TV itu sengaja dinyalakan. Abizar yang merasa sepi, hanya ingin suara pembawa berita menemani kesepiannya sambil menggores-gores isi dokumen. Awalnya Abizar fokus dan serius, hingga tayangan televisi berganti. Menjadi acara musik. Suara gitar dan piano beradu, diikut-sertakan dengan nyanyian yang menggelora. Awalnya Abizar berhasil menahan tangannya yang gatal, bibirnya yag bergetar dan telinganya yang memanas. Tapi seperti hilang akal dan kesadaran diri, Abizar melempar sesuatu ke arah layar televisi. Benda itu rusak, suara yang menggema keluar darinya sudah tidak terdengar.
Abizar bisa merasakan kemarahannya reda saat suara itu menghilang, napasnya mulai terhembus beraturan. Kembali dijatuhkannya diri ke atas kursi. Seleranya untuk bekerja mendadak hilang, saat serpihan televisi kini telah mengotori lantainya, ruangannya kembali menjadi seperti sediakala—hancur berantakan.
Abizar hanya bisa menggusar rambut, berusaha menghilangan gemaan suara music yang terbayang di kepalanya seakan masih terdengar sekalipun suara itu sudah hilang.
Abizar benci music, saat semua orang tidak bisa hidup tanpa music Abizar tidak bisa hidup jika adanya music.
Dari suara dentingannya, alunan musik bermain, suara nyanyian wanita atau lelaki yang beradu merdu … perpaduan itu membuat kepala Abizar kacau. Dia akan menggeram dan tangannya tidak tahan untuk menghancurkan sumber musik itu berasal. Rasanya ingin merobek mulut wanita yang membuai dari nyanyiannya atau menjahit mulut lelaki yang mengimbangi kalimat dengan permainan musiknya.
Sehingga itulah ketika bicara, Abizar selalu menggunakan nada datar yang tak bernada. Lawan bicaranya juga harus mengimbangi caranya bicara, sama datarnya dan tak ada unsur-unsur kemerduaan.
Saat Tuhan mencintai keindahan, Abizar benci keindahan.
Abizar mengeluarkan diri dari ruangan dan mencari udara segar di balkon. Ada Mawar di halaman bawah, menggenggam sapu dalam dekapan untuk mengumpulkan dedaunan kering yang menghiasi halaman rerumputan, tubuh perempuan itu berputar, bernyanyi, menggerakkan tubuh seadanya, mengikuti instrumen musik yang dia dengarkan.
Saat Abizar benci music dan nyanyian, tapi Abizar menyukai nyanyian wanita itu, sekalipun asal.
Saat Abizar tidak suka mendengar suara merdu orang lain, hanya suara Mawar yang harus terdengar indah di telinganya. Saat Mawar bicara dengan suara halusnya, kadang Abizar memejamkan mata, menikmatinya, seakan mendengarkan music.
Abizar benci music, tapi bagi Abizar nyanyian dan suara Mawar yang bahkan tidak bernada adalah music terbaik. Dia bisa menghayatinya, memasukkannya ke dalam hati dan menenangkan diri. Berbeda dari music dan nyanyian orang lain, kepala Abizar akan kacau, seperti berputar dan tidak tahan untuk menghancurkan sumber music itu.
Abizar benci keindahan. Tapi dia akan menyukainya, jika keindahan itu adalah Mawar, wanitanya.
Abizar kembali masuk saat Mawar berhenti berputar dan bernyanyi, wanita itu menatapnya bingung dari bawah. Lalu Abizar kembali mendengarkan dari balik dinding, saat Mawar kembali menyetel lagu, memasang earphone dan mengikuti apa yang dia dengar.
>><<
POV Mawar
Saat menyapu halaman, kepalaku mendongak ke arah balkon lantai tiga. Tuan Abizar ada di sana, dari atas beliau memerhatikanku yang sibuk mengumpulkan sampah. Aku menghadang cahaya matahari yang menerpa wajahku dengan punggung tangan, balik menatap beliau dari jauh, kulihat lagi-lagi sebelah tangan beliau dibalut perban, entah terluka karena apa lagi dia. Saat balik kupandangi, beliau membuang muka lalu pergi.
Bibirku mengerucut, menyetel lagu dan memasang kembali dengan benar kedua pentol earphone ke lubang telingaku.
Tiga puluh menit aku mengundur waktu di halaman, masih sambil memeluk ganggang sapu tubuhku berputar, dengan sedikit gerakan aneh berjalan tidak jelas masuk ke dalam rumah. Bibirku terkatup saat mendapati Tuan Abizar berdiri di anak tangga lantai satu, beliau memandangiku tajam lalu bertanya. “Sudah? Dari jam sembilan, nyapu halaman saja tidak kelar-kelar.”
Kepalaku mengangguk, “sudah, Tuan.”
