biar Kakek yang urus," kata Hartono dengan pandangan yang penuh kelembutan seorang kakek.Zola tersenyum, "Iya, aku tahu Kakek paling baik sama aku."Zola memijat kaki Hartono. Mungkin karena belum sarapan, ditambah lagi dengan bau disinfektan yang kuat di ruangan itu, Zola berlari ke kamar mandi dan muntah hebat. Tak ada makanan di perutnya. Setelah muntah, Zola merasa jauh lebih lega.Sehabis mencuci muka, Zola kembali ke kamar. Hartono menatapnya, bertanya pelan, "Zola, kamu kenapa?"Zola menggeleng tanpa mengubah ekspresi wajahnya, "Aku baik-baik saja, Kek. Mungkin aku agak
Zola mengangguk kencang, air mata pun mulai meleleh dari matanya. “Kakek, makasih, ya. Benar-benar makasih banget.”Biasanya Zola bukan tipe orang yang mudah menangis, tapi kebaikan tanpa syarat dari Hartono benar-benar membuatnya tidak bisa menahan emosi. Pintu kamar rumah sakit pun dibuka dari luar, Rosita dan Dimas kembali membawa sarapan. Dan ternyata Boris juga ikut bersama mereka.Ketiganya melihat Zola sedang menunduk dan menangis, sementara Hartono memandangnya dengan wajah penuh kasih. Rosita langsung bertanya, “Ada apa ini?”Zola buru-buru mengelap pipinya dan tersenyum, “Nggak apa-apa, Ma. Barusan cuma lagi ngobrolin hal-hal masa lalu sama Kakek.”Zola mengalihkan topik tanpa ada yang menyadari. Akan tetapi, mata Boris terus mengawasi dia. Ekspresi Boris datar, matanya yang dalam tampak sedang mencari tahu, “Zola menangis kenapa?”Sebelum Boris sempat bertanya lebih lanjut, Rosita sudah mengajak Zola, “Zola, yuk, sarapan dulu.”Zola bangkit dan berjalan ke arah meja makan me
Boris menatap Sandra dengan wajah tanpa ekspresi. “Kompetisinya belum di mulai, kan? Kamu sangat peduli padanya?”Sandra mengerutkan kening. “Boris, aku perempuan, nggak suka sama perempuan.”Boris hanya mendengus sinis, seolah sedang berkata pada Sandra kalau di matanya pria atau perempuan sama saja.Sandra benar-benar tak berdaya. Tiba-tiba dia merasa tidak ingin mengatakan apa pun lagi. Sepertinya Boris sudah terlalu terobsesi.Untung saja, Boris juga tidak mengatakan apa-apa lagi. keduanya hanya mengobrol tentang peraturan babak kedua. Kali ini banyak peraturan baru yang ditambahkan, salah satunya sangat mengejutkan Sandra.Siapa pun yang diduga melakukan plagiarisme, konsekuensinya bukan hanya harus mengundurkan diri dari kompetisi, tapi juga harus memberikan kompensasi kepada penyelenggara serta desainer yang karyanya diplagiat, bahkan harus keluar dari dunia desain.Itu sama saja dengan memberitahu semua desainer yang ikut kompetisi. Jika mereka ingin melakukan plagiarisme, lebi
Boris memasang raut wajah dingin, sekali lagi mempertegas pendiriannya. Zola hanya tertawa tak berdaya.“Kenapa nggak bisa dibandingkan? Bukannya ini hal yang sama? Atau ada sesuatu di antara kamu dan Tyara yang bisa kamu beritahukan padaku?”“Zola!” Boris berkata dengan tegas, “Semakin kamu bersikap seperti ini, artinya kamu memang masih mencintai mantan pacarmu itu, kan?”“Bagaimana denganmu? Apakah kamu juga masih mencintai Tyara?”Zola meniru nada bicara dan sikap Boris, lalu terus mendesak pria itu. Boris tertawa sinis. “Aku sudah beritahu kamu. Aku nggak punya perasaan seperti itu pada Tyara.”“Kalau nggak ada, kenapa kalian bermalam bareng di hotel?” tanya Zola dengan suara pelan.Sejauh ini, Zola hanya tahu kalau “Tyara” keluar dari hotel bersama Boris. Dia tidak tahu kalau perempuan itu bukanlah Tyara. Dia juga tidak tahu kalau Tyara sudah mengklarifikasi dia tidak bermalam dengan Boris di hotel. Oleh karena itu, dia hanya tahu Tyara dan Boris menghabiskan satu malam bersama d
