“Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r
Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti
Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
"Sudah cukup, Nona!" Malam semakin larut, tapi Nila masih betah menghabiskan waktu dengan minum-minum di bar. Bukan tanpa alasan dia mabuk malam itu. Semua gara-gara dia diputus lelaki yang menjadi kekasihnya selama tiga tahun. Dunianya runtuh, sehingga malam ini Nila nekat pergi ke bar untuk menghilangkan kesedihannya barang sejenak. "Berikan padaku!" Nila memprotes sambil menarik kasar botol minuman dari bartender yang berusaha menahannya. Pria itu menghela napas pasrah dan membiarkan Nila kembali tenggelam dalam dunianya sendiri. Bersloki-sloki gelas sudah dihabiskan hingga Nila kini tidak sanggup lagi mengangkat kepala. Beberapa kali bartender bertanya apa dia baik-baik saja dan dia menjawabnya sambil terkikik. Nila malam itu begitu cerewet. Bahkan dirinya sudah mirip orang gila yang sebentar-sebentar tertawa, sebentar-sebentar menangis dan sebentar-sebentar memaki-maki. Hingga sepasang matanya menangkap sosok seorang pria yang duduk sendiri di sofa yang ada di sudut ruang
Seminggu terakhir ini adalah hari-hari terburuk dalam hidup Nila. Dia harus menghadapi kenyataan pahit tentang Dito yang meninggalkannya, lalu kehilangan kesucian dengan cara yang paling bodoh. Perasaannya benar-benar hancur lebur. Sampai-sampai dirinya sering bolos kerja sebagai resepsionis di sebuah kantor biro perjalanan. Dia mendapat teguran dari bosnya dan terancam dipecat jika sekali lagi dia membolos. Akibat pola hidup yang kacau, Nila merasa badannya tidak terlalu fit dan meriang. Anehnya, dia hanya terserang demam saat sore menjelang malam. Sedangkan pagi hari, Nila selalu merasakan mual yang teramat sangat, padahal perutnya belum terisi apa pun. "Sarapan yuk, Nil," ajak Aisyah, rekan kerjanya yang baru tiba di kantor pagi itu. "Sepertinya enggak, Is. Perutku lagi nggak enak banget." Aisyah memperhatikan wajah Nila yang tampak pucat dengan kening mengerut. "Kamu sakit?" "Nggak tahu. Badanku sedikit nggak enak. Tapi, nggak sakit." Nila memijit kening. Beberapa menit lalu
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti
“Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r
Sudah dua tahun terakhir sejak pernikahan Tamara dan Roland. Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia satu tahun, bahkan Tamara sedang hamil tua anak kedua mereka. Saat ini Tamara dan Nila sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan, mereka mampir ke Playground untuk meninggalkan anak-anak mereka bermain. Sementara Haiden, Haira dan Zain bermain di Playground, Nila dan Tamara pergi makan berdua sekedar untuk melepas rindu.“Anak kamu laki-laki atau perempuan Ra? Duh, pulang-pulang dari Bali sudah besar aja perutmu,” ujar Nila sembari mengelus perut Tamara.“Perempuan La, Zain senang sekali saat tahu punya adik perempuan,” cetus Tamara.“Oh iya, kamu sudah diberi tahu Roland kan? Kalau setelah kamu melahirkan kita akan pindah ke Bali? Aku sama Mas Jason sudah survei rumah yang nanti akan kita tempati di sana.”“Sudah La, kan tinggal menunggu aku melahirkan saja. Rumah di sana juga sudah terisi seratus persen, tinggal menempati.”“Baguslah, kamu ini delapan bula
Pagi ini Jason dan Roland akan membawa istri masing-masing ke pulau Dewata Bali. Dua pasang suami istri itu sudah berada di pesawat. Jason dan Nila duduk di depan kursi Roland dan Tamara.Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya mereka tiba di pulau Dewata Bali. Saat tiba mereka langsung dijemput oleh sopir di Bandara. Mereka langsung menuju ke vila untuk beristirahat, karena malam ini Roland dan Jason harus menghadiri rapat.Saat ini Nila sedang meminum coklat dingin di tepi kolam renang luar. Tidak lama kemudian Tamara menghampiri dan menyodorkan sebuah bikini kepada Nila.“Nggak bikini nggak Bali La,” cetus wanita itu.Nila lalu menerima bikini yang disodorkan oleh Tamara. Wanita itu menunjukkan layar tab nya pada Tamara, di mana terpampang pantai yang terdekat dari sini. “Mau pergi ke sana?” tawar Nila.“Boleh, berenang dan berjemur di siang hari sepertinya menyenangkan,” balas Tamara.“Haruskah kita membangunkan mereka?” tanya Nila.“Aku rasa tidak perlu, aku tahu tempa
“Aku jadi ikut kamu ke Bali Mas?” tanya Tamara.“Iya, nanti ada Nona Nila juga di sana,” jelas Roland.“Haruskah aku memanggil mereka seperti itu?” tanya Tamara.“Tidak perlu Ra, aku memanggil demikian hanya demi profesionalitas. Kamu, tidak terikat kontrak apa pun sehingga harus memanggil dengan sebutan itu.”“Kita di sana berapa hari Mas? Aku mau siapkan pakaian, kan kamu bilang besok berangkat pagi.”“Bawa saja untuk dua hari, kalau memang lebih lama di sana, kita bisa membeli peralatan di sana,” ujar Roland.Pria itu lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Tamara masih sibuk memilih pakaian miliknya dan suaminya yang akan dipakai ke Bali.Setelah lima belas menit, Roland keluar hanya dengan melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya sehingga mengekspos bagian dadanya.“Aku pakai baju apa Ra?” tanya Roland.“Itu, di atas kasur sudah aku siapkan,” ujar Tamara yang masih sibuk menata pakaian di dalam koper. Sebisa mungkin wanita itu hanya ingin membawa satu koper berisi perlengkapan hid