Seminggu terakhir ini adalah hari-hari terburuk dalam hidup Nila. Dia harus menghadapi kenyataan pahit tentang Dito yang meninggalkannya, lalu kehilangan kesucian dengan cara yang paling bodoh.
Perasaannya benar-benar hancur lebur. Sampai-sampai dirinya sering bolos kerja sebagai resepsionis di sebuah kantor biro perjalanan. Dia mendapat teguran dari bosnya dan terancam dipecat jika sekali lagi dia membolos.
Akibat pola hidup yang kacau, Nila merasa badannya tidak terlalu fit dan meriang. Anehnya, dia hanya terserang demam saat sore menjelang malam. Sedangkan pagi hari, Nila selalu merasakan mual yang teramat sangat, padahal perutnya belum terisi apa pun.
"Sarapan yuk, Nil," ajak Aisyah, rekan kerjanya yang baru tiba di kantor pagi itu.
"Sepertinya enggak, Is. Perutku lagi nggak enak banget." Aisyah memperhatikan wajah Nila yang tampak pucat dengan kening mengerut.
"Kamu sakit?"
"Nggak tahu. Badanku sedikit nggak enak. Tapi, nggak sakit." Nila memijit kening. Beberapa menit lalu perutnya terasa begitu mual meskipun saat dia mencoba untuk memuntahkan isi perutnya, hanya cairan lambungnya saja yang keluar. Kepalanya pun menjadi pusing sekarang.
"Kamu pucat banget, Nil. Yakin nggak sakit?" teliti Aisyah sambil menempelkan punggung tangan di kening Nila. Suhu badan gadis itu terasa normal-normal saja, tapi Nila terlihat benar-benar pucat.
"Iya, aku yakin." Nila mengulas senyumnya. Kemudian dia kembali berkutat dengan layar komputer di mejanya.
Hari itu Nila melakukan pekerjaannya dengan baik meskipun terkadang dia merasa tiba-tiba lemas dan matanya berkunang-kunang. Hingga sore hari dia pulang dan badannya kembali meriang.
Ratih merasa heran dengan putrinya yang selalu terserang demam di waktu sore. Sudah beberapa hari terus saja begitu. Namun, setiap ditanya, Nila selalu bilang bahwa dirinya baik-baik saja. Wanita itu lalu berpikir, kesehatan sang putri sedikit terganggu setelah putus cinta dengan kekasihnya.
Hari demi hari berlalu, Nila merasa badannya semakin bertambah aneh. Demam masih terus datang di sore hari, tapi sekarang bertambah dengan dirinya yang selalu memilih-milih makanan. Jika makanan yang dia makan tidak sesuai dengan yang perutnya inginkan, maka Nila akan langsung memuntahkannya. Di sisi lain, Nila terkadang begitu menginginkan suatu makanan yang bagaimanapun caranya, harus dia dapatkan.
Nila merasa harus pergi memeriksakan diri ke dokter. Dia tidak bisa begini terus karena sangat mengganggu konsentrasinya bekerja.
"Selamat, Anda akan segera menjadi Ibu."
Kalimat itu bak petir di siang bolong. Nila tak percaya dengan apa yang dokter sampaikan padanya. Ini sungguh kabar terburuk yang pernah dia dengar!
Malam itu ternyata menyebabkan benih pria asing itu bersemayam di rahimnya. Lalu bagaimana Nila akan menyampaikan hal ini pada kedua orang tuanya? Mereka pasti juga akan syok. Apalagi, Nila adalah anak satu-satunya yang menjadi harapan mereka.
"Astaghfirullah, Nila," ucap Ratih sambil memegangi dadanya yang terasa seperti dihantam benda keras setelah Nila menyampaikan tentang dirinya yang sedang hamil dua minggu. Tangisnya langsung pecah sehingga membuat emosi sang ayah, Hilman, memuncak.
"Kamu benar-benar sudah mempermalukan keluarga! Mau ditaruh di mana muka papa?" Rahang Hilman mengeras dan kedua telapak tangannya mengepal. Mungkin jika dirinya kehilangan kendali, dia akan menghajar Nila. "Kenapa kamu bisa berbuat dosa seperti ini, Nila?!" erangnya.
"Maafkan aku, Mama, Papa. Aku salah, aku bodoh." Nila bersujud di kaki kedua orang tuanya sambil terisak. Rasanya hatinya begitu perih telah membebani kedua orang tuanya dengan masalah ini.
