"Dasar wanita bodoh. Jika kamu tidak melarikan diri, hal ini tidak terjadi kepadamu."
Jonathan menatap wanita yang terkapar di atas paving blok. Mata birunya dapat melihat wajah Hazel yang memucat, tidak ada darah yang mengalir di wajah wanita yang terkapar itu. Tubuh Hazel seakan membeku menyatu dengan udara hutan Mansion Parker. Tidak ada yang menolong wanita itu. Sebab tidak ada juga yang berani membangkang perintah Jonathan.Jonathan berjongkok, ia kemudian meraih tubuh Hazel dalam gendongannya. Bagi orang normal, hal pertama ketika melihat orang pingsan tentunya akan panik, lalu mengecek suhu tubuh orang tersebut. Apakah dia baik-baik saja? Atau, terjadi sesuatu? Akan tetapi, tidak dengan Jhonatan. Wajahnya datar saja. Tidak ada rasa khawatir di wajah pria tanpa ekspresi itu."Merepotkan!"Jonathan membawa tubuh itu ke dalam Mansion. Di dalam, lampu-lampu kristal berpendar redup, memantulkan cahaya pada wajah-wajah patung yang terpahat tanpa emosi.Jonathan melewati mereka tanpa pandang, langkahnya tidak pernah ragu menuju ruangan yang dia tuju. Di tangannya, Hazel terkulai tak berdaya, rambutnya yang keemasan tergerai, kontras dengan lantai marmer yang mengilap."Jose, perintahkan beberapa pelayan untuk mengurus wanita ini. Siapkan juga obat-obatan, makanan dan beberapa pakaian untuknya," kata Jonathan, langkahnya terhenti ketika melihat Jose datang menghampirinya."Baik, Tuan. Saya akan mempersiapkan segalanya."Setelah mendengar jawaban kepala pelayan itu, Jonathan kembali melangkah ke kamar. Membawa tubuh Hazel yang masih tidak sadarkan diri itu.'Buah persik ini begitu rapuh. Dia seperti kucing kecil yang dibuang di jalanan. Tersesat , ketakutan dan tidak berdaya.' batin Jonathan.Sesampainya di salah satu kamar di Mansion tersebut, Jonathan membaringkan tubuh Hazel di atas pembaringan. Dia menatap Hazel yang terbaring tak berdaya.Tangan Jonathan terulur mengelus lembut pipi Hazel yang sudah terasa hangat dari sebelumnya.Seketika, ada gelombang kepuasan yang aneh. Baginya, Hazel adalah kanvas hidup yang siap diwarnai dengan palet emosi yang dia pilih—kesedihan, ketakutan, keputusasaan."Kamu sempurna. Sempurna untuk menemani permainanku setelah aku bosan dengan duniaku. Jadi jangan pernah berpikir kau bisa keluar dari sini," gumam Jonathan.Ketika Jonathan berbicara, suaranya tidak lebih dari bisikan yang terbawa angin malam, namun kata-katanya menggema di dinding-dinding kamar yang sunyi. Dia menundukkan kepalanya, menatap Hazel dengan tatapan yang intens, seolah-olah dia sedang mencoba membaca pikiran yang tersembunyi di balik wajah yang tidak bergerak itu."Kau adalah teka-teki yang menarik," ujarnya, suaranya penuh dengan nada reflektif. "Dan aku selalu menyukai tantangan."Dia berbalik, meninggalkan Hazel dalam keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh suara langkah kakinya yang menghilang ke kejauhan.***Pagi hari...Hazel menggerakkan kelopak matanya berulang kali. Hal pertama yang ia rasakan adalah pusing yang luar biasa. Hazel mencoba mengangkat kepalanya, tapi rasa pusing itu membuatnya terpaksa menutup mata kembali."Uhh ... Apakah aku sudah mati? Apakah sekarang aku sudah berada di akhirat?!" pikir Hazel.Hazel merasakan dinginnya seprai di bawahnya dan kehangatan selimut yang menutupi tubuhnya. Perlahan, ingatannya kembali. Ingatan tentang malam yang menakutkan itu, tentang Jonathan, dan tentang bagaimana dia berakhir di tempat ini."Bagaimana rasanya tersesat di dalam hutan buatanku?"Deg!Suara itu, membuat Hazel membuka matanya lenih lebar. "Aku masih hidup?" dalam