Lelah, itu yang dirasakan Hazel. Untuk kesekian kali, dia harus melayani hasrat liar atasannya. Kini, ia melangkah menuju rumahnya. Dengan jarak lima meter, mata Hazel menyipit melihat pintu rumahnya terbuka. "Ada tamu?" gumam Hazel, dia mempercepat langkah pada kakinya. Sesampainya di rumah, dia segera masuk. "Deg!" ia sedikit tersentak melihat kehadiran bibi Clara dan Edward."Hazel, sayang, kamu sudah pulang, Nak? Ayo, masuk." ajak sang ibu, Amy. Hazel menarik napas dalam, mencoba meredakan gumpalan emosi yang berkecamuk. Langkahnya yang semula ragu kini berubah menjadi mantap, seolah setiap tapak kaki yang menyentuh lantai berusaha menghapus kelelahannya."Kemana saja kamu, Hazel?" tanya bibi Clara dengan nada sedikit bengis, matanya sinis. "Ya, habis kerja. Maunya dari mana?" Jawab Hazel. Amy berdiri, menghampiri Hazel. "Nak, tidak boleh begitu. Tuan Edward sudah datang. Dia adalah calon yang dibicarakan oleh bibimu," ucap Amy berbisik. "Kami sudah bertemu, Bibi Amy. Dan se
"T-Tuan Presdir," gumam Hazel, lidahnya seperti keluh melihat siapa yang berdiri tak jauh darinya.Bukan hanya Jonathan saja yang terkejut, Hazel pun sama. Ia tidak menyangka jika Edward memanggil Jonathan dengan sebutan "Paman". Jika atasannya itu, ternyata memiliki hubungan darah dengan Edward.Kini dua pasang mata itu saling menatap tidak berkedip. Sungguh dunia begitu sempit, bukan?"Nona Hazel, apa yang terjadi?"Suara Edward membuat Hazel tersadar dari lamunan. Hazel mengedipkan matanya berulang kali, mencoba mengumpulkan pikirannya yang berserakan."Ah, maafkan saya, Tuan Edward. Saya hanya... Belum terbiasa dengan pesta seperti ini," jawab Hazel, mencoba mencari alasan yang masuk akal."Bukankah Pamanku adalah atasanmu, Nona Hazel? Aku pikir, anda mengenal Pamanku yang bertunangan malam ini," kata Edward.Hazel menelan ludah dengan susah payah. Mencoba terlihat tenang di hadapan Edward, "Benar sekali, Tuan Edward. Tuan Jonathan adalah atasan saya. Namun, saya tidak mengetahui
"Maafkan saya, Nona. Saya tidak sengaja," ucap pelayan. Dia segera berjongkok di kaki Hazel dan mengusap kaki wanita itu.Jonathan dan Edward refleks berdiri melihat Hazel kesakitan. Sementara nyonya Luna tersenyum jahat melihat Hazel seperti itu. 'Otomatis, kakimu pasti melepuh. Dasar sekertaris tidak tahu diri,’ batin nyonya Luna.Hazel menepis tangan pelayan itu dengan sopan. "Saya tidak apa-apa, Bi. Tolong jangan di bawah kaki saya," kata Hazel, menahan perih. Edward segera memegangi kedua pundak Hazel, pria itu khawatir jelas sekali kecemasan di wajah Edward. "Hazel, ayo, aku akan membawamu mengobati kakimu," ucap Edward. Natasya melirik sinis. "Aduh, Sekertaris Hazel, makanya, kalau berdiri itu, harus lebih hati-hati," kata Natasya, seolah ia tidak menyadari jika hal tersebut adalah perbuatan ibunya. Rahang Jonathan mengeras saat melihat Edward menyentuh Hazel. Namun tatapan tajamnya berpindah arah menatap nyonya Luna. "Nyonya Luna Collins. Tolong lebih hati-hati dalam berti
