Nila memijit keningnya yang mulai terasa berat. Dari pagi menatap layar komputer mengarsipkan email-email masuk yang jumlahnya ratusan. Sebenarnya tidak masalah baginya jika saja semalam dia cukup tidur. Namun sayangnya Nila harus begadang semalaman karena Haiden sakit dan rewel.
Hari ini dia terpaksa menitipkan Haiden pada salah satu temannya karena tidak mungkin Nila meninggalkannya sendirian di rumah. Konsentrasinya pun terpecah antara pekerjaan dan Haiden.
"Nila, kamu bisa bikinin kopi untuk Pak Jason dan diantar ke ruangannya?" Yolanda muncul dari balik pintu dan memberinya tugas dadakan.
"Sekarang, Bu?" tanya Nila.
"Iya, sekarang. Masa besok?"
Nila meringis. "Iya, Bu."
"Yang enak, ya. Selera Pak Jason tinggi soalnya." Nila mengangguk dan segera melaksanakan perintah atasannya itu.
Dia pergi ke pantry yang ada di lantai itu, kemudian membuat secangkir kopi untuk sang bos. Setelah selesai, dia bergegas mengantarkannya ke ruangan Jason.
"Masuk." Suara Jason terdengar saat Nila mengetuk pintu.
"Kopinya, Pak," ucap Nila seraya meletakkan cangkir ke atas meja.
"Hmm." Jason menyahut pendek tanpa menoleh ke arah Nila.
Nila hendak meninggalkan ruangan itu, tapi gerakan kakinya tertahan saat melihat kalung yang tergeletak di dekat lengan Jason yang menumpu di atas meja. Kalung dengan liontin berbentuk hati berwarna biru yang sangat mirip dengan kalungnya yang hilang empat tahun lalu, malam itu saat dirinya mabuk dan berakhir di sebuah kamar hotel dengan seorang pria asing.
Dada Nila berdebar kencang. Apakah kalung itu hanya kebetulan mirip atau...?
Nila menyentuh cincin yang ada di jari manisnya. Cincin bermata sama dengan liontin kalung itu.
"Kenapa masih berdiri di situ? Ada yang mau kamu sampaikan?" tanya Jason seraya melihat sekilas ke arah Nila.
"Oh tidak ada, Pak ... maaf, saya permisi." Nila buru-buru memutar badan dan melangkah ke arah pintu.
"Tunggu!"
Nila terkesiap dan menghentikan langkahnya. "Iya, Pak?"
"Berkas untuk rapat nanti jam dua tolong kasih saya sekarang," perintah Jason.
"Baik, Pak." Nila undur diri untuk mengambil berkas yang untung saja sudah selesai dia kerjakan. Segera dia mengambil berkas itu di mejanya dan kembali ke ruangan Jason.
Nila menunggu sampai Jason selesai memeriksa berkas itu. Dia perhatikan kening pria tampan itu mengerut. Dia terkejut tiba-tiba Jason membanting stopmap warna abu-abu yang barusan dia berikan, ke atas meja.
"Ini kenapa bisa salah tanggal?"
Nila buru-buru mengambil stopmap dan memeriksa berkas yang ada di dalamnya.
Astaga, benar rupanya! Dia salah menulis tanggal!
Saat mengerjakannya konsentrasi Nila memang terpecah antara Haiden dan apa yang sedang ditulisnya. Wajah Nila seketika pucat pasi, sebab Jason terlihat sangat marah.
"Kamu bisa teliti tidak? Ini bukan perusahaan ecek-ecek yang kamu bisa sembarangan mengerjakan pekerjaan kamu!" sembur Jason.
"M-maaf, Pak, akan segera saya perbaiki," cicit Nila seraya mengambil berkas itu dari atas meja.
"Saya tidak mau ada kesalahan seperti ini lagi. Ingat itu!" ancam Jason.
"Baik, Pak."
"Saya tunggu lima menit lagi, kamu bawa berkas yang sudah kamu perbaiki ke sini."
"Iya, Pak." Nila membawa berkas itu kembali ke ruangannya. Di sana, Yolanda menatapnya keheranan. Lalu menyakan kenapa Nila membawa berkas untuk rapat itu kembali.
"Saya salah nulis tanggal, Bu. Pak Jason marah-marah," keluh Nila sambil membuka layar komputer.
"Kok bisa salah, Nila?"
"Semalam anak saya sakit dan rewel, jadi saya jaga semalaman nggak tidur." Bahkan kantung mata Nila terlihat begitu jelas.
"Yang penting jangan diulangi lagi ya, Pak Jason nggak suka ada karyawan yang teledor."
