Beranda / Romansa / Jerat Pembantu Tuan Abizar / 3: Selesainya Masa Iddah Nyonya Ulfa

Share

3: Selesainya Masa Iddah Nyonya Ulfa

Penulis: Hailey's Daily
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Nyonya Ulfa masih melanjutkan. Aku jadi lupa tugas untuk mengemasi barang-barangnya, mobil yang akan ditumpangi Nyonya Ulfa untuk pulang ke keluarganya akan datang setengah jam lagi. "Setelah memakai pakaianku—bukan pakaianmu lagi yang diambilkan Abizar—aku menyusul langkahnya. Mungkin kamu tidak pernah tahu ini, di tengah malam saat dia meninggalkanku sendirian di kamar pengantin dia berdiri menghadap pintu kamarmu yang terkunci, mungkin kamu sudah tidur. Lalu dia duduk di depan pintu, bersender di sana, terlelap di pintu kamarmu."

Nyonya Ulfa meringis, "satu jam aku membeku, melihatnya yang bersikap demikian. Setelah tersadar, aku membangunkannya. Dia terlihat nyenyak, meskipun tidur di lantai bersenderkan pintu. Marah saat aku membangunkannya, tapi setelah bangun dia akhirnya pergi tapi meskipun sudah berganti-ganti tempat—di sofa, kamar tamu, semua kamar di rumah ini, semua sofa di rumah ini—dia tidak bisa tidur sama sekali."

"Paginya, aku ditalak. Begitu saja. Tidak sama halnya seperti saat menikahiku, saat menalakku dia tidak merasa menyesal sama sekali. Jujur, Mawar. Aku sangat sakit hati."

Aku kehilangan kata-kata, tak ada kalimat tepat di kepalaku untuk menghiburnya. Apalagi di curahan hatinya, sepertinya aku terdakwa di sini. Dalang dari masalah yang menimpanya.

"Semuanya sudah terlanjur terjadi, sekalipun aku menolak diceraikan, aku tetap mantan istrinya. Di masa iddah ini, aku berusaha untuk mencuri hatinya lagi untuk merujukku, tapi dia seperti tidak berminat sama sekali. Di rumah ini saja, aku seperti tidak dianggap ada."

Nyonya Ulfa ikut memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. Memasukkannya sembarangan, secara acak, tidak melipat atau menatanya terlebih dahulu. Setelah kopernya penuh, semua barangnya dimasukkkan, dia menutupnya dan menarik rasleting. "Aku akan langsung menunggu di depan, sepertinya tuanmu tidak membutuhkan ucapan selamat tinggal dariku 'kan?"

* * *

”Tuan?”

            Aku memanggilnya pelan. Dia menoleh sinis, “apa?” Nadanya nyaris sama seperti menggeram, sebelah tangannya sibuk menggores isi dokumen. Ingin fokus dengan pekerjaannya, aku malah menganggu konsentrasinya.

            “Nyonya Ulfa sudah menunggu di depan, Anda tidak mau menemuinya sebentar, mengucapkan selamat tinggal sebelum beliau dipulangkan ke rumahnya.”

            Tuan Abizar mendelik tidak suka, “tidak usah.”

            “Benar tidak usah, Tuan?”

            “Iya, tidak usah.”

            Aku hanya menghela napas, dengusanku ternyata disadari olehnya yang menatapku dingin. Aku pura-pura tidak melihat.

            Punggungku merunduk, “kalau begitu saya pamit Tuan untuk ke depan, menemani Nyonya Ulfa.”

            Badannya langsung tegap, bertanya sinis. “Kamu lebih memilih menemani wanita itu dari pada menemaniku, di sini siapa yang tuanmu?”

            Aku mengalah, berdiri di tempat untuk menungguinya. Setelah menggores beberapa lembar dokumen, perintahnya terdengar. “Pergilah, temani Ulfa sampai keluarganya menjemput. Setelah itu, kembali lagi di sini, aku menunggu.”

            “Benar, Tuan?”

