"Sudah cukup, Nona!"
Malam semakin larut, tapi Nila masih betah menghabiskan waktu dengan minum-minum di bar.
Bukan tanpa alasan dia mabuk malam itu. Semua gara-gara dia diputus lelaki yang menjadi kekasihnya selama tiga tahun. Dunianya runtuh, sehingga malam ini Nila nekat pergi ke bar untuk menghilangkan kesedihannya barang sejenak.
"Berikan padaku!" Nila memprotes sambil menarik kasar botol minuman dari bartender yang berusaha menahannya. Pria itu menghela napas pasrah dan membiarkan Nila kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.
Bersloki-sloki gelas sudah dihabiskan hingga Nila kini tidak sanggup lagi mengangkat kepala. Beberapa kali bartender bertanya apa dia baik-baik saja dan dia menjawabnya sambil terkikik.
Nila malam itu begitu cerewet. Bahkan dirinya sudah mirip orang gila yang sebentar-sebentar tertawa, sebentar-sebentar menangis dan sebentar-sebentar memaki-maki. Hingga sepasang matanya menangkap sosok seorang pria yang duduk sendiri di sofa yang ada di sudut ruangan, tengah menikmati minuman yang tersaji di atas meja.
Entah dia salah melihat atau memang benar pria itu adalah Dito, kekasihnya yang menyebabkan Nila minum-minum di bar ini. Kakinya turun dari kursi dan menginjak lantai, melangkah menghampiri pria itu.
Namun, baru saja dia hendak mencapai tempat duduk pria itu, tubuhnya oleng dan terjatuh. Dia tidak tahu apa yang terjadi, yang jelas kini Nila sudah ada di bahu pria itu yang memapahnya duduk.
"Nona, kamu tidak apa-apa?" Nila yang mendapat sentuhan tangan di bahu menoleh.
"Dito? Kenapa kamu ada di sini? Kamu menyusul aku, ya?" Sepasang mata Nila membulat. Namun sejurus kemudian kepalan tangan mungilnya menghantam dada pria itu. "Kamu jahat! Kenapa kamu ninggalin aku? Kenapa, Dito?" teriaknya sambil menangis, membuat pengunjung bar di sekitar mereka menoleh ke arah Nila dan pria itu.
"Maaf, Nona ... sepertinya kamu salah paham."
"Brengsek kamu, Dito!" Nila memaki. Dada pria itu masih dipukulinya dengan keras.
Si pria mencoba menenangkan, namun gadis itu malah histeris. Nila benar-benar ingin melampiaskan rasa sakit hatinya pada sang mantan kekasih.
"Aku permisi," ucap pria itu seraya beranjak dari duduknya saat Nila semakin menjadi-jadi. Tentu saja Nila tidak akan membiarkan pria itu pergi begitu saja.
"Eh, jangan pergi. Enak saja kamu!" Nila meraih lengan pria itu dan menariknya hingga tubuh pria itu sedikit oleng. "Kamu tidak boleh pergi," rengek Nila sambil memeluk lengannya erat.
"Maaf, Nona ... kamu salah orang," tegas pria itu seraya berusaha melepaskan diri. Namun pelukan Nila malah semakin erat.
"Ihh! Pokoknya kamu nggak boleh pergi. Kamu nggak boleh pergi!" Nila terus merengek. Dia tidak peduli pada pengunjung bar yang sebagian memperhatikannya. Bahkan ada beberapa pria yang mendekati mereka.
Hingga Nila merasakan lengannya ditarik seseorang dan dirinya dibawa keluar dari bar. Dia menurut saja sambil terus memukuli bahu pria yang menggandeng lengannya itu. Kemudian Nila didorong masuk ke dalam mobil. Entah ke mana pria itu akan membawanya, yang jelas tiba-tiba saja dia sudah berada di sebuah kamar mewah nan luas.
Nila mendongak dan dengan pandangannya yang buram dia melihat seraut wajah tampan ada di sampingnya. Sepasang mata keduanya bertemu dan terpaku untuk beberapa saat.
"Kamu sangat tampan dan... memesona." Nila tanpa sadar menyuarakan isi hatinya.
Dia tidak tahu siapa orang yang sedang berada di dekatnya itu dan sejujurnya tidak peduli. Perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam hatinya ditambah pengaruh alkohol yang masih begitu kuat, membuatnya benar-benar tidak bisa berpikir jernih.
