Setelah itu anehnya Rissa tak pernah lagi mendapatkan perintah dari atasannya untuk bertemu Pak Jona lagi dan dia merasa aneh soal itu. Jujur, dia jadi merasa agak berbeda dengan teman-teman yang sudah bertemu dengannya. Teman-temannya sendiri tak mau membahas pertemuan mereka dengan sang CEO. Kata mereka hal itu rahasia dan mereka sudah diperintahkan untuk tidak memberitahu siapa pun yang belum pernah bertemu dengan Pak Jona.
“Nanti kamu juga bakalan tahu kok,” kata Gita segera sambil memperhatikan riasannya ketika Rissa bertanya padanya dengan murung. Kulitnya padahal sudah putih pucat sempurna tapi setiap beberapa menit sekali dia pasti akan mengambil cermin dan memeriksa wajahnya. Dia juga memulas kembali lipstik merah marunnya.
“Kamu pake perawatan apa sih kulitmu jadi mulus gitu?” tanya Rissa iri. Dia melihat bahwa kulit Gita benar-benar mulus seolah tanpa cela. Bahkan dia tak bisa melihat pori-pori wajah temannya itu saking terlihat sempurnanya.
Gita segera berhenti berkaca.
“Bagus ya? Hmmm... ada rahasianya. Tapi ... ya rahasia,” katanya dengan jahil.
Rissa lalu memukul pelan pundaknya.
“Ah pelit! Kasih tahu napa!” serunya.
Gita tiba-tiba memandangku.
“Eh kamu kemarin ketemu Pak Aidan ya? Gimana dia? Cakep?” tanyanya dengan nada penasaran tingkat tinggi.
Rissa mengerutkan dahi.
“Cakep sih tapi aku nggak gitu perhatiin. Kenapa?” tanyanya.
“Hmmm,” Gita mengerutkan keningnya.
“Semua anak Pak Jona cakep-cakep semua, katanya. Yang aku tahu cuma Miss Daniela, ya karena dia kepala supervisor kita. Tapi katanya Pak Aidan sama Pak Melvin cakep juga. Aku penasaran. Pak Jona sendiri cakep bukan main sayangnya udah punya istri,” katanya, kembali jahil.
Rissa kembali memukul pundaknya.
“Hei!!!”
Gita tertawa. Rissa memperhatikan ada yang aneh dari mulutnya. Tapi apa ya? Tadi aku hanya melihat selintas, pikirnya. Ah udahlah nggak usah terlalu dipikirin, lanjutnya.
“Eh istri Pak Jona katanya cantik banget, cuma setiap ada pesta atau acara akbar di kantor, nggak pernah dateng. Katanya lagi sakit parah.”
Pada kalimat terakhir, Gita berbisik, seolah hal yang diucapkannya tadi harusnya dirahasiain.
“Kok kamu tahu?” Rissa jadi ikut berbisik.
“Gosip umum,” bisiknya.
Rissa menarik napasnya.
“Sakit apa?” tanyanya.
Gita mengedikkan bahu, menandakan bahwa ia tidak tahu sampai sejauh itu.
“Nggak ada yang tahu. Tapi banyak yang bilang kalo kanker,” katanya.
“Kanker?!” tanya Rissa kaget. Istri Pak Jona menderita penyakit separah itu? Sungguh kasihan ...
Tapi sayangnya bukan itu yang dirasakan oleh Gita. Temannya itu malah berkata,
“Sayang banget dong kalo gitu. Kan Pak Jona jadi dianggurin. Eh siapa tahu nanti aku bisa gantiin istrinya?” tanyanya genit. Setelah mengatakan hal itu dia lalu memandang sekelilingnya seakan tahu seseorang akan mendengar kata-katanya dan menghujatnya. Kata-katanya memang tak pantas dan dia sebenarnya tahu akan hal itu.
“Heiii!” Rissa kembali memukulnya untuk yang ketiga kalinya. Temannya yang satu ini sepertinya memang memerlukan pukulan untuk membuatnya tetap waras dan tidak berpikir hal yang aneh-aneh.
Gita cemberut. Dia lalu menutup cerminnya.
“Kamu kok suka mukul sih. Suka main kasar deh,” gerutunya.
Ucapannya membuat Rissa tak sanggup menahan tawa.
***
Di sebuah ruangan yang sangat megah, tampak seorang pria sedang berlutut di depan sebuah tempat tidur yang juga sangat megah. Tempat tidur itu adalah tipe tempat tidur kayu besar dengan tiang tinggi yang memiliki kelambu. Kelambu itu terbuat dari sutra berwarna putih yang dihiasi dengan sulaman bunga-bunga mawar putih. Keseluruhan kamar itu terlihat sangat cantik tapi juga begitu sendu dikarenakan wanita yang menghuni kamar itu sedang sakit.