kondisi lemah tak bertenaga, Hazel mencoba untuk bangun dan mencari kacamata matanya. Beruntung, kacamata itu terletak di atas nakas, dia segera mengenakan kaca mata itu.Deg!"Tu-Tuan Parker..."Wanita itu terkejut ketika di depan ranjang, Jonathan tengah duduk di sofa mewah, ia sudah rapi memakai setelan jas dengan rambutnya yang di sisir ke belakang. Mata biru itu selalu tajam dan dingin walaupun bening ketika Jonathan menatap Hazel."Kau terkejut? Apakah aku seperti hantu?" Jonathan bangkit dari kursi, ia melangkah ke arah tempat tidur di mana Hazel berada sambil memutar cincinnya yang tersemat di jari telunjuk."Tu-Tuan, aku ini pulang. Tolong, ibuku tentu khawatir denganku," kata Hazel saat Jonathan sudah berdiri di sisi tempat tidur.Jonathan membungkuk dan memampangkan satu papan tablet obat di depan wajah Hazel. "Minum obat kontrasepsi ini. Aku tidak ingin kau mengandung benihku. Atau , bisa saja kau memanfaatkanku!" Jonathan melempar obat tablet itu tepat di depan wajah Hazel.Deg!Hazel mendelik ke arah Jonathan, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja dia lontarkan. "Saya tidak pernah berpikir seperti itu, Tuan Parker. Memanfaatkan anda? Saya bisa apa? Dan saya sungguh tahu diri dari mana saya berasal," katanya, suaranya bergetar.Jonathan mengangkat bahu, tatapannya menantang. "Kau pikir aku mau mendengarkan alasanmu? Segera minumlah obat itu. Aku tidak mau mengambil risiko," katanya, suaranya dingin dan tanpa emosi.Hazel menatap obat di tangannya, sebelum akhirnya menelan obat tersebut. Dia merasa jijik, tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia berada di bawah kekuasaan Jonathan."Baiklah, Tuan Parker. Saya sudah minum obatnya. Sekarang, bolehkah saya pulang?" tanya Hazel, mencoba menyembunyikan rasa takut dalam suaranya.Jonathan menatap Hazel sejenak, merasa takjub dengan wanita itu. Wanita itu langsung mengunyah obat tersebut. Perlahan, Jonathan tersenyum sinis. "Oh, Hazel. Kamu masih belum mengerti, ya? Kamu tidak akan pernah bisa pergi dari sini."Hazel menatap Jonathan dengan mata terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Tapi... tapi... ibuku pasti sudah merasa khawatir... Sa-saya belum pulang dari kemarin," gumam Hazel, suaranya hampir tak terdengar."Kekhawatiran ibumu bukan menjadi masalahku, Hazel. Faktanya, kamu berada di sini dan kamu harus taat pada peraturanku. Bukankah kau bekerja untukku?" kata Jonathan, suaranya dingin.Hazel mengepalkan kedua tangannya. Dia bukan budak atau tawanan. Seharusnya, dia yang dirugikan tapi kenapa dia merasa seperti dikendalikan oleh atasannya sendiri?"Tuan, saya mau mengundurkan diri," kata Hazel memberanikan diri.Jonathan menyunggingkan bibirnya. "Itu tidak akan pernah terjadi. Segera pakai pakaian yang sudah disiapkan. Aku menunggumu di meja makan." Setelah berkata demikian, Jonathan memutar tubuhnya, melangkah meninggalkan Hazel.Hazel menatap punggung Jonathan yang menjauh dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa terjebak, terperangkap oleh genggaman atasannya. "Tuan Parker!" Teriak Hazel.Jonathan memutar kepalanya. "Aku tidak tuli," ucapnya.Syut!Hazel melesatkan pisau buah yang tergeletak di atas meja berdekatan dengan sarapan yang telah di siapkan. Akibat lemparan itu, pipi Jonathan tergores. Hazel berharap itu akan membuat Jonathan marah, tapi pria itu hanya mengangkat alisnya dan tersenyum."Bagus. Kamu punya semangat," kata Jonathan, mengelap darah yang mengalir di pipinya dengan jempolnya. "Tapi aku berharap kamu mengarahkan semangat itu pada pekerjaanmu, bukan