"Hazel, kau harus hadir dalam acara perusahaan malam ini," kata Jonathan Parker, pria itu tertunduk dengan tangan sibuk menekan keyboard. "Kau sebagai sekretarisku sudah bekerja selama dua tahun. Namun, kau tidak pernah berpartisipasi dalam acara perusahaan yang diselenggarakan. Jadi, malam ini, kau harus hadir."
Jonathan Parker, pria 30 tahun, merupakan seorang Presdir di perusahaan, Parker & Whitlock International Trade Inc. Merupakan perusahaan perdagangan global dari negara Eldoria yang terkenal dalam mengekspor barang-barang mewah dan mengimpor bahan baku berkualitas tinggi.Jonathan Parker, pria yang memiliki mata biru dingin dan sikap yang cuek. Bahkan, ia jarang menatap lawan jenisnya ketika sedang berbicara. Tidak heran, banyak karyawan mengatakan jika direktur mereka tidak menyukai wanita."Tapi, Tuan, sa-saya tidak biasa dengan acara seperti itu. Apalagi dengan keramaian," ucap Hazel, tampak ragu-ragu.Bagi wanita berkacamata tebal seperti Hazel Bennett yang berusia 24 tahun, acara pesta seperti itu merupakan neraka. Oh... Tidak. Lebih tepatnya, seperti sarang para orang-orang bejat. Dalam benak Hazel, pesta ucapan terima kasih kepada Karyawan yang diselenggarakan, hanya basa-basi untuk melakukan party seks."Aku tidak peduli dengan alasanmu." Lima kata yang keluar dari mulut atasannya, membuat Hazel menelan ludah."Tapi, Tuan Presdir, saya ada urusan malam ini. Acara seperti ini apakah harus membutuhkan sekretaris? Tolong, Tuan, saya benar-benar tidak bisa." Hazel mencoba mencari alasan.Tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer, Jonathan menjawab, "Hadir atau... Segera berikan surat pengunduran diri."Deg!Hazel tercengang, dia mendapatkan pekerjaan ini adalah sebuah peluang emas. Setelah lulus kuliah Administrasi Bisnis, Hazel harus menganggur selama lima bulan karena tidak ada perusahaan yang mau menerimanya. Dengan alasan, dia terlalu muda atau mungkin, karena penampilannya yang tidak menarik.Demi membiayai pengobatan ibunya yang sakit-sakitan, Hazel harus bekerja serabutan. Beruntung, ada teman Hazel yang datang menawarkan pekerjaan ini untuk menggantikan posisinya yang akan pindah ke luar negeri."Tu-Tuan, tolong, jangan... Sa-saya akan mencoba menghadiri pesta nanti malam," jawab Hazel terpaksa."Jawaban yang bagus.""Ada lagi yang ingin Tuan sampaikan?"Jonathan, dengan punggungnya yang tegap dan tangan yang terus menari di atas keyboard, menjawab, "Tidak ada. Pergilah."Hazel mengangguk mendengar jawaban atasannya. "Baik Tuan, saya permisi."Hazel memutar tubuh, berjalan keluar ruangan, langkah wanita itu terasa berat. Dia merasa seperti bidak pion dalam permainan catur, selalu bergerak sesuai perintah, tak pernah melawan."Aku bertahan bukan karena nyaman. Melainkan, aku sadar, mencari pekerjaan itu sulit. Dan pekerjaan yang aku dapatkan ini, cukup untuk menyambung hidupku dan hidup ibuku," gumam Hazel.