“Duduk,” beliau memerintah saat duduk di atas sofa, menyuruhku duduk menghadapnya. Aku menurut, naik ke atas sofa, duduk bersimpuh menghadapnya. Tuan Abizar mencabut dua earphone yang menyumbat kedua lubang telingaku, lalu memasangnya ke telinganya. “Bernyanyilah, aku ingin mendengar.” Beliau melirik mic kecil berbentuk bola yang ada di tali earphone-ku. Aku mengerjap, bingung dengan permintaannya.
Di awal aku menelan ludah, sedikit bersuara di mic kecil yang kudekatkan ke bibir. “Tes, tes.”
Dahiku mengernyit saat melihat Tuan Abizar memejamkan mata, seperti menikmati suaraku, padahal aku belum bernyanyi.
“Tes, tes.” Kuulangi dan memerhatikan Tuan Abizar lagi, matanya semakin terpejam. Begitu senang dan menikmati suaraku yang sekedar ‘tes, tes’.
Dasar aneh, sejak awal tuanku memang aneh. Sepertinya dia tidak bisa membedakan suara biasa dan nyanyian.
Aku mulai bernyanyi. Biar jelek, asalkan perintahnya terpenuhi. Aku lihat bibir tipis Tuan Abizar menyungging senyum. Astaga, padahal Tuan Abizar tidak pernah tersenyum. Entah apa yang dia nikmati, nyanyianku atau suaraku?
“Tanganmu kenapa, Tuan?” Aku bertanya, melirik tangannya yang diperban. Bukannya menjawab, tuanku malah tersenyum, semakin menikmati suaraku. Ternyata benar, dia tidak bisa membedakan mana yang nyanyian dan mana yang suara biasa. Dia seperti menikmati semuanya. “Tuan?”
Saat aku mengguncang bahunya, baru beliau tersadar. Tidak menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya. “Kok, berhenti? Suaramu habis?” Dijauhkannya kedua earphone dari telinganya, lalu menatapku. “Kamu mau makan apa hari ini?”
“Seharusnya, pertanyaannya di balik. Tuan mau makan apa hari ini? Aku ‘kan selalu makan makanan sisamu.”
“Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?” Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, “baiklah, terserah kamu saja.”Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja. “Makanlah,” suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut. Tu
Aku mengenali sosok yang datang yang wajahnya menyerupai Tuan Abizar. Kalau tidak salah, namanya Tuan Akmal. Adiknya Tuan Abizar, yang sesekali datang ke Indonesia, tapi dia menetap di Arab Saudi. Dia datang pagi-pagi ke rumah Tuan Abizar, sepertinya mendarat di Indonesia kemaren dan semalam menginap di hotel. Tuan Abizar baru saja hendak keluar dari rumah untuk berangkat bekerja, mengabaikan kehadiran adiknya begitu saja, aku lihat Tuan Akmal mengejar langkah Tuan Abizar lalu menahan lengannya. “Jangan ganggu aku,” Tuan Abizar berkata sinis. “Abizar, ayolah ikut aku sekarang juga. Pukul 08.00 kita berangkat ke Arab Saudi, Abi ingin mengenalkanmu dengan seorang wanita dari keluarga terhormat, barang kali kamu berubah pikiran kali ini.” &ldqu
“Ashya mungkin tersiksa selama ini semenjak kamu mencari istri kedua, ketiga dan keselanjutnya.” Saat Tuan Abizar menyebut nama itu, raut wajah Tuan Akmal berubah. Semakin gelap, bahunya gemetar.“Salah satu hal yang tidak betah membuatku berkunjung ke Arab Saudi, karena terlalu sering melihat istri-istri tua kalian menangisi kalian. Rumah yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah menjadi penjara hati setiap wanita. Aku bukan tipe lelaki yang begitu menghargai perempuan, kamu tahu itu setelah mendapati kelakuanku selama ini. Tapi yang tidak pas di hatiku, kenapa para wanita kalian harus menahan diri, bersabar dan ikhlas, sedangkan kalian tidak dituntut hal yang serupa?”“Jangan ungkit nama Ashya, jika membahas ini denganku.”“Harus, karena Ashya adalah wanita yang sudah menemanimu selama lima tahun, penuh kesabaran, menahan diri dan keikhlasan saat kamu kehilangan kepercayaan dari Abi, perusahaanmu yang
“Abizar benar ….” Tuan Akmal bersuara. Aku mengambil posisi duduk, tidak mungkin duduk di sofa yang sama dengannya, kujatuhkan diri ke lantai dan melipat kaki di atas sana.“Di rumah kami memang penuh dengan tangis wanita, yang selalu kami anggap tidak ada—pasti kamu menguping pembicaraan kami sebelumnya. Istri-istri ayahku, saudara-saudaraku dan istri-istriku. Awalnya aku kurang perduli, kupikir kewajaran jika mereka merasakan hal itu, mereka cuma harus menahannya. Istri keduaku yang menangis saat kubawakan istri ketiga dan istri ketigaku yang menangis saat kubawakan istri keempat.”Aku memasang telinga, mendengarkan dengan seksama.“Berbeda dengan istri-istri pertama saudara-saudaraku yang lain, aku tidak pernah mendapati Ashya menangis seperti yang mereka lakukan. Kukira aku tidak menyakitinya. Kukira dia memahamiku. Kukira dia tahu betul, sebanyak apapun wanita di rumah kami, tetap Ashya yang paling kucintai.