            Saat aku mengulangi kalimatnya, beliau meringis kesal. “Benar,” jawabnya lalu mengarahkan mata keluar dari ruangan. “Apa perlu kuulangi?”

            Salam penghormatan untuknya sekali lagi, aku pamit undur diri dan pergi ke muka rumah. Dimana Nyonya Ulfa ada di sana, menunggu jemputannya datang. Sesuai janji, sekitar 10 menit lagi.

“Tuanmu benar-benar tidak mau mengantarku, ya? Atau setidaknya, mengucapkan ‘selamat tinggal’ untuk terakhir kali?”

Aku hanya mengangguk merasa bersalah. “Aku sudah memintanya, tapi beliau menolak ….”

            “Kamu seharusnya tidak usah memintanya, jika kamu meminta dia perhatian padaku, dia akan semakin tidak suka padaku.”

            Aku mengerjap, “kenapa begitu?”

            Helaan napas Nyonya Ulfa terdengar. “Setidaknya itu yang kualami semenjak tinggal di rumah ini, sehari sebagai istri sahnya. Tiga bulan sebagai calon mantan istrinya.”

          

Bab terkait

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   4: Perjanjian Antara Majikan dan Pelayan

    “Ketahuilah, Mawar ...." Nyonya Ulfa tersenyum tipis. Tangan mungilnya mengusap rambut dan pipiku dengan sayang."Jika kamu memujiku, dia akan membenci wanita mana yang kamu puji. Jika kamu mendukungku, dia akan membenci wanita mana yang kamu dukung. Jika kamu perhatian padaku, dia akan membenci wanita mana yang kamu berikan perhatian." Mendengar kalimatnya, aku mengerutkan dahi."Tapi jika kamu memuji diri sendiri, sekalipun tidak terlihat dia akan sependapat. Jika kamu mendukung dirimu sendiri, diam-diam di balik layar dia juga mendukungmu melebihi siapapun. Begitulah tuanmu, saat aku memerhatikannya. Jadi jika ingin membuatku disukai, abaikan saja aku. Seakan aku tidak membuatmu risih atau merasa iri. Jika kamu ingin wanita baru yang akan datang ke rumah ini disukai olehnya—setidaknya tidak membuatnya benci—kamu bersikap saja seakan kamu lebih cantik darinya, sekalipun kecantikan wanita itu sebenarnya melampauimu, bersikaplah seakan kamu tidak mend

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   5: Kopi Untuk Tuan Abizar

    “Pesankan aku makanan.”Beliau yang ingin makan, aku yang kegirangan.Menahan pekikan senangku, kuambil telepon rumah yang ada di atas mejanya. Menekan nomor langganan sebuah restoran mewah dan memesan beberapa paket makanan yang biasa Tuan Abizar pesan, yang jujur saja, semua makanan kesukaan beliau adalah makanan kesukaanku.Entah ini kebetulan atau kesengajaan. Menunggu paket makanan sampai, aku duduk manis di atas sofa yang ada di ruangannya. Saat suara deru motor terdengar di halaman depan, aku melaju bak kilat untuk menerima pesanan dari kurir hidangan. Seharusnya tingkahku ini aneh, tapi Tuan Abizar seperti memakluminya.Aku mengambil piring, menyiapkan setiap makanan dan hidangan yang dibeli di atas meja Tuan Abizar. Sebelum giliranku, aku mempersilahkan tuanku menikmati makanan-makanan ini

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   6: Mawar Yang Dijebak Di Rumah Majikan

