Aku dibiarkan kelaparan, menahan sakitnya perut, tidak diizinkan untuk mengambil makananku sendiri. Sekalipun perutku berbunyi terang-terangan, dimulai dari hari pertama aku bekerja aku tidak diizinkan mengisi perut kecuali makanan sisanya yang diapun jarang sekali makan sesuatu, bukan karena tidak mampu tapi beliau tidak berselera.Beliau akan menikmati semua makanan yang terhidang mewah di atas meja, sebelumnya memberi satu perintah padaku. "Tutup mulutmu!" Untuk tidak bicara, termasuk tidak mengisi apapun ke perutku melalui mulutku. Aku hanya dipersilahkan untuk berdiri menungguinya, menelan ludah ingin, menahan ileran dari mulut, memerhatikan gerak bibirnya yang mengunyah, menatapnya penuh harap, menunggu kapan beliau selesai makan dan memberikan sisa makanannya padaku."Hapus ileranmu, menggunakan sapu tangan yang kuberikan padamu."Suruh
Genap tiga kali suci, akhirnya Nyonya Ulfa menyelesaikaniddah-nya. Hari ini dia akan keluar dari rumah majikanku, seutuhnya lepas dari status istri sah Tuan Abizar karena sejak awal menalaknya tak ada tanda-tanda dari Tuan Abizar kalau beliau ingin merujuknya. "Sebelum aku pergi, apakah kamu ingin mendengar sedikit cerita dariku, Mawar?" Nyonya Ulfa bertanya saat aku mengemasi barang-barang pribadinya ke dalam koper. Wajahku menoleh, sedikit menggambarkan rona bingung. Kepalaku mengangguk, mempersilahkan dia bercerita. "Setelah mengucapkan ijab, wajah tuanmu sangat murung, seperti menyesal menikahiku padahal keluarganya sendiri yang memintaku untuk menikah dengannya ...." Pergerakan tanganku yang menyusun barang-barang pribadi Nyonya Ulfa berhenti. Aku fokus mendengarkannya, diam-diam memerhatikan semua perhiasan yang melekat di tubuhnya. Semua benda mahal itu dari Tuan Abizar, sekalipun sudah mencer
Nyonya Ulfa masih melanjutkan. Aku jadi lupa tugas untuk mengemasi barang-barangnya, mobil yang akan ditumpangi Nyonya Ulfa untuk pulang ke keluarganya akan datang setengah jam lagi. "Setelah memakai pakaianku—bukan pakaianmu lagi yang diambilkan Abizar—aku menyusul langkahnya. Mungkin kamu tidak pernah tahu ini, di tengah malam saat dia meninggalkanku sendirian di kamar pengantin dia berdiri menghadap pintu kamarmu yang terkunci, mungkin kamu sudah tidur. Lalu dia duduk di depan pintu, bersender di sana, terlelap di pintu kamarmu."Nyonya Ulfa meringis, "satu jam aku membeku, melihatnya yang bersikap demikian. Setelah tersadar, aku membangunkannya. Dia terlihat nyenyak, meskipun tidur di lantai bersenderkan pintu. Marah saat aku membangunkannya, tapi setelah bangun dia akhirnya pergi tapi meskipun sudah berganti-ganti tempat—di sofa, kamar tamu, semua kamar di rumah ini, semua sofa di rumah ini—dia tidak bisa tidur sama sekali."&
“Ketahuilah, Mawar ...." Nyonya Ulfa tersenyum tipis. Tangan mungilnya mengusap rambut dan pipiku dengan sayang."Jika kamu memujiku, dia akan membenci wanita mana yang kamu puji. Jika kamu mendukungku, dia akan membenci wanita mana yang kamu dukung. Jika kamu perhatian padaku, dia akan membenci wanita mana yang kamu berikan perhatian." Mendengar kalimatnya, aku mengerutkan dahi."Tapi jika kamu memuji diri sendiri, sekalipun tidak terlihat dia akan sependapat. Jika kamu mendukung dirimu sendiri, diam-diam di balik layar dia juga mendukungmu melebihi siapapun. Begitulah tuanmu, saat aku memerhatikannya. Jadi jika ingin membuatku disukai, abaikan saja aku. Seakan aku tidak membuatmu risih atau merasa iri. Jika kamu ingin wanita baru yang akan datang ke rumah ini disukai olehnya—setidaknya tidak membuatnya benci—kamu bersikap saja seakan kamu lebih cantik darinya, sekalipun kecantikan wanita itu sebenarnya melampauimu, bersikaplah seakan kamu tidak mend