"Iya, Bu." Nila segera memperbaiki isi berkas dengan teliti.
Setelah itu, dia kembali ke ruangan Jason. Pria itu memeriksa berkas beberapa saat, kemudian dia mengibaskan tangan memberi isyarat pada Nila untuk meninggalkan ruangan itu, tanpa mengucapkan terima kasih.
***
"Makasih ya, Mel, udah jagain Haiden." Nila berucap pada Amel, temannya yang telah menjaga Haiden seharian.
Demam Haiden sudah turun dan anak itu tampak kembali seperti semula, ceria.
"Mama, mau main ke mal," pinta Haiden saat mereka berada di dalam taksi pulang.
"Kamu kan baru sembuh, Sayang. Ngapain main ke mal?" tanya Nila seraya menyentuh kepala Haiden lembut.
"Haiden udah sembuh," jawab Haiden dengan suara cadelnya. "Ayo, Mama, ayoo," rengeknya kemudian.
Nila menghela napas dalam-dalam. Dia terpaksa menyuruh sopir taksi untuk putar arah menuju salah satu mal terdekat dari jalan yang sedang mereka lewati.
Haiden seketika berjingkrak kegirangan. Nila hanya menggeleng pelan seraya mengulas senyum.
Di sisi lain, Tamara menggandeng lengan Jason dengan mesra. Satu tangannya menenteng belanjaan yang cukup banyak. Wajah perempuan itu tampak semringah, tapi tidak dengan wajah Jason yang tampak datar.
"Sayang, makasih ya sudah temani aku belanja." Tamara bergelayut manja di lengan Jason yang tampak risih. Namun pria itu tersenyum tipis menanggapi ucapan tunangannya.
"Aduh!" pekik Tamara saat ada seseorang yang menabraknya tiba-tiba. Seorang anak kecil yang berusia sekitar empat tahunan yang tampak kebingungan.
"Punya mata nggak sih kamu!" bentak Tamara kesal.
Perhatian Jason tertuju pada anak itu. Dia melepaskan pegangan tangan Tamara dan berjongkok menyejajarkan posisi badan dengannya.
"Om, om lihat mamaku?" tanya anak itu dengan suara cadel. Kepalanya celingak-celinguk mencari-cari seseorang.
"Memang mama kamu di mana?" tanya Jason seraya menelisik wajah anak itu. Wajah tampan yang membuatnya teringat akan dirinya sewaktu kecil.
"Sayang, ngapain sih ngurusin anak orang. Ayo, pulang," rajuk Tamara seraya menarik lengan Jason.
"Sebentar. Sepertinya anak ini kehilangan mamanya."
"Terus kenapa? Bukan urusan kita."
Jason tidak memedulikan omelan Tamara. Dia kembali menghadap ke arah anak itu seraya menyentuh bahunya. Anak itu sungguh menarik perhatiannya. Seakan-akan ada suara yang membisikinya untuk tetap berbicara dengan anak itu.
"Mau om bantu cari mamamu?" tanya Jason.
"Mau, Om." Jason tersenyum. Anak ini membuatnya kagum. Dia kehilangan ibunya tapi tidak terlihat panik atau bahkan menangis. Padahal umurnya sepertinya di bawah lima tahun. Anak itu terlihat sangat menggemaskan. Jason tidak pernah berinteraksi dengan anak-anak selama ini. Namun, tiba-tiba saja anak ini datang entah dari mana dan menarik perhatiannya.
"Sayang, mau ke mana?" tanya Tamara heran saat melihat Jason menggandeng tangan anak itu dan berjalan menjauhinya. Wanita itu segera menyusul tunangannya. Wajahnya terlihat begitu kesal.
"Aku antar anak ini ke Information Center, pasti orang tuanya sedang mencari anak ini."
"Kenapa jadi kita yang repot, sih?" gerutu Tamara sebal.
Jason tidak menanggapi ucapan Tamara. Dia tetap menggandeng anak itu menuju ke pusat informasi yang berada di lantai paling bawah.