Zola mengerutkan kening dan menatap pria di depannya. Boris jelas begitu dekat, tapi Zola merasa pria itu sangat jauh darinya. Zola memasang wajah tenang, karena dia tidak tahu apa yang terjadi di luar.Oleh karena itu, dia sedikit meragukan kata-kata Boris. Akan tetapi, sikap dan ekspresi yang Boris tunjukkan seolah sedang memberitahu Zola, kalau masalah benar-benar seperti itu.Sikap diam Zola membuat Boris tertawa pelan. “Kamu khawatir sesuatu akan terjadi padanya?”Zola tidak bicara. Boris berkata dengan nada mengejek, “Orang seperti Mahendra nggak akan mati begitu saja. Bagaimanapun juga, dia orang yang bisa lakukan apa saja untuk melarikan diri. Dia pasti berusaha keras untuk memastikan keselamatannya sendiri.”Bibir tipis Boris mengatup rapat. Sorot matanya menjadi begitu dalam, bagai sebuah lubang tak berdasar. Senyum mengejek merekah di bibirnya. Tidak ada kehangatan di ekspresi wajahnya.Wajah Zola penuh dengan kebingungan. Karena sikap ketus Boris membuatnya tidak bisa menah
Zola menatapnya dengan bingung. “Kenapa diam saja? Ayo ngomong. Kalau kamu memang ingin bersama Tyara, ngomong langsung saja sama aku. Aku nggak akan paksa orang lain, juga nggak akan menyulitkan siapa pun. Jadi bisa nggak kamu nggak usah perlakukan aku dengan cara seperti ini?”Boris tetap diam saja. Ini membuat Zola sangat gusar. Dia mengerutkan bibirnya dan menundukkan kepala. Kemudian, dia bertanya, “Apakah kamu marah karena aku sembunyikan soal Mahendra?”Lagi-lagi Boris tetap bungkam. Kali ini, Zola menganggapnya sebagai jawaban positif dari pertanyaannya barusan. Zola menghela napas dalam hati dan berusaha menenangkan diri.“Kalau memang karena itu, aku bisa jelaskan. Aku akui, aku memang tahu lebih dulu. Aku juga akui aku pernah ragu, aku pernah bimbang. Tapi hati nurani buat aku sadar kalau ini bukan perkara sepele. Bukan hanya dengan sebuah kebohongan bisa membuat segalanya seolah-olah nggak pernah terjadi.”“Jadi aku nggak pernah berpikir untuk nggak beritahu kamu. Aku juga
Boris membuka matanya dan memandang ke luar jendela. Di luar sudah gelap gulita. Dia menyipitkan mata, lalu berkata, “Bukan aku yang tentukan dia bisa hidup atau nggak, tapi apa yang dia rencanakan.”Jesse memacu mobil menuju tempat kejadian. Tim penyelamat sudah berkumpul dan melakukan pencarian.Begitu melihat Boris datang, Jodi segera menghampirinya dan menjelaskan situasi secara singkat.“Sekarang sudah malam, jadi pencarian agak sulit untuk dilakukan. Tapi bagaimanapun juga, ini sudah menyangkut nyawa orang. Pencarian tetap harus dilakukan. Kalau soal masih hidup atau nggak, masih belum tahu,” jelas Jodi.Boris menatap Jodi dengan wajah tanpa ekspresi. Kemudian, dia tertawa pelan. “Seharusnya kamu bilang belum tahu apakah orangnya bisa ditemukan atau nggak.”Jodi tidak mengerti maksud perkataan Boris. Namun, Boris sudah berbalik dan masuk ke dalam mobilnya tanpa memberi Jodi kesempatan untuk bertanya. Setelah duduk di dalam mobil, Boris menyuruh Jesse untuk menjalankan mobil. Urus
