Perempuan itu memasang wajah cemberut dari sejak turun dari mobil mewahnya. Langkahnya cepat masuk ke rumah besar dengan desain klasik minimalis. Santi, wanita paruh baya yang masih terlihat sisa-sisa kecantikan di wajahnya, menyambut Tamara dengan wajah keheranan.
"Kenapa cemberut begitu, Tam?" tanya Santi sambil menelisik wajah calon menantunya itu.
Tamara menghempaskan badan ke atas sofa. Dia memang sudah seperti putri kandung di keluarga Wirabraja. Jadi, dia bersikap santai di depan orang tua Jason. "Jason, Ma," adunya.
"Kenapa Jason?"
"Dia nyuekin aku terus sekarang, Ma. Jangan-jangan dia punya perempuan lain."
"Eh, jangan berpikir yang tidak-tidak, Tam. Mungkin Jason sedang sibuk dengan pekerjaannya."
"Tapi sikapnya sama aku jadi dingin akhir-akhir ini."
"Kamu yang tenang dong, Tam. Nggak ada apa-apa sama Jason. Coba kamu bersabar menghadapi suasana hati Jason. Kamu jangan gegabah menuduh yang tidak-tidak."
Tamara semakin cemberut. Dia tidak puas dengan jawaban Santi. Bersabar dengan sikap Jason yang akhir-akhir ini dingin dan hambar padanya, tentu saja itu hal yang sulit untuk dia lakukan. "Ma, tolong bilang Jason jangan nyuekin aku," rengeknya.
"Iya, Tam. Pasti mama bilang nanti." Tamara tersenyum senang. Biasanya memang selalu seperti itu. Jika ada sikap Jason yang kurang berkenan di hatinya, Tamara akan melaporkannya pada Santi, dan keesokan harinya, sikap Jason akan lebih baik. Tunangannya itu memang sangat menurut dengan ibunya.
Tamara sangat mencintai Jason dan dia tidak bisa membayangkan jika dia kehilangan pria itu. Mungkin dia akan mati. Baginya Jason adalah segala-galanya.
"Mungkin sudah waktunya membicarakan lebih serius tentang pernikahan kalian." Ucapan Santi membuat Tamara tersenyum lebar. Ini yang selalu dinanti-nantikan. Selama ini dia menunggu Jason memutuskan tanggal pernikahan mereka, tapi sepertinya belum ada tanda-tanda mereka akan menikah dalam waktu dekat.
"Beneran, Ma?"
"Iya, Tam. Kalian kan sudah cukup lama tunangan. Untuk apa ditunda-tunda terus. Mama akan bicara serius mengenai hal ini dengan Jason."
"Makasih, Ma," ucap Tamara seraya memeluk calon mertuanya itu gembira. Tidak sabar rasanya dia menjadi Nyonya Wirabraja. Tidak sabar rasanya dia memiliki Jason seutuhnya.
***
Siang itu Nila disibukkan dengan pekerjaan yang seakan tiada habisnya. Belum lagi revisi di sana-sini berkas yang dia buat dan bosnya yang perfeksionis itu, Jason, tidak puas dengan hasil kerjanya. Padahal Nila sudah sangat teliti dalam mengerjakannya. Hanya kesalahan kecil yang hampir tidak terlihat saja, Jason menyuruhnya untuk merevisi seluruh berkas. Memang gila bosnya itu.
"Kamu bisa kerja dengan becus atau tidak? Begini saja tidak bisa. Kamu digaji untuk bekerja dengan profesional, bukan untuk belajar. Ini kantor, bukan kampus." Itu omelan yang Nila dapat dari Jason beberapa saat lalu. Rasanya mengerikan sekali melihat sorot mata tajam pria itu. Meskipun tatapan itu sedikit mengingatkannya pada seorang pria empat tahun lalu. Sejujurnya Nila tidak yakin karena malam itu, empat tahun silam, dia mabuk. Entahlah, dia tidak ingin mengingat hal memalukan itu lagi, meskipun kekonyolannya dulu telah dibayar dengan kehadiran Haiden yang melengkapi hidupnya.
"Nila, kamu bisa bikinin kopi buat Pak Jason, ya? Aku ada urusan mendadak." Bu Yolanda muncul dari balik pintu, kemudian menghilang lagi. Sepertinya, sang atasan sedang terburu-buru. "Jangan lama, ya ... ditunggu sama Pak Jason," perintahnya lagi, lalu menghilang lagi.
Nila menghela napasnya pelan. Perasaan sudah beberapa hari ini dia yang membuatkan dan mengantar kopi ke ruangan Jason. Namun sebagai asisten yang baik, Nila pun segera melaksanakan perintah atasan. Ditinggalkannya komputer yang masih menyala dan bertolak menuju pantry. Namun, di sana dia dikejutkan oleh seorang pria yang sedang membuat kopi.
