Tuan Omar seperti hendak menghajarnya, tapi selalu menjunjung tata-krama sehingga itulah selagi tamunya masih ada, Tuan Omar tidak akan marah sekarang, tapi mungkin nanti.
“Terlebih Anda, Nona ….” Tuan Abizar menatap Layla. “Kembalilah ke Arab Saudi, jangan dambakan saya.”
“Abizar!” Tuan Omar yang kehilangan kendali membentak, “apa-apaan? Mana sopan-santunmu?”
“Saya sudah menjunjung tinggi tingkat kesantunan saya, Abi.” Tuan Abizar berkata rendah, sikap yang tidak pernah kulihat selama ini. Satu ruangan mulai riuh, terlebih saat Layla ikut menurunkan diri dari sofa. Meniru Tuan Abizar wanita itu duduk di lantai, berhadapan dengan Tuan Abizar yang menundukkan kepala. Aku tahu isi hatinya berbeda dari
Lelaki itu mengeluarkan diri dari ruangan. Mawar ditinggalkan sendiri, lalu diam-diam mengikuti langkah tuannya. Mulut Mawar melongo saat Abizar masuk ke dalam kamarnya, lalu mengunci diri dari dalam. “Tuan, apa yang Anda lakukan di kamar saya?” Mawar menjerit parau sambil menepuk pintu kayu.“Numpang tidur!” Abizar menyahut parau.“Anda bisa tidur di kamar pribadi Anda ‘kan?”“Nanti Abi mudah menemukanku, aku tahu dia akan marah-marah setelah pulang dari rumah sewa perempuan itu dan orang tuanya.”“Tuan—”“Lagian ini ‘kan kamarku, siapa bilang kamarmu? Karena kamu bekerja di sini, kupinjamkan untukmu.”Mawar bungkam karena disudutkan.“Ck, ck, ck. Kamarmu berantakan sekali, Mawar.”Wajah Mawar memerah malu, “saya sibuk kemaren, Tuan! Bersih-bersih seluruh rumah atas suruhan Tuan Akmal dan harus mengurusi Anda, mana ada w
Subuh Mawar bangun, tidak makan semalam—karena Abizar tidak mengungkit soal makanan—tentu saja besoknya Mawar kelaparan. Setelah mandi dan salat—semenjak bekerja di rumah Abizar, Mawar selalu rutin salat lima waktu sesuai peraturan—Mawar bersiap hendak membuat sarapan. Mawar tidak akan hanya masak karena Abizar menyuruh, dia harus memasak tanpa diperintah rutin dari pagi, siang dan malam karena di rumah ini bukan hanya dia berdua saja dengan Abizar, ada Omar, Akmal dan saudara-saudara Abizar yang lain.Setelah memutar kuncinya, Mawar kesusahan mendorong pintu. Dia mengernyit, seperti ada penghalang besar di luar sana. Sekuat tenaga Mawar berusaha mendorong pintunya lagi, lalu terdengar suara tubuh tergeletak ke lantai. Setelah berhasil membuka pintu kamarnya, Mawar terperanjat mendapati Abizar yang tertidur di depan pintu kamar kecil yang dia tempati. Semalam Abizar terbangun tengah malam dan berkeliling rumah untuk mencari di mana Mawar tidur. Setelah
“Hei,” panggilan Abizar tepat di telinga kirinya membuat Mawar terperanjat. Mawar perlahan membalik tubuh, menemukan Abizar yang berdiri di balik punggungnya. “Mau masak apa?” Abizar bertanya saat melihat Mawar asyik mengotak-atik perabotan dapur. “Tumben Tuan perduli saya mau masak apa?” “Saranku, capcay, sop ayam dan nasi goreng.” Tatapan Mawar menyipit ke arahnya, “sebelum kehilangan indra pengecap itu makanan yang Anda suka, ya Tuan?” Abizar menggelengkan kepala, pertanyaan Mawar terdengar sok tahu. “Aku sudah kehilangan indra pengecapku sejak kecil. Jadi, karena aku tidak punya alasan untuk makan, semasa kecil aku sering k
