Subuh Mawar bangun, tidak makan semalam—karena Abizar tidak mengungkit soal makanan—tentu saja besoknya Mawar kelaparan. Setelah mandi dan salat—semenjak bekerja di rumah Abizar, Mawar selalu rutin salat lima waktu sesuai peraturan—Mawar bersiap hendak membuat sarapan. Mawar tidak akan hanya masak karena Abizar menyuruh, dia harus memasak tanpa diperintah rutin dari pagi, siang dan malam karena di rumah ini bukan hanya dia berdua saja dengan Abizar, ada Omar, Akmal dan saudara-saudara Abizar yang lain.
Setelah memutar kuncinya, Mawar kesusahan mendorong pintu. Dia mengernyit, seperti ada penghalang besar di luar sana. Sekuat tenaga Mawar berusaha mendorong pintunya lagi, lalu terdengar suara tubuh tergeletak ke lantai. Setelah berhasil membuka pintu kamarnya, Mawar terperanjat mendapati Abizar yang tertidur di depan pintu kamar kecil yang dia tempati. Semalam Abizar terbangun tengah malam dan berkeliling rumah untuk mencari di mana Mawar tidur. Setelah
“Hei,” panggilan Abizar tepat di telinga kirinya membuat Mawar terperanjat. Mawar perlahan membalik tubuh, menemukan Abizar yang berdiri di balik punggungnya. “Mau masak apa?” Abizar bertanya saat melihat Mawar asyik mengotak-atik perabotan dapur. “Tumben Tuan perduli saya mau masak apa?” “Saranku, capcay, sop ayam dan nasi goreng.” Tatapan Mawar menyipit ke arahnya, “sebelum kehilangan indra pengecap itu makanan yang Anda suka, ya Tuan?” Abizar menggelengkan kepala, pertanyaan Mawar terdengar sok tahu. “Aku sudah kehilangan indra pengecapku sejak kecil. Jadi, karena aku tidak punya alasan untuk makan, semasa kecil aku sering k
Sarapan pagi, adalah momen yang paling Abizar nantikan. Abizar datang pertama kali, membantu Mawar menata seluruh makanan dan masakan ke meja makan. Disusul oleh Akmal yang heran melihat Abizar ikut turun tangan urusan dapur dan meja makan. Akmal mengambil kursi untuk duduk, ayah mereka dan suadara-saudara mereka yang lain belum terlihat. Mawar berdiri di sebelah kursi Abizar yang lelaki itu duduki. Abizar melirik Mawar, yang terlihat menahan tetesan air liur karena tergiur oleh makanan di atas meja. Setelah memasak dan kelelahan, kini Mawar kelaparan.“Mau makan?”Mawar mengangguk kuat saat ditanyai. Sedangkan Akmal diam-diam melirik Abizar yang mengambil piring bersih dan mengisinya dengan nasi goreng yang menggunung, ditambahi dengan capcay dan daging sop ayam. Sebenarnya ketiga makanan itu merupakan kombinasi yang tidak nyambung.Abizar mencuci tangannya, meraup nasi dan lauk lalu menunggunya dingin sebentar dalam beberapa detik. Mawar yang masih
“Dalam satu liang ini ada sepasang suami-istri yang saling mencintai sampai mati, Abi.”Mereka sudah sampai di sebuah tanah luas yang hanya terdiri dari satu liang yang diisi dua badan. Sudah beruntung Omar tidak harus menangis keras saat menginjakkan kaki di sini, Abizar yang memang tadinya sempat merasa bersalah kini memancing kesedihan ayahnya lagi.Omar yang matanya memerah hanya melirik tajam anaknya. Abizar yang tidak kenal takut melanjutkan, “mereka saling berpelukan dan terus mengatakan cinta. Setidaknya mereka terus bersama, sepasang malaikat Mungkar dan Nangkir ‘pun iri melihat kemesraan mereka.”Tangan Omar semakin mengepal, dia berusaha menahan emosi. Tatapannya tertuju pada makam mantan istrinya dengan suami barunya, Omar tidak bisa menahan ledakan di dadanya.“Saat salah satu malaikat bertanya, manrabbuka? Siapa Tuhanmu?” Abizar masih melanjutkan celotehannya, “dan kedua sepasang suami
