"Pak, hari ini jam satu siang ada jadwal mengunjungi yayasan Bunga Dahlia yang akan kita beli." Jason menerima berkas yang diberikan oleh Yolanda. Setelah memeriksanya sekilas, dia mengangguk.
Jam satu siang dia bertolak ke sebuah yayasan yang menaungi beberapa tingkatan sekolah. Dari PAUD hingga sekolah menengah. Perusahaannya akan membeli yayasan itu, dan akan merenovasinya menjadi sekolah elite. Di mulai dari melakukan survey ke sekolah menengah, dan terakhir Jason masuk ke sekolah PAUD.
"Om!" Saat berbicara dengan kepala yayasan, dia dikejutkan oleh suara panggilan dari arah kelas. Saat menoleh, seorang anak laki-laki berpipi gembul berlarian ke arahnya. Tentu saja Jason terkejut melihat anak itu. Apalagi saat anak itu tanpa ragu memeluknya.
"Kamu bersekolah di sini?" tanya Jason seraya menyejajarkan posisi badannya dengan anak itu.
"Iya, Om."
Perempuan paruh baya yang tadi sedang bicara dengan Jason segera menarik tangan anak itu agar menjauh dari Jason. Dia merasa tidak enak karena anak itu berani memeluk sang CEO yang akan membeli yayasannya.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah pernah bertemu dengan anak ini." Jason memegang kedua bahu bocah lelaki itu. "Nama kamu siapa?" tanyanya kemudian.
"Haiden, Om." Haiden menjawab dengan logat cadelnya yang menggemaskan. Saking menggemaskannya, Jason yang tidak biasa dekat dengan anak-anak saja tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Haiden. Dia menyukai anak ini. Tiba-tiba saja dia memiliki ide untuk mengajak anak itu jalan-jalan.
"Apa kamu mau ikut om jalan-jalan?" tawarnya pada Haiden.
"Mau, Om!' Jason tersenyum gembira. Kemudian dia menoleh ke arah ketua yayasan.
"Jam berapa anak ini biasa dijemput oleh orang tuanya?" tanya Jason.
"Jam empat sore, Pak."
"Aku akan mengajak anak ini jalan-jalan. Jam empat nanti dia sudah ada di sini," ucapnya membuat sang ketua yayasan heran. Namun tentu saja dia tidak bisa menolak keinginan Jason.
Haiden dengan ceria menggandeng tangan Jason dan mengikuti langkah pria itu menuju mobil mewah yang terparkir di depan gedung sekolah. Seorang supir membukakan pintu belakang lalu Jason membantu Haiden naik.
"Boleh aku panggil om, Om Baik Hati?" Jason menaikkan alisnya mendengar ucapan anak balita yang kosa katanya cukup banyak dan tertata rapi. Haiden memang anak yang cerdas. Mungkin kedua orang tuanya juga orang-orang cerdas. Semakin lama menghabiskan waktu bersama Haiden, Jason merasakan ikatan yang erat dengan anak itu. Dia mengajak anak itu ke pusat permainan di mal, lalu jalan-jalan sambil makan es krim di taman.
Cuaca cerah dan hangat seolah menyambut mereka saat mereka tiba di taman. Tangan mungil Haiden berpegangan erat pada tangan besar Jason, dan mata kecilnya penuh semangat saat melihat sekitarnya. Haiden memandangi sekeliling dengan mata cokelatnya yang berkilau. Mata cokelat yang baru Jason sadari, mirip dengan matanya.
"Om Baik Hati, tamannya bagus," ucapnya penuh kekaguman.
Jason tertawa lembut. "Iya, Haiden, taman ini memang bagus. Apa yang ingin kamu lakukan pertama kali?"
Haiden berpikir sejenak, seolah mempertimbangkan pilihan yang sangat serius. "Ayo kita naik ayunan!" serunya sambil menunjuk ke area bermain. Mereka menuju ayunan, dan Haiden melompat dengan sukacita saat Jason mendorong ayunan itu lebih tinggi. Terlihat seakan-akan Haiden bisa menyentuh langit dengan ujung jari-jarinya.
Setelah bermain di ayunan, mereka berjalan ke gerai es krim yang berwarna-warni. Haiden memandang berbagai pilihan rasa dengan wajah bingung. Jason membantu dengan memberinya beberapa saran, dan akhirnya Haiden memilih rasa strawberry.
Saat mereka duduk di bangku taman dengan es krim di tangan, Jason mencoba memecahkan keheningan. "Jadi, Haiden, apa yang kamu suka lakukan di sekolah?"