pada upaya sia-sia untuk melukai aku."Hazel merasa jantungnya berdebar-debar. Dia tahu dia harus berhati-hati, tapi dia tidak bisa menahan diri. Dia merasa terjebak, dan dia tidak tahu bagaimana cara keluar dari situasi ini."Tuan, saya tidak ingin bekerja untuk Anda lagi," kata Hazel, suaranya bergetar. "Saya hanya ingin pulang."Jonathan menghela nafas, tampak jengah. "Hazel, Hazel," katanya, suaranya lembut. "Kamu tidak mengerti. Kamu tidak bisa pergi. Kamu milikku sekarang. Segera turun. Jangan membuatku marah." kembali, Jonathan memutar tubuhnya berlalu.“Sudahlah. Mungkin aku harus mengumpulkan ekstra kesabaranku. Siapa tahu, Tuan Jonathan bisa berbaik hati jika aku menjadi pekerja yang patuh. Dan membiarkanku pulang,” ucap Hazel pelan. Hazel memalingkan pandangannya, netra matanya yang hijau menangkap pakaian kerja yang telah disiapkan di ujung tempat tidur dimana Hazel berada, Hazel melihat ada satu blouse putih dan rok hitam berkualitas terpampang dengan rapi di sana.“Aku isi perutku terlebih dahulu. Bisa-bisa aku jatuh pingsan seperti kemarin. Ya, apalagi aku memiliki atasan yang tidak punya otak seperti Jonathan.” Hazel meraih nampan dan mulai melahap beberapa menu sarapannya. Sementara Jonathan, turun menuju ke arah meja makan. Meja makan itu terlihat seperti meja makan para bangsawan. Dominan warna emas dan ukiran-ukiran yang rumit menghiasi setiap sisinya. Di kediamannya, Jonathan bagaikan seorang Grand Duke. Sementara di perusahaan, dia adalah Presdir dengan julukan si wajah datar. Di meja makan itu, Natasya sudah menungg
“Tuan, apa hubungannya dengan ibuku? Apa yang sebenarnya Tuan inginkan dariku? Kenapa ibuku harus ikut terseret dalam masalahku?” tanya Hazel dengan suara bergetar. Wanita berkacamata itu menatap nanar. Sorot yang diberikan Jonathan membuat Hazel merasa gemetar. Hazel tahu bahwa Jonathan tidak main-main, dan kekuasaannya bisa membuat hidupnya menjadi neraka jika dia tidak patuh.Jonathan menatap Hazel dengan tatapan dingin yang membuat wanita itu semakin gemetar. Hazel dapat merasakan tekanan dari kehadiran Jonathan, ia merasa seperti dalam pengawasan yang ketat.Jonathan meraih dagu wanita itu, menatap lekat membuat Hazel benar-benar terpasung. “Karena aku tertarik denganmu. Dengan begitu, aku ingin melakukan perjanjian denganmu,” desis Jonathan. Deg!Hazel merasa dadanya terasa sesak, merasakan uap yang keluar dari mulut Jonathan adalah sebuah tekanan yang luar biasa."Perjanjian apa yang Anda maksud, Tuan Jonathan?" tanya Hazel dengan suara bergetar.Jonathan tersenyum sinis, seol
“Oh maaf, tidak ada apa-apa. Aku pikir yang berada di dalam kabin ini sekertaris dari Tuan Presdir,” kata Natasya. Wanita itu sempat malu karena yang keluar dari bilik toilet tersebut adalah karyawan yang lain. Bukan yang ia cari.“Saya lumayan lama, Nyonya. Di dalam sini. Tapi ... saya tidak melihat Sekertaris Tuan Presdir,” jawab Karyawan itu. Natasya tersenyum canggung. “Ah… baiklah, terima kasih.” wanita itu pun bergegas keluar dari toilet. Ketika melangkah menuju ke ruangan Jonathan, pikirannya hanya tertuju dengan bau parfum yang masih membekas. ‘Parfum yang dipakai Jonathan tentu eksklusif. Tidak mungkin ada yang menyamakan bau parfumnya.’ pikir Natasya.Natasya kemudian memasuki ruangan Jonathan, dengan wajah sembab dan mata yang sedikit merah. Jonathan yang sedang duduk di belakang meja kerja kekuasaannya menatap Natasya dengan tatapan khawatir."Nyonya Collins, kamu baik-baik saja?" tanya Jonathan dengan nada suara yang penuh kekhawatiran."Oh, aku baik-baik saja, Tuan Pa