Setelah dari pemakaman, Abizar berhasil membujuk ayahnya untuk pulang. Saat menyetir Abizar mengusap matanya yang memerah, padahal sudah dua jam mereka di sana, baru di detik ini Abizar merasakan lelehan air mata membasahi kedua pipinya.“Aku akan pulang ke Arab Saudi, siang ini.” Suara Omar yang terdengar serak. Ayahnya duduk di bangku belakang, karena dia butuh tempat luas untuk membaringkan diri. Abizar yang duduk di bangku setir, tidak disadari oleh ayahnya bahunya terguncang, anaknya nyaris menangis seperti ayahnya.“Silahkan,” Abizar menjawab dengan suara parau.“Jaga makam ibumu.”“Tentu saja,” Abizar membalas.“Jangan mengecewakan Layla dan keluarganya.”“Tidak bisa janji,” Abizar mendesis.“Jadilah anak yang berbakti dan penurut.”“Tidak bisa janji.”“Sesekali pulang ke Saudi.”“Tidak bisa jan
Selagi Abizar pergi Mawar sibuk bersih-bersih. Mulai dari seluruh kamar bekas saudara-saudara Abizar dan ruangan-ruangan yang sering ditempati mereka saat senggang, seperti ruang tengah, ruangan televisi dan teras. Termasuk halaman depan yang sepertinya rumput-rumput di halaman mulai memanjang.Dari lantai dua, saat Mawar tengah membersihkan kamar Akmal, wajah wanita itu gelisah saat mendapati seorang gadis cantik berwajah Arab dengan rambut indah sepinggang kini tengah melangkah menuju rumah diikuti oleh pembantunya. Tidak mungkin Mawar benar-benar mengusirnya ‘kan seperti yang Abizar bilang? Mawar awalnya berniat pura-pura tidak tahu. Yang dicari Layla pasti Abizar atau Tuan Omar untuk memberikan sesuatu yang dia bawa. Tapi keduanya memang tidak ada di sini. Baru saja Mawar hendak bersembunyi, Layla mendongak ke lantai dua. Tersenyum ke arahnya yang tengah membersihkan balkon bekas kamar Akmal.
“Sejak kapan Anda pulang, Tuan?” Mawar bertanya dengan saliva yang ditelan pahit. “Sengaja kutinggalkan mobil di depan gang. Kalian ngapain?” Setelah berbahasa Indonesia menjawabi Mawar, Abizar mengulangi pertanyaannya untuk Layla. “Madha tafaeala—kalian ngapain?” Abizar berjalan mendekat, langkahnya mengentak.“Hal tanwi rashwat khadimati almufadalati—kamu berniat menyogok pembantu kesayanganku?” Abizar menatap Layla dingin. Wanita itu tertunduk. “La tuzeijh—jangan ganggu dia. La taqtarib minh litaqtarib miniy—jangan dekati dia untuk mendekatiku.”Sedangkan Mawar hanya menunduk bingung sambil menerka-nerka apa yang Abizar katakan. Cacian ‘kah? Makian? Atau kata-kata yang lebih kasar. Mawar melirik Layla yang tertunduk.“Samihni—maafkan saya &he
Sebenarnya Mawar merasa bersalah jika harus menyumbangkan makanan yang dibuat oleh Layla dan ibunya dengan susah-payah. Tapi mau bagaimana lagi, Mawar harus lebih memprioritaskan perasaan Abizar. Saat Abizar tengah membersihkan diri di dalam kamarnya, Mawar membersihkan lembar-lembar uang yang berserakan di lantai dapur. Dikumpulkannya lalu dimasukkannya ke dalam dompet Abizar yang tergeletak sembarangan. Setelah itu, Mawar mengendap-ngendap menyelinap masuk ke kamar Abizar. Dari bunyi shower Abizar tengah asyik mandi, Mawar mendesah saat mendapati bermacam mata uang milik Abizar masih berserakan di lantai kamarnya. Abizar seperti tidak ada niat untuk mengumpulkannya lagi lalu memasukkannya ke dalam brankas seperti semula. Mawar mengumpulkan semua uang yang berserakan itu. Termasuk kotak perhiasan yang entah kenapa Abizar mengumpulkannya sampai sebanyak itu, semua benda itu nampak berkilau-kilau indah. Mawar
Setelah bocah itu pergi Abizar bergumam. “Ngeliat dia aku jadi pengen punya anak.” Abizar melirik Mawar lalu berdeham, perempuan itu terlihat malu. “Bukan kamu yang kumaksud, Mawar.” “Lalu maksud Anda, Anda ingin anak dari orang lain? Begitu?” Mawar sedikit sempit saat menanyakannya. Abizar berdecak. “Maksudku, anak angkat. Aku ingin anak seusia dia. Bocah SMP yang amanah. Jika bocah itu yatim-piatu aku tidak keberatan mengadopsinya.” Abizar membuka pintu mobilnya, lalu menggerakkan kepala menyuruh Mawar ikut masuk. Mawar dengan kurang bersemangat duduk di sebelah bangku setir yang dijatuhi oleh bokong Abizar. “Kenapa wajahmu semasam itu?” Abizar menuding.&