Haiden menjilat es krimnya dengan cepat, lalu menjawab sambil merenung, "Aku suka menggambar dan mewarnai. Kata Miss Sarah gambarku bagus."
Jason tersenyum bangga. "Itu suena bagus, Haiden. Seniman kecil yang hebat pasti akan melakukan hal besar suatu hari nanti."
Haiden menatap Jason dengan serius. "Kalau om, apa yang om lakukan?"
Jason memikirkan jawaban yang sederhana untuk seorang anak berusia empat tahun. "Aku bekerja untuk sebuah perusahaan yang mencoba membantu orang-orang. Kami ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik."
Haiden mengangguk, seakan-akan dia benar-benar memahami apa yang Jason lakukan. "Om Baik Hati pahlawan?"
Jason tersenyum dan mengusap kepala Haiden lembut. "Aku tidak tahu apakah aku adalah pahlawan, tetapi aku berusaha melakukan yang terbaik untuk membantu orang lain."
Haiden menyelesaikan es krimnya, lalu menyeka mulutnya dengan tisu. Dia lalu melihat Jason dengan ekspresi penuh kekaguman. "Om, aku suka main sama om. Om memang baik hati."
Jason merasa hangat di hatinya. Melihat mata cokelat mungil itu yang penuh dengan penghargaan membuatnya merasa terhubung dengan Haiden. "Terima kasih, Haiden. Aku juga suka bermain denganmu. Kita akan sering melakukannya lagi, ya? Kamu mau?"
Haiden mengangguk antusias. "Mau banget, Om!" Bocah itu kegirangan.
Mereka berdua melanjutkan hari mereka di taman, dan di dalam hati Jason, dia merasa bahwa dia telah menemukan ikatan batin yang istimewa dengan anak kecil yang cerdas ini. Sebuah rasa sayang yang muncul pertama kali melihat ke dalam mata Haiden. Jason tidak mengerti kenapa dia dipertemukan dengan anak itu dan merasakan kehangatan dalam hatinya.
"Haiden, coba lihat sini," pinta Jason pada Haiden untuk melihat ke arahnya.
"Apa, Om?"
"Apa kamu tahu kalau wajah kita mirip?" Haiden memperhatikan wajah Jason dengan seksama. Kemudian tangan kecilnya meraba hidung pria itu.
"Hidung," kekeh Haiden. Kemudian dia meraba hidung mungilnya.
"Mata kita juga sama. Sini, biar aku tunjukan." Jason mengambil ponsel di saku kemejanya, lalu menggulirnya mencari kamera untuk berfoto selfi berdua. "Lihat?"
Haiden mengangguk-angguk. "Berarti om ayahku?" tanya bocah mungil itu dengan polosnya.
Jason tertawa renyah. "Memangnya ayahmu ke mana?"
"Kata mama, papaku sudah di sana." Haiden menunjuk ke arah langit. Hati Jason mencelos mendengar ucapan Haiden. Diraihnya pundak anak itu dan dia peluk dengan erat. Tak terasa bibirnya bergerak menciumi ujung kepala Haiden. Bocah laki-laki itu pun membalas pelukan Jason dengan melingkarkan lengan kecinya di pinggang Jason.
Jason memeluk Haiden cukup lama, seakan-akan tidak ingin melepaskan anak itu. Dia merasakan kerinduan yang dia sendiri tidak tahu dari mana datangnya. Padahal sebelumnya dia belum pernah bertemu dengan anak itu.
Sebelum jam empat sore, Jason mengantarkan Haiden kembali ke sekolahnya. Lima belas menit sebelum Nila menjemput Haiden.
Nila keheranan melihat putranya senyum-senyum sendiri sepanjang perjalanan di taksi yang mengantar mereka pulang. "Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya.
"Aku punya teman baru, Mama."
"Oh ya? Siapa namanya?"
"Om Baik Hati," jawab Haiden seraya mengulas senyum lebar.
