Perempuan itu memasang wajah cemberut dari sejak turun dari mobil mewahnya. Langkahnya cepat masuk ke rumah besar dengan desain klasik minimalis. Santi, wanita paruh baya yang masih terlihat sisa-sisa kecantikan di wajahnya, menyambut Tamara dengan wajah keheranan.
"Kenapa cemberut begitu, Tam?" tanya Santi sambil menelisik wajah calon menantunya itu.
Tamara menghempaskan badan ke atas sofa. Dia memang sudah seperti putri kandung di keluarga Wirabraja. Jadi, dia bersikap santai di depan orang tua Jason. "Jason, Ma," adunya.
"Kenapa Jason?"
"Dia nyuekin aku terus sekarang, Ma. Jangan-jangan dia punya perempuan lain."
"Eh, jangan berpikir yang tidak-tidak, Tam. Mungkin Jason sedang sibuk dengan pekerjaannya."
"Tapi sikapnya sama aku jadi dingin akhir-akhir ini."
"Kamu yang tenang dong, Tam. Nggak ada apa-apa sama Jason. Coba kamu bersabar menghadapi suasana hati Jason. Kamu jangan gegabah menuduh yang tidak-tidak."
Tamara semakin cemberut. Dia tidak puas dengan jawaban Santi. Bersabar dengan sikap Jason yang akhir-akhir ini dingin dan hambar padanya, tentu saja itu hal yang sulit untuk dia lakukan. "Ma, tolong bilang Jason jangan nyuekin aku," rengeknya.
"Iya, Tam. Pasti mama bilang nanti." Tamara tersenyum senang. Biasanya memang selalu seperti itu. Jika ada sikap Jason yang kurang berkenan di hatinya, Tamara akan melaporkannya pada Santi, dan keesokan harinya, sikap Jason akan lebih baik. Tunangannya itu memang sangat menurut dengan ibunya.
Tamara sangat mencintai Jason dan dia tidak bisa membayangkan jika dia kehilangan pria itu. Mungkin dia akan mati. Baginya Jason adalah segala-galanya.
"Mungkin sudah waktunya membicarakan lebih serius tentang pernikahan kalian." Ucapan Santi membuat Tamara tersenyum lebar. Ini yang selalu dinanti-nantikan. Selama ini dia menunggu Jason memutuskan tanggal pernikahan mereka, tapi sepertinya belum ada tanda-tanda mereka akan menikah dalam waktu dekat.
"Beneran, Ma?"
"Iya, Tam. Kalian kan sudah cukup lama tunangan. Untuk apa ditunda-tunda terus. Mama akan bicara serius mengenai hal ini dengan Jason."
"Makasih, Ma," ucap Tamara seraya memeluk calon mertuanya itu gembira. Tidak sabar rasanya dia menjadi Nyonya Wirabraja. Tidak sabar rasanya dia memiliki Jason seutuhnya.
***
Siang itu Nila disibukkan dengan pekerjaan yang seakan tiada habisnya. Belum lagi revisi di sana-sini berkas yang dia buat dan bosnya yang perfeksionis itu, Jason, tidak puas dengan hasil kerjanya. Padahal Nila sudah sangat teliti dalam mengerjakannya. Hanya kesalahan kecil yang hampir tidak terlihat saja, Jason menyuruhnya untuk merevisi seluruh berkas. Memang gila bosnya itu.
"Kamu bisa kerja dengan becus atau tidak? Begini saja tidak bisa. Kamu digaji untuk bekerja dengan profesional, bukan untuk belajar. Ini kantor, bukan kampus." Itu omelan yang Nila dapat dari Jason beberapa saat lalu. Rasanya mengerikan sekali melihat sorot mata tajam pria itu. Meskipun tatapan itu sedikit mengingatkannya pada seorang pria empat tahun lalu. Sejujurnya Nila tidak yakin karena malam itu, empat tahun silam, dia mabuk. Entahlah, dia tidak ingin mengingat hal memalukan itu lagi, meskipun kekonyolannya dulu telah dibayar dengan kehadiran Haiden yang melengkapi hidupnya.
"Nila, kamu bisa bikinin kopi buat Pak Jason, ya? Aku ada urusan mendadak." Bu Yolanda muncul dari balik pintu, kemudian menghilang lagi. Sepertinya, sang atasan sedang terburu-buru. "Jangan lama, ya ... ditunggu sama Pak Jason," perintahnya lagi, lalu menghilang lagi.