"Loh, Danu?" tanya Nila terkejut. Namun, Danu malah senyum-senyum dan tampak tidak terkejut sama sekali melihat Nila. "Kamu pindah kerja di sini? Kapan?" tanyanya keheranan. Setahu Nila, Danu bekerja mengurus swalayan milik keluarganya.
"Kejutan," timpal Danu seraya mengaduk kopinya.
"Kenapa bisa? Kamu nggak kerja sama keluargamu lagi?"
"Sebenarnya aku sudah lama ditawari posisi jadi kepala HRD di sini, cuma aku masih mikir-mikir. Papaku juga nggak keberatan aku kerja di perusahaan Tante Santi ini. Tapi, sejak aku tahu kamu bekerja di sini, aku terima tawaran Tante Santi."
Entah siapa yang disebut namanya itu oleh Danu, yang jelas ada satu pertanyaan yang ingin dia lontarkan pada pria itu. "Kamu masih kerabat dengan keluarga Wirabraja?" tanyanya.
"Ya, Tante Santi, mamanya Jason, kakaknya papaku."
"Oohh." Nila melongo. "Jadi Pak Jason sepupu kamu?" tanyanya.
"Ya, begitulah." Danu terkekeh.
"Eh, aduh ... berarti kamu kepala HRD baru nih? Wah, aku manggilnya Pak Danu dong, ya?"
Danu meloloskan tawanya. "Aneh banget manggil Pak. Aku maunya dipanggil sayang."
Nila mencebik mendengar gurauan Danu. Gurauan yang serius tentu saja. Mengingat pria itu masih mengharapkannya. "Aduh, lupa. Aku harus bikin kopi buat Pak Jason. Nanti dia marah-marah kalau nunggu kelamaan. Ngeri," ucap Nila.
"Jason galak, ya?"
"Banget." Nila celingak-celinguk takut tiba-tiba ada bosnya itu mendengarkan gerutuannya. Bisa bahaya. Dia segera meracik kopi dan berpamitan pada Danu untuk mengantar pesanan kopi bos besar.
Sampai di depan pintu ruangan Jason, Nila mengetuknya. Suara Jason terdengar mempersilahkannya masuk.
"Saya pesan kopi dari berapa menit lalu kenapa baru di antar?" Baru saja melangkahkan kaki masuk, Nila sudah mendapat omelan dari pria itu. Padahal hari ini sudah beberapa kali dia kena semprot Jason, tapi masih saja Nila merasa badannya panas dingin.
"M-maaf, Pak. Tadi ...."
"Alasan apa lagi? Hari ini kamu memang sengaja membuat aku kesal, ya? Saya sudah pantau kamu dari awal, dan kerjaanmu banyak yang tidak becus. Ngerti?"
Nila menghela napas dalam-dalam. Bosnya ini terlalu melebih-lebihkan. Perasaan dia tidak banyak melakukan kesalahan. Jason saja yang terlalu detail dan kesalahan kecil saja bisa jadi alasan untuknya memarahi bawahan.
"Saya sudah berusaha bekerja sebaik mungkin, Pak. Maaf kalau belum sesuai dengan kriteria Bapak," timpal Nila. Sekali-kali menyindir pria itu kalau dia memang terlalu berlebihan. Suasana hati pria itu sepertinya sedang tidak baik, jadi dia butuh pelampiasan kekesalan. Tapi bukan berarti dia bisa semena-mena.
"Kamu berani menyindir saya?" Jason menatap tajam ke arah Nila yang saat ini pun sedang menatap ke arahnya. Tatapan keduanya kini saling beradu untuk beberapa saat. Ini pertama kalinya Nila berani beradu pandang dengan pria angkuh itu. Sekilas, hanya sekilas saja, Nila melihat kilatan aneh dalam tatapan matanya. Sebuah tatapan yang tersusun dari beberapa rasa yang bercampur. Terkejut, penasaran dan rindu. Nila merasa dadanya berdebar sangat kencang. Tatapan mata Jason membuatnya terseret pada sebuah Deja Vu.