Kata-kata Boris membuat emosi Mahendra seketika meledak. Meskipun dia sedang terbaring di tanah, dia tetap berteriak keras, “Boris, kamu dan seluruh keluarga Morrison akan dapat ganjarannya. Kamu kira kamu sudah menang? Persetan, kamu belum menang, Boris. Ini baru permulaan. Kalian pasti akan bayar harga mahal!”Kutukan Mahendra membuat Boris tiba-tiba mengerutkan alis. Samar-samar dia merasakan sedikit perasaan gelisah ketika mendengar kata-kata itu. Boris sendiri tidak tahu dari mana datangnya rasa gelisah itu.Ekspresi di wajah Boris semakin dingin. Dia menyipitkan matanya dan bertanya, “Apa maksudmu?”Mahendra tidak bicara, hanya tertawa. Suara tawanya membuat emosi Boris perlahan-lahan berubah. Namun, Boris segera kembali tenang. Mungkin saja Mahendra mengatakannya hanya untuk membuatnya bingung.Boris menatap Mahendra dengan wajah tanpa ekspresi. Sesaat kemudian, polisi datang. Begitu melihat mobil polisi datang, Jesse langsung berjalan mendekat ke Boris dan berkata, “Pak Boris,
Senyum licik merekah di wajah Mahendra. “Boris, kamu tahu kenapa dia nggak langsung beritahu kamu saat Zola tahu dia hamil? Kamu nggak pernah pikirkan kenapa dia nggak beritahu kamu? Kamu sangat yakin anak di perutnya adalah anakmu, bukan anak orang lain? Kami selalu habiskan waktu bersama setiap hari. Lama-kelamaan akan tumbuh perasaan juga. Kamu nggak mungkin nggak mengerti, kan?”“Lagi pula, kenapa dia nggak lakukan apa pun setelah tahu aku yang jebak kamu dan Morrison Group? Dia juga nggak pernah berpikir mau beritahu kamu. Kamu nggak pernah pikirkan apa alasannya? Kalau dia benar-benar nggak peduli padaku sama sekali, dia bisa saja langsung ceritakan semuanya padamu begitu dia tahu. Jadi kenapa harus tunggu sampai kamu tahu?”Boris tidak bergerak juga tidak memberikan reaksi apa pun. Wajahnya sangat muram. Sorot matanya gelap, seolah-olah tertutup lapisan tinta hitam yang tebal. Ekspresi itu membuat Mahendra sangat puas. Dia mengucapkan kata-kata yang semakin keterlaluan, semakin
Permusuhan di antara keduanya benar-benar telah pecah. Tentu saja, Mahendra tidak akan membiarkan Boris pergi begitu saja.Mahendra tertawa sinis dan berkata dengan nada mengejek, “Memangnya kenapa kalau aku andalkan perempuan? Mereka juga melakukannya dengan sukarela. Dibandingkan denganmu, kamu lebih kasihan, Boris. Bagaimanapun juga, Zola nggak mencintai kamu. Di hatinya hanya ada mantan pacarnya. Dia nggak ada perasaan sama sekali padamu. Kalau bukan karena kamu yang terus bersikeras nggak mau cerai, kamu kira kalian berdua masih bisa jadi pasangan suami istri sekarang?”Kata-kata Mahendra membuat wajah Boris menjadi dingin. Amarah yang terpancar di matanya terlihat sangat jelas. Meskipun dia tahu Mahendra sengaja membuatnya kesal, Boris tetap saja tidak bisa menahan diri untuk tidak berpikir ke arah situ. Apakah Zola sendiri yang memberitahu Mahendra?Karena Boris tahu Zola punya mantan pacar. Zola menikah dengannya karena Zola ingin menjauhkan diri sepenuhnya dari mantan pacarnya
Tyara mengedipkan matanya pelan, agak linglung dan bingung. Namun, dia tidak tahan karena dimarahi oleh Mahendra seperti itu.Tyara mendengus sinis dan berkata, “Kamu nggak berhak marah aku. Siapa suruh kamu jebak aku? Seharusnya kamu beritahu aku lebih awal apa yang ingin kamu lakukan. Bukan dengan lakukan hal-hal yang merugikan aku tanpa sepengetahuan aku seperti sekarang.”Mahendra tidak ingin bicara omong kosong dengan Tyara. Dia tiba-tiba teringat sesuatu. “Dari semalam kamu sudah di rumah sakit?” tanya Mahendra.“Iya, dia sudah tahu.”Wajah Mahendra menjadi muram. Jadi apa maksud Boris dengan sengaja membuat keributan seperti itu? Tiba-tiba, Mahendra mengerti sepenuhnya. Boris sedang memaksanya untuk muncul.Ekspresi wajah Mahendra semakin tidak bersahabat. Dia pun menunjuk Tyara dan berkata, “Kamu akan bayar harga atas keputusanmu hari ini. Kamu kira kalau Boris tangkap aku, dia akan lepaskan kamu? Kamu salah, Tyara. Karena dia tahu kamu ingin jebak dia pakai obat, dia pasti sud