Nila sedang membuat kopi untuk Jason di pantry saat Bu Yolanda menghampirinya. Wajah perempuan paruh baya itu tampak tidak ramah. "Nila, kamu ngasih apa ke Pak Jason, kok bisa tiba-tiba dia mengangkat kamu jadi asisten pribadi?" tanya Bu Yolanda tanpa basa-basi. Dia sudah kesal dari beberapa hari ini sejak Nila naik pangkat. Padahal dirinya yang sudah bekerja bertahun-tahun di kantor ini. Seharusnya dirinyalah yang diangkat menjadi sekretraris pribadi Jason."Maksudnya gimana, Bu?" tanya Nila tak mengerti dengan maksud wanita itu. "Jadi kamu pikir kamu bisa memakai tubuhmu untuk mendapatkan jabatan sebagai sekretaris pribadi Pak Jason?" tanya Bu Yolanda dengan nada yang tajam.Nila terkejut dan bingung. Dia tak pernah memikirkan hal itu. Dia hanya mencoba melakukan pekerjaannya dengan baik. Mengapa Bu Yolanda menuduhnya seperti itu."Tidak, Bu. Saya tidak pernah berpikir seperti itu. Saya hanya mencoba melakukan pekerjaan saya dengan baik," ujar Nila, mencoba menjelaskan diri."Tapi
"Acara gala dinner akhir pekan si Puncak, saya minta kamu ikut, ya." Setelah mengatakan hal itu pada Nila, Jason menghilang di balik pintu. Nila mengecek jadwal yang telah dia susun seminggu ini untuk Jason di layar komputernya. Benar adanya. Kenapa dia bisa lupa. Acara itu akan berlangsung semalam. Artinya, Nila harus menitipkan Haiden pada temannya lagi. Sepertinya, hal-hal seperti ini yang harus Nila persiapkan sebagai asisten pribadi Jason. Dia harus menemani pria itu menghadiri acara ke luar kota meskipun di luar hari kerja. Akhir pekan pun tiba, Nila berangkat ke Puncak bersama Jason. Hanya berdua. Entah kenapa, lagi-lagi pria itu tidak membawa supir. Dia lebih senang menyetir sendiri. Sepanjang perjalanan, Nila merasa begitu canggung. Dia baru pertama kali melakukan perjalanan yang cukup panjang, menempuh waktu hampir dua jam, dengan Jason. Acara gala dinner para pengusaha muda akan diadakan di sebuah villa mewah nanti malam. Villa yang sama tempat Nila menginap. Kamarnya be
Jason yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam rumah langsung dihadang oleh Santi yang memasang wajah angker. Wanita yang telah melahirkannya itu sepertinya sedang sangat kesal padanya. Jason bisa menebak alasannya. Pasti Tamara mengadu padanya tentang apa yang Jason katakan malam itu. "Jason, kamu ngomong apa sama Tamara, kok dia datang nangis-nangis katanya nggak mau sampai kehilangan kamu?" tanya Santi. "Memangnya Tamara nggak cerita aku ngomong apa, Ma?" "Cerita. Tapi mama nggak begitu mengerti maksud Tamara apa. Kamu ngomong apa sama dia?" desak Santi."Aku cuma bilang butuh waktu." Santi mengerutkan kening. "Waktu untuk apa?" "Untuk memikirkan hubunganku sama Tamara, Ma." Jason menghempaskan badan ke atas sofa dan menghela napas dalam-dalam. "Memikirkan gimana maksud kamu? Kalian ini sudah tunangan dan sebentar lagi akan menikah.""Ma, aku nggak yakin mau menikah dengan Tamara."Sepasang mata Santi membulat. Dia tentu tidak senang dengan ucapan sang putra. "Nggak yakin gi
Tamara duduk di sebuah cafe menunggu seseorang. Tak lama kemudian, seorang pria berkemeja hitam datang menghampiri. Pria itu membungkuk memberi hormat pada Tamara, kemudian duduk di seberang meja perempuan itu."Gimana, ada info?" tanya Tamara tak sabar. "Sejauh ini saya tidak melihat Pak Jason bersama seorang wanita, kecuali asisten pribadinya, Nona Tamara.""Asisten pribadi? Sejak kapan dia punya asisten pribadi?" Tamara mengerutkan kening. "Seperti apa asisten pribadinya?" Pria itu mengeluarkan ponsel dan menggulirnya sejenak. Kemudian menunjukkan foto seorang wanita cantik pada Tamara. Perempuan itu menunjukkan wajah tak sukanya. "Ini asisten pribadinya?" tanya Tamara. "Benar, Nona. Akhir pekan kemarin Pak Jason mengajaknya ke Puncak untuk acara gathering para pengusaha muda.""Ow, jadi Jason kemarin ke Puncak dengan asisten pribadinya?" Napas Tamara memburu. Asisten pribadi Jason sangat cantik. Tamara tidak bisa menahan rasa curiganya. Bisa saja Jason ada main dengan perempu