“Natasya?! Oh, Dear. Kamu akhirnya tiba!” Nyonya Catarina menyambut kedatangan Natasya saat calon menantunya itu tiba di kediaman Parker.Natasya dengan senyum yang ramah pun memeluk Ibunda Jonathan. “Halo, Bibi, apakah Anda sehat?” tanya Natasya ramah.“Tentu, sayang. Ayo, kita minum teh. Aku ingin mendengar bagaimana kehidupanmu,” ajak Nyonya besar Parker.Dua wanita muda dan sepuh itu melangkah, merangkul satu sama lain. Sementara Jonathan sudah terbiasa dengan pemandangan tersebut karena Natasya di keluarganya, memang diperlakukan layaknya seorang ratu.“Tuan, Tuan Hubert dari Visionary Innovations, Inc. Sudah menunggu Anda di gazebo taman belakang, Tuan,” lapor Jose, sang kepala pelayan.Tanpa menjawab, Jonathan melepaskan jubah jas yang ia kenakan. Jose dengan cepat meraih jubah tersebut. Jonathan melangkah ke arah gazebo hanya dengan menggunakan kemeja putih beserta rompi dan dasi hitam. Dia tampak begitu gagah dan elegan.Sementara itu, Natasya dan Nyonya Catarina sudah duduk d
"Hazel! Oh, Sayang!" sang ibu berteriak, Amy merangkak cepat melihat tubuh Hazel akan jatuh menghantam lantai. Hazel merasa seolah dunia berputar saat botol minuman keras itu pecah di sisi kepalanya. Hazel merasa cairan merah yang terasa hangat itu mulai mengalir turun ke wajahnya.Bram, ayah tirinya, berdiri menatap Hazel dengan senyum mengerikan di wajah pria itu. "Itulah yang kau dapatkan jika berani melawanku, anak sialan!" Bram berteriak dengan suara keras, seolah mengejek Hazel yang terbaring lemah di lantai yang sudah bersimbah darah.Amy menatap Bram dengan mata memerah, tangan wanita itu memegangi kepala Hazel. "Bajingan kau, Bram! Demi Tuhan, jika aku tahu kau pria seperti ini, aku tidak akan sudi menikah denganmu! Pergi kau dari sini! Jangan pernah menampakkan wajahmu lagi!" sembur Amy, dia murka dan marah.Bram hanya tertawa mengejek. "Ini peringatan untuk kalian! Jangan pernah berani melawanku lagi, paham?!" Bram berteriak sebelum akhirnya, pria bengis itu melangkah kelua
“Pesta musim semi, kita akan pergi dan merayakan karnaval di pusat kota, Hazel. Kamu bisa melihat warna-warni lampu yang berkelap-kelip, menari mengikuti irama musik yang memenuhi udara. Aroma kue dan permen kapas bercampur dengan tawa riang pengunjung yang berpakaian cerah. Kamu akan menyukainya," kata ayah Hazel. Mata Hazel berbinar, bibir tipis merah muda itu tersenyum lebar. “Wah, benarkah, Ayah? Apakah aku dapat menari?” tanya Hazel antusias. Ayah Hazel mengangguk dengan senyum penuh kasih. “Tentu. Kamu akan terlihat seperti bintang kecil yang bersinar di tengah keramaian," jawab ayahnya, sambil mengelus lembut kepala Hazel dengan penuh kasih. "Kamu akan menjadi pusat perhatian dengan langkah kakimu yang lincah."Hazel melompat kegirangan, membayangkan dirinya berputar dan meliuk-liuk di antara kerumunan orang, lampu-lampu berwarna yang berpendar di sekelilingnya, musik yang mengalun membuat kakinya seolah-olah tidak bisa berhenti menari. "Aku akan menari sampai pagi, Ayah!" se
"Apakah Hazel hari ini tidak masuk kantor?" Mike sudah berdiri di pantry perusahaan sejak 20 menit yang lalu, pria itu terus melirik jam di pergelangan tangannya dengan gelisah menunggu kehadiran Hazel. Biasanya, wanita berkacamata itu akan datang membuat kopi. Namun, sampai jam makan siang berakhir, Mike tidak melihat keberadaan Hazel. "Apa mungkin dia sakit? Tadi malam, wajahnya terlihat pucat," pikir Mike. "Oh... Sampai-sampai, pak presdir juga mencari keberadaannya. Pasti terjadi sesuatu dengan Hazel," sambung Mike bergumam. Setelah pria itu mengambil kopi di mesin otomatis pembuat kopi, Mike pun meraih ponselnya, mencoba menghubungi Hazel. Dia melangkah dengan satu tangan memegang cup minum, dan satunya lagi menempelkan ponsel di telinganya. "Mike..." seorang wanita berbadan sintal, dia adalah Miya, berlari menghampiri Mike. "Kau pasti mencari Hazel? Sepertinya, kau menyukai wanita itu," kata Miya langsung tanpa basa-basi. "Puft..." Mike tersendat, hampir saja ia menyemburka
