“Pesankan aku makanan.”
Beliau yang ingin makan, aku yang kegirangan.
Menahan pekikan senangku, kuambil telepon rumah yang ada di atas mejanya. Menekan nomor langganan sebuah restoran mewah dan memesan beberapa paket makanan yang biasa Tuan Abizar pesan, yang jujur saja, semua makanan kesukaan beliau adalah makanan kesukaanku.
Entah ini kebetulan atau kesengajaan.
Menunggu paket makanan sampai, aku duduk manis di atas sofa yang ada di ruangannya.
Saat suara deru motor terdengar di halaman depan, aku melaju bak kilat untuk menerima pesanan dari kurir hidangan. Seharusnya tingkahku ini aneh, tapi Tuan Abizar seperti memakluminya.
Aku mengambil piring, menyiapkan setiap makanan dan hidangan yang dibeli di atas meja Tuan Abizar. Sebelum giliranku, aku mempersilahkan tuanku menikmati makanan-makanan ini terlebih dahulu.
“Silahkan Tuan,” gerakan tanganku seperti tidak sabar, lalu duduk menghadapnya. Tuan Abizar menepikan map, kertas dan laptopnya dari atas meja. Beliau melirikku, “ambilkan aku air untuk cuci tangan.” Aku mengisi baskom dengan air, memerhatikan jemari indahnya masuk dan menggesek satu jemari dengan jemari yang lain—membersihkan tangan.
Setelah tangannya bersih, beliau mulai makan. Gerakan tangan dan mulutnya sangat lambat, aku gregetan menunggunya. Kusadari tangannya seperti mengabaikan lauk enak kesukaanku—yang sebenarnya semua isi piringnya, masakan kesukaanku—beliau hanya memasukkan nasi dan sayur rebus ke dalam mulutnya, selain itu Tuan Abizar seperti tidak berminat.
Tuan Abizar melirikku yang memerhatikan gerakan bibir dan tangannya, beliau diam cukup lama, menatapku dalam. Tuan Abizar mengabaikan piringnya, lalu bertanya padaku. “Kamu tahu kenapa aku terbiasa menyiksamu seperti ini?”
Aku mengernyitkan dahi, “menyiksa seperti apa, Tuan?”
Tuan Abizar mendengus, sepertinya kesal saat aku bersikap tidak peka. “Membuatmu kelaparan, tidak bisa makan sebelum aku selesai makan.”
Aku manggut-manggut, menebak jawabannya. “Mungkin hiburan tersendiri bagi Tuan saat melihatku kelaparan, bertingkah layaknya kucing yang menatap isi piringmu penuh damba, berharap Anda mendadak kenyang dan menyisakan banyak makanan untukku?”
Dia kembali mendengus, seperti tidak suka dengan jawabanku. Apakah tebakanku salah?
“Karena makan itu kebutuhan, kamu tidak bisa hidup tanpa makan. Aku hanya ingin membuatmu bergantungan padaku dengan cara itu,” tangan kiri Tuan Abizar sudah terulur dan menyentuh lembut pipiku. Sebuah kontak fisik yang membuatku terperanjat, Tuan Abizar seperti tersadar menjauhkan telapak tangannya lalu memerintah, “buatkan aku kopi.”
Aku mengangguk, membuatkannya kopi panas. Lupa dengan pesan Nyonya Ulfa.
Kopi panas kuletakkan ke atas mejanya, sekali lagi kuaduk agar kopi dan gulanya bercampur rata.
Aku kembali duduk manis di depan mejanya, menantinya selesai makan. Seharusnya aku sedikit melanggar aturan, demi perutku sendiri makan diam-diam, membeli makanan di warung depan atau memesan makanan tanpa sepengetahuan Tuan Abizar. Tapi tidak layaknya beliau yang tidak merasa bersalah saat menyiksaku seperti itu, aku merasa bersalah jika mengkhianati orang yang sudah menggajiku dan memberikan tempat berlindung untukku.
“Bawa semua makanan ini ke dapur, makan sesukamu. Sisanya simpan untuk nanti malam.”
Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, tersenyum lebar. Sepertinya cengiranku cukup mengerikan di mata Tuan Abizar, beliau menatapku aneh.
Saat aku meninggalkannya sambil membawa nampan makanan menuju dapur, Tuan Abizar menatap dingin gelas kopi yang kubuat. Jemari kanannya melingkari ganggang gelas, lalu mengangkatnya. Tanpa ragu, menumpahkan isi kopi yang masih sangat panas ke tangan kirinya. Tangan yang tadinya menyentuh pipiku itu mendapat konsekuensinya sendiri, dia memerah, kulitnya mengelupas dan terasa begitu perih. Bibir beliau meringis, tangannya tidak bisa bergerak leluasa seperti tiga detik yang lalu sebelum Tuan Abizar berbuat bodoh.