***Malam hari...Tiba di mana acara pesta akan berlangsung. Pesta tersebut diadakan di Mansion Jonathan yang berdiri megah di tengah-tengah hutan dan kebun yang luas, bersinar terang, lampu-lampu dari ballroom di Mansion itu menembus kegelapan malam.Di dalam Ballroom, kristal-kristal di chandelier berkilauan, menciptakan tarian cahaya yang memantul di dinding-dinding marmer. Musik keras terdengar memekik telinga bagi siapa saja yang berada di dalam ballroom."Untuk apa aku di sini? Dan betapa bodohnya aku harus datang dengan penampilan seperti ini?! Come on, aku bahkan jijik dengan diriku sendiri ketika melihat wanita-wanita yang hadir di pesta ini begitu cantik dan menawan," gerutu Hazel kesal, saat ia datang hanya mengenakan pakaian formal seperti yang ia pakai pada saat bekerja.Hazel, wanita itu datang paling terakhir karena ia harus merekap beberapa laporan barang-barang yang masuk di perusahaan. Sampai-sampai, dirinya tidak sempat untuk berdandan. Selain itu, dia juga tidak bisa berdandan."Suasana yang mengerikan," gumam Hazel, dia merasa keringatnya kini sudah membanjiri tubuhnya.Sorot mata wanita itu liar mengamati orang-orang yang tengah berciuman dan ada juga yang terang-terangan saling menggoda satu sama lain.Di tengah keramaian dan gemerlap ballroom, Hazel merasa terasing. Musik yang keras dan riuh rendah percakapan seakan menjadi latar belakang yang samar bagi kegelisahannya."Hazel, kau terlihat seperti patung lilin yang siap meleleh."Mendengar suara itu, Hazel menoleh dan menemukan Jonathan Parker berdiri di sampingnya, dengan senyum sinis yang terpahat di wajah kokoh pria itu."Tuan Parker," balas Hazel dengan suara bergetar, "Saya hanya... tidak terbiasa dengan acara seperti ini. Kepalaku terasa pusing jika aku berada di tempat ramai."Jonathan mengangkat satu alisnya, menatap Hazel dengan tatapan yang sulit diartikan. Wajah Jonathan terlihat memerah diikuti bau Alkohol yang menguar dari tubuh Jonathan, bau alkohol itu mengalahkan wangi parfum mahal yang Jonathan gunakan."Apakah penting aku harus mendengarkan keluhanmu?" Ucap Jonathan sinis, melewati tubuh Hazel begitu saja.Hazel menarik napas dalam, membiarkan udara yang sesak itu mengisi paru-parunya. Dia menatap ke arah Jonathan yang sudah menjauh, punggung pria itu lurus, dan langkahnya pasti, seolah-olah dia adalah raja dari kerajaan ini, dan ballroom adalah takhtanya. Ya, dia adalah Jonathan Parker yang merupakan sebuah mahakarya dengan pahatan wajah yang sempurna."Yeah... I know, aku ini bodoh. Kenapa aku tidak menolak saja dengan alasan sedang diare mendadak? Aku berdiri di sini sama menyedihkannya dengan patung selamat datang," gerutu Hazel kesal.Seorang pelayan lewat, membawa nampan penuh dengan gelas sampanye yang berkilauan. Dengan cepat, Hazel segera menukar gelas wine-nya yang kosong dengan sampanye yang pelayan itu bawa."Setidaknya, aku bisa menenangkan pikiranku dengan ini," gumam Hazel, meneguk gesit isi dalam gelasnya."Nona, maaf, minuman itu pesanan dari tamu. Yang Nona minum itu adalah tequila.""Uhuk!"Mendengar jawaban pelayan tersebut, Hazel terbatuk. Pantas saja rasanya begitu pahit dan panas. Namun, minuman itu sudah tenang berada di dalam lambungnya."Maafkan aku. Aku pikir, isinya sama," kata Hazel, lalu meletakkan gelas yang sudah kosong itu kembali ke atas nampan.Tanpa menunggu respon dari pelayan, Hazel segera berlalu. Ingin mencari tempat sepi sekedar menenangkan diri. Namun, saat wanita itu melangkah, pandangannya mulai berdimensi, langkahnya