“Pesta musim semi, kita akan pergi dan merayakan karnaval di pusat kota, Hazel. Kamu bisa melihat warna-warni lampu yang berkelap-kelip, menari mengikuti irama musik yang memenuhi udara. Aroma kue dan permen kapas bercampur dengan tawa riang pengunjung yang berpakaian cerah. Kamu akan menyukainya," kata ayah Hazel. Mata Hazel berbinar, bibir tipis merah muda itu tersenyum lebar. “Wah, benarkah, Ayah? Apakah aku dapat menari?” tanya Hazel antusias. Ayah Hazel mengangguk dengan senyum penuh kasih. “Tentu. Kamu akan terlihat seperti bintang kecil yang bersinar di tengah keramaian," jawab ayahnya, sambil mengelus lembut kepala Hazel dengan penuh kasih. "Kamu akan menjadi pusat perhatian dengan langkah kakimu yang lincah."Hazel melompat kegirangan, membayangkan dirinya berputar dan meliuk-liuk di antara kerumunan orang, lampu-lampu berwarna yang berpendar di sekelilingnya, musik yang mengalun membuat kakinya seolah-olah tidak bisa berhenti menari. "Aku akan menari sampai pagi, Ayah!" se
"Apakah Hazel hari ini tidak masuk kantor?" Mike sudah berdiri di pantry perusahaan sejak 20 menit yang lalu, pria itu terus melirik jam di pergelangan tangannya dengan gelisah menunggu kehadiran Hazel. Biasanya, wanita berkacamata itu akan datang membuat kopi. Namun, sampai jam makan siang berakhir, Mike tidak melihat keberadaan Hazel. "Apa mungkin dia sakit? Tadi malam, wajahnya terlihat pucat," pikir Mike. "Oh... Sampai-sampai, pak presdir juga mencari keberadaannya. Pasti terjadi sesuatu dengan Hazel," sambung Mike bergumam. Setelah pria itu mengambil kopi di mesin otomatis pembuat kopi, Mike pun meraih ponselnya, mencoba menghubungi Hazel. Dia melangkah dengan satu tangan memegang cup minum, dan satunya lagi menempelkan ponsel di telinganya. "Mike..." seorang wanita berbadan sintal, dia adalah Miya, berlari menghampiri Mike. "Kau pasti mencari Hazel? Sepertinya, kau menyukai wanita itu," kata Miya langsung tanpa basa-basi. "Puft..." Mike tersendat, hampir saja ia menyemburka
"Tidak! Sa-saya bukan boneka maupun pelacur, Tuan! Kenapa Tuan memperlakukan saya seperti saya ini bukan manusia? Saya ini makhluk hidup, saya punya perasaan dan juga hati! Saya tidak mau melayani Tuan!" pekik Hazel dengan tegas.Bukannya berhenti, Jonathan yang melihat penolakan dari Hazel membuat dirinya tertantang untuk terus mempermainkan tubuh sekretarisnya itu dengan sesuka hati. "Kau tidak bisa menolakku, Hazel . Aku memerlukanmu dan aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan. Seharusnya kau berpikir, tanda tangan artinya menerima," ucap Jonathan dengan suara parau.Seperti seekor kupu-kupu yang terperangkap dalam jaring laba-laba, Hazel merasa terjebak dalam hubungan terlarang dengan sang atasan. Obsesi Jonathan yang penuh gairah membuat Hazel terbelenggu dan terjerat dalam gairah tanpa pengampunan.Jonathan kembali merangkul tubuh Hazel. Namun Hazel mencoba mengelak, mendorong tubuh Jonathan. "Tuan... Lepas, saya tidak bisa, Tuan! Tolong, kepala saya masih sangat sakit. Ahhh …
