“Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan
“Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata
Aku dibiarkan kelaparan, menahan sakitnya perut, tidak diizinkan untuk mengambil makananku sendiri. Sekalipun perutku berbunyi terang-terangan, dimulai dari hari pertama aku bekerja aku tidak diizinkan mengisi perut kecuali makanan sisanya yang diapun jarang sekali makan sesuatu, bukan karena tidak mampu tapi beliau tidak berselera.Beliau akan menikmati semua makanan yang terhidang mewah di atas meja, sebelumnya memberi satu perintah padaku. "Tutup mulutmu!" Untuk tidak bicara, termasuk tidak mengisi apapun ke perutku melalui mulutku. Aku hanya dipersilahkan untuk berdiri menungguinya, menelan ludah ingin, menahan ileran dari mulut, memerhatikan gerak bibirnya yang mengunyah, menatapnya penuh harap, menunggu kapan beliau selesai makan dan memberikan sisa makanannya padaku."Hapus ileranmu, menggunakan sapu tangan yang kuberikan padamu."Suruh
Genap tiga kali suci, akhirnya Nyonya Ulfa menyelesaikaniddah-nya. Hari ini dia akan keluar dari rumah majikanku, seutuhnya lepas dari status istri sah Tuan Abizar karena sejak awal menalaknya tak ada tanda-tanda dari Tuan Abizar kalau beliau ingin merujuknya. "Sebelum aku pergi, apakah kamu ingin mendengar sedikit cerita dariku, Mawar?" Nyonya Ulfa bertanya saat aku mengemasi barang-barang pribadinya ke dalam koper. Wajahku menoleh, sedikit menggambarkan rona bingung. Kepalaku mengangguk, mempersilahkan dia bercerita. "Setelah mengucapkan ijab, wajah tuanmu sangat murung, seperti menyesal menikahiku padahal keluarganya sendiri yang memintaku untuk menikah dengannya ...." Pergerakan tanganku yang menyusun barang-barang pribadi Nyonya Ulfa berhenti. Aku fokus mendengarkannya, diam-diam memerhatikan semua perhiasan yang melekat di tubuhnya. Semua benda mahal itu dari Tuan Abizar, sekalipun sudah mencer
Nyonya Ulfa masih melanjutkan. Aku jadi lupa tugas untuk mengemasi barang-barangnya, mobil yang akan ditumpangi Nyonya Ulfa untuk pulang ke keluarganya akan datang setengah jam lagi. "Setelah memakai pakaianku—bukan pakaianmu lagi yang diambilkan Abizar—aku menyusul langkahnya. Mungkin kamu tidak pernah tahu ini, di tengah malam saat dia meninggalkanku sendirian di kamar pengantin dia berdiri menghadap pintu kamarmu yang terkunci, mungkin kamu sudah tidur. Lalu dia duduk di depan pintu, bersender di sana, terlelap di pintu kamarmu."Nyonya Ulfa meringis, "satu jam aku membeku, melihatnya yang bersikap demikian. Setelah tersadar, aku membangunkannya. Dia terlihat nyenyak, meskipun tidur di lantai bersenderkan pintu. Marah saat aku membangunkannya, tapi setelah bangun dia akhirnya pergi tapi meskipun sudah berganti-ganti tempat—di sofa, kamar tamu, semua kamar di rumah ini, semua sofa di rumah ini—dia tidak bisa tidur sama sekali."&
“Ketahuilah, Mawar ...." Nyonya Ulfa tersenyum tipis. Tangan mungilnya mengusap rambut dan pipiku dengan sayang."Jika kamu memujiku, dia akan membenci wanita mana yang kamu puji. Jika kamu mendukungku, dia akan membenci wanita mana yang kamu dukung. Jika kamu perhatian padaku, dia akan membenci wanita mana yang kamu berikan perhatian." Mendengar kalimatnya, aku mengerutkan dahi."Tapi jika kamu memuji diri sendiri, sekalipun tidak terlihat dia akan sependapat. Jika kamu mendukung dirimu sendiri, diam-diam di balik layar dia juga mendukungmu melebihi siapapun. Begitulah tuanmu, saat aku memerhatikannya. Jadi jika ingin membuatku disukai, abaikan saja aku. Seakan aku tidak membuatmu risih atau merasa iri. Jika kamu ingin wanita baru yang akan datang ke rumah ini disukai olehnya—setidaknya tidak membuatnya benci—kamu bersikap saja seakan kamu lebih cantik darinya, sekalipun kecantikan wanita itu sebenarnya melampauimu, bersikaplah seakan kamu tidak mend
“Pesankan aku makanan.”Beliau yang ingin makan, aku yang kegirangan.Menahan pekikan senangku, kuambil telepon rumah yang ada di atas mejanya. Menekan nomor langganan sebuah restoran mewah dan memesan beberapa paket makanan yang biasa Tuan Abizar pesan, yang jujur saja, semua makanan kesukaan beliau adalah makanan kesukaanku.Entah ini kebetulan atau kesengajaan. Menunggu paket makanan sampai, aku duduk manis di atas sofa yang ada di ruangannya. Saat suara deru motor terdengar di halaman depan, aku melaju bak kilat untuk menerima pesanan dari kurir hidangan. Seharusnya tingkahku ini aneh, tapi Tuan Abizar seperti memakluminya.Aku mengambil piring, menyiapkan setiap makanan dan hidangan yang dibeli di atas meja Tuan Abizar. Sebelum giliranku, aku mempersilahkan tuanku menikmati makanan-makanan ini
Pertama kali Abizar tegas pada dirinya sendiri, enam bulan setelah Mawar bekerja di rumah ini. Kali ini Abizar tidak akan berbohong, Mawar adalah kelemahannya. Wanita yang membuatnya tergantung dan berharap Mawar ikut bergantungan. Mawar yang saat itu tertidur, tangan kiri Abizar yang lancang mengusap rambut dan pipinya. Saat itu juga Abizar mulai memberi konsekuensi pada diri sendiri. Dia mengambil segelas air panas dan menyiram telapak tangannya sendiri, rasa sakitnya sama dengan rasa perih saat mencekram bara api. Tapi bagi Abizar, ini lebih baik untuknya. Meskipun, jika Mawar sedekat ini, Abizar mustahil tidak menyentuhnya sama sekali. Selalu saja ada dorongan tersendiri untuknya menyentuh sosok figur yang membuatnya tak bisa beralih.Untuk menjaga Mawar dari kelakuannya yang lebih dari itu, seperti pelecehan dan pemerkosaan—Abizar harus memprioritaskan harga diri dan kehormatan Mawar—satu sentuhan yang menjadi awal dari sentuhan lain akan jera saat ditemukan