"Tidak! Sa-saya bukan boneka maupun pelacur, Tuan! Kenapa Tuan memperlakukan saya seperti saya ini bukan manusia? Saya ini makhluk hidup, saya punya perasaan dan juga hati! Saya tidak mau melayani Tuan!" pekik Hazel dengan tegas.Bukannya berhenti, Jonathan yang melihat penolakan dari Hazel membuat dirinya tertantang untuk terus mempermainkan tubuh sekretarisnya itu dengan sesuka hati. "Kau tidak bisa menolakku, Hazel . Aku memerlukanmu dan aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan. Seharusnya kau berpikir, tanda tangan artinya menerima," ucap Jonathan dengan suara parau.Seperti seekor kupu-kupu yang terperangkap dalam jaring laba-laba, Hazel merasa terjebak dalam hubungan terlarang dengan sang atasan. Obsesi Jonathan yang penuh gairah membuat Hazel terbelenggu dan terjerat dalam gairah tanpa pengampunan.Jonathan kembali merangkul tubuh Hazel. Namun Hazel mencoba mengelak, mendorong tubuh Jonathan. "Tuan... Lepas, saya tidak bisa, Tuan! Tolong, kepala saya masih sangat sakit. Ahhh …
Pagi yang sepi di kota kecil, Carl meninggalkan penginapan dengan misi yang jelas: menemukan Victor, satu-satunya orang yang bisa memberi mereka informasi penting tentang Tuan Lucas. Jonathan, Hazel, dan Amy menunggu dengan cemas, waktu terasa semakin menipis sementara ancaman dari Tuan Lucas terus membayangi.Beberapa jam kemudian, Carl kembali dengan wajah penuh ketegangan namun membawa kabar baik.“Aku menemukannya,” kata Carl, suaranya tenang tapi bersemangat. “Victor setuju untuk bertemu kita malam ini, di sebuah gudang tua di luar kota.”Jonathan mengangguk cepat. “Bagus. Ini kesempatan kita untuk mengetahui kelemahan Tuan Lucas dan menghentikannya.”---Di Gudang TuaMalam tiba dengan suasana tegang. Gudang tua di luar kota tampak gelap dan terisolasi. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy memasuki tempat itu dengan hati-hati. Di dalam, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh bekas luka, berdiri di sudut ruangan—Victor.“Aku tahu siapa yang kalian lawan,” kata Victor, suaranya sera
Malam semakin larut. Cahaya redup dari lampu-lampu jalan di kota kecil memberikan sedikit rasa tenang bagi Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy. Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan kota, berusaha mengatur napas setelah pelarian panjang dan penuh bahaya. Meski mereka telah mencapai tempat yang terasa lebih aman, bayang-bayang ancaman masih membayangi pikiran mereka."Apakah kita benar-benar aman sekarang, Jonathan?" bisik Hazel, suaranya lelah.Jonathan menatap Hazel dengan tatapan penuh kepedulian. “Untuk sekarang, kita aman. Tapi kita harus tetap waspada. Kota kecil ini memang terpencil, tapi kemungkinan mereka menemukan kita tetap ada.”Amy, yang duduk di samping Hazel, meremas tangan putrinya dengan lembut. “Kita sudah sejauh ini, Hazel. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.”Carl yang terus memeriksa keadaan sekitar, berbicara dengan nada serius, “Aku setuju dengan Anda, Tuan. Mereka mungkin akan terus mencari kita. Tapi untuk saat ini, kota ini bisa menjadi tempat persembu