    Pertama kali Abizar tegas pada dirinya sendiri, enam bulan setelah Mawar bekerja di rumah ini. Kali ini Abizar tidak akan berbohong, Mawar adalah kelemahannya. Wanita yang membuatnya tergantung dan berharap Mawar ikut bergantungan. Mawar yang saat itu tertidur, tangan kiri Abizar yang lancang mengusap rambut dan pipinya. Saat itu juga Abizar mulai memberi konsekuensi pada diri sendiri. Dia mengambil segelas air panas dan menyiram telapak tangannya sendiri, rasa sakitnya sama dengan rasa perih saat mencekram bara api. Tapi bagi Abizar, ini lebih baik untuknya. Meskipun, jika Mawar sedekat ini, Abizar mustahil tidak menyentuhnya sama sekali. Selalu saja ada dorongan tersendiri untuknya menyentuh sosok figur yang membuatnya tak bisa beralih.Untuk menjaga Mawar dari kelakuannya yang lebih dari itu, seperti pelecehan dan pemerkosaan—Abizar harus memprioritaskan harga diri dan kehormatan Mawar—satu sentuhan yang menjadi awal dari sentuhan lain akan jera saat ditemukan

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   7: Suara Wanitanya Abizar

    TV itu sengaja dinyalakan. Abizar yang merasa sepi, hanya ingin suara pembawa berita menemani kesepiannya sambil menggores-gores isi dokumen. Awalnya Abizar fokus dan serius, hingga tayangan televisi berganti. Menjadi acara musik. Suara gitar dan piano beradu, diikut-sertakan dengan nyanyian yang menggelora. Awalnya Abizar berhasil menahan tangannya yang gatal, bibirnya yag bergetar dan telinganya yang memanas. Tapi seperti hilang akal dan kesadaran diri, Abizar melempar sesuatu ke arah layar televisi. Benda itu rusak, suara yang menggema keluar darinya sudah tidak terdengar.Abizar bisa merasakan kemarahannya reda saat suara itu menghilang, napasnya mulai terhembus beraturan. Kembali dijatuhkannya diri ke atas kursi. Seleranya untuk bekerja mendadak hilang, saat serpihan televisi kini telah mengotori lantainya, ruangannya kembali menjadi seperti sediakala—hancur berantakan.Abizar hanya bisa menggusar rambut, berusaha menghilangan gemaan suara music yang terbaya

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   8: Menyuapi Majikan

    “Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?” Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, “baiklah, terserah kamu saja.”Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja. “Makanlah,” suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut. Tu

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   9: Tuan Akmal

    Aku mengenali sosok yang datang yang wajahnya menyerupai Tuan Abizar. Kalau tidak salah, namanya Tuan Akmal. Adiknya Tuan Abizar, yang sesekali datang ke Indonesia, tapi dia menetap di Arab Saudi. Dia datang pagi-pagi ke rumah Tuan Abizar, sepertinya mendarat di Indonesia kemaren dan semalam menginap di hotel. Tuan Abizar baru saja hendak keluar dari rumah untuk berangkat bekerja, mengabaikan kehadiran adiknya begitu saja, aku lihat Tuan Akmal mengejar langkah Tuan Abizar lalu menahan lengannya. “Jangan ganggu aku,” Tuan Abizar berkata sinis. “Abizar, ayolah ikut aku sekarang juga. Pukul 08.00 kita berangkat ke Arab Saudi, Abi ingin mengenalkanmu dengan seorang wanita dari keluarga terhormat, barang kali kamu berubah pikiran kali ini.” &ldqu

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   10: Tuan Akmal (2)

    “Ashya mungkin tersiksa selama ini semenjak kamu mencari istri kedua, ketiga dan keselanjutnya.” Saat Tuan Abizar menyebut nama itu, raut wajah Tuan Akmal berubah. Semakin gelap, bahunya gemetar.“Salah satu hal yang tidak betah membuatku berkunjung ke Arab Saudi, karena terlalu sering melihat istri-istri tua kalian menangisi kalian. Rumah yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah menjadi penjara hati setiap wanita. Aku bukan tipe lelaki yang begitu menghargai perempuan, kamu tahu itu setelah mendapati kelakuanku selama ini. Tapi yang tidak pas di hatiku, kenapa para wanita kalian harus menahan diri, bersabar dan ikhlas, sedangkan kalian tidak dituntut hal yang serupa?”“Jangan ungkit nama Ashya, jika membahas ini denganku.”“Harus, karena Ashya adalah wanita yang sudah menemanimu selama lima tahun, penuh kesabaran, menahan diri dan keikhlasan saat kamu kehilangan kepercayaan dari Abi, perusahaanmu yang