Nila menghela napasnya pelan. Perasaan sudah beberapa hari ini dia yang membuatkan dan mengantar kopi ke ruangan Jason. Namun sebagai asisten yang baik, Nila pun segera melaksanakan perintah atasan. Ditinggalkannya komputer yang masih menyala dan bertolak menuju pantry. Namun, di sana dia dikejutkan oleh seorang pria yang sedang membuat kopi.
"Loh, Danu?" tanya Nila terkejut. Namun, Danu malah senyum-senyum dan tampak tidak terkejut sama sekali melihat Nila. "Kamu pindah kerja di sini? Kapan?" tanyanya keheranan. Setahu Nila, Danu bekerja mengurus swalayan milik keluarganya.
"Kejutan," timpal Danu seraya mengaduk kopinya.
"Kenapa bisa? Kamu nggak kerja sama keluargamu lagi?"
"Sebenarnya aku sudah lama ditawari posisi jadi kepala HRD di sini, cuma aku masih mikir-mikir. Papaku juga nggak keberatan aku kerja di perusahaan Tante Santi ini. Tapi, sejak aku tahu kamu bekerja di sini, aku terima tawaran Tante Santi."
Entah siapa yang disebut namanya itu oleh Danu, yang jelas ada satu pertanyaan yang ingin dia lontarkan pada pria itu. "Kamu masih kerabat dengan keluarga Wirabraja?" tanyanya.
"Ya, Tante Santi, mamanya Jason, kakaknya papaku."
"Oohh." Nila melongo. "Jadi Pak Jason sepupu kamu?" tanyanya.
"Ya, begitulah." Danu terkekeh.
"Eh, aduh ... berarti kamu kepala HRD baru nih? Wah, aku manggilnya Pak Danu dong, ya?"
Danu meloloskan tawanya. "Aneh banget manggil Pak. Aku maunya dipanggil sayang."
Nila mencebik mendengar gurauan Danu. Gurauan yang serius tentu saja. Mengingat pria itu masih mengharapkannya. "Aduh, lupa. Aku harus bikin kopi buat Pak Jason. Nanti dia marah-marah kalau nunggu kelamaan. Ngeri," ucap Nila.
"Jason galak, ya?"
"Banget." Nila celingak-celinguk takut tiba-tiba ada bosnya itu mendengarkan gerutuannya. Bisa bahaya. Dia segera meracik kopi dan berpamitan pada Danu untuk mengantar pesanan kopi bos besar.
Sampai di depan pintu ruangan Jason, Nila mengetuknya. Suara Jason terdengar mempersilahkannya masuk.
"Saya pesan kopi dari berapa menit lalu kenapa baru di antar?" Baru saja melangkahkan kaki masuk, Nila sudah mendapat omelan dari pria itu. Padahal hari ini sudah beberapa kali dia kena semprot Jason, tapi masih saja Nila merasa badannya panas dingin.
"M-maaf, Pak. Tadi ...."
"Alasan apa lagi? Hari ini kamu memang sengaja membuat aku kesal, ya? Saya sudah pantau kamu dari awal, dan kerjaanmu banyak yang tidak becus. Ngerti?"
Nila menghela napas dalam-dalam. Bosnya ini terlalu melebih-lebihkan. Perasaan dia tidak banyak melakukan kesalahan. Jason saja yang terlalu detail dan kesalahan kecil saja bisa jadi alasan untuknya memarahi bawahan.
"Saya sudah berusaha bekerja sebaik mungkin, Pak. Maaf kalau belum sesuai dengan kriteria Bapak," timpal Nila. Sekali-kali menyindir pria itu kalau dia memang terlalu berlebihan. Suasana hati pria itu sepertinya sedang tidak baik, jadi dia butuh pelampiasan kekesalan. Tapi bukan berarti dia bisa semena-mena.
"Kamu berani menyindir saya?" Jason menatap tajam ke arah Nila yang saat ini pun sedang menatap ke arahnya. Tatapan keduanya kini saling beradu untuk beberapa saat. Ini pertama kalinya Nila berani beradu pandang dengan pria angkuh itu. Sekilas, hanya sekilas saja, Nila melihat kilatan aneh dalam tatapan matanya. Sebuah tatapan yang tersusun dari beberapa rasa yang bercampur. Terkejut, penasaran dan rindu. Nila merasa dadanya berdebar sangat kencang. Tatapan mata Jason membuatnya terseret pada sebuah Deja Vu.