Malam semakin larut saat Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy terus melangkah menuruni gunung. Udara dingin menusuk kulit, namun mereka tidak punya pilihan selain terus bergerak. Meskipun wajah-wajah mereka sudah memancarkan kelelahan yang nyata, semangat untuk bertahan hidup tetap menyala.Jonathan menoleh ke arah Hazel yang berjalan di sampingnya, wajahnya penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu? Apa kau masih bisa bertahan?" bisiknya, mencoba memastikan bahwa Hazel tetap kuat.Hazel menatap Jonathan dengan mata yang lelah. "Aku bisa, Jonathan. Aku tidak akan menyerah sekarang," jawabnya dengan suara yang gemetar namun tegas.Jonathan tersenyum kecil, merasakan semangat Hazel yang perlahan kembali. "Kita hampir sampai, Hazel. Kota itu ada di balik gunung ini. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi."Di sampingnya, Carl berjalan dengan hati-hati. "Jalur ini aman untuk sekarang, tapi kita harus tetap waspada. Mereka pasti masih mengejar kita," katanya, pandangannya terus menyapu sekitar.Amy,
Di dasar lembah, Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy berdiri terengah-engah di tepi sungai yang deras. Napas mereka berat setelah pelarian panjang, dan di atas lembah, anak buah Tuan Lucas telah siap dengan senjata terarah, mengepung kelompok yang mencoba melarikan diri."Berhenti! Kalian tidak akan bisa pergi lebih jauh! Serahkan diri kalian sekarang!" teriak salah satu anak buah, suaranya menggema di udara malam yang dingin.Jonathan menatap Hazel di sampingnya. Wajah Jonathan dipenuhi kelelahan. Di belakang mereka, sungai menderu, sementara di depan mereka, ancaman senjata terus mendekat. Carl dan Amy berdiri di sisi lain, sama-sama menyadari bahwa mereka telah mencapai titik kritis.Jonathan berbisik kepada Hazel, suaranya lembut namun penuh tekad. "Aku tidak akan membiarkan mereka menangkapmu, Hazel. Apa pun yang terjadi, kita harus terus bergerak. Dan seandainya kita mati, kita harus mati berdua!" ucap Jonathan. "Jo, apakah kamu tidak menyerah saja? Pergilah bersama Natasya. Aku...
Malam semakin larut, dan suasana semakin mencekam di dalam rumah kecil itu. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy bergerak cepat, berkemas untuk pelarian yang semakin mendesak. Mereka tahu waktu mereka terbatas—ancaman dari Tuan Lucas semakin mendekat.Hazel berbisik pelan, suaranya penuh ketakutan. "Jonathan, bagaimana kalau kita tidak bisa keluar tepat waktu? Bagaimana kalau mereka mengepung kita?"Jonathan menatap Hazel dengan penuh keyakinan, meski hatinya juga dipenuhi kecemasan. "Kita akan keluar, Hazel. Carl tahu jalan rahasia, dan kita harus percaya bahwa ini akan berhasil."Carl, yang tengah memeriksa jalur di peta kecilnya, berdiri di dekat mereka. "Ada jalur di sebelah timur desa, jalur yang hampir tak pernah dilalui. Dari sana, kita bisa menuju lembah yang akan membawa kita keluar dari sini. Tapi kita harus cepat."Amy, dengan wajah pucat karena kelelahan, menatap Carl. "Apakah kita punya cukup waktu? Apa mereka sudah dekat?"Carl mengangguk pelan, nada suaranya serius. "Jika kit