“Ini kompensasi untukmu. Simpan kartu ini baik-baik. Dan belilah beberapa pakaian untuk dirimu sendiri. Aku tidak ingin memiliki sekertaris kucel seperti dirimu,” kata Jonathan memberikan sebuah card kepada Hazel. Hazel mencengkram seprei di atas bed pasien itu. Merasa begitu terhina ketika dirinya dianggap seperti seorang pelacur. “Tuan, tolong simpan saja. Aku tidak ingin menerimanya. Aku bukan pelacur —”Tok, tok, tok! Lagi-lagi suara ketukan pintu itu terdengar. Membuat kepala Hazel menegang, wanita itu dengan cepat meraih pakaiannya lalu mengenakannya dengan tergesa-gesa.“Jika kau berpikir begitu, ya terserah. Aku hanya ingin berbaik hati. Jika kamu menolak, ya sudah!” Jonathan merapikan penampilannya saat dirinya baru selesai bercocok tanam. Ingin sekali Hazel memukul wajah angkuh atasannya dengan tiang infus saat Jonathan menyamakan dirinya sama seperti wanita-wanita penjaja tubuh.Namun, dia tidak punya keberanian. Hazel hanya membuang napasnya berulang kali mengusir rasa
“Tuan Parker, anda dari mana saja? Aku menunggumu cukup lama!” sambut Natasya.Jonathan dengan wajah yang lelah melewati tubuh calon istrinya dengan begitu saja. Setelah dari rumah sakit, dia harus mengurus beberapa masalah perusahaan.“Natasya, aku sedang lelah. Jika kau ingin menjemput orang tuamu, maka aku akan meminta supir untuk mengantarkanmu,” ucap Jonathan acuh tak acuh.Wajah Natasya merenggut mendengar jawaban calon suaminya itu. “Tuan Parker, apa kau anggap ibuku tidak berharga? Seharusnya, kau sebagai calon suamiku—”“Shut up!” Jonathan memotong dengan bentakan. Membuat wanita yang berjalan di sampingnya itu seketika terdiam.Tanpa sepatah kata, Jonathan berjalan melewati tubuh Natasya. Jonathan paling tidak suka jika dirinya sedang lelah, harus mendapatkan semprotan dari orang lain. Itu membuat kepalanya semakin berdenyut.Natasya melihat punggung Jonathan yang sudah berlalu itu, kedua tangannya terkepal kuat. “Kenapa dia menjadi berubah seperti ini? Saat dia menjemputku,
“Nyonya Collins, sepertinya aku ada urusan yang harus aku selesaikan,” kata Jonathan. Setelah melakukan konferensi pers mengenai pertunangan mereka, Jonathan dan Natasya kini berada di ruang make cover untuk membersihkan wajah mereka dari make up yang mereka gunakan.Natasya yang duduk di samping Jonathan pun menggenggam tangan calon suaminya itu. “Kamu jangan sampai kelelahan, ya. Besok malam ada acara pertemuan keluarga. Semua kalangan akan hadir. Jadi tolong jaga kesehatanmu,” ucap Natasya penuh perhatian.“Terima kasih, Nyonya Collins. Aku hanya ingin bertemu dengan klien yang akan menjadi investor. Setelah itu, aku akan kembali.”Natasya tersenyum sambil mengangguk. “Ya sudah.” Jonathan berdiri dari duduknya dan memutar tubuh hendak melangkah. “Tuan Parker,” panggil Natasya, membuat langkah Jonathan terhenti dan menoleh tanpa berucap. “Apa kau tidak mengecup dahi calon istrimu sebelum kau pergi?” Mendengar permintaan Natasya, Jonathan menoleh, matanya bertemu dengan pandangan
"Nyonya Natasya mengundangku menghadiri pesta pertunangannya?" gumam Hazel, menatap layar ponselnya. Hazel tidak sadar bahwa Natasya telah mengiriminya pesan. Mungkin saat ia sibuk melayani kunjungan bibinya, pesan itu terlewatkan. Kesadarannya baru terpanggil ketika ponselnya berdering—panggilan dari Jonathan, pria yang memiliki wajah tampan namun hati sekejam iblis.Ketika telepon itu berdering, Hazel merasa jantungnya berhenti sejenak. Ada kekhawatiran bahwa Jonathan mungkin akan meminta sesuatu darinya. Namun, ingatan tentang kontrak yang telah disepakati membuat Hazel mengambil keputusan. Ia segera bersiap dan berangkat untuk bertemu dengan Jonathan. Kini, Hazel sedang duduk di dalam bus, melintasi jalan-jalan kota menuju halte yang tak jauh dari hotel tempat Jonathan menunggunya. "Oh, kepalaku kembali berdisko saat memikirkan atasan gilaku. Belum lagi dengan pesan calon istrinya. Kenapa hidupku bisa terhimpit di antara dua manusia ini?" Pikir Hazel, memijat pelipisnya. Hazel