Di atas tempat tidur itu, berbaring seseorang yang sedang ditangisi oleh si pria. Tubuh wanita itu, yang terbungkus dalam gaun tidur panjang berwarna putih tampak kurus dan ringkih. Wajahnya penuh dengan urat biru yang bertonjolan. Dia sebenarnya sangatlah cantik. Wajahnya seperti seorang wanita aristokrat yang sangat anggun. Tapi kini, kulitnya yang dulu berwarna sawo matang cantik menjadi berwarna putih pucat. Bibirnya yang dulunya sangat cantik dengan warna merah merona dan penuh kini menjadi pucat kebiruan. Rambutnya yang dulunya panjang dan hitam kelam, dan sering disanggul dengan anggun kini berubah menjadi abu-abu dan tampak rusak. Rambutnya kini digerai dengan hati-hati di sekeliling kepalanya untuk membuatnya tetap nyaman. Selimut menutup badannya sampai perut.
“Claudia, maafkan aku. Aku akan berusaha menemukan obatmu. Bertahanlah sebentar lagi, sayang,” katanya tersedu-sedu. Dia memegang tangan si wanita. Dia menunduk lalu mencium dahi wanita itu. Wanita itu menutup matanya saat lelaki itu menciumnya.
Tangan wanita itu bukan main pucatnya tapi juga tampak sangat sakit dan tidak normal. Pembuluh-pembuluh darahnya, yang berwarna biru bertonjolan seperti yang terjadi di wajahnya, juga bertonjolan di sepanjang lengan dan jari-jemarinya. Tangan itu terjulur lemah pada si pria yang memegangnya dengan hati-hati dan penuh rasa sayang.
“Aku ... tidak apa-apa,” kata si wanita terpatah-patah. Dia lalu mengelus kepala si pria dengan penuh rasa sayang juga.
“Tidak, tidak. Ini semua salahku, Claudia sayang. Tunggulah sebentar lagi. Aku yakin kita akan segera menemukan obatnya,” kata si lelaki. Dia kemudian tersedu-sedu lagi.
“Tak perlu tergesa, aku akan menunggu,” kata si wanita dengan lemah. Dia lalu menghela napas dengan kesulitan. Penyakitnya sepertinya membuatnya begitu menderita, bahkan menarik napas saja dia harus bersusah payah dahulu.
Tapi si pria tahu waktunya semakin sempit. Sudah setahun wanita itu terbangun dan makin lama dia melihat bahwa kondisinya memburuk. Awalnya dulu tak seburuk ini, walaupun sejak hari penyakitnya dimulai sebenarnya sudah buruk ...
Penyakit itu merenggut wanita yang dicintainya ini. Sudah sejak setahun wanita itu hidup namun seperti mati, dan itulah juga yang dirasakan oleh si lelaki. Dia merasa mati saat wanita tercintanya itu sakit ...
Dia tahu bahkan ketika berbicara wanita itu merasa sangat kesakitan. Gerakan bibirnya terlihat lemah dan setiap katanya terdengar dipaksakan. Bahkan saat tidur pun dia kelihatan kesakitan dan lemah, seolah tak ada sedetikpun waktu baginya untuk merasa lebih baik dari sebelumnya.
Lelaki itu juga tahu apa yang menyebabkan penyakit wanita itu dan merasa sangat bersalah karenanya hari demi hari. Kesuksesannya di dunia tak menjamin kebahagiaannya. Walaupun dia dikenal sebagai lelaki tampan yang sukses, semua itu tak berarti baginya. Dia menghadapi setiap harinya dengan berat, bertarung setiap hari mencari obat. Seseorang memberitahunya bahwa obatnya hanyalah satu, dan dia kini mendedikasikan hidupnya sepenuhnya demi mencari obat yang hanya satu itu.
Sesuatu dari dalam tubuh wanita itu menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit, seperti memakannya dari dalam, mengambil setiap detik hidupnya dan si pria tahu dia dikejar waktu untuk menemukan penawarnya ...
Sebelum dia kehilangan wanita itu untuk selamanya ...