"Apa itu mamamu?" tanya Jason sambil menunjuk dari jauh seorang perempuan berambut pendek yang sedang berbicara dengan seorang petugas di pusat informasi. Meskipun hanya melihat punggungnya, anak itu bisa mengenali pakaian yang dikenakan sang ibu. "Iya, Om. Itu mama," jawab anak itu senang. "Makasih, Om." Anak itu tiba-tiba memeluk Jason yang berjongkok di hadapannya. Pria itu terkejut mendapat pelukan hangat dari seorang anak yang bahkan baru pertama kali bertemu. Namun, entah kenapa dia merasakan gelenyar aneh di dalam dada. Rasanya dia seperti sudah begitu dekat dengan anak lelaki itu. Sementara Tamara menatap sinis pada dua pria berbeda generasi yang sedang berpelukan itu. "Dadah, Om!" seru anak itu seraya berlari ke arah ibunya. Tepat saat perempuan di pusat informasi itu membalikkan badan, ponsel di saku kemeja Jason berdering. Pria itu pun memutar badan dan melangkah menjauh seraya menempelkan ponsel ke telinganya. Sementara di pusat informasi, Nila menghambur memeluk Haiden
"Pak, hari ini jam satu siang ada jadwal mengunjungi yayasan Bunga Dahlia yang akan kita beli." Jason menerima berkas yang diberikan oleh Yolanda. Setelah memeriksanya sekilas, dia mengangguk. Jam satu siang dia bertolak ke sebuah yayasan yang menaungi beberapa tingkatan sekolah. Dari PAUD hingga sekolah menengah. Perusahaannya akan membeli yayasan itu, dan akan merenovasinya menjadi sekolah elite. Di mulai dari melakukan survey ke sekolah menengah, dan terakhir Jason masuk ke sekolah PAUD. "Om!" Saat berbicara dengan kepala yayasan, dia dikejutkan oleh suara panggilan dari arah kelas. Saat menoleh, seorang anak laki-laki berpipi gembul berlarian ke arahnya. Tentu saja Jason terkejut melihat anak itu. Apalagi saat anak itu tanpa ragu memeluknya. "Kamu bersekolah di sini?" tanya Jason seraya menyejajarkan posisi badannya dengan anak itu. "Iya, Om." Perempuan paruh baya yang tadi sedang bicara dengan Jason segera menarik tangan anak itu agar menjauh dari Jason. Dia merasa tidak
Perempuan itu memasang wajah cemberut dari sejak turun dari mobil mewahnya. Langkahnya cepat masuk ke rumah besar dengan desain klasik minimalis. Santi, wanita paruh baya yang masih terlihat sisa-sisa kecantikan di wajahnya, menyambut Tamara dengan wajah keheranan. "Kenapa cemberut begitu, Tam?" tanya Santi sambil menelisik wajah calon menantunya itu. Tamara menghempaskan badan ke atas sofa. Dia memang sudah seperti putri kandung di keluarga Wirabraja. Jadi, dia bersikap santai di depan orang tua Jason. "Jason, Ma," adunya."Kenapa Jason?" "Dia nyuekin aku terus sekarang, Ma. Jangan-jangan dia punya perempuan lain.""Eh, jangan berpikir yang tidak-tidak, Tam. Mungkin Jason sedang sibuk dengan pekerjaannya.""Tapi sikapnya sama aku jadi dingin akhir-akhir ini.""Kamu yang tenang dong, Tam. Nggak ada apa-apa sama Jason. Coba kamu bersabar menghadapi suasana hati Jason. Kamu jangan gegabah menuduh yang tidak-tidak."Tamara semakin cemberut. Dia tidak puas dengan jawaban Santi. Bersaba
Malam itu Roland mengantar berkas hasil penyelidikannya tentang gadis yang Jason cari. Hasilnya sudah ada di dalam berkas itu. Namun Jason belum menyentuhnya sama sekali. Dia hanya berdiri memandangi stopmap merah yang tergeletak di atas ranjangnya. Padahal semua yang dia cari ada di dalamnya. Jason hanya tinggal membukanya, dan menemukan jawaban yang dia cari selama ini. Nyatanya, perasaannya begitu campur-aduk. Jika dia telah mengetahui siapa dan di mana gadis itu, lalu apa yang akan dia lakukan. Menemuinya dan mengatakan kalau selama ini dia tidak bisa melupakan peristiwa malam itu, kemudian menjadikan gadis itu sebagai kekasihnya. Bagaimana dengan Tamara. Dia tidak mungkin meninggalkan tunangannya itu begitu saja. Jason meraup wajahnya kasar. Dia memantapkan diri untuk membuka berkas itu. Siapa pun dia, yang penting Jason bisa melihatnya lagi, meskipun dari jauh. Pelan tangannya meraih stopmap itu dan membukanya. Matanya membulat melihat tulisan nama dan foto salah satu karyawat
