Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
"Sudah cukup, Nona!" Malam semakin larut, tapi Nila masih betah menghabiskan waktu dengan minum-minum di bar. Bukan tanpa alasan dia mabuk malam itu. Semua gara-gara dia diputus lelaki yang menjadi kekasihnya selama tiga tahun. Dunianya runtuh, sehingga malam ini Nila nekat pergi ke bar untuk menghilangkan kesedihannya barang sejenak. "Berikan padaku!" Nila memprotes sambil menarik kasar botol minuman dari bartender yang berusaha menahannya. Pria itu menghela napas pasrah dan membiarkan Nila kembali tenggelam dalam dunianya sendiri. Bersloki-sloki gelas sudah dihabiskan hingga Nila kini tidak sanggup lagi mengangkat kepala. Beberapa kali bartender bertanya apa dia baik-baik saja dan dia menjawabnya sambil terkikik. Nila malam itu begitu cerewet. Bahkan dirinya sudah mirip orang gila yang sebentar-sebentar tertawa, sebentar-sebentar menangis dan sebentar-sebentar memaki-maki. Hingga sepasang matanya menangkap sosok seorang pria yang duduk sendiri di sofa yang ada di sudut ruang
Seminggu terakhir ini adalah hari-hari terburuk dalam hidup Nila. Dia harus menghadapi kenyataan pahit tentang Dito yang meninggalkannya, lalu kehilangan kesucian dengan cara yang paling bodoh. Perasaannya benar-benar hancur lebur. Sampai-sampai dirinya sering bolos kerja sebagai resepsionis di sebuah kantor biro perjalanan. Dia mendapat teguran dari bosnya dan terancam dipecat jika sekali lagi dia membolos. Akibat pola hidup yang kacau, Nila merasa badannya tidak terlalu fit dan meriang. Anehnya, dia hanya terserang demam saat sore menjelang malam. Sedangkan pagi hari, Nila selalu merasakan mual yang teramat sangat, padahal perutnya belum terisi apa pun. "Sarapan yuk, Nil," ajak Aisyah, rekan kerjanya yang baru tiba di kantor pagi itu. "Sepertinya enggak, Is. Perutku lagi nggak enak banget." Aisyah memperhatikan wajah Nila yang tampak pucat dengan kening mengerut. "Kamu sakit?" "Nggak tahu. Badanku sedikit nggak enak. Tapi, nggak sakit." Nila memijit kening. Beberapa menit lalu
Jason Wirabraja tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya siang ini. Semua berkas yang harus dia tandatangani menumpuk begitu saja di atas meja tanpa berniat untuk menyentuhnya. Pikirannya penuh dengan ingatan tentang malam itu bersama gadis yang dia bahkan tidak tahu namanya. Gadis yang membuatnya mabuk kepayang dengan gairah yang membara. Bahkan dengan tunangannya sendiri, Tamara, dia tidak pernah merasakan gairah yang begitu melambungkannya ke angkasa. "Anda memanggil saya, Pak Jason?" Suara Roland, orang kepercayaannya, membuyarkan lamunan Jason. "Apa sudah ada perkembangan?" tanya Jason penuh harap. "Belum, Pak. Rasanya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami."Jason menghela napas kasar. "Cari di tiap sudut kota. Cari di mana saja. Pokoknya gadis itu harus ketemu!" Dia berucap dengan kesal. "Aku tidak mau tahu. Dia harus ketemu!" "Maaf, Pak Jason, ciri-ciri yang Anda sebutkan sangat umum tentang gambaran seorang gadis cantik.""Aku tidak peduli bagaimana caranya! Ka
Empat tahun kemudian..."Ayo, Haiden, Sayang, habiskan sarapanmu, lalu kita berangkat. Mama sepertinya akan telat ke kantor kalau kamu makan pelan sekali seperti itu." Nila mengawasi bocah lucu yang sedang bermain-main dengan makanan di piringnya. "Mama telat?" tanya Haiden dengan suara cadelnya. "Iya, Sayang. Mama bisa telat. Ini hari pertama mama masuk kerja di tempat kerja baru, Haiden." Nila memberi pengertian balita itu dengan suara lembut. Haiden mengangguk-angguk mengerti. Dia cepat menghabiskan sarapannya berupa sandwich telur mata sapi dan siap untuk berangkat ke sekolah. "Anak pinter," puji Nila seraya mengelus pipi montok Haiden. Putranya yang baru berumur empat tahun itu memang tidak rewel sama sekali. Kenakalannya hanya sebatas kenakalan balita yang masih dalam tingkat wajar. Bahkan Haiden sepertinya sangat mengerti kalau Nila adalah orang tua tunggal yang mengurusnya sendirian dan harus pontang-panting bekerja. Beberapa minggu lalu, Nila terkena pengurangan karyawan