Lama, Tuan Abizar menatap tangannya dalam diam.
>><<
Abizar berasal dari keluarga yang tegas, hal yang wajar baginya jika Abizar lebih tegas pada dirinya sendiri.
Saat Tuhan belum memberikan ganjaran untuknya sekarang, jika Abizar sadar dia sudah melakukan sebuah kesalahan maka dia akan memberi konsekuensi pada dirinya sendiri. Tapi jika dia tidak melakukan apapun saat dia melakukan sesuatu yang salah di mata Tuhan dan orang di sekitarnya, berarti Abizar tidak sadar kalau dia baru saja berbuat dosa.
Seperti menghancurkan mimpi setiap mantan istrinya, menceraikan mereka begitu saja, Abizar melakukan sebuah kesalahan karena berbuat demikian, tapi Abizar seperti tidak menyadarinya. Bukan tidak perduli, tapi tidak menyadari.
Abizar tidak suka kopi, tapi dia selalu meminta Mawar untuk membuatkannya kopi. Biasanya itu terjadi, jika terjadi kontak fisik antara mereka. Jika tangan Abizar berani menyentuh Mawar, sedetik saja, maka Abizar akan menghukumnya dengan kopi atau air panas yang Mawar sendiri yang membuatkannya, tapi wanita itu sama sekali tidak tahu untuk apa Abizar meminta dibuatkan minuman panas kecuali untuk diminum setelah cukup dingin.
Pertama kali Abizar tegas pada dirinya sendiri, enam bulan setelah Mawar bekerja di rumah ini. Kali ini Abizar tidak akan berbohong, Mawar adalah kelemahannya. Wanita yang membuatnya tergantung dan berharap Mawar ikut bergantungan. Mawar yang saat itu tertidur, tangan kiri Abizar yang lancang mengusap rambut dan pipinya. Saat itu juga Abizar mulai memberi konsekuensi pada diri sendiri. Dia mengambil segelas air panas dan menyiram telapak tangannya sendiri, rasa sakitnya sama dengan rasa perih saat mencekram bara api. Tapi bagi Abizar, ini lebih baik untuknya. Meskipun, jika Mawar sedekat ini, Abizar mustahil tidak menyentuhnya sama sekali. Selalu saja ada dorongan tersendiri untuknya menyentuh sosok figur yang membuatnya tak bisa beralih.Untuk menjaga Mawar dari kelakuannya yang lebih dari itu, seperti pelecehan dan pemerkosaan—Abizar harus memprioritaskan harga diri dan kehormatan Mawar—satu sentuhan yang menjadi awal dari sentuhan lain akan jera saat ditemukan
TV itu sengaja dinyalakan. Abizar yang merasa sepi, hanya ingin suara pembawa berita menemani kesepiannya sambil menggores-gores isi dokumen. Awalnya Abizar fokus dan serius, hingga tayangan televisi berganti. Menjadi acara musik. Suara gitar dan piano beradu, diikut-sertakan dengan nyanyian yang menggelora. Awalnya Abizar berhasil menahan tangannya yang gatal, bibirnya yag bergetar dan telinganya yang memanas. Tapi seperti hilang akal dan kesadaran diri, Abizar melempar sesuatu ke arah layar televisi. Benda itu rusak, suara yang menggema keluar darinya sudah tidak terdengar.Abizar bisa merasakan kemarahannya reda saat suara itu menghilang, napasnya mulai terhembus beraturan. Kembali dijatuhkannya diri ke atas kursi. Seleranya untuk bekerja mendadak hilang, saat serpihan televisi kini telah mengotori lantainya, ruangannya kembali menjadi seperti sediakala—hancur berantakan.Abizar hanya bisa menggusar rambut, berusaha menghilangan gemaan suara music yang terbaya
“Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?” Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, “baiklah, terserah kamu saja.”Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja. “Makanlah,” suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut. Tu
Aku mengenali sosok yang datang yang wajahnya menyerupai Tuan Abizar. Kalau tidak salah, namanya Tuan Akmal. Adiknya Tuan Abizar, yang sesekali datang ke Indonesia, tapi dia menetap di Arab Saudi. Dia datang pagi-pagi ke rumah Tuan Abizar, sepertinya mendarat di Indonesia kemaren dan semalam menginap di hotel. Tuan Abizar baru saja hendak keluar dari rumah untuk berangkat bekerja, mengabaikan kehadiran adiknya begitu saja, aku lihat Tuan Akmal mengejar langkah Tuan Abizar lalu menahan lengannya. “Jangan ganggu aku,” Tuan Abizar berkata sinis. “Abizar, ayolah ikut aku sekarang juga. Pukul 08.00 kita berangkat ke Arab Saudi, Abi ingin mengenalkanmu dengan seorang wanita dari keluarga terhormat, barang kali kamu berubah pikiran kali ini.” &ldqu