"Siapa yang telah menghamili kamu? Dito? Dia harus bertanggung jawab untuk menikahi kamu!"
"Bukan Dito, Pa," jawab Nila di sela-sela isak tangisnya.
"Siapa dia? Akan aku hajar pria itu!" Mendengar pertanyaan dari Hilman, tangis Nila semakin menjadi-jadi.
"A-aku tidak tahu siapa pria itu, Pa," ucap Nila terbata.
"Kamu tidak tahu siapa yang menghamili kamu?" tanya Hilman tak percaya. Kabar ini bahkan semakin memburuk. Dadanya terasa begitu sesak sampai-sampai dia harus mengatur napasnya pelan.
"Maafkan aku, Pa." Nila bersimpuh memeluk kaki Hilman. Namun pria paruh baya itu seketika menarik kakinya hingga Nila tersungkur.
"Gugurkan kandunganmu, atau kamu angkat kaki dari rumah ini!" Ratih seketika menjerit mendengar Hilman mengucapkan keputusannya. Dia memohon-mohon pada suaminya itu untuk mencabut keputusannya. Biar bagaimanapun, Nila adalah putri mereka satu-satunya dan kini sedang mengandung.
Namun, Hilman tetap pada keputusannya. Dia begitu marah dengan Nila dan tidak ingin melihat wajah putrinya itu lagi.
"Gugurkan kandunganmu, atau pergi saja dari sini!" ulang Hilman mempertegas pilihan yang dia buat untuk Nila.
Sekeras apa pun Nila berusaha memohon agar ayahnya tidak mengusir dirinya dari rumah, rupanya Hilman yang begitu marah dan sakit hati, tetap pada keputusannya. Nila pun dengan sangat terpaksa keluar dari rumah itu dan mencari tempat tinggal sendiri. Dia tidak mungkin menggugurkan kandungannya. Dia sudah berbuat dosa sekali, dan tidak ingin menambah dosa dengan membunuh makhluk yang ada di dalam rahimnya.
Gadis itu terpaksa tinggal di sebuah kos sendirian. Dia benar-benar dikucilkan oleh keluarganya. Meskipun ibunya masih sering menghubungi, tetapi wanita itu tidak berani menemuinya karena takut akan kena marah Hilman.
"Maafin Mama ya, Nak," ucap Nila sambil mengusap perutnya. Dia akan membesarkan bayi dalam kandungannya seorang diri. Dia tidak akan mencari ayah dari bayinya, karena akan sangat sulit. Bahkan wajah pria itu saja dia tidak bisa mengingatnya.
Hari-hari Nila jalani dengan ikhlas sampai saat perutnya yang bertambah besar tidak lagi bisa dia sembunyikan di kantor, dan pimpinannya memecat Nila karena hamil tanpa suami dan akan mencoreng nama baik perusahaan.
Sementara itu, di bagian sudut kota yang lain, seorang pria berada di ruang kerjanya di sebuah gedung pencakar langit. Dia memanggil orang kepercayaannya untuk mencari seorang gadis yang telah menghabiskan malam panas dengannya, tapi menghilang begitu saja saat dia membuka mata.
"Cari gadis itu sampai ketemu!"
