Pertama kali Abizar tegas pada dirinya sendiri, enam bulan setelah Mawar bekerja di rumah ini. Kali ini Abizar tidak akan berbohong, Mawar adalah kelemahannya. Wanita yang membuatnya tergantung dan berharap Mawar ikut bergantungan. Mawar yang saat itu tertidur, tangan kiri Abizar yang lancang mengusap rambut dan pipinya. Saat itu juga Abizar mulai memberi konsekuensi pada diri sendiri. Dia mengambil segelas air panas dan menyiram telapak tangannya sendiri, rasa sakitnya sama dengan rasa perih saat mencekram bara api. Tapi bagi Abizar, ini lebih baik untuknya. Meskipun, jika Mawar sedekat ini, Abizar mustahil tidak menyentuhnya sama sekali. Selalu saja ada dorongan tersendiri untuknya menyentuh sosok figur yang membuatnya tak bisa beralih.
Untuk menjaga Mawar dari kelakuannya yang lebih dari itu, seperti pelecehan dan pemerkosaan—Abizar harus memprioritaskan harga diri dan kehormatan Mawar—satu sentuhan yang menjadi awal dari sentuhan lain akan jera saat ditemukan dengan rasa sakit. Karena sejak kecil, keluarga Abizar sudah menegaskan tanggung jawab dan rasa sakit kepada lelaki itu.
Lamunan Abizar buyar saat ponselnya memekik kencang. Lelaki itu meringis, tidak sadar mengambil ponsel dengan tangan kirinya yang terluka. Abizar menggantinya dengan tangan kanan, lalu menerima sambungan telepon, setelah mengecek siapa yang menelpon raut wajah Abizar langsung berubah.
“Assalamualaikum.”
Salam itu Abizar abaikan sejenak, lalu bibirnya menjawab dingin. “Walaikumsalam.”
“Ya Abizar, kudengar Ulfa sudah keluar dari rumahmu? Masa iddahnya sudah selesai, kamu benar-benar tidak berniat merujuknya ternyata.”
Abizar hanya diam.
“Kau tahu, Abi sangat marah, dia masih begitu kecewa padamu. Beliau belum mendatangimu karena berpikir kecantikan Ulfa akan memutar otakmu dan kamu pasti akan merujuk Ulfa lagi. Ternyata, sama saja seperti sebelum-sebelumnya, kamu tidak bisa diharapkan.”
Abizar masih diam. Pandangannya dingin, bibirnya enggan berkutik.
“Hei, padahal Ulfa adalah wanita tercantik yang pernah kulihat, seharusnya begitu pula di matamu. Kupikir, Ulfa akan membuatmu berhenti pada kebiasaanmu yang tidak berprikemanusiaan itu.”
“Kalau begitu, kamu saja yang menikahinya.”
“Bisa saja, tapi istriku sudah empat, aku tidak bisa menambahnya kecuali menceraikan salah satunya.”
Abizar adalah satu-satunya anak dari ayahnya yang asli Arab Saudi dengan istri pertamanya yang berdarah Jawa yang sudah meninggal. Abizar memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menetap di tanah kelahiran ibunya agar berdekatan dengan makam sang Ibu, yang sejak Abizar berusia satu tahun sudah bercerai dari ayahnya.
Alasan perceraian orang tuanya tidak jauh-jauh dari yang Akmal bahas barusan, wanita seharusnya memiliki prinsip, lebih baik berpisah dari pada diduakan. Abizar bangga dengan keputusan ibunya, sekalipun dia bukan tipe yang begitu menghargai wanita, dilihat dari kelakuannya selama ini. Tapi menyakiti wanita yang diakui dicintai, selalu terdengar aneh di telinga atau kata lainnya, bohong. Dulu, ayahnya selalu bilang mencintai ibunya, sehingga itulah Abizar berhenti memercayai apapun yang ayahnya katakan tentang cinta, perasaan dan keluarga.
“Jika kamu tidak puas dengan Ulfa, kamu tidak usah menceraikannya. Kamu bisa mencari wanita kedua, ketiga dan keempat. Pikiranmu sangat buntung dan dangkal.”
Abizar mengetatkan rahang, “bahasanmu tidak perlu, akan kututup.”
“Sebenarnya ada berita penting yang ingin kusampaikan, yang tadi hanya basa-basi. Abi akan mencarikan wanita lain untukmu, dia tidak akan berhenti sampai kamu bertahan pada satu wanita—atau lebih. Jangan kecewakan keputusan kami, Abizar. Keluarga kita sangat mengharapkanmu.”
“Atau jangan-jangan, ada wanita lain yang kamu inginkan …?”
Abizar diam. Jika ditanya, jawabannya; ada. Tapi jika menikahinya, apakah Abizar bisa menjamin dapat menjaganya? Jika sudah memiliki, Abizar tidak mau menyakiti. Tapi jika wanita itu menjadi miliknya, kemungkinan terbesar dia akan membuat wanita itu terluka, sama persis seperti ibunya. Wanita jawa yang tersesat di negeri gurun, lalu pulang dengan luka. Abizar tidak mau, wanitanya bernasib seperti itu.
