Aku mengenali sosok yang datang yang wajahnya menyerupai Tuan Abizar. Kalau tidak salah, namanya Tuan Akmal. Adiknya Tuan Abizar, yang sesekali datang ke Indonesia, tapi dia menetap di Arab Saudi. Dia datang pagi-pagi ke rumah Tuan Abizar, sepertinya mendarat di Indonesia kemaren dan semalam menginap di hotel. Tuan Abizar baru saja hendak keluar dari rumah untuk berangkat bekerja, mengabaikan kehadiran adiknya begitu saja, aku lihat Tuan Akmal mengejar langkah Tuan Abizar lalu menahan lengannya.
“Jangan ganggu aku,” Tuan Abizar berkata sinis.
“Abizar, ayolah ikut aku sekarang juga. Pukul 08.00 kita berangkat ke Arab Saudi, Abi ingin mengenalkanmu dengan seorang wanita dari keluarga terhormat, barang kali kamu berubah pikiran kali ini.”
&ldqu
“Ashya mungkin tersiksa selama ini semenjak kamu mencari istri kedua, ketiga dan keselanjutnya.” Saat Tuan Abizar menyebut nama itu, raut wajah Tuan Akmal berubah. Semakin gelap, bahunya gemetar.“Salah satu hal yang tidak betah membuatku berkunjung ke Arab Saudi, karena terlalu sering melihat istri-istri tua kalian menangisi kalian. Rumah yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah menjadi penjara hati setiap wanita. Aku bukan tipe lelaki yang begitu menghargai perempuan, kamu tahu itu setelah mendapati kelakuanku selama ini. Tapi yang tidak pas di hatiku, kenapa para wanita kalian harus menahan diri, bersabar dan ikhlas, sedangkan kalian tidak dituntut hal yang serupa?”“Jangan ungkit nama Ashya, jika membahas ini denganku.”“Harus, karena Ashya adalah wanita yang sudah menemanimu selama lima tahun, penuh kesabaran, menahan diri dan keikhlasan saat kamu kehilangan kepercayaan dari Abi, perusahaanmu yang
“Abizar benar ….” Tuan Akmal bersuara. Aku mengambil posisi duduk, tidak mungkin duduk di sofa yang sama dengannya, kujatuhkan diri ke lantai dan melipat kaki di atas sana.“Di rumah kami memang penuh dengan tangis wanita, yang selalu kami anggap tidak ada—pasti kamu menguping pembicaraan kami sebelumnya. Istri-istri ayahku, saudara-saudaraku dan istri-istriku. Awalnya aku kurang perduli, kupikir kewajaran jika mereka merasakan hal itu, mereka cuma harus menahannya. Istri keduaku yang menangis saat kubawakan istri ketiga dan istri ketigaku yang menangis saat kubawakan istri keempat.”Aku memasang telinga, mendengarkan dengan seksama.“Berbeda dengan istri-istri pertama saudara-saudaraku yang lain, aku tidak pernah mendapati Ashya menangis seperti yang mereka lakukan. Kukira aku tidak menyakitinya. Kukira dia memahamiku. Kukira dia tahu betul, sebanyak apapun wanita di rumah kami, tetap Ashya yang paling kucintai.