“Tuan, besok saya harus kerja. Jika melayani anda, saya rasa, besok saya tidak akan bisa masuk kantor,” ucap Hazel, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Bagaimana tidak, atasannya yang berdiri di depannya sudah polos. Tubuhnya yang sempurna sudah terpampang dengan gamblang, siap menerkam Hazel kapan pun jika Jonathan mau.“Aku yang memiliki kendali terhadap dirimu. Atasanmu sedang membutuhkanmu. Ingat kontrak yang kita buat dalam peraturan nomor 6 dan 7. Apa kau lupa?” ujar Jonathan. Hazel menelan ludah dengan susah payah. ‘Duh, melihat ubi jalarnya saja aku sudah membayangkan benda tersebut masuk ke dalam diriku dan sudah membuatku nyeri. Lihatlah ubi yang belum bangun itu, tampak seperti teripang yang menggantung,’ Hazel membatin, menggigit bibirnya cemas. Jonathan yang sudah polos mulai menaiki ranjang, menjatuhkan tubuhnya di samping Hazel. Pria itu menarik tubuh Hazel dan melumat bibir manis wanita berkacamata itu. “Hmm…” leguh Hazel saat merasakan ciuman yang diberikan o
Pagi yang sepi di kota kecil, Carl meninggalkan penginapan dengan misi yang jelas: menemukan Victor, satu-satunya orang yang bisa memberi mereka informasi penting tentang Tuan Lucas. Jonathan, Hazel, dan Amy menunggu dengan cemas, waktu terasa semakin menipis sementara ancaman dari Tuan Lucas terus membayangi.Beberapa jam kemudian, Carl kembali dengan wajah penuh ketegangan namun membawa kabar baik.“Aku menemukannya,” kata Carl, suaranya tenang tapi bersemangat. “Victor setuju untuk bertemu kita malam ini, di sebuah gudang tua di luar kota.”Jonathan mengangguk cepat. “Bagus. Ini kesempatan kita untuk mengetahui kelemahan Tuan Lucas dan menghentikannya.”---Di Gudang TuaMalam tiba dengan suasana tegang. Gudang tua di luar kota tampak gelap dan terisolasi. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy memasuki tempat itu dengan hati-hati. Di dalam, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh bekas luka, berdiri di sudut ruangan—Victor.“Aku tahu siapa yang kalian lawan,” kata Victor, suaranya sera
Malam semakin larut. Cahaya redup dari lampu-lampu jalan di kota kecil memberikan sedikit rasa tenang bagi Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy. Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan kota, berusaha mengatur napas setelah pelarian panjang dan penuh bahaya. Meski mereka telah mencapai tempat yang terasa lebih aman, bayang-bayang ancaman masih membayangi pikiran mereka."Apakah kita benar-benar aman sekarang, Jonathan?" bisik Hazel, suaranya lelah.Jonathan menatap Hazel dengan tatapan penuh kepedulian. “Untuk sekarang, kita aman. Tapi kita harus tetap waspada. Kota kecil ini memang terpencil, tapi kemungkinan mereka menemukan kita tetap ada.”Amy, yang duduk di samping Hazel, meremas tangan putrinya dengan lembut. “Kita sudah sejauh ini, Hazel. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.”Carl yang terus memeriksa keadaan sekitar, berbicara dengan nada serius, “Aku setuju dengan Anda, Tuan. Mereka mungkin akan terus mencari kita. Tapi untuk saat ini, kota ini bisa menjadi tempat persembu