Sarapan pagi, adalah momen yang paling Abizar nantikan. Abizar datang pertama kali, membantu Mawar menata seluruh makanan dan masakan ke meja makan. Disusul oleh Akmal yang heran melihat Abizar ikut turun tangan urusan dapur dan meja makan. Akmal mengambil kursi untuk duduk, ayah mereka dan suadara-saudara mereka yang lain belum terlihat. Mawar berdiri di sebelah kursi Abizar yang lelaki itu duduki. Abizar melirik Mawar, yang terlihat menahan tetesan air liur karena tergiur oleh makanan di atas meja. Setelah memasak dan kelelahan, kini Mawar kelaparan.“Mau makan?”Mawar mengangguk kuat saat ditanyai. Sedangkan Akmal diam-diam melirik Abizar yang mengambil piring bersih dan mengisinya dengan nasi goreng yang menggunung, ditambahi dengan capcay dan daging sop ayam. Sebenarnya ketiga makanan itu merupakan kombinasi yang tidak nyambung.Abizar mencuci tangannya, meraup nasi dan lauk lalu menunggunya dingin sebentar dalam beberapa detik. Mawar yang masih
“Dalam satu liang ini ada sepasang suami-istri yang saling mencintai sampai mati, Abi.”Mereka sudah sampai di sebuah tanah luas yang hanya terdiri dari satu liang yang diisi dua badan. Sudah beruntung Omar tidak harus menangis keras saat menginjakkan kaki di sini, Abizar yang memang tadinya sempat merasa bersalah kini memancing kesedihan ayahnya lagi.Omar yang matanya memerah hanya melirik tajam anaknya. Abizar yang tidak kenal takut melanjutkan, “mereka saling berpelukan dan terus mengatakan cinta. Setidaknya mereka terus bersama, sepasang malaikat Mungkar dan Nangkir ‘pun iri melihat kemesraan mereka.”Tangan Omar semakin mengepal, dia berusaha menahan emosi. Tatapannya tertuju pada makam mantan istrinya dengan suami barunya, Omar tidak bisa menahan ledakan di dadanya.“Saat salah satu malaikat bertanya, manrabbuka? Siapa Tuhanmu?” Abizar masih melanjutkan celotehannya, “dan kedua sepasang suami
Setelah dari pemakaman, Abizar berhasil membujuk ayahnya untuk pulang. Saat menyetir Abizar mengusap matanya yang memerah, padahal sudah dua jam mereka di sana, baru di detik ini Abizar merasakan lelehan air mata membasahi kedua pipinya.“Aku akan pulang ke Arab Saudi, siang ini.” Suara Omar yang terdengar serak. Ayahnya duduk di bangku belakang, karena dia butuh tempat luas untuk membaringkan diri. Abizar yang duduk di bangku setir, tidak disadari oleh ayahnya bahunya terguncang, anaknya nyaris menangis seperti ayahnya.“Silahkan,” Abizar menjawab dengan suara parau.“Jaga makam ibumu.”“Tentu saja,” Abizar membalas.“Jangan mengecewakan Layla dan keluarganya.”“Tidak bisa janji,” Abizar mendesis.“Jadilah anak yang berbakti dan penurut.”“Tidak bisa janji.”“Sesekali pulang ke Saudi.”“Tidak bisa jan
Selagi Abizar pergi Mawar sibuk bersih-bersih. Mulai dari seluruh kamar bekas saudara-saudara Abizar dan ruangan-ruangan yang sering ditempati mereka saat senggang, seperti ruang tengah, ruangan televisi dan teras. Termasuk halaman depan yang sepertinya rumput-rumput di halaman mulai memanjang.Dari lantai dua, saat Mawar tengah membersihkan kamar Akmal, wajah wanita itu gelisah saat mendapati seorang gadis cantik berwajah Arab dengan rambut indah sepinggang kini tengah melangkah menuju rumah diikuti oleh pembantunya. Tidak mungkin Mawar benar-benar mengusirnya ‘kan seperti yang Abizar bilang? Mawar awalnya berniat pura-pura tidak tahu. Yang dicari Layla pasti Abizar atau Tuan Omar untuk memberikan sesuatu yang dia bawa. Tapi keduanya memang tidak ada di sini. Baru saja Mawar hendak bersembunyi, Layla mendongak ke lantai dua. Tersenyum ke arahnya yang tengah membersihkan balkon bekas kamar Akmal.
