“Ashya mungkin tersiksa selama ini semenjak kamu mencari istri kedua, ketiga dan keselanjutnya.” Saat Tuan Abizar menyebut nama itu, raut wajah Tuan Akmal berubah. Semakin gelap, bahunya gemetar.
“Salah satu hal yang tidak betah membuatku berkunjung ke Arab Saudi, karena terlalu sering melihat istri-istri tua kalian menangisi kalian. Rumah yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah menjadi penjara hati setiap wanita. Aku bukan tipe lelaki yang begitu menghargai perempuan, kamu tahu itu setelah mendapati kelakuanku selama ini. Tapi yang tidak pas di hatiku, kenapa para wanita kalian harus menahan diri, bersabar dan ikhlas, sedangkan kalian tidak dituntut hal yang serupa?”“Jangan ungkit nama Ashya, jika membahas ini denganku.”“Harus, karena Ashya adalah wanita yang sudah menemanimu selama lima tahun, penuh kesabaran, menahan diri dan keikhlasan saat kamu kehilangan kepercayaan dari Abi, perusahaanmu yang“Abizar benar ….” Tuan Akmal bersuara. Aku mengambil posisi duduk, tidak mungkin duduk di sofa yang sama dengannya, kujatuhkan diri ke lantai dan melipat kaki di atas sana.“Di rumah kami memang penuh dengan tangis wanita, yang selalu kami anggap tidak ada—pasti kamu menguping pembicaraan kami sebelumnya. Istri-istri ayahku, saudara-saudaraku dan istri-istriku. Awalnya aku kurang perduli, kupikir kewajaran jika mereka merasakan hal itu, mereka cuma harus menahannya. Istri keduaku yang menangis saat kubawakan istri ketiga dan istri ketigaku yang menangis saat kubawakan istri keempat.”Aku memasang telinga, mendengarkan dengan seksama.“Berbeda dengan istri-istri pertama saudara-saudaraku yang lain, aku tidak pernah mendapati Ashya menangis seperti yang mereka lakukan. Kukira aku tidak menyakitinya. Kukira dia memahamiku. Kukira dia tahu betul, sebanyak apapun wanita di rumah kami, tetap Ashya yang paling kucintai.
Tuan Abizar menatapku dingin, lalu menghela napas. Senyumnya kecut, “ya. Aku tidak bisa merasakan enak, asin, pahit, manis atau tidak enaknya sebuah makanan. Makanya kubilang, selain karena kamu aku tidak memiliki alasan untuk makan. Memasukkan makanan tanpa rasa ke mulutku hanya untuk mengganjal perut, amat membosankan untukku. Seperti roti ini,” Tuan Abizar memperlihatkan roti asinku. Lalu memasukkannya ke dalam mulut setengahnya. “Sama sekali tak ada rasanya di mulutku. Tapi aku semangat memakannya, jika aku bisa membaginya denganmu.” Tangannya memberikanku sisa roti yang dia kunyah. Aku berkaca-kaca, menerimanya lalu memasukkannya ke dalam mulut.“Terimakasih, Tuan ….”“Sudahlah, seharusnya aku yang bilang begitu.” Tampik beliau sambil membuka bungkus roti yang baru.“Untuk wanita baru yang akan dinikahkan dengan Tuan apakah Tuan benar-benar akan menolaknya lagi?”Tuan Abizar men
Tuan Abizar hanya bisa mematung di tempat saat sebuah mobil panjang yang berkilat indah berhenti di halaman depan rumahnya. Seorang lelaki yang mirip dengannya menurunkan diri dari kendaraan tersebut, aku bisa menyaksikan kegugupan Tuan Abizar membuatku ikut menelan ludah.Lelaki dengan wajah penuh kerutan akibat penuaan, melangkah mendekat lalu … PLAK! Aku spontan terdorong ke belakang. Tuan Abizar ditampar telak oleh ayahnya. Tuan Abizar diam, pipinya kelu. PLAK! Tamparan kedua, membuatku meringis ngilu. Kasihan kepada Tuan Abizar yang bahkan tidak bisa berkutik. Baru saja hendak melayangkan tamparan ketiga, Tuan Abizar menyela. “Makam ibu … apakah Abi tidak mau menziarahinya?” Benar saja, ayahnya berhenti memberikan pelajaran. Tangannya jatuh ke samping paha, ayahnya Tuan Abizar seperti menahan perih dan rasa sakit.&nbs