Malam semakin larut saat Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy terus melangkah menuruni gunung. Udara dingin menusuk kulit, namun mereka tidak punya pilihan selain terus bergerak. Meskipun wajah-wajah mereka sudah memancarkan kelelahan yang nyata, semangat untuk bertahan hidup tetap menyala.Jonathan menoleh ke arah Hazel yang berjalan di sampingnya, wajahnya penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu? Apa kau masih bisa bertahan?" bisiknya, mencoba memastikan bahwa Hazel tetap kuat.Hazel menatap Jonathan dengan mata yang lelah. "Aku bisa, Jonathan. Aku tidak akan menyerah sekarang," jawabnya dengan suara yang gemetar namun tegas.Jonathan tersenyum kecil, merasakan semangat Hazel yang perlahan kembali. "Kita hampir sampai, Hazel. Kota itu ada di balik gunung ini. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi."Di sampingnya, Carl berjalan dengan hati-hati. "Jalur ini aman untuk sekarang, tapi kita harus tetap waspada. Mereka pasti masih mengejar kita," katanya, pandangannya terus menyapu sekitar.Amy,
Di dasar lembah, Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy berdiri terengah-engah di tepi sungai yang deras. Napas mereka berat setelah pelarian panjang, dan di atas lembah, anak buah Tuan Lucas telah siap dengan senjata terarah, mengepung kelompok yang mencoba melarikan diri."Berhenti! Kalian tidak akan bisa pergi lebih jauh! Serahkan diri kalian sekarang!" teriak salah satu anak buah, suaranya menggema di udara malam yang dingin.Jonathan menatap Hazel di sampingnya. Wajah Jonathan dipenuhi kelelahan. Di belakang mereka, sungai menderu, sementara di depan mereka, ancaman senjata terus mendekat. Carl dan Amy berdiri di sisi lain, sama-sama menyadari bahwa mereka telah mencapai titik kritis.Jonathan berbisik kepada Hazel, suaranya lembut namun penuh tekad. "Aku tidak akan membiarkan mereka menangkapmu, Hazel. Apa pun yang terjadi, kita harus terus bergerak. Dan seandainya kita mati, kita harus mati berdua!" ucap Jonathan. "Jo, apakah kamu tidak menyerah saja? Pergilah bersama Natasya. Aku...
Malam semakin larut, dan suasana semakin mencekam di dalam rumah kecil itu. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy bergerak cepat, berkemas untuk pelarian yang semakin mendesak. Mereka tahu waktu mereka terbatas—ancaman dari Tuan Lucas semakin mendekat.Hazel berbisik pelan, suaranya penuh ketakutan. "Jonathan, bagaimana kalau kita tidak bisa keluar tepat waktu? Bagaimana kalau mereka mengepung kita?"Jonathan menatap Hazel dengan penuh keyakinan, meski hatinya juga dipenuhi kecemasan. "Kita akan keluar, Hazel. Carl tahu jalan rahasia, dan kita harus percaya bahwa ini akan berhasil."Carl, yang tengah memeriksa jalur di peta kecilnya, berdiri di dekat mereka. "Ada jalur di sebelah timur desa, jalur yang hampir tak pernah dilalui. Dari sana, kita bisa menuju lembah yang akan membawa kita keluar dari sini. Tapi kita harus cepat."Amy, dengan wajah pucat karena kelelahan, menatap Carl. "Apakah kita punya cukup waktu? Apa mereka sudah dekat?"Carl mengangguk pelan, nada suaranya serius. "Jika kit
Pagi yang cerah di desa kecil itu memberikan kedamaian sementara bagi Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy. Setelah pelarian panjang dan penuh bahaya, akhirnya mereka bisa berkumpul kembali. Namun, meski mereka merasa sedikit lega, Jonathan tahu bahwa bahaya masih mengintai. Keluarga Carlos dan Lucas tidak akan berhenti sampai menemukan apa yang mereka cari.Di dalam rumah kecil, Hazel duduk di samping Amy yang masih terlihat lelah. Sementara Carl, bersandar di dinding, mengamati keadaan sekitar dengan waspada. Meski suasana tenang, ada ketegangan yang terasa semakin berat, seolah ancaman itu menggantung di atas mereka.Hazel menatap ibunya. "Ibu, bagaimana perasaanmu? Apa sudah lebih baik?"Amy tersenyum kecil meski rasa sakit masih terasa di tubuhnya. "Ibu akan baik-baik saja, Hazel. Jangan khawatir tentang Ibu. Yang penting, kita semua masih bersama."Hazel menggenggam tangan ibunya erat-erat. "Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu, Bu. Ibu sudah melakukan segalanya unt