Nila merayap menyejajarkan wajahnya dengan wajah pria itu. Pelan, dia dekatkan bibirnya pada bibir pria itu lalu mengecupnya lembut.
Mendapatkan perlakuan berani Nila padanya, untuk beberapa saat pria itu terperangah. Namun, tentu dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Sedangkan dirinya sudah sejak tadi menahan hasrat yang kian membesar.
Dilahapnya bibir Nila dengan rakus. Pria itu semakin memperdalam ciumannya saat dia merasa Nila membalas dengan tak kalah rakusnya. Keduanya saling sesap bibir begitu dalam. Menggigit, mengulum dan lidah pun saling beradu. Pria itu bahkan kini berani menyentuh bagian-bagian sensitif tubuh Nila. Leher jenjang gadis itu tidak luput dari serangannya.
"Emmh..."
Nila tidak bisa lagi menahan desahan. Sentuhan seringan kapas itu membuat tubuhnya bergetar dan menginginkan lebih.
Pria itu kini memosisikan dirinya berada di atas Nila. Namun gadis itu tidak terima. Kini justru Nila lah yang mendominasi di atasnya. Tangan Nila bergerak meloloskan semua pakaian yang menempel di badannya dan juga badan pria itu.
Tubuh keduanya kini polos tanpa sehelai benang pun. Terlihat pria itu menyempatkan diri untuk mengagumi tubuh Nila dengan lekuknya yang begitu indah di depan mata. Dua bongkahan bulat di dada Nila membuat pria itu mendamba untuk merasakannya.
"Cantik..." Samar-samar Nila mendengar ia berujar di sela-sela desahan yang bersahutan di kamar itu.
Malam itu menjadi saksi dua insan yang menyimpan hasrat dan emosi dalam diri masing-masing, saling melampiaskan sesuatu yang mendesak dalam diri mereka.
Keduanya tak lagi peduli bahwa mereka adalah dua orang yang baru saja bertemu dan tidak tahu sama sekali latar belakang masing-masing. Yang mereka rasakan hanyalah kenikmatan yang membutakan.
***
Nila membuka matanya pelan. Kepalanya terasa begitu berat. Sepertinya semalam dia banyak sekali mengkonsumsi minuman beralkohol. Ingatan terakhirnya, dia minum-minum di bar dan berbicara tidak jelas dengan seorang bartender.
Lalu, di mana dia sekarang? Nila tidak mengenal tempat ini. Dirinya terbaring di atas sebuah tempat tidur di kamar yang begitu luas. Namun, betapa terkejutnya dia saat menyadari di sampingnya ada seorang pria bertelanjang dada yang sedang tertidur.
"Astaga..." Gadis itu seketika membekap mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara histeris akibat rasa terkejutnya yang teramat sangat.
Sepasang mata indahnya membulat sempurna. "Apa yang sudah kulakukan?!" ucapnya setengah berbisik dengan mulut yang masih dia bekap sendiri.
Dada Nila berdebar kencang saat dia menyadari bahwa dirinya pun tidak mengenakan sehelai benang pun. Dia hampir saja terpekik kembali. Pakaian yang semalam dikenakannya berhamburan di lantai.
"Ya, Tuhan," ucap Nila sambil memegangi kepalanya yang masih terasa berat. Dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi semalam dengan pria itu. Pria yang dia sendiri tidak ingat kapan mereka bertemu. Bodoh, sungguh dirinya bodoh, Nila memaki dalam hati.
Nila melangkah turun dari atas ranjang. Dia berjalan tanpa suara, memunguti pakaiannya di lantai dan dengan cepat mengenakannya. Dia begitu takut pria di atas ranjang itu akan terbangun. Setelah menyambar tas miliknya yang tergeletak di atas sofa, Nila bergegas pergi meninggalkan kamar itu.
Sepanjang perjalanan pulang dengan taksi, Nila berusaha keras mengingat kejadian semalam. Namun, ingatannya terus saja berhenti saat dia berbicara dengan seorang bartender.
Siapa pria yang tidur satu ranjang dengannya itu? Apa yang sudah terjadi?
Nila menghela napas panjang karena tidak bisa mengingat apa pun. Dia baru saja diputus oleh Dito dan menyisakan rasa sakit yang luar biasa, kini dihadapkan dengan rasa sesal atas tindakan bodohnya minum-minum di bar sendirian dan berakhir bersama dengan pria asing.
"Matilah aku!"