Pagi yang cerah di desa kecil itu memberikan kedamaian sementara bagi Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy. Setelah pelarian panjang dan penuh bahaya, akhirnya mereka bisa berkumpul kembali. Namun, meski mereka merasa sedikit lega, Jonathan tahu bahwa bahaya masih mengintai. Keluarga Carlos dan Lucas tidak akan berhenti sampai menemukan apa yang mereka cari.Di dalam rumah kecil, Hazel duduk di samping Amy yang masih terlihat lelah. Sementara Carl, bersandar di dinding, mengamati keadaan sekitar dengan waspada. Meski suasana tenang, ada ketegangan yang terasa semakin berat, seolah ancaman itu menggantung di atas mereka.Hazel menatap ibunya. "Ibu, bagaimana perasaanmu? Apa sudah lebih baik?"Amy tersenyum kecil meski rasa sakit masih terasa di tubuhnya. "Ibu akan baik-baik saja, Hazel. Jangan khawatir tentang Ibu. Yang penting, kita semua masih bersama."Hazel menggenggam tangan ibunya erat-erat. "Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu, Bu. Ibu sudah melakukan segalanya unt
Di desa terpencil yang kini menjadi tempat persembunyian Hazel dan Jonathan, pagi yang tenang membawa sedikit kedamaian setelah pelarian panjang. Matahari pagi mulai menghangatkan desa, tetapi Hazel masih tenggelam dalam kekhawatiran. Pikirannya tak henti-henti memikirkan ibunya, Amy, dan Carl yang mungkin masih bertarung di luar sana.Hazel duduk di depan rumah kecil yang mereka tinggali sementara, memandang hampa ke arah pepohonan yang bergerak pelan di kejauhan. Jonathan, yang duduk di sampingnya, meraih tangan Hazel, menggenggamnya erat.“Kita aman di sini, Hazel,” ujar Jonathan lembut. “Mereka takkan menemukan kita. Kamu harus percaya.”Hazel menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. “Aku tahu, Jonathan. Tapi Ibu? Bagaimana dengan Carl? Aku tidak bisa berhenti memikirkan mereka. Bagaimana nasib mereka setelah kita pergi?”Jonathan menghela napas panjang, mencoba meredam kekhawatirannya sendiri. “Hazel, ibumu dan Carl kuat. Kita harus percaya mereka selamat. Kita sudah melakukan y
Sinar matahari perlahan mulai menembus celah-celah pepohonan, menyinari hutan yang baru saja mereka tinggalkan. Di puncak bukit kecil, Jonathan dan Hazel berdiri terdiam, menatap perbatasan kota yang akhirnya mereka capai setelah pelarian panjang dan berbahaya.Meski matahari menghangatkan kulit mereka, hati keduanya masih diselimuti kecemasan. Pikiran Hazel terus terbayang pada nasib Carl dan Amy, yang terjebak dalam arus sungai yang deras."Jonathan," suara Hazel terdengar bergetar, "bagaimana kalau mereka tidak berhasil keluar dari sungai?"Jonathan menoleh, menatap Hazel dengan penuh kelembutan. Dia tahu betul betapa besar kekhawatiran gadis itu. Meski mereka telah selamat, perasaan bersalah karena meninggalkan Carl dan Amy menghantui mereka berdua."Hazel," suara Jonathan tenang, tegas, "Carl dan ibumu adalah orang-orang yang tangguh. Kalau ada yang bisa bertahan, itu pasti mereka."Hazel menatapnya dengan air mata yang menggenang, tetapi tetap ada ketakutan yang dalam di matanya
Dari balik pepohonan, muncul sosok yang familiar. "Carl?" kata Jonathan dengan kaget.Carl tersenyum lega. "Syukurlah aku menemukan kalian."Hazel berdiri. "Bagaimana bisa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya di rumah?"Carl menggeleng. "Setelah memastikan mereka pergi, aku menyusul kalian. Aku tahu kalian akan menuju hutan."Jonathan menatapnya dengan serius. "Apakah kamu diikuti?"Carl mengangkat tangan. "Tenang, aku memastikan tidak ada yang mengikutiku, Tuan."Hazel menghela napas. "Apa rencanamu sekarang, Carl?"Carl menatap keduanya. "Ada jalur rahasia di hutan ini yang akan membawa kalian keluar dari kota tanpa terdeteksi."Jonathan mengerutkan kening. "Kenapa kamu tidak memberitahu kami sejak awal?"Carl tersenyum tipis. "Tidak ada waktu tadi. Lagipula, aku harus memastikan jalurnya aman, Tuan."Hazel memegang tangan Carl. "Terima kasih. Kamu telah melakukan banyak untuk kami."Carl mengangguk. "Ayo, kita harus bergerak sebelum fajar."Mereka bertiga melanjutkan perjalanan,