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   11: Indera Pengecap Tuan Abizar

    “Abizar benar ….” Tuan Akmal bersuara. Aku mengambil posisi duduk, tidak mungkin duduk di sofa yang sama dengannya, kujatuhkan diri ke lantai dan melipat kaki di atas sana.“Di rumah kami memang penuh dengan tangis wanita, yang selalu kami anggap tidak ada—pasti kamu menguping pembicaraan kami sebelumnya. Istri-istri ayahku, saudara-saudaraku dan istri-istriku. Awalnya aku kurang perduli, kupikir kewajaran jika mereka merasakan hal itu, mereka cuma harus menahannya. Istri keduaku yang menangis saat kubawakan istri ketiga dan istri ketigaku yang menangis saat kubawakan istri keempat.”Aku memasang telinga, mendengarkan dengan seksama.“Berbeda dengan istri-istri pertama saudara-saudaraku yang lain, aku tidak pernah mendapati Ashya menangis seperti yang mereka lakukan. Kukira aku tidak menyakitinya. Kukira dia memahamiku. Kukira dia tahu betul, sebanyak apapun wanita di rumah kami, tetap Ashya yang paling kucintai.

Bab terbaru

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   79: Surat Talak Dari Tuan Omar

    “Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   78: Dendam Samuel

    “Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   77: Tiga Sekawan Gila (Lagi)

    Di ayat terakhir surat Yasin, Abizar langsung menutup buku mininya. Dilanjutkan dengan Tahlilan, Abizar berbisik ke lelaki tua yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Samuel James Pilli, anaknya Aland James Pilli dimana?”“Tuan Muda mengurung diri di dalam kamarnya. Dia cukup shock karena Tuan Besar bunuh diri.”Abizar manggut-manggut. “Bisakah kami masuk dan menemuinya?” Abizar tahu permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, tapi Samuel adalah tujuan mereka datang kemari setelah Aland terkujur mati.“Maaf, tidak bisa.” Tentu saja penolakan yang akan mereka terima.“Atau sampaikan ….” Abizar cekatan, “sampaikan ke Samuel, Omar Hafshan yang ‘membunuh’ ibunya ada di rumah ini. Datang untuk melayat.” Pak tua tersebut terlihat shock, tatapannya menghunus ke arah Omar yang terlihat tidak perduli. Omar menatap buku mini di tangannya, bibirnya berbisik tanpa suara, bukan mendoakan Aland, doa itu dia kirim untuk Melati.“Permisi,” satpam tersebut bangkit lalu masuk ke ruangan dalam. Abizar meng

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   76: Omar Ingin Mati (2)

    “Agar Anda mati dengan tenang seperti Aland, lakukanlah apa yang harus Anda lakukan. Saya bukan mengharapkan kematian Anda, Tuan Hafshan. Saya hanya tidak suka melihat Anda bertahan hidup, tapi Anda malah tersiksa karena Anda masih hidup.”Omar menyungging senyum, lelaki itu mengeluarkan diri dari mobil. Omar menunggu Abizar turun. Abizar melirik Mawar yang sudah mengangkat kepalanya, mereka saling pandang sejenak. “Aku turun, Mawar. Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.” Abizar meringis melihat setitik air mata jatuh dari iris merah wanita itu. “Jangan menangis, oke?” Abizar berdecak, “siapa yang kamu tangisi? Omar? Jangan bilang, tidak bisa mendapatkan Omar yang terlalu bucin kepada Melati kamu malah menjadikanku pelarian.” Abizar menggerutu.Mawar tertawa mendengar gerutuan Abizar, diusapnya ujung iris mata.“Aku perlu ‘mengantar’ Tuan Omar Hafshan yang terhormat ke pangkuan Yang Maha Kuasa,” Abizar terkekeh. Firasatnya bilang begitu, kenangan tentang Melati selesai, Omar s