Tuan Omar seperti hendak menghajarnya, tapi selalu menjunjung tata-krama sehingga itulah selagi tamunya masih ada, Tuan Omar tidak akan marah sekarang, tapi mungkin nanti. “Terlebih Anda, Nona ….” Tuan Abizar menatap Layla. “Kembalilah ke Arab Saudi, jangan dambakan saya.” “Abizar!” Tuan Omar yang kehilangan kendali membentak, “apa-apaan? Mana sopan-santunmu?” “Saya sudah menjunjung tinggi tingkat kesantunan saya, Abi.” Tuan Abizar berkata rendah, sikap yang tidak pernah kulihat selama ini. Satu ruangan mulai riuh, terlebih saat Layla ikut menurunkan diri dari sofa. Meniru Tuan Abizar wanita itu duduk di lantai, berhadapan dengan Tuan Abizar yang menundukkan kepala. Aku tahu isi hatinya berbeda dari
Lelaki itu mengeluarkan diri dari ruangan. Mawar ditinggalkan sendiri, lalu diam-diam mengikuti langkah tuannya. Mulut Mawar melongo saat Abizar masuk ke dalam kamarnya, lalu mengunci diri dari dalam. “Tuan, apa yang Anda lakukan di kamar saya?” Mawar menjerit parau sambil menepuk pintu kayu.“Numpang tidur!” Abizar menyahut parau.“Anda bisa tidur di kamar pribadi Anda ‘kan?”“Nanti Abi mudah menemukanku, aku tahu dia akan marah-marah setelah pulang dari rumah sewa perempuan itu dan orang tuanya.”“Tuan—”“Lagian ini ‘kan kamarku, siapa bilang kamarmu? Karena kamu bekerja di sini, kupinjamkan untukmu.”Mawar bungkam karena disudutkan.“Ck, ck, ck. Kamarmu berantakan sekali, Mawar.”Wajah Mawar memerah malu, “saya sibuk kemaren, Tuan! Bersih-bersih seluruh rumah atas suruhan Tuan Akmal dan harus mengurusi Anda, mana ada w
Subuh Mawar bangun, tidak makan semalam—karena Abizar tidak mengungkit soal makanan—tentu saja besoknya Mawar kelaparan. Setelah mandi dan salat—semenjak bekerja di rumah Abizar, Mawar selalu rutin salat lima waktu sesuai peraturan—Mawar bersiap hendak membuat sarapan. Mawar tidak akan hanya masak karena Abizar menyuruh, dia harus memasak tanpa diperintah rutin dari pagi, siang dan malam karena di rumah ini bukan hanya dia berdua saja dengan Abizar, ada Omar, Akmal dan saudara-saudara Abizar yang lain.Setelah memutar kuncinya, Mawar kesusahan mendorong pintu. Dia mengernyit, seperti ada penghalang besar di luar sana. Sekuat tenaga Mawar berusaha mendorong pintunya lagi, lalu terdengar suara tubuh tergeletak ke lantai. Setelah berhasil membuka pintu kamarnya, Mawar terperanjat mendapati Abizar yang tertidur di depan pintu kamar kecil yang dia tempati. Semalam Abizar terbangun tengah malam dan berkeliling rumah untuk mencari di mana Mawar tidur. Setelah
“Hei,” panggilan Abizar tepat di telinga kirinya membuat Mawar terperanjat. Mawar perlahan membalik tubuh, menemukan Abizar yang berdiri di balik punggungnya. “Mau masak apa?” Abizar bertanya saat melihat Mawar asyik mengotak-atik perabotan dapur. “Tumben Tuan perduli saya mau masak apa?” “Saranku, capcay, sop ayam dan nasi goreng.” Tatapan Mawar menyipit ke arahnya, “sebelum kehilangan indra pengecap itu makanan yang Anda suka, ya Tuan?” Abizar menggelengkan kepala, pertanyaan Mawar terdengar sok tahu. “Aku sudah kehilangan indra pengecapku sejak kecil. Jadi, karena aku tidak punya alasan untuk makan, semasa kecil aku sering k
Sarapan pagi, adalah momen yang paling Abizar nantikan. Abizar datang pertama kali, membantu Mawar menata seluruh makanan dan masakan ke meja makan. Disusul oleh Akmal yang heran melihat Abizar ikut turun tangan urusan dapur dan meja makan. Akmal mengambil kursi untuk duduk, ayah mereka dan suadara-saudara mereka yang lain belum terlihat. Mawar berdiri di sebelah kursi Abizar yang lelaki itu duduki. Abizar melirik Mawar, yang terlihat menahan tetesan air liur karena tergiur oleh makanan di atas meja. Setelah memasak dan kelelahan, kini Mawar kelaparan.“Mau makan?”Mawar mengangguk kuat saat ditanyai. Sedangkan Akmal diam-diam melirik Abizar yang mengambil piring bersih dan mengisinya dengan nasi goreng yang menggunung, ditambahi dengan capcay dan daging sop ayam. Sebenarnya ketiga makanan itu merupakan kombinasi yang tidak nyambung.Abizar mencuci tangannya, meraup nasi dan lauk lalu menunggunya dingin sebentar dalam beberapa detik. Mawar yang masih