Jason duduk di meja kerjanya, sibuk menyelesaikan tumpukan laporan yang menumpuk. Hari ini, dia menerima laporan dari anak buahnya, Rolland, tentang informasi penting mengenai Nila. Dia memang memerintahkan anak buzhnya untuk mengumpulkan informasi tentang perempuan itu dan apa yang dibutuhkannya. Rolland memberitahu Jason bahwa Nila tinggal di sebuah rumah kontrakan yang sempit dan tidak layak huni menurut pendapat Jason yang sudah terbiasa hidup di rumah besar dan mewah.Jason merasa prihatin mendengar kabar tersebut. Dia tidak bisa membiarkan Nila hidup menderita. Tanpa ragu, Jason memutuskan untuk memberikan Nila rumah baru yang lebih baik. Dia ingin memastikan bahwa Nila memiliki tempat yang nyaman untuk pulang setelah seharian bekerja keras. Jason segera menghubungi agen properti terpercaya untuk mencari rumah yang sesuai dengan kebutuhan Nila.Setelah beberapa hari mencari, Jason menemukan rumah yang sempurna untuk Nila. Rumah itu terletak di lingkungan yang aman dan tenang, de
Mata Tamara membulat saat pria yang duduk di hadapannya itu memberi sebuah kabar yang sangat mengejutkan bagi dirinya. Kepalan tangannya memukul meja untuk melampiaskan kekesalannya. Bagaimana mungkin Jason membelikan rumah baru pada asisten pribadinya. Pasti ada sesuatu di balik semua yang dilakukan Jason. Dada Tamara bergemuruh. Asisten Jason adalah perempuan yang menarik dan bisa dikategorikan cantik. Bukan tidak mungkin Jason menaruh hati padanya."Awasi terus perempuan itu. Awasi Jason juga saat bersama perempuan itu ke mana pun mereka pergi," titah Tamara pada anak buahnya itu."Baik, Nona Tamara." Dada Tamara bergemuruh. Dia harus selalu mengawasi gerak-gerik Jason di kantor. Hatinya begitu menaruh curiga pada asisten pribadi tunangannya itu.Sementara itu di kantornya, Jason meminta Nila untuk menemaninya makan siang. Namun, Nila tampak ragu-ragu. Dia takut tiba-tiba tunangan bosnya itu datang dan akan membuat masalah dengannya. "Kamu sepertinya tidak berkenan menemani saya
Nila melangkah masuk ke halaman sekolah Haiden untuk menjemput putranya sore itu. Dia sedikit terlambat karena Jason memberinya tugas sebelum pria itu pergi meninggalkan kantor. Namun, saat hampir sampai di luar kelas Haiden, dia terkejut melihat putranya sedang bersama dengan seorang pria."Mama!" seru Haiden memanggilnya. Nila yang begitu kaget saat pria itu berbalik. Pria itu pun terkejut melihatnya."Pak Jason?" ucap Nila dengan tenggorokan tercekat."Nila, kenapa kamu di sini?" Jason menggandeng tangan Haiden mendekat pada Nila. Dia pun tak kalah terkejutnya saat Haiden menghambur pada Nila."Ini mamaku, Om." Ucapan Haiden membuat Jason membulatkan mata. "Mama, ini Om Baik Hati," ucap bocah itu memperkenalkan.Nila dan Jason saling menatap satu sama lain. "Jadi, ternyata kamu mamanya Haiden?" tanya Jason. Pria itu telihat senang."Iya, Pak. Haiden juga sering bercerita tentang Om Baik Hati. Te
