Jonathan melangkah keluar dari ruangan yang hangat, di mana percakapan dengan ayahnya dan calon ayah mertua masih bergema di telinga. Cahaya malam yang remang-remang menyambutnya, menambah beban pikiran yang sudah berat. Langkahnya terhenti ketika suara Natasya memecah kesunyian."Tuan Parker, tunggu sebentar," seru Natasya, suaranya lembut namun penuh harap.Jonathan berbalik, menatap wajah Natasya yang terlihat bersemu dalam cahaya bulan yang menembus masuk melalui cela-cela jendela kaca besar. "Ada apa, Nyonya Collins?" tanya Jonathan, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.Natasya menatap Jonathan dengan tatapan yang dalam, seolah ingin menyelami isi hatinya. "Aku ingin kau menemaniku, hanya kita berdua malam ini, di summerhouse," katanya, suaranya hampir tidak terdengar di antara bisikan angin malam.Jonathan merasakan detak jantungnya berpacu, konflik batinnya semakin menjadi. Namun akhirnya, ia mengulurkan tangan ke arah Natasya. "Aku akan menemanimu, Nyonya Collins," kata
"Kenapa? Kenapa kau selalu dingin, Jonathan? Padahal, aku begitu mengagumimu hingga aku menjatuhkan harga diriku. Namun, sedikitpun kau tidak memandangku," lirih Natasya, wanita itu masih terduduk di atas karpet di dalam ruangan Summerhouse. Natasya berpikir, dengan dirinya meminta kepada orang tuanya untuk menjodohkan ia dan Jonathan, semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sebab, Natasya sangat tahu jika Jonathan tidak akan pernah ingin mengecewakan orang tuanya. "Mengapa aku harus kalah dengan wanita itu? Apa yang salah denganku?! Apa cantiknya Hazel? Dia hanya wanita sampah dari kalangan rendah! Apakah aku harus menyingkirkan wanita sampah itu sesuai dengan keinginan ibu?" pikir Hazel. Di dalam ruangan, dengan api yang menyala di tungku perapian, Natasya menjadi dilema dengan keputusannya. Ia ingin menyingkirkan Hazel. Namun di lain sisi, dia tidak ingin melakukan hal rendah karena ia harus kalah bersaing. Natasya menggeleng kepalanya kasar, ia mencoba mengusir pikiran jahatnya
"Walaupun aku mabuk, aku tidak salah mendengar apa yang aku dengar 'kan? Bagaimana bisa atasanku memikirkan hal semacam ini? Dia... Seperti mempunyai dua sisi yang berbeda," gumam Hazel mendengar permintaan di luar nalar atasannya itu.Hazel berusaha mengangkat kepala yang terasa amat berat. Merasa jika beban Ultraman mungkin sudah pindah ke kepalanya, ia menatap Jonathan dengan tatapan sayu. "T-tuan, kamu sedang tidak bercanda 'kan? Bagaimana bisa kita bercinta dengan keadaan tangan saya di borgol seperti ini? Ini bukan film-film yang sering saya tonton, Tuan," kata Hazel dengan suara serak. Dengan atasan tubuh yang terbuka, Jonathan mengangkat alisnya. "Apakah setiap ucapanku kau anggap lelucon? Aku ingin merasakan sensasi yang berbeda." Jonathan mulai melangkah, pria itu naik ke atas ranjang. "Aaakkhh ...!" Hazel menjerit, tatkala Jonathan yang sudah berdiri di belakang tubuh Hazel, menarik rambut wanita itu ke belakang."Kau memiliki tubuh yang bagus Hazel. Jadi jangan pernah m
"Dimana Jonathan? Kenapa anak itu belum juga hadir?" tanya Nyonya Catalina. Semua orang sudah siap di meja makan. Hari ini, mereka semua akan pergi ke Villa untuk berburu. Dari semua orang yang hadir, hanya Jonathan dan Hazel yang belum tiba. Edward yang masih kesal dengan kejadian semalam pun angkat bicara. "Bibi Catalina, sebaiknya, Bibi tegur penerusmu itu. Dia begitu tidak sopan!" Semua mata orang-orang yang duduk di meja makan mengalihkan pandangan mereka kepada Edward. Alis nyonya Catalina mengerut. "Apa maksud? Kamu tidak sedang kesal dengan Jonathan, kan?" Wajah Edward kecut, seakan ingin memarahi bibinya. "Bi, Jonathan semalam membawa kabur calon istriku saat kami sedang kencan," kata Edward. Mendengar penuturan Edward, dada Natasya seketika bergemuruh. Hatinya begitu sakit. 'Wanita rendahan itu... Apa yang dilihat oleh Jonathan pada wanita itu? Sepertinya, semakin lama aku membiarkan, mereka berdua semakin lancang. Jadi, semalam itu karena wanita itu Jonatha meninggalk