***
Malam itu Roland mengantar berkas hasil penyelidikannya tentang gadis yang Jason cari. Hasilnya sudah ada di dalam berkas itu. Namun Jason belum menyentuhnya sama sekali. Dia hanya berdiri memandangi stopmap merah yang tergeletak di atas ranjangnya. Padahal semua yang dia cari ada di dalamnya. Jason hanya tinggal membukanya, dan menemukan jawaban yang dia cari selama ini. Nyatanya, perasaannya begitu campur-aduk. Jika dia telah mengetahui siapa dan di mana gadis itu, lalu apa yang akan dia lakukan. Menemuinya dan mengatakan kalau selama ini dia tidak bisa melupakan peristiwa malam itu, kemudian menjadikan gadis itu sebagai kekasihnya. Bagaimana dengan Tamara. Dia tidak mungkin meninggalkan tunangannya itu begitu saja. Jason meraup wajahnya kasar. Dia memantapkan diri untuk membuka berkas itu. Siapa pun dia, yang penting Jason bisa melihatnya lagi, meskipun dari jauh. Pelan tangannya meraih stopmap itu dan membukanya. Matanya membulat melihat tulisan nama dan foto salah satu karyawat
"Mama! Mama, bangun!" Nila merasa pipinya ditepuk-tepuk seseorang. Perlahan dia membuka matanya dan melihat Haiden di atas ranjangnya sambil membawa handuk. Nila segera memeriksa jam di layar ponselnya dan terkejut bukan main. Dia akan terlambat berangkat ke kantor. Sudah terbayang bagaimana bosnya akan memarahinya, atau bahkan memberinya sanksi. "Mama telat bangun." Haiden terkekeh. "Iya, Sayang. Ya udah, yuk, kita cepat mandi." Nila menggendong Haiden ke kamar mandi. Dia berusaha secepat kilat untuk mempersiapkan semuanya pagi itu untuk meminimalisir waktu terlambatnya ke kantor. Dari memandikan Haiden hingga anak itu siap berangkat sekolah, lalu berdandan ala kadarnya, sarapan dan semuanya. Setelah memastikan Haiden masuk kelas, Nila segera bertolak ke kantor. Sayangnya dia terlambat hingga tiga puluh menit lamanya. Dia segera meminta maaf pada Bu Yolanda atasannya dengan perasaan harap-harap cemas. "Tadi Pak Jason nggak bilang apa-apa waktu ngecek ke sini." Jawaban Bu Yoland
"Nila!" panggil Danu membuat Nila menghentikan langkahnya keluar dari area kantor. Danu baru saja turun dari mobilnya dan menghampirinya."Pulang bareng, yuk. Kita jemput Haiden sekalian," tawar pria itu."Nggak ngerepotin nih, Pak?" tanya Nila.Danu meloloskan tawanya. "Ini sudah di luar jam kantor. Jangan panggil Pak lagi lah, Nil. Aneh banget rasanya."Nila mencebik. "Aku naik taksi aja.""Jangan lah. Aku pingin ketemu Haiden juga kok." "Ya, udah lah," timpal Nila pasrah. Nila pun mengikuti langkah Danu menuju mobilnya. Sekilas, dia melihat mobil Jason melintas. Kemudian dia masuk ke dalam mobil Danu."Gimana kerja jadi aspri Pak Jason, galak nggak dia sekarang?" tanya Danu mengawali obrolan, setelah mobilnya melaju meninggalkan area kantor. "Nggak galak sama sekali, Dan. Aneh menurutku. Kenapa sikapnya tiba-tiba berubah seperti itu, ya?" tanya Nila. Danu tersenyum mendengar ucapan Nila. "Ya, begitulah dia, orangnya susah ditebak," kekehnya. "Yang penting gajiku naik berkali-ka
Nila sedang membuat kopi untuk Jason di pantry saat Bu Yolanda menghampirinya. Wajah perempuan paruh baya itu tampak tidak ramah. "Nila, kamu ngasih apa ke Pak Jason, kok bisa tiba-tiba dia mengangkat kamu jadi asisten pribadi?" tanya Bu Yolanda tanpa basa-basi. Dia sudah kesal dari beberapa hari ini sejak Nila naik pangkat. Padahal dirinya yang sudah bekerja bertahun-tahun di kantor ini. Seharusnya dirinyalah yang diangkat menjadi sekretraris pribadi Jason."Maksudnya gimana, Bu?" tanya Nila tak mengerti dengan maksud wanita itu. "Jadi kamu pikir kamu bisa memakai tubuhmu untuk mendapatkan jabatan sebagai sekretaris pribadi Pak Jason?" tanya Bu Yolanda dengan nada yang tajam.Nila terkejut dan bingung. Dia tak pernah memikirkan hal itu. Dia hanya mencoba melakukan pekerjaannya dengan baik. Mengapa Bu Yolanda menuduhnya seperti itu."Tidak, Bu. Saya tidak pernah berpikir seperti itu. Saya hanya mencoba melakukan pekerjaan saya dengan baik," ujar Nila, mencoba menjelaskan diri."Tapi