Seminggu terakhir ini adalah hari-hari terburuk dalam hidup Nila. Dia harus menghadapi kenyataan pahit tentang Dito yang meninggalkannya, lalu kehilangan kesucian dengan cara yang paling bodoh. Perasaannya benar-benar hancur lebur. Sampai-sampai dirinya sering bolos kerja sebagai resepsionis di sebuah kantor biro perjalanan. Dia mendapat teguran dari bosnya dan terancam dipecat jika sekali lagi dia membolos. Akibat pola hidup yang kacau, Nila merasa badannya tidak terlalu fit dan meriang. Anehnya, dia hanya terserang demam saat sore menjelang malam. Sedangkan pagi hari, Nila selalu merasakan mual yang teramat sangat, padahal perutnya belum terisi apa pun. "Sarapan yuk, Nil," ajak Aisyah, rekan kerjanya yang baru tiba di kantor pagi itu. "Sepertinya enggak, Is. Perutku lagi nggak enak banget." Aisyah memperhatikan wajah Nila yang tampak pucat dengan kening mengerut. "Kamu sakit?" "Nggak tahu. Badanku sedikit nggak enak. Tapi, nggak sakit." Nila memijit kening. Beberapa menit lalu
Jason Wirabraja tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya siang ini. Semua berkas yang harus dia tandatangani menumpuk begitu saja di atas meja tanpa berniat untuk menyentuhnya. Pikirannya penuh dengan ingatan tentang malam itu bersama gadis yang dia bahkan tidak tahu namanya. Gadis yang membuatnya mabuk kepayang dengan gairah yang membara. Bahkan dengan tunangannya sendiri, Tamara, dia tidak pernah merasakan gairah yang begitu melambungkannya ke angkasa. "Anda memanggil saya, Pak Jason?" Suara Roland, orang kepercayaannya, membuyarkan lamunan Jason. "Apa sudah ada perkembangan?" tanya Jason penuh harap. "Belum, Pak. Rasanya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami."Jason menghela napas kasar. "Cari di tiap sudut kota. Cari di mana saja. Pokoknya gadis itu harus ketemu!" Dia berucap dengan kesal. "Aku tidak mau tahu. Dia harus ketemu!" "Maaf, Pak Jason, ciri-ciri yang Anda sebutkan sangat umum tentang gambaran seorang gadis cantik.""Aku tidak peduli bagaimana caranya! Ka
Empat tahun kemudian..."Ayo, Haiden, Sayang, habiskan sarapanmu, lalu kita berangkat. Mama sepertinya akan telat ke kantor kalau kamu makan pelan sekali seperti itu." Nila mengawasi bocah lucu yang sedang bermain-main dengan makanan di piringnya. "Mama telat?" tanya Haiden dengan suara cadelnya. "Iya, Sayang. Mama bisa telat. Ini hari pertama mama masuk kerja di tempat kerja baru, Haiden." Nila memberi pengertian balita itu dengan suara lembut. Haiden mengangguk-angguk mengerti. Dia cepat menghabiskan sarapannya berupa sandwich telur mata sapi dan siap untuk berangkat ke sekolah. "Anak pinter," puji Nila seraya mengelus pipi montok Haiden. Putranya yang baru berumur empat tahun itu memang tidak rewel sama sekali. Kenakalannya hanya sebatas kenakalan balita yang masih dalam tingkat wajar. Bahkan Haiden sepertinya sangat mengerti kalau Nila adalah orang tua tunggal yang mengurusnya sendirian dan harus pontang-panting bekerja. Beberapa minggu lalu, Nila terkena pengurangan karyawan
Nila memijit keningnya yang mulai terasa berat. Dari pagi menatap layar komputer mengarsipkan email-email masuk yang jumlahnya ratusan. Sebenarnya tidak masalah baginya jika saja semalam dia cukup tidur. Namun sayangnya Nila harus begadang semalaman karena Haiden sakit dan rewel. Hari ini dia terpaksa menitipkan Haiden pada salah satu temannya karena tidak mungkin Nila meninggalkannya sendirian di rumah. Konsentrasinya pun terpecah antara pekerjaan dan Haiden. "Nila, kamu bisa bikinin kopi untuk Pak Jason dan diantar ke ruangannya?" Yolanda muncul dari balik pintu dan memberinya tugas dadakan."Sekarang, Bu?" tanya Nila."Iya, sekarang. Masa besok?" Nila meringis. "Iya, Bu.""Yang enak, ya. Selera Pak Jason tinggi soalnya." Nila mengangguk dan segera melaksanakan perintah atasannya itu. Dia pergi ke pantry yang ada di lantai itu, kemudian membuat secangkir kopi untuk sang bos. Setelah selesai, dia bergegas mengantarkannya ke ruangan Jason."Masuk." Suara Jason terdengar saat Nila