“Pesankan aku makanan.”Beliau yang ingin makan, aku yang kegirangan.Menahan pekikan senangku, kuambil telepon rumah yang ada di atas mejanya. Menekan nomor langganan sebuah restoran mewah dan memesan beberapa paket makanan yang biasa Tuan Abizar pesan, yang jujur saja, semua makanan kesukaan beliau adalah makanan kesukaanku.Entah ini kebetulan atau kesengajaan. Menunggu paket makanan sampai, aku duduk manis di atas sofa yang ada di ruangannya. Saat suara deru motor terdengar di halaman depan, aku melaju bak kilat untuk menerima pesanan dari kurir hidangan. Seharusnya tingkahku ini aneh, tapi Tuan Abizar seperti memakluminya.Aku mengambil piring, menyiapkan setiap makanan dan hidangan yang dibeli di atas meja Tuan Abizar. Sebelum giliranku, aku mempersilahkan tuanku menikmati makanan-makanan ini
Pertama kali Abizar tegas pada dirinya sendiri, enam bulan setelah Mawar bekerja di rumah ini. Kali ini Abizar tidak akan berbohong, Mawar adalah kelemahannya. Wanita yang membuatnya tergantung dan berharap Mawar ikut bergantungan. Mawar yang saat itu tertidur, tangan kiri Abizar yang lancang mengusap rambut dan pipinya. Saat itu juga Abizar mulai memberi konsekuensi pada diri sendiri. Dia mengambil segelas air panas dan menyiram telapak tangannya sendiri, rasa sakitnya sama dengan rasa perih saat mencekram bara api. Tapi bagi Abizar, ini lebih baik untuknya. Meskipun, jika Mawar sedekat ini, Abizar mustahil tidak menyentuhnya sama sekali. Selalu saja ada dorongan tersendiri untuknya menyentuh sosok figur yang membuatnya tak bisa beralih.Untuk menjaga Mawar dari kelakuannya yang lebih dari itu, seperti pelecehan dan pemerkosaan—Abizar harus memprioritaskan harga diri dan kehormatan Mawar—satu sentuhan yang menjadi awal dari sentuhan lain akan jera saat ditemukan
TV itu sengaja dinyalakan. Abizar yang merasa sepi, hanya ingin suara pembawa berita menemani kesepiannya sambil menggores-gores isi dokumen. Awalnya Abizar fokus dan serius, hingga tayangan televisi berganti. Menjadi acara musik. Suara gitar dan piano beradu, diikut-sertakan dengan nyanyian yang menggelora. Awalnya Abizar berhasil menahan tangannya yang gatal, bibirnya yag bergetar dan telinganya yang memanas. Tapi seperti hilang akal dan kesadaran diri, Abizar melempar sesuatu ke arah layar televisi. Benda itu rusak, suara yang menggema keluar darinya sudah tidak terdengar.Abizar bisa merasakan kemarahannya reda saat suara itu menghilang, napasnya mulai terhembus beraturan. Kembali dijatuhkannya diri ke atas kursi. Seleranya untuk bekerja mendadak hilang, saat serpihan televisi kini telah mengotori lantainya, ruangannya kembali menjadi seperti sediakala—hancur berantakan.Abizar hanya bisa menggusar rambut, berusaha menghilangan gemaan suara music yang terbaya
“Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?” Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, “baiklah, terserah kamu saja.”Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja. “Makanlah,” suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut. Tu