Tuan Abizar menatapku dingin, lalu menghela napas. Senyumnya kecut, “ya. Aku tidak bisa merasakan enak, asin, pahit, manis atau tidak enaknya sebuah makanan. Makanya kubilang, selain karena kamu aku tidak memiliki alasan untuk makan. Memasukkan makanan tanpa rasa ke mulutku hanya untuk mengganjal perut, amat membosankan untukku. Seperti roti ini,” Tuan Abizar memperlihatkan roti asinku. Lalu memasukkannya ke dalam mulut setengahnya. “Sama sekali tak ada rasanya di mulutku. Tapi aku semangat memakannya, jika aku bisa membaginya denganmu.” Tangannya memberikanku sisa roti yang dia kunyah. Aku berkaca-kaca, menerimanya lalu memasukkannya ke dalam mulut.“Terimakasih, Tuan ….”“Sudahlah, seharusnya aku yang bilang begitu.” Tampik beliau sambil membuka bungkus roti yang baru.“Untuk wanita baru yang akan dinikahkan dengan Tuan apakah Tuan benar-benar akan menolaknya lagi?”Tuan Abizar men
Tuan Abizar hanya bisa mematung di tempat saat sebuah mobil panjang yang berkilat indah berhenti di halaman depan rumahnya. Seorang lelaki yang mirip dengannya menurunkan diri dari kendaraan tersebut, aku bisa menyaksikan kegugupan Tuan Abizar membuatku ikut menelan ludah.Lelaki dengan wajah penuh kerutan akibat penuaan, melangkah mendekat lalu … PLAK! Aku spontan terdorong ke belakang. Tuan Abizar ditampar telak oleh ayahnya. Tuan Abizar diam, pipinya kelu. PLAK! Tamparan kedua, membuatku meringis ngilu. Kasihan kepada Tuan Abizar yang bahkan tidak bisa berkutik. Baru saja hendak melayangkan tamparan ketiga, Tuan Abizar menyela. “Makam ibu … apakah Abi tidak mau menziarahinya?” Benar saja, ayahnya berhenti memberikan pelajaran. Tangannya jatuh ke samping paha, ayahnya Tuan Abizar seperti menahan perih dan rasa sakit.&nbs
Tuan Omar seperti hendak menghajarnya, tapi selalu menjunjung tata-krama sehingga itulah selagi tamunya masih ada, Tuan Omar tidak akan marah sekarang, tapi mungkin nanti. “Terlebih Anda, Nona ….” Tuan Abizar menatap Layla. “Kembalilah ke Arab Saudi, jangan dambakan saya.” “Abizar!” Tuan Omar yang kehilangan kendali membentak, “apa-apaan? Mana sopan-santunmu?” “Saya sudah menjunjung tinggi tingkat kesantunan saya, Abi.” Tuan Abizar berkata rendah, sikap yang tidak pernah kulihat selama ini. Satu ruangan mulai riuh, terlebih saat Layla ikut menurunkan diri dari sofa. Meniru Tuan Abizar wanita itu duduk di lantai, berhadapan dengan Tuan Abizar yang menundukkan kepala. Aku tahu isi hatinya berbeda dari
Lelaki itu mengeluarkan diri dari ruangan. Mawar ditinggalkan sendiri, lalu diam-diam mengikuti langkah tuannya. Mulut Mawar melongo saat Abizar masuk ke dalam kamarnya, lalu mengunci diri dari dalam. “Tuan, apa yang Anda lakukan di kamar saya?” Mawar menjerit parau sambil menepuk pintu kayu.“Numpang tidur!” Abizar menyahut parau.“Anda bisa tidur di kamar pribadi Anda ‘kan?”“Nanti Abi mudah menemukanku, aku tahu dia akan marah-marah setelah pulang dari rumah sewa perempuan itu dan orang tuanya.”“Tuan—”“Lagian ini ‘kan kamarku, siapa bilang kamarmu? Karena kamu bekerja di sini, kupinjamkan untukmu.”Mawar bungkam karena disudutkan.“Ck, ck, ck. Kamarmu berantakan sekali, Mawar.”Wajah Mawar memerah malu, “saya sibuk kemaren, Tuan! Bersih-bersih seluruh rumah atas suruhan Tuan Akmal dan harus mengurusi Anda, mana ada w