"Siapa?" tanya Jonathan.Suara pria itu menekan dan terdengar tegas sewaktu pintu toilet itu terbuka. Seorang pelayan wanita terkejut melihat punggung Jonathan.Dengan cepat, pelayan itu menundukkan kepalanya. "Ma-maafkan saya, Tuan. Saya pikir tidak ada orang," katanya dengan suara terbata."Pergi!""B-baik, Tuan," jawab pelayan itu. Namun...Saat pelayan tersebut hendak memutar tubuhnya, netra pelayan itu membulat tatkala iris matanya menangkap kain kasa dan tub gel yang tergeletak di atas lantai.'Bukannya Nona Hazel—""Kenapa kau masih berdiri di situ? Segera pergi dari sini!"Pelayan tersebut tersentak. "B-baik, Tuan." dengan buru-buru, ia menutup pintu dan meninggalkan toilet tersebut. "Kenapa tuan memakai toilet umum kediaman? Tidak biasanya." pikir pelayan.Di dalam toilet, dada Hazel berdetak begitu kencang. Jika ia sampai ketahuan bersama atasannya di dalam toilet, habislah sudah. Bibinya tentu akan memarahinya dan ibunya tentu akan dalam masalah.'Tapi... Apa yang disembuny
Jonathan melangkah keluar dari ruangan yang hangat, di mana percakapan dengan ayahnya dan calon ayah mertua masih bergema di telinga. Cahaya malam yang remang-remang menyambutnya, menambah beban pikiran yang sudah berat. Langkahnya terhenti ketika suara Natasya memecah kesunyian."Tuan Parker, tunggu sebentar," seru Natasya, suaranya lembut namun penuh harap.Jonathan berbalik, menatap wajah Natasya yang terlihat bersemu dalam cahaya bulan yang menembus masuk melalui cela-cela jendela kaca besar. "Ada apa, Nyonya Collins?" tanya Jonathan, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.Natasya menatap Jonathan dengan tatapan yang dalam, seolah ingin menyelami isi hatinya. "Aku ingin kau menemaniku, hanya kita berdua malam ini, di summerhouse," katanya, suaranya hampir tidak terdengar di antara bisikan angin malam.Jonathan merasakan detak jantungnya berpacu, konflik batinnya semakin menjadi. Namun akhirnya, ia mengulurkan tangan ke arah Natasya. "Aku akan menemanimu, Nyonya Collins," kata
"Kenapa? Kenapa kau selalu dingin, Jonathan? Padahal, aku begitu mengagumimu hingga aku menjatuhkan harga diriku. Namun, sedikitpun kau tidak memandangku," lirih Natasya, wanita itu masih terduduk di atas karpet di dalam ruangan Summerhouse. Natasya berpikir, dengan dirinya meminta kepada orang tuanya untuk menjodohkan ia dan Jonathan, semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sebab, Natasya sangat tahu jika Jonathan tidak akan pernah ingin mengecewakan orang tuanya. "Mengapa aku harus kalah dengan wanita itu? Apa yang salah denganku?! Apa cantiknya Hazel? Dia hanya wanita sampah dari kalangan rendah! Apakah aku harus menyingkirkan wanita sampah itu sesuai dengan keinginan ibu?" pikir Hazel. Di dalam ruangan, dengan api yang menyala di tungku perapian, Natasya menjadi dilema dengan keputusannya. Ia ingin menyingkirkan Hazel. Namun di lain sisi, dia tidak ingin melakukan hal rendah karena ia harus kalah bersaing. Natasya menggeleng kepalanya kasar, ia mencoba mengusir pikiran jahatnya
"Walaupun aku mabuk, aku tidak salah mendengar apa yang aku dengar 'kan? Bagaimana bisa atasanku memikirkan hal semacam ini? Dia... Seperti mempunyai dua sisi yang berbeda," gumam Hazel mendengar permintaan di luar nalar atasannya itu.Hazel berusaha mengangkat kepala yang terasa amat berat. Merasa jika beban Ultraman mungkin sudah pindah ke kepalanya, ia menatap Jonathan dengan tatapan sayu. "T-tuan, kamu sedang tidak bercanda 'kan? Bagaimana bisa kita bercinta dengan keadaan tangan saya di borgol seperti ini? Ini bukan film-film yang sering saya tonton, Tuan," kata Hazel dengan suara serak. Dengan atasan tubuh yang terbuka, Jonathan mengangkat alisnya. "Apakah setiap ucapanku kau anggap lelucon? Aku ingin merasakan sensasi yang berbeda." Jonathan mulai melangkah, pria itu naik ke atas ranjang. "Aaakkhh ...!" Hazel menjerit, tatkala Jonathan yang sudah berdiri di belakang tubuh Hazel, menarik rambut wanita itu ke belakang."Kau memiliki tubuh yang bagus Hazel. Jadi jangan pernah m