***
Perempuan itu memasang wajah cemberut dari sejak turun dari mobil mewahnya. Langkahnya cepat masuk ke rumah besar dengan desain klasik minimalis. Santi, wanita paruh baya yang masih terlihat sisa-sisa kecantikan di wajahnya, menyambut Tamara dengan wajah keheranan. "Kenapa cemberut begitu, Tam?" tanya Santi sambil menelisik wajah calon menantunya itu. Tamara menghempaskan badan ke atas sofa. Dia memang sudah seperti putri kandung di keluarga Wirabraja. Jadi, dia bersikap santai di depan orang tua Jason. "Jason, Ma," adunya."Kenapa Jason?" "Dia nyuekin aku terus sekarang, Ma. Jangan-jangan dia punya perempuan lain.""Eh, jangan berpikir yang tidak-tidak, Tam. Mungkin Jason sedang sibuk dengan pekerjaannya.""Tapi sikapnya sama aku jadi dingin akhir-akhir ini.""Kamu yang tenang dong, Tam. Nggak ada apa-apa sama Jason. Coba kamu bersabar menghadapi suasana hati Jason. Kamu jangan gegabah menuduh yang tidak-tidak."Tamara semakin cemberut. Dia tidak puas dengan jawaban Santi. Bersaba
Malam itu Roland mengantar berkas hasil penyelidikannya tentang gadis yang Jason cari. Hasilnya sudah ada di dalam berkas itu. Namun Jason belum menyentuhnya sama sekali. Dia hanya berdiri memandangi stopmap merah yang tergeletak di atas ranjangnya. Padahal semua yang dia cari ada di dalamnya. Jason hanya tinggal membukanya, dan menemukan jawaban yang dia cari selama ini. Nyatanya, perasaannya begitu campur-aduk. Jika dia telah mengetahui siapa dan di mana gadis itu, lalu apa yang akan dia lakukan. Menemuinya dan mengatakan kalau selama ini dia tidak bisa melupakan peristiwa malam itu, kemudian menjadikan gadis itu sebagai kekasihnya. Bagaimana dengan Tamara. Dia tidak mungkin meninggalkan tunangannya itu begitu saja. Jason meraup wajahnya kasar. Dia memantapkan diri untuk membuka berkas itu. Siapa pun dia, yang penting Jason bisa melihatnya lagi, meskipun dari jauh. Pelan tangannya meraih stopmap itu dan membukanya. Matanya membulat melihat tulisan nama dan foto salah satu karyawat
"Mama! Mama, bangun!" Nila merasa pipinya ditepuk-tepuk seseorang. Perlahan dia membuka matanya dan melihat Haiden di atas ranjangnya sambil membawa handuk. Nila segera memeriksa jam di layar ponselnya dan terkejut bukan main. Dia akan terlambat berangkat ke kantor. Sudah terbayang bagaimana bosnya akan memarahinya, atau bahkan memberinya sanksi. "Mama telat bangun." Haiden terkekeh. "Iya, Sayang. Ya udah, yuk, kita cepat mandi." Nila menggendong Haiden ke kamar mandi. Dia berusaha secepat kilat untuk mempersiapkan semuanya pagi itu untuk meminimalisir waktu terlambatnya ke kantor. Dari memandikan Haiden hingga anak itu siap berangkat sekolah, lalu berdandan ala kadarnya, sarapan dan semuanya. Setelah memastikan Haiden masuk kelas, Nila segera bertolak ke kantor. Sayangnya dia terlambat hingga tiga puluh menit lamanya. Dia segera meminta maaf pada Bu Yolanda atasannya dengan perasaan harap-harap cemas. "Tadi Pak Jason nggak bilang apa-apa waktu ngecek ke sini." Jawaban Bu Yoland
"Nila!" panggil Danu membuat Nila menghentikan langkahnya keluar dari area kantor. Danu baru saja turun dari mobilnya dan menghampirinya."Pulang bareng, yuk. Kita jemput Haiden sekalian," tawar pria itu."Nggak ngerepotin nih, Pak?" tanya Nila.Danu meloloskan tawanya. "Ini sudah di luar jam kantor. Jangan panggil Pak lagi lah, Nil. Aneh banget rasanya."Nila mencebik. "Aku naik taksi aja.""Jangan lah. Aku pingin ketemu Haiden juga kok." "Ya, udah lah," timpal Nila pasrah. Nila pun mengikuti langkah Danu menuju mobilnya. Sekilas, dia melihat mobil Jason melintas. Kemudian dia masuk ke dalam mobil Danu."Gimana kerja jadi aspri Pak Jason, galak nggak dia sekarang?" tanya Danu mengawali obrolan, setelah mobilnya melaju meninggalkan area kantor. "Nggak galak sama sekali, Dan. Aneh menurutku. Kenapa sikapnya tiba-tiba berubah seperti itu, ya?" tanya Nila. Danu tersenyum mendengar ucapan Nila. "Ya, begitulah dia, orangnya susah ditebak," kekehnya. "Yang penting gajiku naik berkali-ka
