“Luna…”
Suara Flora membuat Luna tersadar. Flora dan Brian juga melihat kehadiran Reno dan Jessie tadi, tapi beruntung sepasang suami istri itu tidak melihat ke arah mereka karena posisinya berlawanan arah. “Kau tidak apa-apa?” Flora mengeratkan genggaman tangannya seolah memberi kekuatan disana. “Apa kau ingin kita pulang saja?” tanya Flora lagi. Bohong jika Luna berkata dia baik-baik saja setelah mengantar ibunya ke pengistirahatan terakhir dan melihat pria yang dia cintai bersama wanita lain. Namun, Luna berusaha keras untuk tidak kembali menangis. Sudah cukup dia bersedih hari ini. Sudah cukup air mata yang ia keluarkan untuk Reno. Dia tidak ingin menangis karena pria itu lagi. Luna akhirnya tersenyum tipis. “Aku lapar,” ucapnya bersamaan dengan makanan mereka yang telah tiba. Mereka pun memilih untuk tidak membahas soal Reno dan mulai menyantap makanan. Meski sesekali Flora dan Brian terus melirik ke arah Luna dengaKetika Luna mengambil kotak kayu di dalam laci kamar dan melihat kalung pemberian Reno, hatinya kembali tercubit. Memori indah saat mereka makan malam romantis dan bercumbu mesra di Italy terlintas begitu saja. ‘Aku memberikan kalung ini untukmu sebagai pengikat cinta kita. Anggaplah liontin hati itu adalah hatiku. Kau adalah pemilik hatiku, Luna.’Air mata jatuh tanpa bisa dia cegah. Ah… mengapa kisah cintanya harus berakhir seperti ini? Mengapa kau mengkhianatiku, Reno? Tangan Luna bergetar, ia ragu untuk membawa kalung itu bersamanya atau dia biarkan saja disini? Toh dia akan melupakan Reno. Dia ingin move on, bukan? Namun, Luna tersentak saat perutnya merasakan sebuah tendangan kecil. Bibir Luna seketika tersenyum. Sebelah tangannya bergerak mengusap perut buncit kemudian mulai mengajak anaknya yang belum terlahir itu berbicara. “Apa kau ingin Mama menyimpannya? Baiklah… kalau begitu Mama akan menyimpan untukmu.”Luna menghela napas panjang. Dia mungkin tidak akan mengenakan
5 Tahun Kemudian. “Mama! Mama! Apa kita sudah sampai? Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya.” Luna membungkuk, manatap putra semata wayangnya yang bernama Louis. Anak yang ia kandung sembilan bulan itu kini sudah tumbuh menjadi balita yang menggemaskan. Tangan Luna bergerak membenarkan letak jaket yang digunakan putranya. Rambut coklatnya yang tebal, mata yang tajam, hidung mancung, dan bibir tebal, begitu mirip dengan wajah Reno. Di tahun pertama setelah dia melahirkan, Luna selalu menangis ketika menatap wajah tampan Louis, karena anaknya mengingatkannya dengan Reno. “Tante Flora sudah menunggu di lobby, kau bisa berjalan lebih cepat?” ujar Luna sambil menggandeng tangan Louis. “Tentu, Mama!” Louis menjawab dengan semangat. Dia senang sang mama membawanya berlibur ke luar negeri. Luna menghela napas panjang. Suasana bandara pagi itu sangat ramai, berbeda jauh dengan suasana hati Luna yang sangat sepi. Tidak pernah sebelumnya Luna berpikir untuk kembali menginjak
Pagi itu seorang pria melangkah mengunjungi dua pusara yang berdampingan dengan membawa seikat bunga tulip putih. Berjongkok di samping salah satu pusara, tangannya meletakkan bunga di atas pusara itu kemudian mengusap nama yang tertulis disana. “Apa kabar, Bu? Maaf, aku baru sempat berkunjung lagi.”Ia ingat terakhir berkunjung adalah satu tahun yang lalu, tepat di tanggal yang sama. Tanggal wanita yang ia panggil Ibu itu dilahirkan. Pria itu menghela napas panjang. Setiap dia berada di sana, hatinya selalu merasa sesak. Rasa kehilangan yang tak berkesudahan. Rasa yang selalu menemani selama lima tahun ke belakang. “Aku sangat merindukannya, Bu. Apa dia juga merindukanku?” “Apa kalian sudah memaafkanku? Maafkan aku, hum?” Setiap tahun dia kesana hanya untuk meminta maaf. Tak lama kemudian pria itu segera berdiri. Membenahi setelan jasnya yang sedikit kusut, lalu beranjak pergi dari sana. Beberapa saat setelah pria itu pergi, sepasang ibu dan anak turun dari mobil. “Papa…” guma
Lima tahun. Bukan waktu yang singkat dan mudah untuk Reno. Meski lima tahun berlalu, tidak banyak perubahan dalam dirinya, selain kini telah memiliki seorang istri dan satu orang anak. Berkat kebodohannya lima tahun lalu, dia harus bertanggung jawab dan menikahi Jessie. Tekanan rasa bersalah dan kehilangan membuat Reno melampiaskan semua kekesalan pada alkohol, tak mengira hal itu membawa petaka lain datang padanya. Setelah malam itu, dia terbangun tanpa busana dengan Jessie tidur tepat di sampingnya. Dan satu bulan setelahnya, Jessie meminta untuk segera dinikahi karena wanita itu positif hamil. Sudah tahu dan paham kesalahan yang ia perbuat, Reno tak bisa mengelak. Dia menyesal? Sangat. Sampai saat ini dia masih menyalahkan diri sendiri atas semuanya. Kehilangan calon anaknya, kehilangan Luna, dan menikah dengan wanita yang tidak pernah dia cintai. Meski begitu Reno mencoba melanjutkan hidup. Dia bukan tidak pernah mencari Luna, semenjak Luna pergi dia terus mencari. Namun, penc
