"Walaupun aku mabuk, aku tidak salah mendengar apa yang aku dengar 'kan? Bagaimana bisa atasanku memikirkan hal semacam ini? Dia... Seperti mempunyai dua sisi yang berbeda," gumam Hazel mendengar permintaan di luar nalar atasannya itu.Hazel berusaha mengangkat kepala yang terasa amat berat. Merasa jika beban Ultraman mungkin sudah pindah ke kepalanya, ia menatap Jonathan dengan tatapan sayu. "T-tuan, kamu sedang tidak bercanda 'kan? Bagaimana bisa kita bercinta dengan keadaan tangan saya di borgol seperti ini? Ini bukan film-film yang sering saya tonton, Tuan," kata Hazel dengan suara serak. Dengan atasan tubuh yang terbuka, Jonathan mengangkat alisnya. "Apakah setiap ucapanku kau anggap lelucon? Aku ingin merasakan sensasi yang berbeda." Jonathan mulai melangkah, pria itu naik ke atas ranjang. "Aaakkhh ...!" Hazel menjerit, tatkala Jonathan yang sudah berdiri di belakang tubuh Hazel, menarik rambut wanita itu ke belakang."Kau memiliki tubuh yang bagus Hazel. Jadi jangan pernah m
"Dimana Jonathan? Kenapa anak itu belum juga hadir?" tanya Nyonya Catalina. Semua orang sudah siap di meja makan. Hari ini, mereka semua akan pergi ke Villa untuk berburu. Dari semua orang yang hadir, hanya Jonathan dan Hazel yang belum tiba. Edward yang masih kesal dengan kejadian semalam pun angkat bicara. "Bibi Catalina, sebaiknya, Bibi tegur penerusmu itu. Dia begitu tidak sopan!" Semua mata orang-orang yang duduk di meja makan mengalihkan pandangan mereka kepada Edward. Alis nyonya Catalina mengerut. "Apa maksud? Kamu tidak sedang kesal dengan Jonathan, kan?" Wajah Edward kecut, seakan ingin memarahi bibinya. "Bi, Jonathan semalam membawa kabur calon istriku saat kami sedang kencan," kata Edward. Mendengar penuturan Edward, dada Natasya seketika bergemuruh. Hatinya begitu sakit. 'Wanita rendahan itu... Apa yang dilihat oleh Jonathan pada wanita itu? Sepertinya, semakin lama aku membiarkan, mereka berdua semakin lancang. Jadi, semalam itu karena wanita itu Jonatha meninggalk
"Amy, apakah kau berada di dalam rumah?" Teriak bibi Clara sambil mengetuk pintu kayu lusuh yang telah pudar warnanya. Beberapa saat wanita itu menunggu, akhirnya, pintu di hadapannya pun terbuka. Amy, sudah berdiri di ambang pintu. "Adik Ipar, silahkan masuk." ajak Amy mempersilahkan dengan sopan. Bibi Clara mengibaskan tangannya di wajah. "Hah, aku tidak lama. Aku datang kemari hanya ingin memberikan ini." biji Clara menyodorkan sebuah map kepada Amy. Dengan dahi mengernyit, Amy menerima map tersebut. "Apa ini?" tanyanya. "Baca dan segera tanda tangan. Cepat! Aku tidak bisa menunggu lama-lama," ujar bibi Clara. Wanita itu tampak tidak nyaman berada di rumah yang menurutnya begitu kumuh. "Aku baca dulu—""Itu untuk wali sebagai proses pernikahan Hazel yang sedang aku urus. Jadi segera tandatangani. Kau juga sudah setuju jika Hazel menikah dengan tuan Edward. Karena ini adalah wasiat dari mendiang suamimu karena keluarga Bennett, sudah melakukan perjanjian dengan keluarga Gradis
"Ya, halo! Apakah sudah ada kepastian?" tanya Edward. Edward yang hendak menyusul Hazel ke tempat wanita itu mengantarkan minuman harus dikagetkan dengan dering ponselnya, pria itu dengan cepat mengangkat. "Tuan Edward, tanda tangan wali sudah aku dapatkan. Kemungkinan, pernikahan anda dan Hazel akan segera dipercepat." lapor bibi Clara dari seberang telepon. Bibir Edward tersenyum tipis. Ia tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Jonathan setelah mengetahui jika wanitanya akan dirinya rampas. "Baik. Terima kasih, Nyonya Clara," jawab Edward dengan rasa puas. Setelah itu, panggilan pun berakhir. Edward bergegas menuju ke tempat dimana Hazel berada. Ia sudah berniat jika dirinya tidak akan membiarkan Jonathan mengambil kesempatan untuk dekat dengan wanita kacamata itu. ***Di halaman belakang, Hazel dengan tubuh gemetar memegang dua botol kaca di tangan kiri—kanan. Kedua tangannya terasa dingin dan berat, seolah botol yang ia pegang itu mengandung seluruh nasibnya. 'Ini permi
Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Jonathan. Dengan pipi yang terhuyung ke samping kiri, Jonathan tidak memberikan beraksi apa-apa. Hanya kedua tangannya yang terkepal dengan wajah tampak dingin tanpa ekspresi. "Jonathan, apa kau memang sudah tidak waras? Katakan pada Ayah yang sebenarnya. Kau... Kau memiliki hubungan apa dengan sekertarismu, huh?!" pekik tuan Lucas. Emosinya meledak. "Aku sudah mengikuti perintah Ayah. Menikah dengan keluarga Collins. Lantas, apalagi yang harus aku lakukan?" sahut Jonathan, dingin. Tuan Lucas menggertakan gigi ketika mendengar jawaban putra semata wayangnya itu. Bagaimana bisa, wajah putranya begitu datar, seakan Jonathan tidak memiliki rasa bersalah. Dengan emosi, tuan Lucas meraih sebuah asbak yang tergeletak di atas meja kerjanya. "Plak!" asbak itu melayang di wajah Jonathan, mengenai pelipis kanan hingga mengeluarkan darah. Jonathan merasakan deru nafasnya yang memburu, namun ia tetap berdiri tegak, tak bergeming."Kau pikir pernikah
Jonathan duduk di gudang di mana senapan-senapan untuk berburu di simpan di sana. Pria itu berniat ingin mengajak Hazel pergi dari villa untuk memenangkan diri."Jonathan, apa kau tidak ingin menyerah saja? Ya, agar semuanya kembali kondusif." Ucapan yang datang dari Peter seperti angin. Keputusannya sudah bulat untuk mempertahankan Hazel. Jika dirinya harus meninggalkan kekuasaan ini, ia tentu akan melakukannya demi mendapatkan apa arti kenyamanan hidup bagi dirinya. "Peter, percuma kamu menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Apakah kau lupa kata pepatah? 'Hal sia-sia akan engkau dapatkan jika kamu menasehati orang yang sedang jatuh cinta dan orang gila'. Jadi, menurutmu, sang pewaris ini akan mendengarkanmu?" kali ini, Hubert yang berbicara. Peter mengendikan bahunya acuh. "Hmm... Aku hanya tidak ingin jika usaha dan pencapaian sia-sia hanya karena seorang wanita. Lihatlah Natasya, bukankah dia Jauh lebih cantik—" ucapan Peter spontan terhenti.Jonathan, menodongkan moncong se
"Nomor yang anda tuju tidak menjawab." Mike menghembuskan nafas berat. Untuk kesekian kali, nomor telpon seluler yang Mike hubungi tidak ada jawaban. Pria yang baru pulang bekerja itu kini sedang merebahkan tubuhnya sambil menatap langit-langit pada kamarnya yang temaram. "Kemana Hazel? Apakah dia baik-baik saja? Dua hari ini, kenapa dia tidak masuk kantor dan juga, nomornya tidak dapat dihubungi." pikir Mike bertanya-tanya. Mike adalah pria yang hanya tinggal sendiri di rumahnya. Sementara orang tuanya bekerja di luar kota dan dua adiknya juga ikut bersama orang tuanya. Rumah yang di tempati Mike adalah rumah warisan. Karena tidak ada yang mengurus dan dirinya besar di rumah tersebut, Mike memutuskan untuk menempatinya. "Apa aku ke rumahnya? Sudah lama juga aku tidak berkunjung. Sekalian membawa buah tangan untuk tante Amy," kata Mike, pria itu segera bangkit, turun dari ranjang dan melangkah ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum ia berangkat. ***Di Villa, Jonatha
Bugh! Satu tendangan Jonathan layangkan di perut Carl. Jonathan begitu marah saat asistennya itu tidak dapat mengawasi Hazel dengan baik. "Apa saja yang kau lakukan, hah?! Di mana Hazel?!" bentak Jonathan murka. Carl memegangi perutnya yang terasa sakit luar biasa ketika mendapatkan tendangan dari atasannya itu. "T-Tuan, maafkan saya. Tadi, tuan besar memintaku untuk menyiapkan berbagai perlengkapan kemah dan kuda. Jadi, saya langsung pergi ke gudang untuk mengambilnya. Saya sudah menugaskan beberapa orang untuk mengawasi nona Hazel selama saya pergi, tapi sepertinya mereka tidak bisa mengikuti dengan baik. Tuan, maafkan saya," jelas Carl sambil terus memegangi perutnya.Jonathan menghela napas panjang sambil memperhatikan Carl yang terlihat sangat menyesal. "Baiklah, ini kali terakhir kau membuat kesalahan semacam ini, Carl. Aku tidak ingin Hazel terluka atau terancam oleh siapa pun," ujar Jonathan dengan nada tegas."B-baik, Tuan. Tapi, tadi saya sempat melihat jika nona Hazel s