Hari itu tanpa ada peringatan sebelumnya, Rissa batal bertemu sang CEO. Pesan itu disampaikan Marissa selepas Pak CEO selesai bertemu Direktur.
“Maaf, Miss Rissa. Sepertinya Pak CEO sedang tidak berkenan untuk ditemui,” katanya. Ekspresi wajahnya saat itu terlihat agak khawatir. Dia tidak memberi tahu alasannya lebih jauh pada Rissa karena itu bukan urusannya. Dia juga tidak tahu lebih jauh alasan Pak Jona tidak mau bertemu dengan Rissa.
Rissa mengangguk.
“Oh, baik Miss. Lalu kapan saya akan bertemu dengan Pak Jona? Sepertinya semua karyawan baru harus bertemu dengan beliau,” katanya. Dia takut bahwa bertemu dengan Pak Jona adalah suatu keharusan bagi karyawan baru dan bisa berabe jika dia tak kunjung juga bertemu dengan sang CEO. Dia takut akan disuruh resign atau semacamnya. Padahal dia masih karyawan kontrak selama tiga bulan.
Pertamanya Marissa mengangguk, lalu tiba-tiba dia menggeleng.
“Ya, memang begitu peraturannya, Miss. Tapi untuk saat ini, Pak CEO tidak berkenan untuk ditemui. Nanti akan kami informasikan lebih jauh saa beliau siap untuk ditemui,” katanya. Keanggunannya agakhilang karena dia kembali terlihat khawatir. Mengapa Marissa khawatir dengan Pak Jona? Atau dia khawatir dengan dia dan anaknya? Karena sepertinya tadi Pak Jona dan Pak Aidan bertengkar ...
Pertengkaran itu juga sepertinya sangat panas. Setelah kata-kata buruk yang didengarnya, terdengar gebrakan meja, lalu pintu dibuka dengan keras, dan pintu yang menutup dengan debam yang keras. Sepertinya Pak Aidan meninggalkan Pak Jona dalam kondisi marah. Kenapa mereka bertengkar sampai seperti itu di kantor?
Tapi sudahlah, itu bukan urusannya. Dia lalu kembali ke ruangan divisinya, yang anehnya, terlihat ditutup tirai semua. Memang, sejak beberapa pekan lalu, jendela-jendela tak pernah dibuka lagi dan ruangan diterangi dengan lampu. Padahal ada banyak jendela-jendela besar. Tapi tidak, ruangan justru diterangi dengan lampu dan AC dinyalakan tanpa henti.
“Aku nggak suka cahaya matahari,” kata Miss Dewinta. Dia bekerja di ruangan yang sama dengan rekan-rekan di bawah divisinya, jadi mereka biasanya menuruti kemauannya. Lagipula teman-temannya juga anehnya tidak mengeluhkan hal itu.
“Pantas Miss Dewinta pucet banget. Dia jarang kena sinar matahari, apalagi kerja di dalem ruangan terus,” kata Rissa pada Ifan.
Ifan tersenyum lemah. Dia tampak kurang sehat hari ini karena dia pucat sekali. Hal itu menjadikan dia kurang aktif dari biasanya. Rissa menggeser kursinya hingga ke bilik Ifan.
“Iya emang. Eh tahu nggak peraturan kantor diubah. Bakalan nggak ada shift pagi lagi di semua divisi. Pemasaran, media sosial, bahkan buat pemotretan model pun bisanya sore dan malam aja. Shift pagi khusus buat divisi produksi di perusahaan lain,” katanya.
Rissa terkejut.
“Iyakah?”
Biasanya jam mulai kerja kantor adalah jam 8 sampai jam 4 sore. Dia sudah biasa berangkat mulai jam 6 untuk menghindari macet sehingga dia sampai di kantor biasanya jam 8 kurang.
“Iya. Jadi mulai minggu depan kita kerja mulai jam 4 sampai jam 10 malam atau jam 12 malam sampai jam 4 pagi. Jam kerjanya lebih singkat. Katanya lebih menguntungkan kita.”
“Kamu nggak pernah baca grup kantor ya?” Ifan lalu tertawa kecil.
Rissa menepuk jidatnya.
“Iya! Aku emang jarang buka medsos kantor,” katanya.
“Oh iya kamu belum ketemu Pak Jona ya?” tanya Ifan tiba-tiba. Dia memperhatikan Rissa dengan saksama.
Rissa menggeleng.