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   75: Omar Ingin Mati

    Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur’an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun … hanya gelar.“Siapa mati?” Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepat

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   74: Yang Menggoda

    “Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   73: Calon Mertua

    Mata Omar membuka sempurna, akhirnya sinar matahari pagi membangunkannya. Napas Omar tersengal-sengal dengan mata merah dan pipi basah, diperhatikannya seisi ranjang. Berantakan-acak-acakan, bantal kepala melayang, seprai terlepas dan guling yang malang. Omar berusaha menurunkan diri dari ranjang, kakinya menjadi jelly, tubuhnya nyaris terhempas jatuh. Omar berusaha bangkit untuk mengambil air wudhu’—dia butuh salat, dia butuh dzikir, dia harus menyebut nama Tuhannya, agar luka ini sembuh, hati ini lapang dan kenangan itu bisa dikubur sedalam-dalam mungkin.Air wudhu’ membasuh wajah Omar, lelaki itu terlihat lega. Lalu dibentangkannya sajadah, waktunya menyembah Tuhan dan mengemis kekuatan darinya. Omar bukan ingin menghapus kenangan tentang Melati, Omar hanya ingin Tuhan memberikannya sudut pandang berbeda tentang apa yang terjadi belasan tahun yang lalu.Setelah wajahnya cukup semringah, Omar menurunkan diri menggunakan anak tangga menuju meja makan, ingin sarapan dan menagih janji

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   72: Mimpi Omar

    Masing-masing dada mereka bergemuruh hebat, Omar menatap wajah tersebut penuh cinta. Apalagi saat tangannya membelai kening dan pipinya, membenamkan bibirnya, merengkuhnya dalam pelukan, berguling bersama di atas ranjang, tawa terdengar hangat dan memanjakan. Semuanya bergulir di kepala Omar yang masih terlelap, sekalipun adzan Subuh sudah terlewat, Abizar menyerah membangunkannya. Omar tidur seperti mati. Saat kepalanya mengulang kenangan dengan wujud mimpi, wajah Omar bahagia. Senyum terukir di bibirnya, lelaki itu tertawa senang. Dengan mata berair haru.Guling di sebelahnya menjadi korban—dipeluk, diremuk, diciumi olehnya yang mengigau. Menjadikan daging guling tersebut sebagai dada Melati yang Omar senang sekali menempelkan telinga ke dadanya, untuk mendengarkan detak jantungnya.Tapi kebahagiaan itu surut, saat mimpi yang diremake dari masa lalu tersebut berganti. Wajah Omar berubah keras, kecewa dan tangisnya meledak. Padahal lelaki itu hanya mengigau.Omar mencintai wanita in

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   71: Melamar Mawar

    Jeritan seorang lelaki membuat rumah mewah tersebut gaduh. Beberapa pelayan langsung berlari tergopoh menuju kamar yang ditempati Tuan Besar, wajah mereka pucat saat mendapati Samuel terpuruk di lantai, sisa-sisa jeritannya terdengar menyedihkan, pipi merahnya dibasahi oleh air mata. Beberapa kepala mendongak ke arah plafon, semua kaki langsung selembut jelly, beberapa dari mereka berpegangan atau terjatuh, terpuruk dan ikut menjerit seperti Samuel. Aland mati gantung diri. Tetesan darah dari luka di lehernya membasahi kemeja putih yang dia kenakan. Matanya tertutup rapat, seakan mati dalam keadaan damai. Samuel menepuk-nepuk lantai, suaranya serak. “Papa … Papa ….” Jeritannya menyusul keras, “PAPA! PAPA!” Seperti memerintah jiwa sang Ayah untuk kembali ke jasadnya, tapi sekeras apapun Samuel menjerit dan memohon, semuanya sia-sia. Samuel terbatuk parau, dadanya sempit. Dengan sebelah tangan dicekramnya kuat. Salahsatu pelayan berusaha membawanya ke ranjang, penyakit Samuel kumat. S

DMCA.com Protection Status