***
Jason Wirabraja tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya siang ini. Semua berkas yang harus dia tandatangani menumpuk begitu saja di atas meja tanpa berniat untuk menyentuhnya. Pikirannya penuh dengan ingatan tentang malam itu bersama gadis yang dia bahkan tidak tahu namanya. Gadis yang membuatnya mabuk kepayang dengan gairah yang membara. Bahkan dengan tunangannya sendiri, Tamara, dia tidak pernah merasakan gairah yang begitu melambungkannya ke angkasa. "Anda memanggil saya, Pak Jason?" Suara Roland, orang kepercayaannya, membuyarkan lamunan Jason. "Apa sudah ada perkembangan?" tanya Jason penuh harap. "Belum, Pak. Rasanya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami."Jason menghela napas kasar. "Cari di tiap sudut kota. Cari di mana saja. Pokoknya gadis itu harus ketemu!" Dia berucap dengan kesal. "Aku tidak mau tahu. Dia harus ketemu!" "Maaf, Pak Jason, ciri-ciri yang Anda sebutkan sangat umum tentang gambaran seorang gadis cantik.""Aku tidak peduli bagaimana caranya! Ka
Empat tahun kemudian..."Ayo, Haiden, Sayang, habiskan sarapanmu, lalu kita berangkat. Mama sepertinya akan telat ke kantor kalau kamu makan pelan sekali seperti itu." Nila mengawasi bocah lucu yang sedang bermain-main dengan makanan di piringnya. "Mama telat?" tanya Haiden dengan suara cadelnya. "Iya, Sayang. Mama bisa telat. Ini hari pertama mama masuk kerja di tempat kerja baru, Haiden." Nila memberi pengertian balita itu dengan suara lembut. Haiden mengangguk-angguk mengerti. Dia cepat menghabiskan sarapannya berupa sandwich telur mata sapi dan siap untuk berangkat ke sekolah. "Anak pinter," puji Nila seraya mengelus pipi montok Haiden. Putranya yang baru berumur empat tahun itu memang tidak rewel sama sekali. Kenakalannya hanya sebatas kenakalan balita yang masih dalam tingkat wajar. Bahkan Haiden sepertinya sangat mengerti kalau Nila adalah orang tua tunggal yang mengurusnya sendirian dan harus pontang-panting bekerja. Beberapa minggu lalu, Nila terkena pengurangan karyawan
Nila memijit keningnya yang mulai terasa berat. Dari pagi menatap layar komputer mengarsipkan email-email masuk yang jumlahnya ratusan. Sebenarnya tidak masalah baginya jika saja semalam dia cukup tidur. Namun sayangnya Nila harus begadang semalaman karena Haiden sakit dan rewel. Hari ini dia terpaksa menitipkan Haiden pada salah satu temannya karena tidak mungkin Nila meninggalkannya sendirian di rumah. Konsentrasinya pun terpecah antara pekerjaan dan Haiden. "Nila, kamu bisa bikinin kopi untuk Pak Jason dan diantar ke ruangannya?" Yolanda muncul dari balik pintu dan memberinya tugas dadakan."Sekarang, Bu?" tanya Nila."Iya, sekarang. Masa besok?" Nila meringis. "Iya, Bu.""Yang enak, ya. Selera Pak Jason tinggi soalnya." Nila mengangguk dan segera melaksanakan perintah atasannya itu. Dia pergi ke pantry yang ada di lantai itu, kemudian membuat secangkir kopi untuk sang bos. Setelah selesai, dia bergegas mengantarkannya ke ruangan Jason."Masuk." Suara Jason terdengar saat Nila
"Apa itu mamamu?" tanya Jason sambil menunjuk dari jauh seorang perempuan berambut pendek yang sedang berbicara dengan seorang petugas di pusat informasi. Meskipun hanya melihat punggungnya, anak itu bisa mengenali pakaian yang dikenakan sang ibu. "Iya, Om. Itu mama," jawab anak itu senang. "Makasih, Om." Anak itu tiba-tiba memeluk Jason yang berjongkok di hadapannya. Pria itu terkejut mendapat pelukan hangat dari seorang anak yang bahkan baru pertama kali bertemu. Namun, entah kenapa dia merasakan gelenyar aneh di dalam dada. Rasanya dia seperti sudah begitu dekat dengan anak lelaki itu. Sementara Tamara menatap sinis pada dua pria berbeda generasi yang sedang berpelukan itu. "Dadah, Om!" seru anak itu seraya berlari ke arah ibunya. Tepat saat perempuan di pusat informasi itu membalikkan badan, ponsel di saku kemeja Jason berdering. Pria itu pun memutar badan dan melangkah menjauh seraya menempelkan ponsel ke telinganya. Sementara di pusat informasi, Nila menghambur memeluk Haiden