"Apa itu mamamu?" tanya Jason sambil menunjuk dari jauh seorang perempuan berambut pendek yang sedang berbicara dengan seorang petugas di pusat informasi. Meskipun hanya melihat punggungnya, anak itu bisa mengenali pakaian yang dikenakan sang ibu. "Iya, Om. Itu mama," jawab anak itu senang. "Makasih, Om." Anak itu tiba-tiba memeluk Jason yang berjongkok di hadapannya. Pria itu terkejut mendapat pelukan hangat dari seorang anak yang bahkan baru pertama kali bertemu. Namun, entah kenapa dia merasakan gelenyar aneh di dalam dada. Rasanya dia seperti sudah begitu dekat dengan anak lelaki itu. Sementara Tamara menatap sinis pada dua pria berbeda generasi yang sedang berpelukan itu. "Dadah, Om!" seru anak itu seraya berlari ke arah ibunya. Tepat saat perempuan di pusat informasi itu membalikkan badan, ponsel di saku kemeja Jason berdering. Pria itu pun memutar badan dan melangkah menjauh seraya menempelkan ponsel ke telinganya. Sementara di pusat informasi, Nila menghambur memeluk Haiden
"Pak, hari ini jam satu siang ada jadwal mengunjungi yayasan Bunga Dahlia yang akan kita beli." Jason menerima berkas yang diberikan oleh Yolanda. Setelah memeriksanya sekilas, dia mengangguk. Jam satu siang dia bertolak ke sebuah yayasan yang menaungi beberapa tingkatan sekolah. Dari PAUD hingga sekolah menengah. Perusahaannya akan membeli yayasan itu, dan akan merenovasinya menjadi sekolah elite. Di mulai dari melakukan survey ke sekolah menengah, dan terakhir Jason masuk ke sekolah PAUD. "Om!" Saat berbicara dengan kepala yayasan, dia dikejutkan oleh suara panggilan dari arah kelas. Saat menoleh, seorang anak laki-laki berpipi gembul berlarian ke arahnya. Tentu saja Jason terkejut melihat anak itu. Apalagi saat anak itu tanpa ragu memeluknya. "Kamu bersekolah di sini?" tanya Jason seraya menyejajarkan posisi badannya dengan anak itu. "Iya, Om." Perempuan paruh baya yang tadi sedang bicara dengan Jason segera menarik tangan anak itu agar menjauh dari Jason. Dia merasa tidak
Perempuan itu memasang wajah cemberut dari sejak turun dari mobil mewahnya. Langkahnya cepat masuk ke rumah besar dengan desain klasik minimalis. Santi, wanita paruh baya yang masih terlihat sisa-sisa kecantikan di wajahnya, menyambut Tamara dengan wajah keheranan. "Kenapa cemberut begitu, Tam?" tanya Santi sambil menelisik wajah calon menantunya itu. Tamara menghempaskan badan ke atas sofa. Dia memang sudah seperti putri kandung di keluarga Wirabraja. Jadi, dia bersikap santai di depan orang tua Jason. "Jason, Ma," adunya."Kenapa Jason?" "Dia nyuekin aku terus sekarang, Ma. Jangan-jangan dia punya perempuan lain.""Eh, jangan berpikir yang tidak-tidak, Tam. Mungkin Jason sedang sibuk dengan pekerjaannya.""Tapi sikapnya sama aku jadi dingin akhir-akhir ini.""Kamu yang tenang dong, Tam. Nggak ada apa-apa sama Jason. Coba kamu bersabar menghadapi suasana hati Jason. Kamu jangan gegabah menuduh yang tidak-tidak."Tamara semakin cemberut. Dia tidak puas dengan jawaban Santi. Bersaba