“Belum. Aku penasaran. Katanya dia cakep banget. Udah berumur tapi kelihatan muda,” katanya.
Ifan mengangguk.
“Emang. Btw pantes kamu belum berubah,” katanya tiba-tiba.
Rissa mengernyitkan dahi. Apa kata Ifan tadi?
“Hah berubah? Apa maksudnya?” tanyanya bingung.
Ifan langsung kelihatan salah tingkah seperti tadi dia salah bicara.
“Ah, enggak. Enggak apa-apa. Aura kamu, maksudnya. Setelah ketemu Pak Jona biasanya aura orang jadi berubah. Mungkin karena kecakepannya kali ya, ha ha ha!” Ifan lalu tertawa kikuk. Dia langsung buru-buru balik ke biliknya dan menghilang dalam pekerjaannya.
***
Sore itu, selepas bekerja Miss Dewinta menraktir mereka ke sebuah restoran terkenal. Restoran itu terkenal dengan sajian steaknya. Katanya restoran itu sering menangani masakan untuk perusahaan jadi dia membawa mereka ke sana.
“Wah ada apa Miss kok traktir-traktir segala?” kata Jovanka. Dia terlihat senang dan memandang sekeliling restoran dengan antusias. Restoran saat itu tidak terlalu ramai.
“Salute! Untuk merayakan perubahan dalam divisi kita!” kata Dewinta lalu mengangkat gelasnya.
Semua orang mengikutinya. Pesanan segera berdatangan. Rissa melihat semua pesanan teman-temannya.
“Serius kalian pesan rare dan medium rare?” katanya. Dia melihat tingkat kematangan daging teman-temannya. Dia langsung mual manakala Gita mengiris steaknya dan ada darah yang mengalir. Bukankah itu steak rare? Dia paham tingkat kematangan steak dan kaget melihat penampakan steak Gita.
“Medium rare itu enak, Ris,” kata Miss Dewinta. Dia lalu mengiris steaknya sendiri, yang sepertinya tak sabar ingin dimakannya dengan segera.
Semua temannya segera makan dengan penuh kenikmatan. Rissa menelan ludah. Dia sendiri memesan steak welldone. Dia selalu memesan steak matang, karena dia benar-benar tidak bisa makan steak yang masih mentah. Dia heran pada orang yang bisa makan steak mentah hingga setengah mentah.
“Enak, lho Ris,” kata Jovanka segera. Dia lalu menyuap daging besar yang masih berwarna merah terang. Potongan yang masuk ke mulutnya sangat besar seakan dia tak sabar untuk makan dalam potongan-potongan kecil.
“Juicy dan mmm ... nggak terbayangkan rasanya!” katanya sambil mencecap penuh kenikmatan.
Ah biarlah, kenapa aku ngurusin hal itu? pikir Rissa. Mereka lalu minum wine yang berwarna merah darah. Sementara dia sendiri meminum jus. Dia tidak bisa minum wine.
Ifan mencecap winenya dengan penuh kenikmatan, begitu juga dengan teman-teman lainnya.
“Nanti kamu juga bakal berubah dan suka minum wine sama steak rare, Miss,” kata Ifan kemayu ketika Rissa memperhatikannya dengan serius.
“Selera orang berubah mengikuti selera pasar, hi hi hi,” lanjutnya dan meneruskan minum winenya.
Rissa mengernyit. Apakah ini maksudnya menyesuaikan dengan selera orang kantor? Tapi Ifan benar juga. Di kantornya yang lama, Rissa biasa berpakaian biasa saja dan memakan makanan yang biasa saja. Tapi kini, di kantor elite macam JW Company, selera dia menjadi lebih “mahal”. Dia menjadi lebih melek mode, begitu juga teman-temannya yang selalu memakai pakaian bergaya saat di kantor. Mereka juga kerap makan di restoran mewah seperti restoran ini.
“Ssst, Miss, hati-hati,” kata Miss Dewinta sambil memperingatkan Ifan. Ifan lalu buru-buru melihat Rissa dan berkata.
“Ups, maaf Miss saya tidak tahan, hi hi hi,” katanya segera dan terkikik.
Rissa kembali mengernyitkan dahinya. Apa maksud Miss Dewinta? Kenapa dia menyuruh Ifan untuk berhati-hati? Apakah ada yang salah dengan kalimat-kalimat Ifan tadi?
Tapi Miss Dewinta lalu memandang Rissa dan bulu kuduk Rissa langsung berdiri ...