"Dimana Jonathan? Kenapa anak itu belum juga hadir?" tanya Nyonya Catalina. Semua orang sudah siap di meja makan. Hari ini, mereka semua akan pergi ke Villa untuk berburu. Dari semua orang yang hadir, hanya Jonathan dan Hazel yang belum tiba. Edward yang masih kesal dengan kejadian semalam pun angkat bicara. "Bibi Catalina, sebaiknya, Bibi tegur penerusmu itu. Dia begitu tidak sopan!" Semua mata orang-orang yang duduk di meja makan mengalihkan pandangan mereka kepada Edward. Alis nyonya Catalina mengerut. "Apa maksud? Kamu tidak sedang kesal dengan Jonathan, kan?" Wajah Edward kecut, seakan ingin memarahi bibinya. "Bi, Jonathan semalam membawa kabur calon istriku saat kami sedang kencan," kata Edward. Mendengar penuturan Edward, dada Natasya seketika bergemuruh. Hatinya begitu sakit. 'Wanita rendahan itu... Apa yang dilihat oleh Jonathan pada wanita itu? Sepertinya, semakin lama aku membiarkan, mereka berdua semakin lancang. Jadi, semalam itu karena wanita itu Jonatha meninggalk
Pagi yang sepi di kota kecil, Carl meninggalkan penginapan dengan misi yang jelas: menemukan Victor, satu-satunya orang yang bisa memberi mereka informasi penting tentang Tuan Lucas. Jonathan, Hazel, dan Amy menunggu dengan cemas, waktu terasa semakin menipis sementara ancaman dari Tuan Lucas terus membayangi.Beberapa jam kemudian, Carl kembali dengan wajah penuh ketegangan namun membawa kabar baik.“Aku menemukannya,” kata Carl, suaranya tenang tapi bersemangat. “Victor setuju untuk bertemu kita malam ini, di sebuah gudang tua di luar kota.”Jonathan mengangguk cepat. “Bagus. Ini kesempatan kita untuk mengetahui kelemahan Tuan Lucas dan menghentikannya.”---Di Gudang TuaMalam tiba dengan suasana tegang. Gudang tua di luar kota tampak gelap dan terisolasi. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy memasuki tempat itu dengan hati-hati. Di dalam, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh bekas luka, berdiri di sudut ruangan—Victor.“Aku tahu siapa yang kalian lawan,” kata Victor, suaranya sera
Malam semakin larut. Cahaya redup dari lampu-lampu jalan di kota kecil memberikan sedikit rasa tenang bagi Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy. Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan kota, berusaha mengatur napas setelah pelarian panjang dan penuh bahaya. Meski mereka telah mencapai tempat yang terasa lebih aman, bayang-bayang ancaman masih membayangi pikiran mereka."Apakah kita benar-benar aman sekarang, Jonathan?" bisik Hazel, suaranya lelah.Jonathan menatap Hazel dengan tatapan penuh kepedulian. “Untuk sekarang, kita aman. Tapi kita harus tetap waspada. Kota kecil ini memang terpencil, tapi kemungkinan mereka menemukan kita tetap ada.”Amy, yang duduk di samping Hazel, meremas tangan putrinya dengan lembut. “Kita sudah sejauh ini, Hazel. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.”Carl yang terus memeriksa keadaan sekitar, berbicara dengan nada serius, “Aku setuju dengan Anda, Tuan. Mereka mungkin akan terus mencari kita. Tapi untuk saat ini, kota ini bisa menjadi tempat persembu