Subuh Mawar bangun, tidak makan semalam—karena Abizar tidak mengungkit soal makanan—tentu saja besoknya Mawar kelaparan. Setelah mandi dan salat—semenjak bekerja di rumah Abizar, Mawar selalu rutin salat lima waktu sesuai peraturan—Mawar bersiap hendak membuat sarapan. Mawar tidak akan hanya masak karena Abizar menyuruh, dia harus memasak tanpa diperintah rutin dari pagi, siang dan malam karena di rumah ini bukan hanya dia berdua saja dengan Abizar, ada Omar, Akmal dan saudara-saudara Abizar yang lain.Setelah memutar kuncinya, Mawar kesusahan mendorong pintu. Dia mengernyit, seperti ada penghalang besar di luar sana. Sekuat tenaga Mawar berusaha mendorong pintunya lagi, lalu terdengar suara tubuh tergeletak ke lantai. Setelah berhasil membuka pintu kamarnya, Mawar terperanjat mendapati Abizar yang tertidur di depan pintu kamar kecil yang dia tempati. Semalam Abizar terbangun tengah malam dan berkeliling rumah untuk mencari di mana Mawar tidur. Setelah
“Hei,” panggilan Abizar tepat di telinga kirinya membuat Mawar terperanjat. Mawar perlahan membalik tubuh, menemukan Abizar yang berdiri di balik punggungnya. “Mau masak apa?” Abizar bertanya saat melihat Mawar asyik mengotak-atik perabotan dapur. “Tumben Tuan perduli saya mau masak apa?” “Saranku, capcay, sop ayam dan nasi goreng.” Tatapan Mawar menyipit ke arahnya, “sebelum kehilangan indra pengecap itu makanan yang Anda suka, ya Tuan?” Abizar menggelengkan kepala, pertanyaan Mawar terdengar sok tahu. “Aku sudah kehilangan indra pengecapku sejak kecil. Jadi, karena aku tidak punya alasan untuk makan, semasa kecil aku sering k
“Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata
“Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan
Di ayat terakhir surat Yasin, Abizar langsung menutup buku mininya. Dilanjutkan dengan Tahlilan, Abizar berbisik ke lelaki tua yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Samuel James Pilli, anaknya Aland James Pilli dimana?”“Tuan Muda mengurung diri di dalam kamarnya. Dia cukup shock karena Tuan Besar bunuh diri.”Abizar manggut-manggut. “Bisakah kami masuk dan menemuinya?” Abizar tahu permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, tapi Samuel adalah tujuan mereka datang kemari setelah Aland terkujur mati.“Maaf, tidak bisa.” Tentu saja penolakan yang akan mereka terima.“Atau sampaikan ….” Abizar cekatan, “sampaikan ke Samuel, Omar Hafshan yang ‘membunuh’ ibunya ada di rumah ini. Datang untuk melayat.” Pak tua tersebut terlihat shock, tatapannya menghunus ke arah Omar yang terlihat tidak perduli. Omar menatap buku mini di tangannya, bibirnya berbisik tanpa suara, bukan mendoakan Aland, doa itu dia kirim untuk Melati.“Permisi,” satpam tersebut bangkit lalu masuk ke ruangan dalam. Abizar meng
“Agar Anda mati dengan tenang seperti Aland, lakukanlah apa yang harus Anda lakukan. Saya bukan mengharapkan kematian Anda, Tuan Hafshan. Saya hanya tidak suka melihat Anda bertahan hidup, tapi Anda malah tersiksa karena Anda masih hidup.”Omar menyungging senyum, lelaki itu mengeluarkan diri dari mobil. Omar menunggu Abizar turun. Abizar melirik Mawar yang sudah mengangkat kepalanya, mereka saling pandang sejenak. “Aku turun, Mawar. Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.” Abizar meringis melihat setitik air mata jatuh dari iris merah wanita itu. “Jangan menangis, oke?” Abizar berdecak, “siapa yang kamu tangisi? Omar? Jangan bilang, tidak bisa mendapatkan Omar yang terlalu bucin kepada Melati kamu malah menjadikanku pelarian.” Abizar menggerutu.Mawar tertawa mendengar gerutuan Abizar, diusapnya ujung iris mata.“Aku perlu ‘mengantar’ Tuan Omar Hafshan yang terhormat ke pangkuan Yang Maha Kuasa,” Abizar terkekeh. Firasatnya bilang begitu, kenangan tentang Melati selesai, Omar s
Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur’an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun … hanya gelar.“Siapa mati?” Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepat
“Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu
Mata Omar membuka sempurna, akhirnya sinar matahari pagi membangunkannya. Napas Omar tersengal-sengal dengan mata merah dan pipi basah, diperhatikannya seisi ranjang. Berantakan-acak-acakan, bantal kepala melayang, seprai terlepas dan guling yang malang. Omar berusaha menurunkan diri dari ranjang, kakinya menjadi jelly, tubuhnya nyaris terhempas jatuh. Omar berusaha bangkit untuk mengambil air wudhu’—dia butuh salat, dia butuh dzikir, dia harus menyebut nama Tuhannya, agar luka ini sembuh, hati ini lapang dan kenangan itu bisa dikubur sedalam-dalam mungkin.Air wudhu’ membasuh wajah Omar, lelaki itu terlihat lega. Lalu dibentangkannya sajadah, waktunya menyembah Tuhan dan mengemis kekuatan darinya. Omar bukan ingin menghapus kenangan tentang Melati, Omar hanya ingin Tuhan memberikannya sudut pandang berbeda tentang apa yang terjadi belasan tahun yang lalu.Setelah wajahnya cukup semringah, Omar menurunkan diri menggunakan anak tangga menuju meja makan, ingin sarapan dan menagih janji
Masing-masing dada mereka bergemuruh hebat, Omar menatap wajah tersebut penuh cinta. Apalagi saat tangannya membelai kening dan pipinya, membenamkan bibirnya, merengkuhnya dalam pelukan, berguling bersama di atas ranjang, tawa terdengar hangat dan memanjakan. Semuanya bergulir di kepala Omar yang masih terlelap, sekalipun adzan Subuh sudah terlewat, Abizar menyerah membangunkannya. Omar tidur seperti mati. Saat kepalanya mengulang kenangan dengan wujud mimpi, wajah Omar bahagia. Senyum terukir di bibirnya, lelaki itu tertawa senang. Dengan mata berair haru.Guling di sebelahnya menjadi korban—dipeluk, diremuk, diciumi olehnya yang mengigau. Menjadikan daging guling tersebut sebagai dada Melati yang Omar senang sekali menempelkan telinga ke dadanya, untuk mendengarkan detak jantungnya.Tapi kebahagiaan itu surut, saat mimpi yang diremake dari masa lalu tersebut berganti. Wajah Omar berubah keras, kecewa dan tangisnya meledak. Padahal lelaki itu hanya mengigau.Omar mencintai wanita in
Jeritan seorang lelaki membuat rumah mewah tersebut gaduh. Beberapa pelayan langsung berlari tergopoh menuju kamar yang ditempati Tuan Besar, wajah mereka pucat saat mendapati Samuel terpuruk di lantai, sisa-sisa jeritannya terdengar menyedihkan, pipi merahnya dibasahi oleh air mata. Beberapa kepala mendongak ke arah plafon, semua kaki langsung selembut jelly, beberapa dari mereka berpegangan atau terjatuh, terpuruk dan ikut menjerit seperti Samuel. Aland mati gantung diri. Tetesan darah dari luka di lehernya membasahi kemeja putih yang dia kenakan. Matanya tertutup rapat, seakan mati dalam keadaan damai. Samuel menepuk-nepuk lantai, suaranya serak. “Papa … Papa ….” Jeritannya menyusul keras, “PAPA! PAPA!” Seperti memerintah jiwa sang Ayah untuk kembali ke jasadnya, tapi sekeras apapun Samuel menjerit dan memohon, semuanya sia-sia. Samuel terbatuk parau, dadanya sempit. Dengan sebelah tangan dicekramnya kuat. Salahsatu pelayan berusaha membawanya ke ranjang, penyakit Samuel kumat. S