“Ashya mungkin tersiksa selama ini semenjak kamu mencari istri kedua, ketiga dan keselanjutnya.” Saat Tuan Abizar menyebut nama itu, raut wajah Tuan Akmal berubah. Semakin gelap, bahunya gemetar.“Salah satu hal yang tidak betah membuatku berkunjung ke Arab Saudi, karena terlalu sering melihat istri-istri tua kalian menangisi kalian. Rumah yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah menjadi penjara hati setiap wanita. Aku bukan tipe lelaki yang begitu menghargai perempuan, kamu tahu itu setelah mendapati kelakuanku selama ini. Tapi yang tidak pas di hatiku, kenapa para wanita kalian harus menahan diri, bersabar dan ikhlas, sedangkan kalian tidak dituntut hal yang serupa?”“Jangan ungkit nama Ashya, jika membahas ini denganku.”“Harus, karena Ashya adalah wanita yang sudah menemanimu selama lima tahun, penuh kesabaran, menahan diri dan keikhlasan saat kamu kehilangan kepercayaan dari Abi, perusahaanmu yang
“Abizar benar ….” Tuan Akmal bersuara. Aku mengambil posisi duduk, tidak mungkin duduk di sofa yang sama dengannya, kujatuhkan diri ke lantai dan melipat kaki di atas sana.“Di rumah kami memang penuh dengan tangis wanita, yang selalu kami anggap tidak ada—pasti kamu menguping pembicaraan kami sebelumnya. Istri-istri ayahku, saudara-saudaraku dan istri-istriku. Awalnya aku kurang perduli, kupikir kewajaran jika mereka merasakan hal itu, mereka cuma harus menahannya. Istri keduaku yang menangis saat kubawakan istri ketiga dan istri ketigaku yang menangis saat kubawakan istri keempat.”Aku memasang telinga, mendengarkan dengan seksama.“Berbeda dengan istri-istri pertama saudara-saudaraku yang lain, aku tidak pernah mendapati Ashya menangis seperti yang mereka lakukan. Kukira aku tidak menyakitinya. Kukira dia memahamiku. Kukira dia tahu betul, sebanyak apapun wanita di rumah kami, tetap Ashya yang paling kucintai.
Tuan Abizar menatapku dingin, lalu menghela napas. Senyumnya kecut, “ya. Aku tidak bisa merasakan enak, asin, pahit, manis atau tidak enaknya sebuah makanan. Makanya kubilang, selain karena kamu aku tidak memiliki alasan untuk makan. Memasukkan makanan tanpa rasa ke mulutku hanya untuk mengganjal perut, amat membosankan untukku. Seperti roti ini,” Tuan Abizar memperlihatkan roti asinku. Lalu memasukkannya ke dalam mulut setengahnya. “Sama sekali tak ada rasanya di mulutku. Tapi aku semangat memakannya, jika aku bisa membaginya denganmu.” Tangannya memberikanku sisa roti yang dia kunyah. Aku berkaca-kaca, menerimanya lalu memasukkannya ke dalam mulut.“Terimakasih, Tuan ….”“Sudahlah, seharusnya aku yang bilang begitu.” Tampik beliau sambil membuka bungkus roti yang baru.“Untuk wanita baru yang akan dinikahkan dengan Tuan apakah Tuan benar-benar akan menolaknya lagi?”Tuan Abizar men
Tuan Abizar hanya bisa mematung di tempat saat sebuah mobil panjang yang berkilat indah berhenti di halaman depan rumahnya. Seorang lelaki yang mirip dengannya menurunkan diri dari kendaraan tersebut, aku bisa menyaksikan kegugupan Tuan Abizar membuatku ikut menelan ludah.Lelaki dengan wajah penuh kerutan akibat penuaan, melangkah mendekat lalu … PLAK! Aku spontan terdorong ke belakang. Tuan Abizar ditampar telak oleh ayahnya. Tuan Abizar diam, pipinya kelu. PLAK! Tamparan kedua, membuatku meringis ngilu. Kasihan kepada Tuan Abizar yang bahkan tidak bisa berkutik. Baru saja hendak melayangkan tamparan ketiga, Tuan Abizar menyela. “Makam ibu … apakah Abi tidak mau menziarahinya?” Benar saja, ayahnya berhenti memberikan pelajaran. Tangannya jatuh ke samping paha, ayahnya Tuan Abizar seperti menahan perih dan rasa sakit.&nbs