"Amy, apakah kau berada di dalam rumah?" Teriak bibi Clara sambil mengetuk pintu kayu lusuh yang telah pudar warnanya. Beberapa saat wanita itu menunggu, akhirnya, pintu di hadapannya pun terbuka. Amy, sudah berdiri di ambang pintu. "Adik Ipar, silahkan masuk." ajak Amy mempersilahkan dengan sopan. Bibi Clara mengibaskan tangannya di wajah. "Hah, aku tidak lama. Aku datang kemari hanya ingin memberikan ini." biji Clara menyodorkan sebuah map kepada Amy. Dengan dahi mengernyit, Amy menerima map tersebut. "Apa ini?" tanyanya. "Baca dan segera tanda tangan. Cepat! Aku tidak bisa menunggu lama-lama," ujar bibi Clara. Wanita itu tampak tidak nyaman berada di rumah yang menurutnya begitu kumuh. "Aku baca dulu—""Itu untuk wali sebagai proses pernikahan Hazel yang sedang aku urus. Jadi segera tandatangani. Kau juga sudah setuju jika Hazel menikah dengan tuan Edward. Karena ini adalah wasiat dari mendiang suamimu karena keluarga Bennett, sudah melakukan perjanjian dengan keluarga Gradis
"Ya, halo! Apakah sudah ada kepastian?" tanya Edward. Edward yang hendak menyusul Hazel ke tempat wanita itu mengantarkan minuman harus dikagetkan dengan dering ponselnya, pria itu dengan cepat mengangkat. "Tuan Edward, tanda tangan wali sudah aku dapatkan. Kemungkinan, pernikahan anda dan Hazel akan segera dipercepat." lapor bibi Clara dari seberang telepon. Bibir Edward tersenyum tipis. Ia tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Jonathan setelah mengetahui jika wanitanya akan dirinya rampas. "Baik. Terima kasih, Nyonya Clara," jawab Edward dengan rasa puas. Setelah itu, panggilan pun berakhir. Edward bergegas menuju ke tempat dimana Hazel berada. Ia sudah berniat jika dirinya tidak akan membiarkan Jonathan mengambil kesempatan untuk dekat dengan wanita kacamata itu. ***Di halaman belakang, Hazel dengan tubuh gemetar memegang dua botol kaca di tangan kiri—kanan. Kedua tangannya terasa dingin dan berat, seolah botol yang ia pegang itu mengandung seluruh nasibnya. 'Ini permi
Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Jonathan. Dengan pipi yang terhuyung ke samping kiri, Jonathan tidak memberikan beraksi apa-apa. Hanya kedua tangannya yang terkepal dengan wajah tampak dingin tanpa ekspresi. "Jonathan, apa kau memang sudah tidak waras? Katakan pada Ayah yang sebenarnya. Kau... Kau memiliki hubungan apa dengan sekertarismu, huh?!" pekik tuan Lucas. Emosinya meledak. "Aku sudah mengikuti perintah Ayah. Menikah dengan keluarga Collins. Lantas, apalagi yang harus aku lakukan?" sahut Jonathan, dingin. Tuan Lucas menggertakan gigi ketika mendengar jawaban putra semata wayangnya itu. Bagaimana bisa, wajah putranya begitu datar, seakan Jonathan tidak memiliki rasa bersalah. Dengan emosi, tuan Lucas meraih sebuah asbak yang tergeletak di atas meja kerjanya. "Plak!" asbak itu melayang di wajah Jonathan, mengenai pelipis kanan hingga mengeluarkan darah. Jonathan merasakan deru nafasnya yang memburu, namun ia tetap berdiri tegak, tak bergeming."Kau pikir pernikah
Jonathan duduk di gudang di mana senapan-senapan untuk berburu di simpan di sana. Pria itu berniat ingin mengajak Hazel pergi dari villa untuk memenangkan diri."Jonathan, apa kau tidak ingin menyerah saja? Ya, agar semuanya kembali kondusif." Ucapan yang datang dari Peter seperti angin. Keputusannya sudah bulat untuk mempertahankan Hazel. Jika dirinya harus meninggalkan kekuasaan ini, ia tentu akan melakukannya demi mendapatkan apa arti kenyamanan hidup bagi dirinya. "Peter, percuma kamu menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Apakah kau lupa kata pepatah? 'Hal sia-sia akan engkau dapatkan jika kamu menasehati orang yang sedang jatuh cinta dan orang gila'. Jadi, menurutmu, sang pewaris ini akan mendengarkanmu?" kali ini, Hubert yang berbicara. Peter mengendikan bahunya acuh. "Hmm... Aku hanya tidak ingin jika usaha dan pencapaian sia-sia hanya karena seorang wanita. Lihatlah Natasya, bukankah dia Jauh lebih cantik—" ucapan Peter spontan terhenti.Jonathan, menodongkan moncong se