***
Malam itu Roland mengantar berkas hasil penyelidikannya tentang gadis yang Jason cari. Hasilnya sudah ada di dalam berkas itu. Namun Jason belum menyentuhnya sama sekali. Dia hanya berdiri memandangi stopmap merah yang tergeletak di atas ranjangnya. Padahal semua yang dia cari ada di dalamnya. Jason hanya tinggal membukanya, dan menemukan jawaban yang dia cari selama ini. Nyatanya, perasaannya begitu campur-aduk. Jika dia telah mengetahui siapa dan di mana gadis itu, lalu apa yang akan dia lakukan. Menemuinya dan mengatakan kalau selama ini dia tidak bisa melupakan peristiwa malam itu, kemudian menjadikan gadis itu sebagai kekasihnya. Bagaimana dengan Tamara. Dia tidak mungkin meninggalkan tunangannya itu begitu saja. Jason meraup wajahnya kasar. Dia memantapkan diri untuk membuka berkas itu. Siapa pun dia, yang penting Jason bisa melihatnya lagi, meskipun dari jauh. Pelan tangannya meraih stopmap itu dan membukanya. Matanya membulat melihat tulisan nama dan foto salah satu karyawat
"Mama! Mama, bangun!" Nila merasa pipinya ditepuk-tepuk seseorang. Perlahan dia membuka matanya dan melihat Haiden di atas ranjangnya sambil membawa handuk. Nila segera memeriksa jam di layar ponselnya dan terkejut bukan main. Dia akan terlambat berangkat ke kantor. Sudah terbayang bagaimana bosnya akan memarahinya, atau bahkan memberinya sanksi. "Mama telat bangun." Haiden terkekeh. "Iya, Sayang. Ya udah, yuk, kita cepat mandi." Nila menggendong Haiden ke kamar mandi. Dia berusaha secepat kilat untuk mempersiapkan semuanya pagi itu untuk meminimalisir waktu terlambatnya ke kantor. Dari memandikan Haiden hingga anak itu siap berangkat sekolah, lalu berdandan ala kadarnya, sarapan dan semuanya. Setelah memastikan Haiden masuk kelas, Nila segera bertolak ke kantor. Sayangnya dia terlambat hingga tiga puluh menit lamanya. Dia segera meminta maaf pada Bu Yolanda atasannya dengan perasaan harap-harap cemas. "Tadi Pak Jason nggak bilang apa-apa waktu ngecek ke sini." Jawaban Bu Yoland
"Nila!" panggil Danu membuat Nila menghentikan langkahnya keluar dari area kantor. Danu baru saja turun dari mobilnya dan menghampirinya."Pulang bareng, yuk. Kita jemput Haiden sekalian," tawar pria itu."Nggak ngerepotin nih, Pak?" tanya Nila.Danu meloloskan tawanya. "Ini sudah di luar jam kantor. Jangan panggil Pak lagi lah, Nil. Aneh banget rasanya."Nila mencebik. "Aku naik taksi aja.""Jangan lah. Aku pingin ketemu Haiden juga kok." "Ya, udah lah," timpal Nila pasrah. Nila pun mengikuti langkah Danu menuju mobilnya. Sekilas, dia melihat mobil Jason melintas. Kemudian dia masuk ke dalam mobil Danu."Gimana kerja jadi aspri Pak Jason, galak nggak dia sekarang?" tanya Danu mengawali obrolan, setelah mobilnya melaju meninggalkan area kantor. "Nggak galak sama sekali, Dan. Aneh menurutku. Kenapa sikapnya tiba-tiba berubah seperti itu, ya?" tanya Nila. Danu tersenyum mendengar ucapan Nila. "Ya, begitulah dia, orangnya susah ditebak," kekehnya. "Yang penting gajiku naik berkali-ka
Nila sedang membuat kopi untuk Jason di pantry saat Bu Yolanda menghampirinya. Wajah perempuan paruh baya itu tampak tidak ramah. "Nila, kamu ngasih apa ke Pak Jason, kok bisa tiba-tiba dia mengangkat kamu jadi asisten pribadi?" tanya Bu Yolanda tanpa basa-basi. Dia sudah kesal dari beberapa hari ini sejak Nila naik pangkat. Padahal dirinya yang sudah bekerja bertahun-tahun di kantor ini. Seharusnya dirinyalah yang diangkat menjadi sekretraris pribadi Jason."Maksudnya gimana, Bu?" tanya Nila tak mengerti dengan maksud wanita itu. "Jadi kamu pikir kamu bisa memakai tubuhmu untuk mendapatkan jabatan sebagai sekretaris pribadi Pak Jason?" tanya Bu Yolanda dengan nada yang tajam.Nila terkejut dan bingung. Dia tak pernah memikirkan hal itu. Dia hanya mencoba melakukan pekerjaannya dengan baik. Mengapa Bu Yolanda menuduhnya seperti itu."Tidak, Bu. Saya tidak pernah berpikir seperti itu. Saya hanya mencoba melakukan pekerjaan saya dengan baik," ujar Nila, mencoba menjelaskan diri."Tapi