“Sejak kapan Anda pulang, Tuan?” Mawar bertanya dengan saliva yang ditelan pahit. “Sengaja kutinggalkan mobil di depan gang. Kalian ngapain?” Setelah berbahasa Indonesia menjawabi Mawar, Abizar mengulangi pertanyaannya untuk Layla. “Madha tafaeala—kalian ngapain?” Abizar berjalan mendekat, langkahnya mengentak.“Hal tanwi rashwat khadimati almufadalati—kamu berniat menyogok pembantu kesayanganku?” Abizar menatap Layla dingin. Wanita itu tertunduk. “La tuzeijh—jangan ganggu dia. La taqtarib minh litaqtarib miniy—jangan dekati dia untuk mendekatiku.”Sedangkan Mawar hanya menunduk bingung sambil menerka-nerka apa yang Abizar katakan. Cacian ‘kah? Makian? Atau kata-kata yang lebih kasar. Mawar melirik Layla yang tertunduk.“Samihni—maafkan saya &he
“Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata
“Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan
Di ayat terakhir surat Yasin, Abizar langsung menutup buku mininya. Dilanjutkan dengan Tahlilan, Abizar berbisik ke lelaki tua yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Samuel James Pilli, anaknya Aland James Pilli dimana?”“Tuan Muda mengurung diri di dalam kamarnya. Dia cukup shock karena Tuan Besar bunuh diri.”Abizar manggut-manggut. “Bisakah kami masuk dan menemuinya?” Abizar tahu permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, tapi Samuel adalah tujuan mereka datang kemari setelah Aland terkujur mati.“Maaf, tidak bisa.” Tentu saja penolakan yang akan mereka terima.“Atau sampaikan ….” Abizar cekatan, “sampaikan ke Samuel, Omar Hafshan yang ‘membunuh’ ibunya ada di rumah ini. Datang untuk melayat.” Pak tua tersebut terlihat shock, tatapannya menghunus ke arah Omar yang terlihat tidak perduli. Omar menatap buku mini di tangannya, bibirnya berbisik tanpa suara, bukan mendoakan Aland, doa itu dia kirim untuk Melati.“Permisi,” satpam tersebut bangkit lalu masuk ke ruangan dalam. Abizar meng
“Agar Anda mati dengan tenang seperti Aland, lakukanlah apa yang harus Anda lakukan. Saya bukan mengharapkan kematian Anda, Tuan Hafshan. Saya hanya tidak suka melihat Anda bertahan hidup, tapi Anda malah tersiksa karena Anda masih hidup.”Omar menyungging senyum, lelaki itu mengeluarkan diri dari mobil. Omar menunggu Abizar turun. Abizar melirik Mawar yang sudah mengangkat kepalanya, mereka saling pandang sejenak. “Aku turun, Mawar. Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.” Abizar meringis melihat setitik air mata jatuh dari iris merah wanita itu. “Jangan menangis, oke?” Abizar berdecak, “siapa yang kamu tangisi? Omar? Jangan bilang, tidak bisa mendapatkan Omar yang terlalu bucin kepada Melati kamu malah menjadikanku pelarian.” Abizar menggerutu.Mawar tertawa mendengar gerutuan Abizar, diusapnya ujung iris mata.“Aku perlu ‘mengantar’ Tuan Omar Hafshan yang terhormat ke pangkuan Yang Maha Kuasa,” Abizar terkekeh. Firasatnya bilang begitu, kenangan tentang Melati selesai, Omar s
Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur’an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun … hanya gelar.“Siapa mati?” Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepat
“Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu
Mata Omar membuka sempurna, akhirnya sinar matahari pagi membangunkannya. Napas Omar tersengal-sengal dengan mata merah dan pipi basah, diperhatikannya seisi ranjang. Berantakan-acak-acakan, bantal kepala melayang, seprai terlepas dan guling yang malang. Omar berusaha menurunkan diri dari ranjang, kakinya menjadi jelly, tubuhnya nyaris terhempas jatuh. Omar berusaha bangkit untuk mengambil air wudhu’—dia butuh salat, dia butuh dzikir, dia harus menyebut nama Tuhannya, agar luka ini sembuh, hati ini lapang dan kenangan itu bisa dikubur sedalam-dalam mungkin.Air wudhu’ membasuh wajah Omar, lelaki itu terlihat lega. Lalu dibentangkannya sajadah, waktunya menyembah Tuhan dan mengemis kekuatan darinya. Omar bukan ingin menghapus kenangan tentang Melati, Omar hanya ingin Tuhan memberikannya sudut pandang berbeda tentang apa yang terjadi belasan tahun yang lalu.Setelah wajahnya cukup semringah, Omar menurunkan diri menggunakan anak tangga menuju meja makan, ingin sarapan dan menagih janji
Masing-masing dada mereka bergemuruh hebat, Omar menatap wajah tersebut penuh cinta. Apalagi saat tangannya membelai kening dan pipinya, membenamkan bibirnya, merengkuhnya dalam pelukan, berguling bersama di atas ranjang, tawa terdengar hangat dan memanjakan. Semuanya bergulir di kepala Omar yang masih terlelap, sekalipun adzan Subuh sudah terlewat, Abizar menyerah membangunkannya. Omar tidur seperti mati. Saat kepalanya mengulang kenangan dengan wujud mimpi, wajah Omar bahagia. Senyum terukir di bibirnya, lelaki itu tertawa senang. Dengan mata berair haru.Guling di sebelahnya menjadi korban—dipeluk, diremuk, diciumi olehnya yang mengigau. Menjadikan daging guling tersebut sebagai dada Melati yang Omar senang sekali menempelkan telinga ke dadanya, untuk mendengarkan detak jantungnya.Tapi kebahagiaan itu surut, saat mimpi yang diremake dari masa lalu tersebut berganti. Wajah Omar berubah keras, kecewa dan tangisnya meledak. Padahal lelaki itu hanya mengigau.Omar mencintai wanita in
Jeritan seorang lelaki membuat rumah mewah tersebut gaduh. Beberapa pelayan langsung berlari tergopoh menuju kamar yang ditempati Tuan Besar, wajah mereka pucat saat mendapati Samuel terpuruk di lantai, sisa-sisa jeritannya terdengar menyedihkan, pipi merahnya dibasahi oleh air mata. Beberapa kepala mendongak ke arah plafon, semua kaki langsung selembut jelly, beberapa dari mereka berpegangan atau terjatuh, terpuruk dan ikut menjerit seperti Samuel. Aland mati gantung diri. Tetesan darah dari luka di lehernya membasahi kemeja putih yang dia kenakan. Matanya tertutup rapat, seakan mati dalam keadaan damai. Samuel menepuk-nepuk lantai, suaranya serak. “Papa … Papa ….” Jeritannya menyusul keras, “PAPA! PAPA!” Seperti memerintah jiwa sang Ayah untuk kembali ke jasadnya, tapi sekeras apapun Samuel menjerit dan memohon, semuanya sia-sia. Samuel terbatuk parau, dadanya sempit. Dengan sebelah tangan dicekramnya kuat. Salahsatu pelayan berusaha membawanya ke ranjang, penyakit Samuel kumat. S