“Kamu boleh menikah dengan siapapun, dari kasta manapun, negeri manapun, jadi jika kamu memang punya wanita pilihan, silahkan—”
“Aku tahu.”
Abizar memotong dan melanjutkan. “Bahkan, jika aku menikahi pengemis kalian akan mengijinkannya. Tapi … aku tidak mau membuat dia terjebak oleh budaya keluarga kita. Setelah kunikahi, saat dia berpikir menjadi satu-satunya wanita yang bersanding di sebelahku, malah keluargaku sendiri yang secara bergantian menawarkan wanita kedua, ketiga dan keempat untukku, di depan istriku langsung. Sekalipun aku menolaknya, kalian yang terus berusaha meyakinkan pasti akan membuat istriku meragukan kesetiaanku. Apalagi, sebenarnya kalian bukan menawarkan, tapi memaksa. Bukan hanya itu, keluarga kita jauh dari kesetaraan gender. Lekat dengan patriaki, pengekangan dan semacamnya. Sekalipun aku memiliki wanita pilihan, sekalipun aku sangat ingin menikahinya, tapi aku tidak mau dia merasakannya—merasakan apa yang tidak pernah dia rasakan, disakiti padahal dia bisa memilih pria lain yang tidak akan menyakiti dengan cara terkejam—diduakan—terkekang padahal banyak lelaki lain yang memberikannya kebebasan, tidak adanya kesetaraan gender padahal banyak lelaki lain yang menganggap peran wanita dan lelaki itu sama pentingnya.”
Akmal kehilangan kata-kata, kalimat panjang-lebar Abizar menyadarkannya. Saudaranya ada benarnya.
“Padanya, aku sangat ingin menawarkan pernikahan. Tapi aku tahu, apa yang kutawarkan sama saja menawarkan sebongkah bara api yang harus digenggamnya seerat mungkin. Jadi, aku hanya bisa menjebaknya di rumah ini. Tidak bisa menikahinya, tapi tidak akan membiarkannya pergi.”
TV itu sengaja dinyalakan. Abizar yang merasa sepi, hanya ingin suara pembawa berita menemani kesepiannya sambil menggores-gores isi dokumen. Awalnya Abizar fokus dan serius, hingga tayangan televisi berganti. Menjadi acara musik. Suara gitar dan piano beradu, diikut-sertakan dengan nyanyian yang menggelora. Awalnya Abizar berhasil menahan tangannya yang gatal, bibirnya yag bergetar dan telinganya yang memanas. Tapi seperti hilang akal dan kesadaran diri, Abizar melempar sesuatu ke arah layar televisi. Benda itu rusak, suara yang menggema keluar darinya sudah tidak terdengar.Abizar bisa merasakan kemarahannya reda saat suara itu menghilang, napasnya mulai terhembus beraturan. Kembali dijatuhkannya diri ke atas kursi. Seleranya untuk bekerja mendadak hilang, saat serpihan televisi kini telah mengotori lantainya, ruangannya kembali menjadi seperti sediakala—hancur berantakan.Abizar hanya bisa menggusar rambut, berusaha menghilangan gemaan suara music yang terbaya
“Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?” Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, “baiklah, terserah kamu saja.”Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja. “Makanlah,” suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut. Tu
Aku mengenali sosok yang datang yang wajahnya menyerupai Tuan Abizar. Kalau tidak salah, namanya Tuan Akmal. Adiknya Tuan Abizar, yang sesekali datang ke Indonesia, tapi dia menetap di Arab Saudi. Dia datang pagi-pagi ke rumah Tuan Abizar, sepertinya mendarat di Indonesia kemaren dan semalam menginap di hotel. Tuan Abizar baru saja hendak keluar dari rumah untuk berangkat bekerja, mengabaikan kehadiran adiknya begitu saja, aku lihat Tuan Akmal mengejar langkah Tuan Abizar lalu menahan lengannya. “Jangan ganggu aku,” Tuan Abizar berkata sinis. “Abizar, ayolah ikut aku sekarang juga. Pukul 08.00 kita berangkat ke Arab Saudi, Abi ingin mengenalkanmu dengan seorang wanita dari keluarga terhormat, barang kali kamu berubah pikiran kali ini.” &ldqu