Di desa terpencil yang kini menjadi tempat persembunyian Hazel dan Jonathan, pagi yang tenang membawa sedikit kedamaian setelah pelarian panjang. Matahari pagi mulai menghangatkan desa, tetapi Hazel masih tenggelam dalam kekhawatiran. Pikirannya tak henti-henti memikirkan ibunya, Amy, dan Carl yang mungkin masih bertarung di luar sana.Hazel duduk di depan rumah kecil yang mereka tinggali sementara, memandang hampa ke arah pepohonan yang bergerak pelan di kejauhan. Jonathan, yang duduk di sampingnya, meraih tangan Hazel, menggenggamnya erat.“Kita aman di sini, Hazel,” ujar Jonathan lembut. “Mereka takkan menemukan kita. Kamu harus percaya.”Hazel menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. “Aku tahu, Jonathan. Tapi Ibu? Bagaimana dengan Carl? Aku tidak bisa berhenti memikirkan mereka. Bagaimana nasib mereka setelah kita pergi?”Jonathan menghela napas panjang, mencoba meredam kekhawatirannya sendiri. “Hazel, ibumu dan Carl kuat. Kita harus percaya mereka selamat. Kita sudah melakukan y
Sinar matahari perlahan mulai menembus celah-celah pepohonan, menyinari hutan yang baru saja mereka tinggalkan. Di puncak bukit kecil, Jonathan dan Hazel berdiri terdiam, menatap perbatasan kota yang akhirnya mereka capai setelah pelarian panjang dan berbahaya.Meski matahari menghangatkan kulit mereka, hati keduanya masih diselimuti kecemasan. Pikiran Hazel terus terbayang pada nasib Carl dan Amy, yang terjebak dalam arus sungai yang deras."Jonathan," suara Hazel terdengar bergetar, "bagaimana kalau mereka tidak berhasil keluar dari sungai?"Jonathan menoleh, menatap Hazel dengan penuh kelembutan. Dia tahu betul betapa besar kekhawatiran gadis itu. Meski mereka telah selamat, perasaan bersalah karena meninggalkan Carl dan Amy menghantui mereka berdua."Hazel," suara Jonathan tenang, tegas, "Carl dan ibumu adalah orang-orang yang tangguh. Kalau ada yang bisa bertahan, itu pasti mereka."Hazel menatapnya dengan air mata yang menggenang, tetapi tetap ada ketakutan yang dalam di matanya
Dari balik pepohonan, muncul sosok yang familiar. "Carl?" kata Jonathan dengan kaget.Carl tersenyum lega. "Syukurlah aku menemukan kalian."Hazel berdiri. "Bagaimana bisa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya di rumah?"Carl menggeleng. "Setelah memastikan mereka pergi, aku menyusul kalian. Aku tahu kalian akan menuju hutan."Jonathan menatapnya dengan serius. "Apakah kamu diikuti?"Carl mengangkat tangan. "Tenang, aku memastikan tidak ada yang mengikutiku, Tuan."Hazel menghela napas. "Apa rencanamu sekarang, Carl?"Carl menatap keduanya. "Ada jalur rahasia di hutan ini yang akan membawa kalian keluar dari kota tanpa terdeteksi."Jonathan mengerutkan kening. "Kenapa kamu tidak memberitahu kami sejak awal?"Carl tersenyum tipis. "Tidak ada waktu tadi. Lagipula, aku harus memastikan jalurnya aman, Tuan."Hazel memegang tangan Carl. "Terima kasih. Kamu telah melakukan banyak untuk kami."Carl mengangguk. "Ayo, kita harus bergerak sebelum fajar."Mereka bertiga melanjutkan perjalanan,