Sesampainya di rumah, Luna lebih banyak diam. Dia banyak melamun setelah tidak sengaja bertemu dengan Jessie dan hampir saja bertemu dengan Reno. Ya, hampir! Ternyata Luna belum siap bertemu pria itu. Beruntung dengan secepat kilat dia berbalik dan membawa Louis menjauh sebelum bisa melihat wajah papa yang sangat ingin ditemuinya.“Mama….”Panggilan Louis membuat Luna menoleh. “Hum, ada apa Louis?”“Apa Mama sedih? Kenapa Mama menangis?” tanya Louis menatap wajah ibunya yang sejak pulang tadi tampak murung. Mendengar pertanyaan putranya, Luna jadi tersadar jika diam-diam air matanya sudah berderai di pipi tanpa dia sadari. Segera mengusap wajah dengan kedua tangan kemudian berusaha memasang senyum dibibir. Luna menggelengkan kepala. “Tidak. Mama tidak menangis. Hanya mata Mama sedikit perih.” “Boleh Louis tiup?” Luna terkekeh kecil kemudian mengangguk. “Boleh, Sayang.”Louis pun segera pindah duduk di samping ibunya, lalu mencondongkan tubuh dan mulai meniup-niup mata Luna. “Sud
Tak jauh berbeda dengan Luna, pertemuan tak sengaja mereka membuat Jessie juga overthinking dan ketakutan. Sejak tadi wanita itu banyak terdiam dan tidak fokus saat suami atau anaknya mengajak bicara. Meski Luna ternyata sudah pergi ketika dia berbalik dan Reno tidak melihatnya, tetap saja Jessie khawatir kembalinya wanita itu akan membuat Reno berubah dan meninggalkannya.“Sayang?” Panggilan dan usapan Reno di pundaknya membuat lamunan Jessie buyar dan menatap suaminya. “Ya?”“Ada apa denganmu? Kenapa sejak tadi tidak merespon ucapanku dan Briel?” tanya Reno keheranan. Jessie menghela napas berat. Kehadiran Luna benar-benar mengacaukannya. “Maaf, Sayang. Apa yang kalian bicarakan tadi?” Jessie balik bertanya. “Lupakan saja. Ada apa denganmu? Sejak pulang dari Supermarket kau terus diam,” tanya Reno dengan serius. “Aku sempat melihatmu bicara dengan seseorang, siapa dia?”DegJadi, Reno sempat melihatnya bicara dengan Luna? Tapi pria itu harusnya tidak bertanya jika sudah tahu wa
Langkah Reno terhenti, gemerlap dan meriahnya pesta tak ia hiraukan. Waktu terasa berhenti berputar saat matanya bertemu tatap dengan wanita yang telah lama dia rindukan. Apakah yang dilihatnya adalah kenyataan? Bukan halusinasi belaka? Wanita itu benar-benar ada di sini? Luna-nya telah kembali… “Luna…”Reno berkedip, menyadarkan dirinya sendiri dan ketika dia menatap kembali ke sudut tadi, Luna sudah menghilang dari pandangan. Segera mata Reno mengedar ke sekitar dan menemukan punggung yang sudah ia kenali sejak lama itu berjalan cepat menuju pintu belakang. Tak ingin kehilangan, Reno bergegas mengejar, berlari melewati beberapa orang yang tampak kesal karena tak sengaja tersenggol olehnya. Dia memilih memotong jalan sebelum benar-benar kehilangan untuk yang kedua kalinya. Beruntung, dia lebih dulu sampai di belakang dan berdiri menunggu Luna yang dengan tergesa-gesa berusaha menghilang darinya lagi.Reno berdiri tegap, memblokir jalan. Dan ketika Luna tak sengaja menabraknya, Re
Reno tak memperdulikan Luna yang terus memprotes dan memberontak. Sama seperti saat ia membawa Luna pergi dari pesta, Reno kembali mengangkat paksa Luna hingga masuk ke dalam unit apartemennya, lalu menjatuhkan tubuh Luna ke atas sofa. “Kau gila! Aku tidak ingin disini!!” Luna menatap Reno tajam. Dia tak percaya bahwa Reno bersikap sangat tidak tahu diri dengan membawanya ke apartemen pria itu. Sementara Reno tak menghiraukan ucapan Luna. Dia pergi ke dapur dan Luna menghela napas berat. Berada di tempat ini mengingatkan banyak kenangan di benaknya. Luna gusar, benci ternyata banyak kenangan indah bersama Reno rupanya masih bisa dia ingat dengan jelas. “Kau mau minum bir, whisky, atau–”“Tidak perlu! Aku akan pergi!” ucap Luna dengan dingin. Dia mulai bangkit, yang membuat Reno berjalan cepat ke arahnya, dan memeluk Luna dari belakang. Luna membeku di tempat. Seluruh tubuhnya merinding. Tidak, dia tidak merindukan pelukan ini. Mereka sudah berakhir dan semua tidak lagi sama. Luna