Setelah itu anehnya Rissa tak pernah lagi mendapatkan perintah dari atasannya untuk bertemu Pak Jona lagi dan dia merasa aneh soal itu. Jujur, dia jadi merasa agak berbeda dengan teman-teman yang sudah bertemu dengannya. Teman-temannya sendiri tak mau membahas pertemuan mereka dengan sang CEO. Kata mereka hal itu rahasia dan mereka sudah diperintahkan untuk tidak memberitahu siapa pun yang belum pernah bertemu dengan Pak Jona. “Nanti kamu juga bakalan tahu kok,” kata Gita segera sambil memperhatikan riasannya ketika Rissa bertanya padanya dengan murung. Kulitnya padahal sudah putih pucat sempurna tapi setiap beberapa menit sekali dia pasti akan mengambil cermin dan memeriksa wajahnya. Dia juga memulas kembali lipstik merah marunnya. “Kamu pake perawatan apa sih kulitmu jadi mulus gitu?” tanya Rissa iri. Dia melihat bahwa kulit Gita benar-benar mulus seolah tanpa cela. Bahkan dia tak bisa melihat pori-pori wajah temannya itu saking terlihat sempurnanya.
Pak Jona memperhatikan daftar karyawan yang ada di depannya. “Ini semua karyawan baru yang belum bertemu dengan saya?” tanyanya serius. Dia melihat daftar teratas sampai dengan yang paling bawah. Total ada lima belas orang yang berasal dari divisi yang berbeda. Miss Marissa mengangguk. “Iya, Pak,” katanya segera. Dia memperhatikan raut wajah bosnya dengan saksama, menunggu reaksi selanjutnya dari Bosnya. Pak Jona menghela napas. “Baik. Panggil mereka satu persatu hari ini,” katanya. Dia lalu menaruh daftar karyawan itu lalu mnyandarkan tubuhnya di kursinya dan menutup matanya. Tangannya memegang pelipis. Marissa lalu memandangnya, keningnya tiba-tiba berkerut. Dia memperhatikan Pak Jona. “Maaf Pak, bagaimana keadaan Bu Claudia?” tanyanya dengan penuh perhatian. Pak Jona membuka matanya dan memandangnya. “Masih sama seperti sebelumnya. Kita dikejar waktu, Marissa,” katanya. Tatapannya, yang begitu sedih dan men
Jadi ... apakah ini maksud semua teman-temannya kemarin? Bahwa Pak Jona tidak seperti kelihatannya karena dia memang ... bukan manusia? Dan teman-temannya terus menerus berkata soal perubahan ... Jadi ... apakah mereka sekarang berubah menjadi ... vampir juga? Rissa tersentak ketika dia menyadari satu persatu perubahan temannya. Kulit yang pucat, menyukai daging mentah ... hingga ... gigi taring Gita! Ya, dia ingat apa yang aneh dari mulut Gita, gigi taringnya berubah memanjang! Astaga ... Rissa gemetar bukan main membayangkan semua itu. Jadi semua penampilan elegan rekan-rekannya di kantor ini bukan sebuah kebetulan karena mereka bekerja di kantor elit? Tapi karena mereka ... diubah menjadi vampir? Dia berada di kantor penuh vampir! “Tapi ... kenapa ... kenapa ...” Dia menatap Pak Jona, matanya membelalak lebar. Pak Jona menyeringai. “Aku membutuhkan sesuatu dari kalian. Sesuatu yang hanya bisa kudapatkan dari mengubah
Rissa bermimpi berada di awang-awang. Tubuhnya terasa begitu ringan dan terayun-ayun. Pandangannya berkabut dan tidak jelas. Dia merasa seakan pikiran dan tubuhnya tak terhubung satu sama lain. Apakah seperti ini kematian? Membuat dirinya seolah terayun-ayun seperti bayi dalam dekapan ibunya? pikirnya. Rasanya sangat nyaman, membuatnya tak ingin terbangun. Tiba-tiba dia ingat bagaimana dia mati, bagaimana proses kematiannya, dan dia rasanya ingin menjerit. “Ssst ... ssst! Tidak apa-apa ...” Suara siapa itu tadi? pikirnya. Dia seperti mendengar suara seseorang. Suara asing itu menenangkannya. Nadanya sangat indah, seperti suara musik. Dia jadi ingin tertidur lagi ... Tapi tidak. Sesuatu seperti menyengat tubuhnya dengan sangat kuat dan menyakitkan. Ketika dia berkonsentrasi untuk menemukan inti rasa sakitnya, dia kembali teringat momen sebelum kematiannya ... “Tidak!” jeritnya lagi. “Kenapa dia? Apa racunnya ma