Nila sedang membuat kopi untuk Jason di pantry saat Bu Yolanda menghampirinya. Wajah perempuan paruh baya itu tampak tidak ramah. "Nila, kamu ngasih apa ke Pak Jason, kok bisa tiba-tiba dia mengangkat kamu jadi asisten pribadi?" tanya Bu Yolanda tanpa basa-basi. Dia sudah kesal dari beberapa hari ini sejak Nila naik pangkat. Padahal dirinya yang sudah bekerja bertahun-tahun di kantor ini. Seharusnya dirinyalah yang diangkat menjadi sekretraris pribadi Jason."Maksudnya gimana, Bu?" tanya Nila tak mengerti dengan maksud wanita itu. "Jadi kamu pikir kamu bisa memakai tubuhmu untuk mendapatkan jabatan sebagai sekretaris pribadi Pak Jason?" tanya Bu Yolanda dengan nada yang tajam.Nila terkejut dan bingung. Dia tak pernah memikirkan hal itu. Dia hanya mencoba melakukan pekerjaannya dengan baik. Mengapa Bu Yolanda menuduhnya seperti itu."Tidak, Bu. Saya tidak pernah berpikir seperti itu. Saya hanya mencoba melakukan pekerjaan saya dengan baik," ujar Nila, mencoba menjelaskan diri."Tapi
"Acara gala dinner akhir pekan si Puncak, saya minta kamu ikut, ya." Setelah mengatakan hal itu pada Nila, Jason menghilang di balik pintu. Nila mengecek jadwal yang telah dia susun seminggu ini untuk Jason di layar komputernya. Benar adanya. Kenapa dia bisa lupa. Acara itu akan berlangsung semalam. Artinya, Nila harus menitipkan Haiden pada temannya lagi. Sepertinya, hal-hal seperti ini yang harus Nila persiapkan sebagai asisten pribadi Jason. Dia harus menemani pria itu menghadiri acara ke luar kota meskipun di luar hari kerja. Akhir pekan pun tiba, Nila berangkat ke Puncak bersama Jason. Hanya berdua. Entah kenapa, lagi-lagi pria itu tidak membawa supir. Dia lebih senang menyetir sendiri. Sepanjang perjalanan, Nila merasa begitu canggung. Dia baru pertama kali melakukan perjalanan yang cukup panjang, menempuh waktu hampir dua jam, dengan Jason. Acara gala dinner para pengusaha muda akan diadakan di sebuah villa mewah nanti malam. Villa yang sama tempat Nila menginap. Kamarnya be
Jason yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam rumah langsung dihadang oleh Santi yang memasang wajah angker. Wanita yang telah melahirkannya itu sepertinya sedang sangat kesal padanya. Jason bisa menebak alasannya. Pasti Tamara mengadu padanya tentang apa yang Jason katakan malam itu. "Jason, kamu ngomong apa sama Tamara, kok dia datang nangis-nangis katanya nggak mau sampai kehilangan kamu?" tanya Santi. "Memangnya Tamara nggak cerita aku ngomong apa, Ma?" "Cerita. Tapi mama nggak begitu mengerti maksud Tamara apa. Kamu ngomong apa sama dia?" desak Santi."Aku cuma bilang butuh waktu." Santi mengerutkan kening. "Waktu untuk apa?" "Untuk memikirkan hubunganku sama Tamara, Ma." Jason menghempaskan badan ke atas sofa dan menghela napas dalam-dalam. "Memikirkan gimana maksud kamu? Kalian ini sudah tunangan dan sebentar lagi akan menikah.""Ma, aku nggak yakin mau menikah dengan Tamara."Sepasang mata Santi membulat. Dia tentu tidak senang dengan ucapan sang putra. "Nggak yakin gi
Tamara duduk di sebuah cafe menunggu seseorang. Tak lama kemudian, seorang pria berkemeja hitam datang menghampiri. Pria itu membungkuk memberi hormat pada Tamara, kemudian duduk di seberang meja perempuan itu."Gimana, ada info?" tanya Tamara tak sabar. "Sejauh ini saya tidak melihat Pak Jason bersama seorang wanita, kecuali asisten pribadinya, Nona Tamara.""Asisten pribadi? Sejak kapan dia punya asisten pribadi?" Tamara mengerutkan kening. "Seperti apa asisten pribadinya?" Pria itu mengeluarkan ponsel dan menggulirnya sejenak. Kemudian menunjukkan foto seorang wanita cantik pada Tamara. Perempuan itu menunjukkan wajah tak sukanya. "Ini asisten pribadinya?" tanya Tamara. "Benar, Nona. Akhir pekan kemarin Pak Jason mengajaknya ke Puncak untuk acara gathering para pengusaha muda.""Ow, jadi Jason kemarin ke Puncak dengan asisten pribadinya?" Napas Tamara memburu. Asisten pribadi Jason sangat cantik. Tamara tidak bisa menahan rasa curiganya. Bisa saja Jason ada main dengan perempu