Nila duduk di pantry sambil menyesapi kopi yang beberapa saat lalu dia buat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Tepatnya, ke dalam ruangan bioskop di mana Jason menciumnya. Dia bingung menyikapi perlakuan Jason. Setelah kontak fisik mereka yang begitu dekat itu, tidak ada pembicaraan yang terjadi di antara dirinya dan Jason tentang hal itu. Namun sikap Jason padanya begitu perhatian. Apalagi terhadap Haiden. Nila memang tidak berani berharap Jason akan mengutarakan perasaannya. Dia juga sadar posisi Jason. Namun perempuan mana yang tidak melayang jika diperlakukan seromantis itu, apalagi oleh seorang pria yang memiliki sejuta pesona. "Hei, ngelamun aja." Danu yang baru saja masuk ke dalam pantry membuat Nila terkesiap. Lamunannya tentang Jason buyar. "Ngagetin aja deh, Pak," gerutu Nila sambil mulutnya mengerucut."Habisnya kamu ngelamun gitu. Kesambet loh ntar," kekeh Danu sambil menarik kursi di seberang meja Nila. "Mikirin apa sih?" tanyanya penasaran."Nggak mikirin apa-apa kok,
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti
“Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r
Sudah dua tahun terakhir sejak pernikahan Tamara dan Roland. Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia satu tahun, bahkan Tamara sedang hamil tua anak kedua mereka. Saat ini Tamara dan Nila sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan, mereka mampir ke Playground untuk meninggalkan anak-anak mereka bermain. Sementara Haiden, Haira dan Zain bermain di Playground, Nila dan Tamara pergi makan berdua sekedar untuk melepas rindu.“Anak kamu laki-laki atau perempuan Ra? Duh, pulang-pulang dari Bali sudah besar aja perutmu,” ujar Nila sembari mengelus perut Tamara.“Perempuan La, Zain senang sekali saat tahu punya adik perempuan,” cetus Tamara.“Oh iya, kamu sudah diberi tahu Roland kan? Kalau setelah kamu melahirkan kita akan pindah ke Bali? Aku sama Mas Jason sudah survei rumah yang nanti akan kita tempati di sana.”“Sudah La, kan tinggal menunggu aku melahirkan saja. Rumah di sana juga sudah terisi seratus persen, tinggal menempati.”“Baguslah, kamu ini delapan bula
Pagi ini Jason dan Roland akan membawa istri masing-masing ke pulau Dewata Bali. Dua pasang suami istri itu sudah berada di pesawat. Jason dan Nila duduk di depan kursi Roland dan Tamara.Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya mereka tiba di pulau Dewata Bali. Saat tiba mereka langsung dijemput oleh sopir di Bandara. Mereka langsung menuju ke vila untuk beristirahat, karena malam ini Roland dan Jason harus menghadiri rapat.Saat ini Nila sedang meminum coklat dingin di tepi kolam renang luar. Tidak lama kemudian Tamara menghampiri dan menyodorkan sebuah bikini kepada Nila.“Nggak bikini nggak Bali La,” cetus wanita itu.Nila lalu menerima bikini yang disodorkan oleh Tamara. Wanita itu menunjukkan layar tab nya pada Tamara, di mana terpampang pantai yang terdekat dari sini. “Mau pergi ke sana?” tawar Nila.“Boleh, berenang dan berjemur di siang hari sepertinya menyenangkan,” balas Tamara.“Haruskah kita membangunkan mereka?” tanya Nila.“Aku rasa tidak perlu, aku tahu tempa
“Aku jadi ikut kamu ke Bali Mas?” tanya Tamara.“Iya, nanti ada Nona Nila juga di sana,” jelas Roland.“Haruskah aku memanggil mereka seperti itu?” tanya Tamara.“Tidak perlu Ra, aku memanggil demikian hanya demi profesionalitas. Kamu, tidak terikat kontrak apa pun sehingga harus memanggil dengan sebutan itu.”“Kita di sana berapa hari Mas? Aku mau siapkan pakaian, kan kamu bilang besok berangkat pagi.”“Bawa saja untuk dua hari, kalau memang lebih lama di sana, kita bisa membeli peralatan di sana,” ujar Roland.Pria itu lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Tamara masih sibuk memilih pakaian miliknya dan suaminya yang akan dipakai ke Bali.Setelah lima belas menit, Roland keluar hanya dengan melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya sehingga mengekspos bagian dadanya.“Aku pakai baju apa Ra?” tanya Roland.“Itu, di atas kasur sudah aku siapkan,” ujar Tamara yang masih sibuk menata pakaian di dalam koper. Sebisa mungkin wanita itu hanya ingin membawa satu koper berisi perlengkapan hid