mulai goyah."Apa yang terjadi? Kenapa aku seperti melayang?" Hazel kebingungan dengan kondisinya. Dia berusaha menstabilkan tubuhnya, menempelkan punggung pada dinding dingin yang terasa seperti oasis di tengah padang pasir saat perasaan aneh menyerangnya."Aww... Rasanya seperti aku sedang berada di dimensi lain."Kepala Hazel berputar, dan setiap langkah terasa seperti berjalan di atas awan. Dia menutup matanya sejenak, berharap sensasi melayang akan segera berlalu, tetapi suara riuh rendah dari ballroom hanya semakin memperkuat rasa pusing yang menghantam kepalanya."Oh... Tuhan, ada apa denganku?"Hazel melepaskan sepatunya dan kemudian melangkah terseok-seok. "Aku harus pergi dari sini sebelum sesuatu terjadi padaku." Kaki wanita itu terus melangkah.Hingga tanpa sadar, Hazel sudah tiba di taman belakang yang sepi dan hanya beberapa lampu taman bercahaya temaram yang berdiri di sekitar kolam."Haa... Ada kolam? Tapi..." Hazel mengangkat kaca matanya, mengucek-ngucek mata untuk meyakinkan jika di depan sana memang ada orang yang sedang berendam.Lambat laun, sosok itu berdiri lalu melangkah ke arah Hazel. Semakin dekat, sosok itu terlihat lebih jelas dan... Dan, sosok itu tidak memakai apa-apa. Bentuk tubuh pria itu layaknya sebuah patung artefak langka.Hazel pun panik melihat pemandangan tersebut, mungkin saja ia akan mimisan atau pura-pura pingsan saja saat sosok itu sudah berdiri di hadapannya."Haaa... Tuan, tolong, anu... Itu, aduh... Cacing berotot Anda tolong dikonfirmasi—Ah... Maksud saya, diamankan—hummpp!" Suara Hazel terhenti ketika Jonathan melahap bibirnya."Ah, kenapa wanita itu harus datang?" umpat Jonathan, kepalanya terasa ingin meledak malam ini.Jonathan yang sudah mabuk berat, melangkah gontai di atas lantai marmer lorong koridor, melewati pilar-pilar megah kediamannya. Beberapa jam yang lalu, dirinya menerima telepon dari sang ibu yang mengatakan jika Natasya, wanita yang kelak akan menjadi istrinya, akan tiba besok siang di negara Eldoria, negara di mana Jonathan berada.Bagi penerus Parker, perjodohan untuk sebuah bisnis bukan sesuatu yang asing. Hal itu dilakukan agar memperkuat kekuatan dan kekuasaan, hal seperti ini sudah menjadi tradisi bagi kalangan konglomerat."Pesta ini seharusnya menjadi menyenangkan. Gara-gara telepon, aku kehilangan kesenanganku," gumam Jonathan.Langkah gontai Jonathan terhenti ketika pemilik iris mata biru itu menangkap siluet seorang wanita sedang berdiri menyandarkan punggungnya di salah satu pilar dengan penampilan norak dan tampak begitu kolot. Ya, itu adalah Hazel. Wanita yang ingin sekali Jon
"Uuhh..."Hazel melenguh, membuka mata, iris matanya yang hijau tampak buram ketika dia mencoba membuka matanya lebih lebar menyisir keadaan ruangan."Kenapa tubuhku terasa begitu nyeri?" keluh Hazel mencoba menggerakkan tubuhnya. "Aduh, tubuhku seperti di amuk separuh penduduk kota." Hazel mencoba mengangkat kepalanya.Saat dia menoleh ke samping, pupil matanya membelalak melihat Jonathan tidur di sampingnya dalam penglihatan yang tidak baik. Sontak, kepala Hazel mundur dengan refleks.Dengan panik, tangan Hazel meraba area meja kecil di samping tempat tidur. "Kacamataku," dia tampak panik.Akan tetapi, ia tidak menemukan kacamatanya. Hazel merasakan detak jantungnya meningkat, kepanikan semakin menjadi. Wanita itu mengingat-ingat, mencoba mengumpulkan potongan-potongan memori yang kabur dari malam yang sudah berlalu."Astaga, aku tidak percaya jika aku melakukannya dengan atasanku sendiri." Hazel menggigit bibir, gelisah. Dia ketakutan.Semalam, bukan hanya satu kali Hazel dan atasa