"Mama! Mama, bangun!" Nila merasa pipinya ditepuk-tepuk seseorang. Perlahan dia membuka matanya dan melihat Haiden di atas ranjangnya sambil membawa handuk. Nila segera memeriksa jam di layar ponselnya dan terkejut bukan main. Dia akan terlambat berangkat ke kantor. Sudah terbayang bagaimana bosnya akan memarahinya, atau bahkan memberinya sanksi. "Mama telat bangun." Haiden terkekeh. "Iya, Sayang. Ya udah, yuk, kita cepat mandi." Nila menggendong Haiden ke kamar mandi. Dia berusaha secepat kilat untuk mempersiapkan semuanya pagi itu untuk meminimalisir waktu terlambatnya ke kantor. Dari memandikan Haiden hingga anak itu siap berangkat sekolah, lalu berdandan ala kadarnya, sarapan dan semuanya. Setelah memastikan Haiden masuk kelas, Nila segera bertolak ke kantor. Sayangnya dia terlambat hingga tiga puluh menit lamanya. Dia segera meminta maaf pada Bu Yolanda atasannya dengan perasaan harap-harap cemas. "Tadi Pak Jason nggak bilang apa-apa waktu ngecek ke sini." Jawaban Bu Yoland
"Nila!" panggil Danu membuat Nila menghentikan langkahnya keluar dari area kantor. Danu baru saja turun dari mobilnya dan menghampirinya."Pulang bareng, yuk. Kita jemput Haiden sekalian," tawar pria itu."Nggak ngerepotin nih, Pak?" tanya Nila.Danu meloloskan tawanya. "Ini sudah di luar jam kantor. Jangan panggil Pak lagi lah, Nil. Aneh banget rasanya."Nila mencebik. "Aku naik taksi aja.""Jangan lah. Aku pingin ketemu Haiden juga kok." "Ya, udah lah," timpal Nila pasrah. Nila pun mengikuti langkah Danu menuju mobilnya. Sekilas, dia melihat mobil Jason melintas. Kemudian dia masuk ke dalam mobil Danu."Gimana kerja jadi aspri Pak Jason, galak nggak dia sekarang?" tanya Danu mengawali obrolan, setelah mobilnya melaju meninggalkan area kantor. "Nggak galak sama sekali, Dan. Aneh menurutku. Kenapa sikapnya tiba-tiba berubah seperti itu, ya?" tanya Nila. Danu tersenyum mendengar ucapan Nila. "Ya, begitulah dia, orangnya susah ditebak," kekehnya. "Yang penting gajiku naik berkali-ka
Nila sedang membuat kopi untuk Jason di pantry saat Bu Yolanda menghampirinya. Wajah perempuan paruh baya itu tampak tidak ramah. "Nila, kamu ngasih apa ke Pak Jason, kok bisa tiba-tiba dia mengangkat kamu jadi asisten pribadi?" tanya Bu Yolanda tanpa basa-basi. Dia sudah kesal dari beberapa hari ini sejak Nila naik pangkat. Padahal dirinya yang sudah bekerja bertahun-tahun di kantor ini. Seharusnya dirinyalah yang diangkat menjadi sekretraris pribadi Jason."Maksudnya gimana, Bu?" tanya Nila tak mengerti dengan maksud wanita itu. "Jadi kamu pikir kamu bisa memakai tubuhmu untuk mendapatkan jabatan sebagai sekretaris pribadi Pak Jason?" tanya Bu Yolanda dengan nada yang tajam.Nila terkejut dan bingung. Dia tak pernah memikirkan hal itu. Dia hanya mencoba melakukan pekerjaannya dengan baik. Mengapa Bu Yolanda menuduhnya seperti itu."Tidak, Bu. Saya tidak pernah berpikir seperti itu. Saya hanya mencoba melakukan pekerjaan saya dengan baik," ujar Nila, mencoba menjelaskan diri."Tapi
"Acara gala dinner akhir pekan si Puncak, saya minta kamu ikut, ya." Setelah mengatakan hal itu pada Nila, Jason menghilang di balik pintu. Nila mengecek jadwal yang telah dia susun seminggu ini untuk Jason di layar komputernya. Benar adanya. Kenapa dia bisa lupa. Acara itu akan berlangsung semalam. Artinya, Nila harus menitipkan Haiden pada temannya lagi. Sepertinya, hal-hal seperti ini yang harus Nila persiapkan sebagai asisten pribadi Jason. Dia harus menemani pria itu menghadiri acara ke luar kota meskipun di luar hari kerja. Akhir pekan pun tiba, Nila berangkat ke Puncak bersama Jason. Hanya berdua. Entah kenapa, lagi-lagi pria itu tidak membawa supir. Dia lebih senang menyetir sendiri. Sepanjang perjalanan, Nila merasa begitu canggung. Dia baru pertama kali melakukan perjalanan yang cukup panjang, menempuh waktu hampir dua jam, dengan Jason. Acara gala dinner para pengusaha muda akan diadakan di sebuah villa mewah nanti malam. Villa yang sama tempat Nila menginap. Kamarnya be