Malam itu Roland mengantar berkas hasil penyelidikannya tentang gadis yang Jason cari. Hasilnya sudah ada di dalam berkas itu. Namun Jason belum menyentuhnya sama sekali. Dia hanya berdiri memandangi stopmap merah yang tergeletak di atas ranjangnya. Padahal semua yang dia cari ada di dalamnya. Jason hanya tinggal membukanya, dan menemukan jawaban yang dia cari selama ini. Nyatanya, perasaannya begitu campur-aduk. Jika dia telah mengetahui siapa dan di mana gadis itu, lalu apa yang akan dia lakukan. Menemuinya dan mengatakan kalau selama ini dia tidak bisa melupakan peristiwa malam itu, kemudian menjadikan gadis itu sebagai kekasihnya. Bagaimana dengan Tamara. Dia tidak mungkin meninggalkan tunangannya itu begitu saja. Jason meraup wajahnya kasar. Dia memantapkan diri untuk membuka berkas itu. Siapa pun dia, yang penting Jason bisa melihatnya lagi, meskipun dari jauh. Pelan tangannya meraih stopmap itu dan membukanya. Matanya membulat melihat tulisan nama dan foto salah satu karyawat
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti
“Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r
Sudah dua tahun terakhir sejak pernikahan Tamara dan Roland. Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia satu tahun, bahkan Tamara sedang hamil tua anak kedua mereka. Saat ini Tamara dan Nila sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan, mereka mampir ke Playground untuk meninggalkan anak-anak mereka bermain. Sementara Haiden, Haira dan Zain bermain di Playground, Nila dan Tamara pergi makan berdua sekedar untuk melepas rindu.“Anak kamu laki-laki atau perempuan Ra? Duh, pulang-pulang dari Bali sudah besar aja perutmu,” ujar Nila sembari mengelus perut Tamara.“Perempuan La, Zain senang sekali saat tahu punya adik perempuan,” cetus Tamara.“Oh iya, kamu sudah diberi tahu Roland kan? Kalau setelah kamu melahirkan kita akan pindah ke Bali? Aku sama Mas Jason sudah survei rumah yang nanti akan kita tempati di sana.”“Sudah La, kan tinggal menunggu aku melahirkan saja. Rumah di sana juga sudah terisi seratus persen, tinggal menempati.”“Baguslah, kamu ini delapan bula
Pagi ini Jason dan Roland akan membawa istri masing-masing ke pulau Dewata Bali. Dua pasang suami istri itu sudah berada di pesawat. Jason dan Nila duduk di depan kursi Roland dan Tamara.Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya mereka tiba di pulau Dewata Bali. Saat tiba mereka langsung dijemput oleh sopir di Bandara. Mereka langsung menuju ke vila untuk beristirahat, karena malam ini Roland dan Jason harus menghadiri rapat.Saat ini Nila sedang meminum coklat dingin di tepi kolam renang luar. Tidak lama kemudian Tamara menghampiri dan menyodorkan sebuah bikini kepada Nila.“Nggak bikini nggak Bali La,” cetus wanita itu.Nila lalu menerima bikini yang disodorkan oleh Tamara. Wanita itu menunjukkan layar tab nya pada Tamara, di mana terpampang pantai yang terdekat dari sini. “Mau pergi ke sana?” tawar Nila.“Boleh, berenang dan berjemur di siang hari sepertinya menyenangkan,” balas Tamara.“Haruskah kita membangunkan mereka?” tanya Nila.“Aku rasa tidak perlu, aku tahu tempa
“Aku jadi ikut kamu ke Bali Mas?” tanya Tamara.“Iya, nanti ada Nona Nila juga di sana,” jelas Roland.“Haruskah aku memanggil mereka seperti itu?” tanya Tamara.“Tidak perlu Ra, aku memanggil demikian hanya demi profesionalitas. Kamu, tidak terikat kontrak apa pun sehingga harus memanggil dengan sebutan itu.”“Kita di sana berapa hari Mas? Aku mau siapkan pakaian, kan kamu bilang besok berangkat pagi.”“Bawa saja untuk dua hari, kalau memang lebih lama di sana, kita bisa membeli peralatan di sana,” ujar Roland.Pria itu lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Tamara masih sibuk memilih pakaian miliknya dan suaminya yang akan dipakai ke Bali.Setelah lima belas menit, Roland keluar hanya dengan melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya sehingga mengekspos bagian dadanya.“Aku pakai baju apa Ra?” tanya Roland.“Itu, di atas kasur sudah aku siapkan,” ujar Tamara yang masih sibuk menata pakaian di dalam koper. Sebisa mungkin wanita itu hanya ingin membawa satu koper berisi perlengkapan hid