"Kenapa dari tadi aku berjalan, tapi aku tidak melihat gerbang utama? Seingatku, semalam aku melewati jalan ini menggunakan taksi," gumam Hazel.Hazel melangkah melewati jalanan kawasan area Mansion Jonathan, meninggalkan tempat terkutuk yang membuatnya harus kehilangan kesuciannya. Dan saat ini, Hazel merasa dia tidak pernah sampai di gerbang utama setelah dari tadi berjalan."Aku lelah, perutku sakit. Belum lagi, tubuhku seperti akan demam. Mau sampai mana aku terus berjalan seperti ini?" Hazel menarik napas dalam, menghirup oksigen, namun tidak cukup untuk mengusir rasa lelah yang menerjang dirinya. Langkahnya yang semula semangat, kini mulai goyah, seakan tiap tapak kaki yang menyentuh aspal dingin itu membutuhkan usaha yang lebih dari biasanya.Hazel menghentikan langkahnya sejenak, menatap ke atas, mencari tanda-tanda langit yang akan menuntunnya keluar dari labirin ini. Namun, yang terlihat hanyalah pepohonan yang meranggas, seolah-olah mereka juga merasakan kesedihan yang sam
"Mereka semua, apakah mereka itu manusia atau sekumpulan monster? Mengapa tidak ada sedikitpun empati dalam diri mereka? Sungguh gila! Hati nurani mereka sudah dimakan oleh ego dan ambisi!" Kesal Hazel, suaranya penuh dengan kekecewaan. Wanita berkacamata itu terus menggerutu saat langkahnya melangkah di antara pepohonan yang rindang.Hazel berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri di tengah hutan yang sunyi. "Ya Tuhan, penglihatanku mulai kabur," keluhnya pelan, mencoba meraih napas segar sebanyak mungkin.Namun, kelelahan, dahaga, dan lapar yang melanda tak kunjung reda. Hazel kembali menatap langit, mencari kekuatan dalam hembusan angin yang lembut. Seketika, dunia berputar di sekelilingnya, dan gelombang pusing menyergapnya dengan tiba-tiba."Ini adalah akhir dariku, aku akan mati di sini," gumam Hazel, suaranya hampir tak terdengar di antara gemuruh alam yang memayungi hutan kediaman Parker.Langit yang cerah tiba-tiba berubah kabur, suara-suara di sekitarnya bergema samar, seol
"Dasar wanita bodoh. Jika kamu tidak melarikan diri, hal ini tidak terjadi kepadamu." Jonathan menatap wanita yang terkapar di atas paving blok. Mata birunya dapat melihat wajah Hazel yang memucat, tidak ada darah yang mengalir di wajah wanita yang terkapar itu. Tubuh Hazel seakan membeku menyatu dengan udara hutan Mansion Parker. Tidak ada yang menolong wanita itu. Sebab tidak ada juga yang berani membangkang perintah Jonathan. Jonathan berjongkok, ia kemudian meraih tubuh Hazel dalam gendongannya. Bagi orang normal, hal pertama ketika melihat orang pingsan tentunya akan panik, lalu mengecek suhu tubuh orang tersebut. Apakah dia baik-baik saja? Atau, terjadi sesuatu? Akan tetapi, tidak dengan Jhonatan. Wajahnya datar saja. Tidak ada rasa khawatir di wajah pria tanpa ekspresi itu. "Merepotkan!" Jonathan membawa tubuh itu ke dalam Mansion. Di dalam, lampu-lampu kristal berpendar redup, memantulkan cahaya pada wajah-wajah patung yang terpahat tanpa emosi. Jonathan melewati mereka