Tuan Abizar menatapku dingin, lalu menghela napas. Senyumnya kecut, “ya. Aku tidak bisa merasakan enak, asin, pahit, manis atau tidak enaknya sebuah makanan. Makanya kubilang, selain karena kamu aku tidak memiliki alasan untuk makan. Memasukkan makanan tanpa rasa ke mulutku hanya untuk mengganjal perut, amat membosankan untukku. Seperti roti ini,” Tuan Abizar memperlihatkan roti asinku. Lalu memasukkannya ke dalam mulut setengahnya. “Sama sekali tak ada rasanya di mulutku. Tapi aku semangat memakannya, jika aku bisa membaginya denganmu.” Tangannya memberikanku sisa roti yang dia kunyah. Aku berkaca-kaca, menerimanya lalu memasukkannya ke dalam mulut.“Terimakasih, Tuan ….”“Sudahlah, seharusnya aku yang bilang begitu.” Tampik beliau sambil membuka bungkus roti yang baru.“Untuk wanita baru yang akan dinikahkan dengan Tuan apakah Tuan benar-benar akan menolaknya lagi?”Tuan Abizar men
Tuan Abizar hanya bisa mematung di tempat saat sebuah mobil panjang yang berkilat indah berhenti di halaman depan rumahnya. Seorang lelaki yang mirip dengannya menurunkan diri dari kendaraan tersebut, aku bisa menyaksikan kegugupan Tuan Abizar membuatku ikut menelan ludah.Lelaki dengan wajah penuh kerutan akibat penuaan, melangkah mendekat lalu … PLAK! Aku spontan terdorong ke belakang. Tuan Abizar ditampar telak oleh ayahnya. Tuan Abizar diam, pipinya kelu. PLAK! Tamparan kedua, membuatku meringis ngilu. Kasihan kepada Tuan Abizar yang bahkan tidak bisa berkutik. Baru saja hendak melayangkan tamparan ketiga, Tuan Abizar menyela. “Makam ibu … apakah Abi tidak mau menziarahinya?” Benar saja, ayahnya berhenti memberikan pelajaran. Tangannya jatuh ke samping paha, ayahnya Tuan Abizar seperti menahan perih dan rasa sakit.&nbs
Tuan Omar seperti hendak menghajarnya, tapi selalu menjunjung tata-krama sehingga itulah selagi tamunya masih ada, Tuan Omar tidak akan marah sekarang, tapi mungkin nanti. “Terlebih Anda, Nona ….” Tuan Abizar menatap Layla. “Kembalilah ke Arab Saudi, jangan dambakan saya.” “Abizar!” Tuan Omar yang kehilangan kendali membentak, “apa-apaan? Mana sopan-santunmu?” “Saya sudah menjunjung tinggi tingkat kesantunan saya, Abi.” Tuan Abizar berkata rendah, sikap yang tidak pernah kulihat selama ini. Satu ruangan mulai riuh, terlebih saat Layla ikut menurunkan diri dari sofa. Meniru Tuan Abizar wanita itu duduk di lantai, berhadapan dengan Tuan Abizar yang menundukkan kepala. Aku tahu isi hatinya berbeda dari
Lelaki itu mengeluarkan diri dari ruangan. Mawar ditinggalkan sendiri, lalu diam-diam mengikuti langkah tuannya. Mulut Mawar melongo saat Abizar masuk ke dalam kamarnya, lalu mengunci diri dari dalam. “Tuan, apa yang Anda lakukan di kamar saya?” Mawar menjerit parau sambil menepuk pintu kayu.“Numpang tidur!” Abizar menyahut parau.“Anda bisa tidur di kamar pribadi Anda ‘kan?”“Nanti Abi mudah menemukanku, aku tahu dia akan marah-marah setelah pulang dari rumah sewa perempuan itu dan orang tuanya.”“Tuan—”“Lagian ini ‘kan kamarku, siapa bilang kamarmu? Karena kamu bekerja di sini, kupinjamkan untukmu.”Mawar bungkam karena disudutkan.“Ck, ck, ck. Kamarmu berantakan sekali, Mawar.”Wajah Mawar memerah malu, “saya sibuk kemaren, Tuan! Bersih-bersih seluruh rumah atas suruhan Tuan Akmal dan harus mengurusi Anda, mana ada w