Malam semakin larut saat Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy terus melangkah menuruni gunung. Udara dingin menusuk kulit, namun mereka tidak punya pilihan selain terus bergerak. Meskipun wajah-wajah mereka sudah memancarkan kelelahan yang nyata, semangat untuk bertahan hidup tetap menyala.Jonathan menoleh ke arah Hazel yang berjalan di sampingnya, wajahnya penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu? Apa kau masih bisa bertahan?" bisiknya, mencoba memastikan bahwa Hazel tetap kuat.Hazel menatap Jonathan dengan mata yang lelah. "Aku bisa, Jonathan. Aku tidak akan menyerah sekarang," jawabnya dengan suara yang gemetar namun tegas.Jonathan tersenyum kecil, merasakan semangat Hazel yang perlahan kembali. "Kita hampir sampai, Hazel. Kota itu ada di balik gunung ini. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi."Di sampingnya, Carl berjalan dengan hati-hati. "Jalur ini aman untuk sekarang, tapi kita harus tetap waspada. Mereka pasti masih mengejar kita," katanya, pandangannya terus menyapu sekitar.Amy,
Di dasar lembah, Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy berdiri terengah-engah di tepi sungai yang deras. Napas mereka berat setelah pelarian panjang, dan di atas lembah, anak buah Tuan Lucas telah siap dengan senjata terarah, mengepung kelompok yang mencoba melarikan diri."Berhenti! Kalian tidak akan bisa pergi lebih jauh! Serahkan diri kalian sekarang!" teriak salah satu anak buah, suaranya menggema di udara malam yang dingin.Jonathan menatap Hazel di sampingnya. Wajah Jonathan dipenuhi kelelahan. Di belakang mereka, sungai menderu, sementara di depan mereka, ancaman senjata terus mendekat. Carl dan Amy berdiri di sisi lain, sama-sama menyadari bahwa mereka telah mencapai titik kritis.Jonathan berbisik kepada Hazel, suaranya lembut namun penuh tekad. "Aku tidak akan membiarkan mereka menangkapmu, Hazel. Apa pun yang terjadi, kita harus terus bergerak. Dan seandainya kita mati, kita harus mati berdua!" ucap Jonathan. "Jo, apakah kamu tidak menyerah saja? Pergilah bersama Natasya. Aku...
Malam semakin larut, dan suasana semakin mencekam di dalam rumah kecil itu. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy bergerak cepat, berkemas untuk pelarian yang semakin mendesak. Mereka tahu waktu mereka terbatas—ancaman dari Tuan Lucas semakin mendekat.Hazel berbisik pelan, suaranya penuh ketakutan. "Jonathan, bagaimana kalau kita tidak bisa keluar tepat waktu? Bagaimana kalau mereka mengepung kita?"Jonathan menatap Hazel dengan penuh keyakinan, meski hatinya juga dipenuhi kecemasan. "Kita akan keluar, Hazel. Carl tahu jalan rahasia, dan kita harus percaya bahwa ini akan berhasil."Carl, yang tengah memeriksa jalur di peta kecilnya, berdiri di dekat mereka. "Ada jalur di sebelah timur desa, jalur yang hampir tak pernah dilalui. Dari sana, kita bisa menuju lembah yang akan membawa kita keluar dari sini. Tapi kita harus cepat."Amy, dengan wajah pucat karena kelelahan, menatap Carl. "Apakah kita punya cukup waktu? Apa mereka sudah dekat?"Carl mengangguk pelan, nada suaranya serius. "Jika kit
Pagi yang cerah di desa kecil itu memberikan kedamaian sementara bagi Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy. Setelah pelarian panjang dan penuh bahaya, akhirnya mereka bisa berkumpul kembali. Namun, meski mereka merasa sedikit lega, Jonathan tahu bahwa bahaya masih mengintai. Keluarga Carlos dan Lucas tidak akan berhenti sampai menemukan apa yang mereka cari.Di dalam rumah kecil, Hazel duduk di samping Amy yang masih terlihat lelah. Sementara Carl, bersandar di dinding, mengamati keadaan sekitar dengan waspada. Meski suasana tenang, ada ketegangan yang terasa semakin berat, seolah ancaman itu menggantung di atas mereka.Hazel menatap ibunya. "Ibu, bagaimana perasaanmu? Apa sudah lebih baik?"Amy tersenyum kecil meski rasa sakit masih terasa di tubuhnya. "Ibu akan baik-baik saja, Hazel. Jangan khawatir tentang Ibu. Yang penting, kita semua masih bersama."Hazel menggenggam tangan ibunya erat-erat. "Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu, Bu. Ibu sudah melakukan segalanya unt