"Acara gala dinner akhir pekan si Puncak, saya minta kamu ikut, ya." Setelah mengatakan hal itu pada Nila, Jason menghilang di balik pintu. Nila mengecek jadwal yang telah dia susun seminggu ini untuk Jason di layar komputernya. Benar adanya. Kenapa dia bisa lupa. Acara itu akan berlangsung semalam. Artinya, Nila harus menitipkan Haiden pada temannya lagi. Sepertinya, hal-hal seperti ini yang harus Nila persiapkan sebagai asisten pribadi Jason. Dia harus menemani pria itu menghadiri acara ke luar kota meskipun di luar hari kerja. Akhir pekan pun tiba, Nila berangkat ke Puncak bersama Jason. Hanya berdua. Entah kenapa, lagi-lagi pria itu tidak membawa supir. Dia lebih senang menyetir sendiri. Sepanjang perjalanan, Nila merasa begitu canggung. Dia baru pertama kali melakukan perjalanan yang cukup panjang, menempuh waktu hampir dua jam, dengan Jason. Acara gala dinner para pengusaha muda akan diadakan di sebuah villa mewah nanti malam. Villa yang sama tempat Nila menginap. Kamarnya be
Jason yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam rumah langsung dihadang oleh Santi yang memasang wajah angker. Wanita yang telah melahirkannya itu sepertinya sedang sangat kesal padanya. Jason bisa menebak alasannya. Pasti Tamara mengadu padanya tentang apa yang Jason katakan malam itu. "Jason, kamu ngomong apa sama Tamara, kok dia datang nangis-nangis katanya nggak mau sampai kehilangan kamu?" tanya Santi. "Memangnya Tamara nggak cerita aku ngomong apa, Ma?" "Cerita. Tapi mama nggak begitu mengerti maksud Tamara apa. Kamu ngomong apa sama dia?" desak Santi."Aku cuma bilang butuh waktu." Santi mengerutkan kening. "Waktu untuk apa?" "Untuk memikirkan hubunganku sama Tamara, Ma." Jason menghempaskan badan ke atas sofa dan menghela napas dalam-dalam. "Memikirkan gimana maksud kamu? Kalian ini sudah tunangan dan sebentar lagi akan menikah.""Ma, aku nggak yakin mau menikah dengan Tamara."Sepasang mata Santi membulat. Dia tentu tidak senang dengan ucapan sang putra. "Nggak yakin gi
Tamara duduk di sebuah cafe menunggu seseorang. Tak lama kemudian, seorang pria berkemeja hitam datang menghampiri. Pria itu membungkuk memberi hormat pada Tamara, kemudian duduk di seberang meja perempuan itu."Gimana, ada info?" tanya Tamara tak sabar. "Sejauh ini saya tidak melihat Pak Jason bersama seorang wanita, kecuali asisten pribadinya, Nona Tamara.""Asisten pribadi? Sejak kapan dia punya asisten pribadi?" Tamara mengerutkan kening. "Seperti apa asisten pribadinya?" Pria itu mengeluarkan ponsel dan menggulirnya sejenak. Kemudian menunjukkan foto seorang wanita cantik pada Tamara. Perempuan itu menunjukkan wajah tak sukanya. "Ini asisten pribadinya?" tanya Tamara. "Benar, Nona. Akhir pekan kemarin Pak Jason mengajaknya ke Puncak untuk acara gathering para pengusaha muda.""Ow, jadi Jason kemarin ke Puncak dengan asisten pribadinya?" Napas Tamara memburu. Asisten pribadi Jason sangat cantik. Tamara tidak bisa menahan rasa curiganya. Bisa saja Jason ada main dengan perempu
