“Nyonya Collins, sepertinya aku ada urusan yang harus aku selesaikan,” kata Jonathan. Setelah melakukan konferensi pers mengenai pertunangan mereka, Jonathan dan Natasya kini berada di ruang make cover untuk membersihkan wajah mereka dari make up yang mereka gunakan.Natasya yang duduk di samping Jonathan pun menggenggam tangan calon suaminya itu. “Kamu jangan sampai kelelahan, ya. Besok malam ada acara pertemuan keluarga. Semua kalangan akan hadir. Jadi tolong jaga kesehatanmu,” ucap Natasya penuh perhatian.“Terima kasih, Nyonya Collins. Aku hanya ingin bertemu dengan klien yang akan menjadi investor. Setelah itu, aku akan kembali.”Natasya tersenyum sambil mengangguk. “Ya sudah.” Jonathan berdiri dari duduknya dan memutar tubuh hendak melangkah. “Tuan Parker,” panggil Natasya, membuat langkah Jonathan terhenti dan menoleh tanpa berucap. “Apa kau tidak mengecup dahi calon istrimu sebelum kau pergi?” Mendengar permintaan Natasya, Jonathan menoleh, matanya bertemu dengan pandangan
"Nyonya Natasya mengundangku menghadiri pesta pertunangannya?" gumam Hazel, menatap layar ponselnya. Hazel tidak sadar bahwa Natasya telah mengiriminya pesan. Mungkin saat ia sibuk melayani kunjungan bibinya, pesan itu terlewatkan. Kesadarannya baru terpanggil ketika ponselnya berdering—panggilan dari Jonathan, pria yang memiliki wajah tampan namun hati sekejam iblis.Ketika telepon itu berdering, Hazel merasa jantungnya berhenti sejenak. Ada kekhawatiran bahwa Jonathan mungkin akan meminta sesuatu darinya. Namun, ingatan tentang kontrak yang telah disepakati membuat Hazel mengambil keputusan. Ia segera bersiap dan berangkat untuk bertemu dengan Jonathan. Kini, Hazel sedang duduk di dalam bus, melintasi jalan-jalan kota menuju halte yang tak jauh dari hotel tempat Jonathan menunggunya. "Oh, kepalaku kembali berdisko saat memikirkan atasan gilaku. Belum lagi dengan pesan calon istrinya. Kenapa hidupku bisa terhimpit di antara dua manusia ini?" Pikir Hazel, memijat pelipisnya. Hazel
“Tuan, besok saya harus kerja. Jika melayani anda, saya rasa, besok saya tidak akan bisa masuk kantor,” ucap Hazel, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Bagaimana tidak, atasannya yang berdiri di depannya sudah polos. Tubuhnya yang sempurna sudah terpampang dengan gamblang, siap menerkam Hazel kapan pun jika Jonathan mau.“Aku yang memiliki kendali terhadap dirimu. Atasanmu sedang membutuhkanmu. Ingat kontrak yang kita buat dalam peraturan nomor 6 dan 7. Apa kau lupa?” ujar Jonathan. Hazel menelan ludah dengan susah payah. ‘Duh, melihat ubi jalarnya saja aku sudah membayangkan benda tersebut masuk ke dalam diriku dan sudah membuatku nyeri. Lihatlah ubi yang belum bangun itu, tampak seperti teripang yang menggantung,’ Hazel membatin, menggigit bibirnya cemas. Jonathan yang sudah polos mulai menaiki ranjang, menjatuhkan tubuhnya di samping Hazel. Pria itu menarik tubuh Hazel dan melumat bibir manis wanita berkacamata itu. “Hmm…” leguh Hazel saat merasakan ciuman yang diberikan o
“Kenapa kau menerimanya?” Hazel selesai membersihkan diri setelah pertemuan sengit dengan atasannya. Dan saat Hazel baru saja keluar dari kamar Mandi, tubuh itu menegang mendengar pertanyaan Jonathan yang tidak ia mengerti."Apa maksudmu, Tuan?" Hazel bertanya hati-hati, mengambil langkah kecil menuju pakaiannya yang berserakan, dan menggunakannya. "Perjodohan," jawab Jonathan singkat.Sial.Jantung Hazel berdebar kencang. Ia tidak pernah menyangka jika Jonathan akan mengetahui perjodohan yang bibinya lakukan. Mata Hazel membelalak bingung dan takut, ketika tatapan tajam Jonathan membuatnya semakin gelisah."Siapa yang memberitahumu, Tuan?" Hazel bertanya dengan pelan, hati-hati.Jonathan melempar ponsel Hazel ke atas tempat tidur. "Bibimu yang menelepon," jawabnya dingin.Hazel merasakan gemetar di tubuhnya. Hazel dengan langkah cepat mengambil ponselnya. “Tuan, kenapa anda begitu lancang?! Ini privasiku. Kenapa Tuan menerima telepon dari ponsel orang lain?” cerca Hazel. Jonathan b