Tapi rupanya bukan hanya dia yang terkejut, tapi juga Aidan. “Apa? Apa maksud ayah?” seru Aidan dengan segera. “Kenapa ayah membuat keputusan mendadak seperti itu?” lanjutnya dengan kaget. Pak Jona memandang anaknya. “Ibumu dan aku sudah setuju. Kami merasa sangat berterima kasih pada Rissa dan ...” “Keterlaluan!” seru Aidan segera. Dia lalu berjalan marah keluar meninggalkan ruangan. Dia melewati begitu saja Rissa yang sedang terenyak. Pak Jona tak mempedulikannya. Dia menoleh pada Rissa yang masih terlalu kaget untuk meresponnya. “Nah, bagaimana menurut Anda?” tanyanya dengan penuh harap. Rissa memandang Pak Jona dengan tatapan “Apakah Anda bercanda?” “Tidak! Saya tidak mau!” serunya segera. Dijodohkan dengan orang yang tidak dikenalnya? Setampan apa pun dia? Dia jelas tidak mau! Tapi Pak Jona tidak menggubrisnya. Sepertinya dia sedang larut dalam euforia karena istrinya sudah pulih. “Kami akan
Grup media sosial divisi Rissa malam itu ramai dengan berita. Jovanka : Istri Pak CEO udah pulih gaes! Jovanka : Udah sembuh! Jovanka : Kalian tahu kan, beliau sakit udah setahunan ini! Miss Dewinta : Astaga Miss Jova, padahal berita ini baru sampai ke telinga saya beberapa jam lalu. Jovanka : Hehe Jovanka : Maaf Miss. Saya denger dari anak media sosial tadi. Miss Dewinta : Iya gapapa kok. Santai aja Miss Gita : Katanya berobat di Singapur? Kanker? Jovanka&nb
Aidan lalu memintanya untuk masuk ke ruang meeting yang sedang kosong. Hati Rissa semakin berdebar. Apa yang akan Aidan katakan padanya? Mengapa harus memilih tempat yang berbeda dan tidak berbicara di depan teman-temannya saja?“Tolong jangan salah paham,” kata Aidan langsung ke intinya.Rissa kembali melongo. Sebagian karena ketampanan Aidan dari dekat, dan sebagian karena perkatannya yang membingungkan. Nada suaranya tegas dan terkesan “tidak perlu dibalas, iyakan saja”.Aidan memang sangat tampan dari dekat. Tubuhnya tinggi atletis, bahunya bidang. Wajahnya proporsional, campuran manis dan tampan, dengan kulit pucat khas vampir. Matanya indah dan terlihat cerdas. Dia mewarisi ketampanan dari ayahnya dan wajah manis dari ibunya. Rissa sangat mengagumi Aidan ...Tapi perkataannya sungguh membingungkan. Kenapa dia berkata agar Rissa tidak salah paham?“Anda memang telah menyelamatkan ibu saya, tapi perkataan
“What?” tanya Ifan. “Kenapa kamu disebut, Rissa?” lanjutnya dengan bingung. Dia memandang Rissa dengan tatapan yang mendekati tatapan syok. Mulutnya melongo kaget. Dan bukan dia sendiri yang terkejut. Rissa sendiri juga melongo heran dan berpikir dia salah dengar. Tapi tidak, semua orang memang sedang menatapnya kini. Teman-teman setimnya malah sedang kasak-kusuk. “Apa? Apa dia bilang? Rissa calon keluarga baru?” tanya Gita kaget. “Bukan! Anggota keluarga yang baru!” kata Jovanka sambil terperangah. “Kamu nggak berdiri, Miss?” tanya Miss Dewinta, yang walaupun juga syok tapi tetap ingat untuk mengutamakan sopan santun di mana pun dan di situasi apa pun. “Eh, oke Miss!” Rissa segera berdiri dengan canggung. “Dan telah hadir pula, CEO JW Company dan Keluarga!” si pembaca acara mengumumkan. Perhatian semua orang segera beralih pada kehadiran Pak Jona dan keluarganya. Istri Pak Jona memang sudah hadir, dan dia memang