Di desa terpencil yang kini menjadi tempat persembunyian Hazel dan Jonathan, pagi yang tenang membawa sedikit kedamaian setelah pelarian panjang. Matahari pagi mulai menghangatkan desa, tetapi Hazel masih tenggelam dalam kekhawatiran. Pikirannya tak henti-henti memikirkan ibunya, Amy, dan Carl yang mungkin masih bertarung di luar sana.Hazel duduk di depan rumah kecil yang mereka tinggali sementara, memandang hampa ke arah pepohonan yang bergerak pelan di kejauhan. Jonathan, yang duduk di sampingnya, meraih tangan Hazel, menggenggamnya erat.“Kita aman di sini, Hazel,” ujar Jonathan lembut. “Mereka takkan menemukan kita. Kamu harus percaya.”Hazel menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. “Aku tahu, Jonathan. Tapi Ibu? Bagaimana dengan Carl? Aku tidak bisa berhenti memikirkan mereka. Bagaimana nasib mereka setelah kita pergi?”Jonathan menghela napas panjang, mencoba meredam kekhawatirannya sendiri. “Hazel, ibumu dan Carl kuat. Kita harus percaya mereka selamat. Kita sudah melakukan y
Sinar matahari perlahan mulai menembus celah-celah pepohonan, menyinari hutan yang baru saja mereka tinggalkan. Di puncak bukit kecil, Jonathan dan Hazel berdiri terdiam, menatap perbatasan kota yang akhirnya mereka capai setelah pelarian panjang dan berbahaya.Meski matahari menghangatkan kulit mereka, hati keduanya masih diselimuti kecemasan. Pikiran Hazel terus terbayang pada nasib Carl dan Amy, yang terjebak dalam arus sungai yang deras."Jonathan," suara Hazel terdengar bergetar, "bagaimana kalau mereka tidak berhasil keluar dari sungai?"Jonathan menoleh, menatap Hazel dengan penuh kelembutan. Dia tahu betul betapa besar kekhawatiran gadis itu. Meski mereka telah selamat, perasaan bersalah karena meninggalkan Carl dan Amy menghantui mereka berdua."Hazel," suara Jonathan tenang, tegas, "Carl dan ibumu adalah orang-orang yang tangguh. Kalau ada yang bisa bertahan, itu pasti mereka."Hazel menatapnya dengan air mata yang menggenang, tetapi tetap ada ketakutan yang dalam di matanya
Dari balik pepohonan, muncul sosok yang familiar. "Carl?" kata Jonathan dengan kaget.Carl tersenyum lega. "Syukurlah aku menemukan kalian."Hazel berdiri. "Bagaimana bisa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya di rumah?"Carl menggeleng. "Setelah memastikan mereka pergi, aku menyusul kalian. Aku tahu kalian akan menuju hutan."Jonathan menatapnya dengan serius. "Apakah kamu diikuti?"Carl mengangkat tangan. "Tenang, aku memastikan tidak ada yang mengikutiku, Tuan."Hazel menghela napas. "Apa rencanamu sekarang, Carl?"Carl menatap keduanya. "Ada jalur rahasia di hutan ini yang akan membawa kalian keluar dari kota tanpa terdeteksi."Jonathan mengerutkan kening. "Kenapa kamu tidak memberitahu kami sejak awal?"Carl tersenyum tipis. "Tidak ada waktu tadi. Lagipula, aku harus memastikan jalurnya aman, Tuan."Hazel memegang tangan Carl. "Terima kasih. Kamu telah melakukan banyak untuk kami."Carl mengangguk. "Ayo, kita harus bergerak sebelum fajar."Mereka bertiga melanjutkan perjalanan,