"Acara gala dinner akhir pekan si Puncak, saya minta kamu ikut, ya." Setelah mengatakan hal itu pada Nila, Jason menghilang di balik pintu. Nila mengecek jadwal yang telah dia susun seminggu ini untuk Jason di layar komputernya. Benar adanya. Kenapa dia bisa lupa. Acara itu akan berlangsung semalam. Artinya, Nila harus menitipkan Haiden pada temannya lagi. Sepertinya, hal-hal seperti ini yang harus Nila persiapkan sebagai asisten pribadi Jason. Dia harus menemani pria itu menghadiri acara ke luar kota meskipun di luar hari kerja. Akhir pekan pun tiba, Nila berangkat ke Puncak bersama Jason. Hanya berdua. Entah kenapa, lagi-lagi pria itu tidak membawa supir. Dia lebih senang menyetir sendiri. Sepanjang perjalanan, Nila merasa begitu canggung. Dia baru pertama kali melakukan perjalanan yang cukup panjang, menempuh waktu hampir dua jam, dengan Jason. Acara gala dinner para pengusaha muda akan diadakan di sebuah villa mewah nanti malam. Villa yang sama tempat Nila menginap. Kamarnya be
Jason yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam rumah langsung dihadang oleh Santi yang memasang wajah angker. Wanita yang telah melahirkannya itu sepertinya sedang sangat kesal padanya. Jason bisa menebak alasannya. Pasti Tamara mengadu padanya tentang apa yang Jason katakan malam itu. "Jason, kamu ngomong apa sama Tamara, kok dia datang nangis-nangis katanya nggak mau sampai kehilangan kamu?" tanya Santi. "Memangnya Tamara nggak cerita aku ngomong apa, Ma?" "Cerita. Tapi mama nggak begitu mengerti maksud Tamara apa. Kamu ngomong apa sama dia?" desak Santi."Aku cuma bilang butuh waktu." Santi mengerutkan kening. "Waktu untuk apa?" "Untuk memikirkan hubunganku sama Tamara, Ma." Jason menghempaskan badan ke atas sofa dan menghela napas dalam-dalam. "Memikirkan gimana maksud kamu? Kalian ini sudah tunangan dan sebentar lagi akan menikah.""Ma, aku nggak yakin mau menikah dengan Tamara."Sepasang mata Santi membulat. Dia tentu tidak senang dengan ucapan sang putra. "Nggak yakin gi
Tamara duduk di sebuah cafe menunggu seseorang. Tak lama kemudian, seorang pria berkemeja hitam datang menghampiri. Pria itu membungkuk memberi hormat pada Tamara, kemudian duduk di seberang meja perempuan itu."Gimana, ada info?" tanya Tamara tak sabar. "Sejauh ini saya tidak melihat Pak Jason bersama seorang wanita, kecuali asisten pribadinya, Nona Tamara.""Asisten pribadi? Sejak kapan dia punya asisten pribadi?" Tamara mengerutkan kening. "Seperti apa asisten pribadinya?" Pria itu mengeluarkan ponsel dan menggulirnya sejenak. Kemudian menunjukkan foto seorang wanita cantik pada Tamara. Perempuan itu menunjukkan wajah tak sukanya. "Ini asisten pribadinya?" tanya Tamara. "Benar, Nona. Akhir pekan kemarin Pak Jason mengajaknya ke Puncak untuk acara gathering para pengusaha muda.""Ow, jadi Jason kemarin ke Puncak dengan asisten pribadinya?" Napas Tamara memburu. Asisten pribadi Jason sangat cantik. Tamara tidak bisa menahan rasa curiganya. Bisa saja Jason ada main dengan perempu
Jason duduk di meja kerjanya, sibuk menyelesaikan tumpukan laporan yang menumpuk. Hari ini, dia menerima laporan dari anak buahnya, Rolland, tentang informasi penting mengenai Nila. Dia memang memerintahkan anak buzhnya untuk mengumpulkan informasi tentang perempuan itu dan apa yang dibutuhkannya. Rolland memberitahu Jason bahwa Nila tinggal di sebuah rumah kontrakan yang sempit dan tidak layak huni menurut pendapat Jason yang sudah terbiasa hidup di rumah besar dan mewah.Jason merasa prihatin mendengar kabar tersebut. Dia tidak bisa membiarkan Nila hidup menderita. Tanpa ragu, Jason memutuskan untuk memberikan Nila rumah baru yang lebih baik. Dia ingin memastikan bahwa Nila memiliki tempat yang nyaman untuk pulang setelah seharian bekerja keras. Jason segera menghubungi agen properti terpercaya untuk mencari rumah yang sesuai dengan kebutuhan Nila.Setelah beberapa hari mencari, Jason menemukan rumah yang sempurna untuk Nila. Rumah itu terletak di lingkungan yang aman dan tenang, de