“Ashya mungkin tersiksa selama ini semenjak kamu mencari istri kedua, ketiga dan keselanjutnya.” Saat Tuan Abizar menyebut nama itu, raut wajah Tuan Akmal berubah. Semakin gelap, bahunya gemetar.“Salah satu hal yang tidak betah membuatku berkunjung ke Arab Saudi, karena terlalu sering melihat istri-istri tua kalian menangisi kalian. Rumah yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah menjadi penjara hati setiap wanita. Aku bukan tipe lelaki yang begitu menghargai perempuan, kamu tahu itu setelah mendapati kelakuanku selama ini. Tapi yang tidak pas di hatiku, kenapa para wanita kalian harus menahan diri, bersabar dan ikhlas, sedangkan kalian tidak dituntut hal yang serupa?”“Jangan ungkit nama Ashya, jika membahas ini denganku.”“Harus, karena Ashya adalah wanita yang sudah menemanimu selama lima tahun, penuh kesabaran, menahan diri dan keikhlasan saat kamu kehilangan kepercayaan dari Abi, perusahaanmu yang
“Abizar benar ….” Tuan Akmal bersuara. Aku mengambil posisi duduk, tidak mungkin duduk di sofa yang sama dengannya, kujatuhkan diri ke lantai dan melipat kaki di atas sana.“Di rumah kami memang penuh dengan tangis wanita, yang selalu kami anggap tidak ada—pasti kamu menguping pembicaraan kami sebelumnya. Istri-istri ayahku, saudara-saudaraku dan istri-istriku. Awalnya aku kurang perduli, kupikir kewajaran jika mereka merasakan hal itu, mereka cuma harus menahannya. Istri keduaku yang menangis saat kubawakan istri ketiga dan istri ketigaku yang menangis saat kubawakan istri keempat.”Aku memasang telinga, mendengarkan dengan seksama.“Berbeda dengan istri-istri pertama saudara-saudaraku yang lain, aku tidak pernah mendapati Ashya menangis seperti yang mereka lakukan. Kukira aku tidak menyakitinya. Kukira dia memahamiku. Kukira dia tahu betul, sebanyak apapun wanita di rumah kami, tetap Ashya yang paling kucintai.
Tuan Abizar menatapku dingin, lalu menghela napas. Senyumnya kecut, “ya. Aku tidak bisa merasakan enak, asin, pahit, manis atau tidak enaknya sebuah makanan. Makanya kubilang, selain karena kamu aku tidak memiliki alasan untuk makan. Memasukkan makanan tanpa rasa ke mulutku hanya untuk mengganjal perut, amat membosankan untukku. Seperti roti ini,” Tuan Abizar memperlihatkan roti asinku. Lalu memasukkannya ke dalam mulut setengahnya. “Sama sekali tak ada rasanya di mulutku. Tapi aku semangat memakannya, jika aku bisa membaginya denganmu.” Tangannya memberikanku sisa roti yang dia kunyah. Aku berkaca-kaca, menerimanya lalu memasukkannya ke dalam mulut.“Terimakasih, Tuan ….”“Sudahlah, seharusnya aku yang bilang begitu.” Tampik beliau sambil membuka bungkus roti yang baru.“Untuk wanita baru yang akan dinikahkan dengan Tuan apakah Tuan benar-benar akan menolaknya lagi?”Tuan Abizar men
Tuan Abizar hanya bisa mematung di tempat saat sebuah mobil panjang yang berkilat indah berhenti di halaman depan rumahnya. Seorang lelaki yang mirip dengannya menurunkan diri dari kendaraan tersebut, aku bisa menyaksikan kegugupan Tuan Abizar membuatku ikut menelan ludah.Lelaki dengan wajah penuh kerutan akibat penuaan, melangkah mendekat lalu … PLAK! Aku spontan terdorong ke belakang. Tuan Abizar ditampar telak oleh ayahnya. Tuan Abizar diam, pipinya kelu. PLAK! Tamparan kedua, membuatku meringis ngilu. Kasihan kepada Tuan Abizar yang bahkan tidak bisa berkutik. Baru saja hendak melayangkan tamparan ketiga, Tuan Abizar menyela. “Makam ibu … apakah Abi tidak mau menziarahinya?” Benar saja, ayahnya berhenti memberikan pelajaran. Tangannya jatuh ke samping paha, ayahnya Tuan Abizar seperti menahan perih dan rasa sakit.&nbs
Tuan Omar seperti hendak menghajarnya, tapi selalu menjunjung tata-krama sehingga itulah selagi tamunya masih ada, Tuan Omar tidak akan marah sekarang, tapi mungkin nanti. “Terlebih Anda, Nona ….” Tuan Abizar menatap Layla. “Kembalilah ke Arab Saudi, jangan dambakan saya.” “Abizar!” Tuan Omar yang kehilangan kendali membentak, “apa-apaan? Mana sopan-santunmu?” “Saya sudah menjunjung tinggi tingkat kesantunan saya, Abi.” Tuan Abizar berkata rendah, sikap yang tidak pernah kulihat selama ini. Satu ruangan mulai riuh, terlebih saat Layla ikut menurunkan diri dari sofa. Meniru Tuan Abizar wanita itu duduk di lantai, berhadapan dengan Tuan Abizar yang menundukkan kepala. Aku tahu isi hatinya berbeda dari