“Sudahlah. Mungkin aku harus mengumpulkan ekstra kesabaranku. Siapa tahu, Tuan Jonathan bisa berbaik hati jika aku menjadi pekerja yang patuh. Dan membiarkanku pulang,” ucap Hazel pelan. Hazel memalingkan pandangannya, netra matanya yang hijau menangkap pakaian kerja yang telah disiapkan di ujung tempat tidur dimana Hazel berada, Hazel melihat ada satu blouse putih dan rok hitam berkualitas terpampang dengan rapi di sana.“Aku isi perutku terlebih dahulu. Bisa-bisa aku jatuh pingsan seperti kemarin. Ya, apalagi aku memiliki atasan yang tidak punya otak seperti Jonathan.” Hazel meraih nampan dan mulai melahap beberapa menu sarapannya. Sementara Jonathan, turun menuju ke arah meja makan. Meja makan itu terlihat seperti meja makan para bangsawan. Dominan warna emas dan ukiran-ukiran yang rumit menghiasi setiap sisinya. Di kediamannya, Jonathan bagaikan seorang Grand Duke. Sementara di perusahaan, dia adalah Presdir dengan julukan si wajah datar. Di meja makan itu, Natasya sudah menungg
“Tuan, apa hubungannya dengan ibuku? Apa yang sebenarnya Tuan inginkan dariku? Kenapa ibuku harus ikut terseret dalam masalahku?” tanya Hazel dengan suara bergetar. Wanita berkacamata itu menatap nanar. Sorot yang diberikan Jonathan membuat Hazel merasa gemetar. Hazel tahu bahwa Jonathan tidak main-main, dan kekuasaannya bisa membuat hidupnya menjadi neraka jika dia tidak patuh.Jonathan menatap Hazel dengan tatapan dingin yang membuat wanita itu semakin gemetar. Hazel dapat merasakan tekanan dari kehadiran Jonathan, ia merasa seperti dalam pengawasan yang ketat.Jonathan meraih dagu wanita itu, menatap lekat membuat Hazel benar-benar terpasung. “Karena aku tertarik denganmu. Dengan begitu, aku ingin melakukan perjanjian denganmu,” desis Jonathan. Deg!Hazel merasa dadanya terasa sesak, merasakan uap yang keluar dari mulut Jonathan adalah sebuah tekanan yang luar biasa."Perjanjian apa yang Anda maksud, Tuan Jonathan?" tanya Hazel dengan suara bergetar.Jonathan tersenyum sinis, seol
“Oh maaf, tidak ada apa-apa. Aku pikir yang berada di dalam kabin ini sekertaris dari Tuan Presdir,” kata Natasya. Wanita itu sempat malu karena yang keluar dari bilik toilet tersebut adalah karyawan yang lain. Bukan yang ia cari.“Saya lumayan lama, Nyonya. Di dalam sini. Tapi ... saya tidak melihat Sekertaris Tuan Presdir,” jawab Karyawan itu. Natasya tersenyum canggung. “Ah… baiklah, terima kasih.” wanita itu pun bergegas keluar dari toilet. Ketika melangkah menuju ke ruangan Jonathan, pikirannya hanya tertuju dengan bau parfum yang masih membekas. ‘Parfum yang dipakai Jonathan tentu eksklusif. Tidak mungkin ada yang menyamakan bau parfumnya.’ pikir Natasya.Natasya kemudian memasuki ruangan Jonathan, dengan wajah sembab dan mata yang sedikit merah. Jonathan yang sedang duduk di belakang meja kerja kekuasaannya menatap Natasya dengan tatapan khawatir."Nyonya Collins, kamu baik-baik saja?" tanya Jonathan dengan nada suara yang penuh kekhawatiran."Oh, aku baik-baik saja, Tuan Pa