Jason duduk di meja kerjanya, sibuk menyelesaikan tumpukan laporan yang menumpuk. Hari ini, dia menerima laporan dari anak buahnya, Rolland, tentang informasi penting mengenai Nila. Dia memang memerintahkan anak buzhnya untuk mengumpulkan informasi tentang perempuan itu dan apa yang dibutuhkannya. Rolland memberitahu Jason bahwa Nila tinggal di sebuah rumah kontrakan yang sempit dan tidak layak huni menurut pendapat Jason yang sudah terbiasa hidup di rumah besar dan mewah.Jason merasa prihatin mendengar kabar tersebut. Dia tidak bisa membiarkan Nila hidup menderita. Tanpa ragu, Jason memutuskan untuk memberikan Nila rumah baru yang lebih baik. Dia ingin memastikan bahwa Nila memiliki tempat yang nyaman untuk pulang setelah seharian bekerja keras. Jason segera menghubungi agen properti terpercaya untuk mencari rumah yang sesuai dengan kebutuhan Nila.Setelah beberapa hari mencari, Jason menemukan rumah yang sempurna untuk Nila. Rumah itu terletak di lingkungan yang aman dan tenang, de
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti
“Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r
Sudah dua tahun terakhir sejak pernikahan Tamara dan Roland. Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia satu tahun, bahkan Tamara sedang hamil tua anak kedua mereka. Saat ini Tamara dan Nila sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan, mereka mampir ke Playground untuk meninggalkan anak-anak mereka bermain. Sementara Haiden, Haira dan Zain bermain di Playground, Nila dan Tamara pergi makan berdua sekedar untuk melepas rindu.“Anak kamu laki-laki atau perempuan Ra? Duh, pulang-pulang dari Bali sudah besar aja perutmu,” ujar Nila sembari mengelus perut Tamara.“Perempuan La, Zain senang sekali saat tahu punya adik perempuan,” cetus Tamara.“Oh iya, kamu sudah diberi tahu Roland kan? Kalau setelah kamu melahirkan kita akan pindah ke Bali? Aku sama Mas Jason sudah survei rumah yang nanti akan kita tempati di sana.”“Sudah La, kan tinggal menunggu aku melahirkan saja. Rumah di sana juga sudah terisi seratus persen, tinggal menempati.”“Baguslah, kamu ini delapan bula
Pagi ini Jason dan Roland akan membawa istri masing-masing ke pulau Dewata Bali. Dua pasang suami istri itu sudah berada di pesawat. Jason dan Nila duduk di depan kursi Roland dan Tamara.Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya mereka tiba di pulau Dewata Bali. Saat tiba mereka langsung dijemput oleh sopir di Bandara. Mereka langsung menuju ke vila untuk beristirahat, karena malam ini Roland dan Jason harus menghadiri rapat.Saat ini Nila sedang meminum coklat dingin di tepi kolam renang luar. Tidak lama kemudian Tamara menghampiri dan menyodorkan sebuah bikini kepada Nila.“Nggak bikini nggak Bali La,” cetus wanita itu.Nila lalu menerima bikini yang disodorkan oleh Tamara. Wanita itu menunjukkan layar tab nya pada Tamara, di mana terpampang pantai yang terdekat dari sini. “Mau pergi ke sana?” tawar Nila.“Boleh, berenang dan berjemur di siang hari sepertinya menyenangkan,” balas Tamara.“Haruskah kita membangunkan mereka?” tanya Nila.“Aku rasa tidak perlu, aku tahu tempa
“Aku jadi ikut kamu ke Bali Mas?” tanya Tamara.“Iya, nanti ada Nona Nila juga di sana,” jelas Roland.“Haruskah aku memanggil mereka seperti itu?” tanya Tamara.“Tidak perlu Ra, aku memanggil demikian hanya demi profesionalitas. Kamu, tidak terikat kontrak apa pun sehingga harus memanggil dengan sebutan itu.”“Kita di sana berapa hari Mas? Aku mau siapkan pakaian, kan kamu bilang besok berangkat pagi.”“Bawa saja untuk dua hari, kalau memang lebih lama di sana, kita bisa membeli peralatan di sana,” ujar Roland.Pria itu lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Tamara masih sibuk memilih pakaian miliknya dan suaminya yang akan dipakai ke Bali.Setelah lima belas menit, Roland keluar hanya dengan melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya sehingga mengekspos bagian dadanya.“Aku pakai baju apa Ra?” tanya Roland.“Itu, di atas kasur sudah aku siapkan,” ujar Tamara yang masih sibuk menata pakaian di dalam koper. Sebisa mungkin wanita itu hanya ingin membawa satu koper berisi perlengkapan hid