"Pak, hari ini jam satu siang ada jadwal mengunjungi yayasan Bunga Dahlia yang akan kita beli." Jason menerima berkas yang diberikan oleh Yolanda. Setelah memeriksanya sekilas, dia mengangguk. Jam satu siang dia bertolak ke sebuah yayasan yang menaungi beberapa tingkatan sekolah. Dari PAUD hingga sekolah menengah. Perusahaannya akan membeli yayasan itu, dan akan merenovasinya menjadi sekolah elite. Di mulai dari melakukan survey ke sekolah menengah, dan terakhir Jason masuk ke sekolah PAUD. "Om!" Saat berbicara dengan kepala yayasan, dia dikejutkan oleh suara panggilan dari arah kelas. Saat menoleh, seorang anak laki-laki berpipi gembul berlarian ke arahnya. Tentu saja Jason terkejut melihat anak itu. Apalagi saat anak itu tanpa ragu memeluknya. "Kamu bersekolah di sini?" tanya Jason seraya menyejajarkan posisi badannya dengan anak itu. "Iya, Om." Perempuan paruh baya yang tadi sedang bicara dengan Jason segera menarik tangan anak itu agar menjauh dari Jason. Dia merasa tidak
Perempuan itu memasang wajah cemberut dari sejak turun dari mobil mewahnya. Langkahnya cepat masuk ke rumah besar dengan desain klasik minimalis. Santi, wanita paruh baya yang masih terlihat sisa-sisa kecantikan di wajahnya, menyambut Tamara dengan wajah keheranan. "Kenapa cemberut begitu, Tam?" tanya Santi sambil menelisik wajah calon menantunya itu. Tamara menghempaskan badan ke atas sofa. Dia memang sudah seperti putri kandung di keluarga Wirabraja. Jadi, dia bersikap santai di depan orang tua Jason. "Jason, Ma," adunya."Kenapa Jason?" "Dia nyuekin aku terus sekarang, Ma. Jangan-jangan dia punya perempuan lain.""Eh, jangan berpikir yang tidak-tidak, Tam. Mungkin Jason sedang sibuk dengan pekerjaannya.""Tapi sikapnya sama aku jadi dingin akhir-akhir ini.""Kamu yang tenang dong, Tam. Nggak ada apa-apa sama Jason. Coba kamu bersabar menghadapi suasana hati Jason. Kamu jangan gegabah menuduh yang tidak-tidak."Tamara semakin cemberut. Dia tidak puas dengan jawaban Santi. Bersaba
Malam itu Roland mengantar berkas hasil penyelidikannya tentang gadis yang Jason cari. Hasilnya sudah ada di dalam berkas itu. Namun Jason belum menyentuhnya sama sekali. Dia hanya berdiri memandangi stopmap merah yang tergeletak di atas ranjangnya. Padahal semua yang dia cari ada di dalamnya. Jason hanya tinggal membukanya, dan menemukan jawaban yang dia cari selama ini. Nyatanya, perasaannya begitu campur-aduk. Jika dia telah mengetahui siapa dan di mana gadis itu, lalu apa yang akan dia lakukan. Menemuinya dan mengatakan kalau selama ini dia tidak bisa melupakan peristiwa malam itu, kemudian menjadikan gadis itu sebagai kekasihnya. Bagaimana dengan Tamara. Dia tidak mungkin meninggalkan tunangannya itu begitu saja. Jason meraup wajahnya kasar. Dia memantapkan diri untuk membuka berkas itu. Siapa pun dia, yang penting Jason bisa melihatnya lagi, meskipun dari jauh. Pelan tangannya meraih stopmap itu dan membukanya. Matanya membulat melihat tulisan nama dan foto salah satu karyawat
"Mama! Mama, bangun!" Nila merasa pipinya ditepuk-tepuk seseorang. Perlahan dia membuka matanya dan melihat Haiden di atas ranjangnya sambil membawa handuk. Nila segera memeriksa jam di layar ponselnya dan terkejut bukan main. Dia akan terlambat berangkat ke kantor. Sudah terbayang bagaimana bosnya akan memarahinya, atau bahkan memberinya sanksi. "Mama telat bangun." Haiden terkekeh. "Iya, Sayang. Ya udah, yuk, kita cepat mandi." Nila menggendong Haiden ke kamar mandi. Dia berusaha secepat kilat untuk mempersiapkan semuanya pagi itu untuk meminimalisir waktu terlambatnya ke kantor. Dari memandikan Haiden hingga anak itu siap berangkat sekolah, lalu berdandan ala kadarnya, sarapan dan semuanya. Setelah memastikan Haiden masuk kelas, Nila segera bertolak ke kantor. Sayangnya dia terlambat hingga tiga puluh menit lamanya. Dia segera meminta maaf pada Bu Yolanda atasannya dengan perasaan harap-harap cemas. "Tadi Pak Jason nggak bilang apa-apa waktu ngecek ke sini." Jawaban Bu Yoland