“Hazel, ya ampun! Apakah kamu sudah sehat? Bagaimana dengan kepalamu?” tanya Mike sambil mengelus kepala Hazel saat pria itu bertemu di lobi perusahaan. Hazel tersenyum simpul, dia menepis sopan tangan Mike yang menyentuh kepalanya. Tidak ingin jika Jonathan berpikir macam-macam ketika atasan anehnya itu melihat keakraban dia dan Mike. “Aku baik-baik saja. Luka di kepalaku sudah sembuh. Terima kasih, Mike, karena sudah peduli,” ucap Hazel. “Kamu sudah sarapan?” Mike melirik jam di tangannya. “Masih ada dua puluh menit lagi. Bagaimana kalau kita sarapan dulu?” Hazel tersenyum kaku menanggapi ajakan pria di hadapannya, dia harus menjaga jarak dengan pria manapun selama ia berada di dalam perusahaan. Bisa-bisanya, si bos akan menghukumnya lagi. Dan mungkin saja, kali ini atasannya akan memberikan hukuman yang sadis jika dirinya ketahuan masih bertemu dengan pria lain di luar jam kerja. Hazel tahu betul bagaimana Jonathan bisa menjadi sangat posesif dan cemburu."Tidak, terima kasih,"
"Oh, Ibu menelponku," kata Natasya. "Terima teleponmu dulu, Nyonya Collins. Mungkin ada hal yang penting yang ingin beliau sampaikan," jawab Jonathan, wajahnya datar. Natasya beranjak dari pangkuan Jonathan. "Sebentar ya, Tuan Parker." pamit Natasya. Jonathan tersenyum sambil mengangguk. Saat kepergian Natasya, pikiran Jonathan tertuju kepada Hazel. "Hazel pasti bertemu dengan Mike," gumam Jonathan, penasaran, dan penuh curiga. Sejurus kemudian, Natasya datang kembali dengan wajah sedikit tidak bersemangat. "Tuan Parker, gaun untuk malam nanti sudah ada. Apakah anda tidak ingin menemaniku untuk mencoba gaun untuk acara nanti malam?" tanya Natasya dengan penuh harap. Wanita itu tentu saja berat meninggalkan Jonathan. Apalagi, Natasya sudah tahu gelagat calon suaminya. Namun dia tidak ingin gegabah mengambil tindakan, karena dirinya tidak ingin kehilangan kesempatan menjadi istri dari seorang pewaris. Itu alasan utama dirinya tidak terlalu mengubris urusan pribadi Jonathan. "Maaf,
Lelah, itu yang dirasakan Hazel. Untuk kesekian kali, dia harus melayani hasrat liar atasannya. Kini, ia melangkah menuju rumahnya. Dengan jarak lima meter, mata Hazel menyipit melihat pintu rumahnya terbuka. "Ada tamu?" gumam Hazel, dia mempercepat langkah pada kakinya. Sesampainya di rumah, dia segera masuk. "Deg!" ia sedikit tersentak melihat kehadiran bibi Clara dan Edward."Hazel, sayang, kamu sudah pulang, Nak? Ayo, masuk." ajak sang ibu, Amy. Hazel menarik napas dalam, mencoba meredakan gumpalan emosi yang berkecamuk. Langkahnya yang semula ragu kini berubah menjadi mantap, seolah setiap tapak kaki yang menyentuh lantai berusaha menghapus kelelahannya."Kemana saja kamu, Hazel?" tanya bibi Clara dengan nada sedikit bengis, matanya sinis. "Ya, habis kerja. Maunya dari mana?" Jawab Hazel. Amy berdiri, menghampiri Hazel. "Nak, tidak boleh begitu. Tuan Edward sudah datang. Dia adalah calon yang dibicarakan oleh bibimu," ucap Amy berbisik. "Kami sudah bertemu, Bibi Amy. Dan se
"T-Tuan Presdir," gumam Hazel, lidahnya seperti keluh melihat siapa yang berdiri tak jauh darinya.Bukan hanya Jonathan saja yang terkejut, Hazel pun sama. Ia tidak menyangka jika Edward memanggil Jonathan dengan sebutan "Paman". Jika atasannya itu, ternyata memiliki hubungan darah dengan Edward.Kini dua pasang mata itu saling menatap tidak berkedip. Sungguh dunia begitu sempit, bukan?"Nona Hazel, apa yang terjadi?"Suara Edward membuat Hazel tersadar dari lamunan. Hazel mengedipkan matanya berulang kali, mencoba mengumpulkan pikirannya yang berserakan."Ah, maafkan saya, Tuan Edward. Saya hanya... Belum terbiasa dengan pesta seperti ini," jawab Hazel, mencoba mencari alasan yang masuk akal."Bukankah Pamanku adalah atasanmu, Nona Hazel? Aku pikir, anda mengenal Pamanku yang bertunangan malam ini," kata Edward.Hazel menelan ludah dengan susah payah. Mencoba terlihat tenang di hadapan Edward, "Benar sekali, Tuan Edward. Tuan Jonathan adalah atasan saya. Namun, saya tidak mengetahui