Pak Jona memperhatikan daftar karyawan yang ada di depannya. “Ini semua karyawan baru yang belum bertemu dengan saya?” tanyanya serius. Dia melihat daftar teratas sampai dengan yang paling bawah. Total ada lima belas orang yang berasal dari divisi yang berbeda. Miss Marissa mengangguk. “Iya, Pak,” katanya segera. Dia memperhatikan raut wajah bosnya dengan saksama, menunggu reaksi selanjutnya dari Bosnya. Pak Jona menghela napas. “Baik. Panggil mereka satu persatu hari ini,” katanya. Dia lalu menaruh daftar karyawan itu lalu mnyandarkan tubuhnya di kursinya dan menutup matanya. Tangannya memegang pelipis. Marissa lalu memandangnya, keningnya tiba-tiba berkerut. Dia memperhatikan Pak Jona. “Maaf Pak, bagaimana keadaan Bu Claudia?” tanyanya dengan penuh perhatian. Pak Jona membuka matanya dan memandangnya. “Masih sama seperti sebelumnya. Kita dikejar waktu, Marissa,” katanya. Tatapannya, yang begitu sedih dan men
Jadi ... apakah ini maksud semua teman-temannya kemarin? Bahwa Pak Jona tidak seperti kelihatannya karena dia memang ... bukan manusia? Dan teman-temannya terus menerus berkata soal perubahan ... Jadi ... apakah mereka sekarang berubah menjadi ... vampir juga? Rissa tersentak ketika dia menyadari satu persatu perubahan temannya. Kulit yang pucat, menyukai daging mentah ... hingga ... gigi taring Gita! Ya, dia ingat apa yang aneh dari mulut Gita, gigi taringnya berubah memanjang! Astaga ... Rissa gemetar bukan main membayangkan semua itu. Jadi semua penampilan elegan rekan-rekannya di kantor ini bukan sebuah kebetulan karena mereka bekerja di kantor elit? Tapi karena mereka ... diubah menjadi vampir? Dia berada di kantor penuh vampir! “Tapi ... kenapa ... kenapa ...” Dia menatap Pak Jona, matanya membelalak lebar. Pak Jona menyeringai. “Aku membutuhkan sesuatu dari kalian. Sesuatu yang hanya bisa kudapatkan dari mengubah
Rissa bermimpi berada di awang-awang. Tubuhnya terasa begitu ringan dan terayun-ayun. Pandangannya berkabut dan tidak jelas. Dia merasa seakan pikiran dan tubuhnya tak terhubung satu sama lain. Apakah seperti ini kematian? Membuat dirinya seolah terayun-ayun seperti bayi dalam dekapan ibunya? pikirnya. Rasanya sangat nyaman, membuatnya tak ingin terbangun. Tiba-tiba dia ingat bagaimana dia mati, bagaimana proses kematiannya, dan dia rasanya ingin menjerit. “Ssst ... ssst! Tidak apa-apa ...” Suara siapa itu tadi? pikirnya. Dia seperti mendengar suara seseorang. Suara asing itu menenangkannya. Nadanya sangat indah, seperti suara musik. Dia jadi ingin tertidur lagi ... Tapi tidak. Sesuatu seperti menyengat tubuhnya dengan sangat kuat dan menyakitkan. Ketika dia berkonsentrasi untuk menemukan inti rasa sakitnya, dia kembali teringat momen sebelum kematiannya ... “Tidak!” jeritnya lagi. “Kenapa dia? Apa racunnya ma
Tapi rupanya bukan hanya dia yang terkejut, tapi juga Aidan. “Apa? Apa maksud ayah?” seru Aidan dengan segera. “Kenapa ayah membuat keputusan mendadak seperti itu?” lanjutnya dengan kaget. Pak Jona memandang anaknya. “Ibumu dan aku sudah setuju. Kami merasa sangat berterima kasih pada Rissa dan ...” “Keterlaluan!” seru Aidan segera. Dia lalu berjalan marah keluar meninggalkan ruangan. Dia melewati begitu saja Rissa yang sedang terenyak. Pak Jona tak mempedulikannya. Dia menoleh pada Rissa yang masih terlalu kaget untuk meresponnya. “Nah, bagaimana menurut Anda?” tanyanya dengan penuh harap. Rissa memandang Pak Jona dengan tatapan “Apakah Anda bercanda?” “Tidak! Saya tidak mau!” serunya segera. Dijodohkan dengan orang yang tidak dikenalnya? Setampan apa pun dia? Dia jelas tidak mau! Tapi Pak Jona tidak menggubrisnya. Sepertinya dia sedang larut dalam euforia karena istrinya sudah pulih. “Kami akan
Grup media sosial divisi Rissa malam itu ramai dengan berita. Jovanka : Istri Pak CEO udah pulih gaes! Jovanka : Udah sembuh! Jovanka : Kalian tahu kan, beliau sakit udah setahunan ini! Miss Dewinta : Astaga Miss Jova, padahal berita ini baru sampai ke telinga saya beberapa jam lalu. Jovanka : Hehe Jovanka : Maaf Miss. Saya denger dari anak media sosial tadi. Miss Dewinta : Iya gapapa kok. Santai aja Miss Gita : Katanya berobat di Singapur? Kanker? Jovanka&nb
Aidan lalu memintanya untuk masuk ke ruang meeting yang sedang kosong. Hati Rissa semakin berdebar. Apa yang akan Aidan katakan padanya? Mengapa harus memilih tempat yang berbeda dan tidak berbicara di depan teman-temannya saja?“Tolong jangan salah paham,” kata Aidan langsung ke intinya.Rissa kembali melongo. Sebagian karena ketampanan Aidan dari dekat, dan sebagian karena perkatannya yang membingungkan. Nada suaranya tegas dan terkesan “tidak perlu dibalas, iyakan saja”.Aidan memang sangat tampan dari dekat. Tubuhnya tinggi atletis, bahunya bidang. Wajahnya proporsional, campuran manis dan tampan, dengan kulit pucat khas vampir. Matanya indah dan terlihat cerdas. Dia mewarisi ketampanan dari ayahnya dan wajah manis dari ibunya. Rissa sangat mengagumi Aidan ...Tapi perkataannya sungguh membingungkan. Kenapa dia berkata agar Rissa tidak salah paham?“Anda memang telah menyelamatkan ibu saya, tapi perkataan
“What?” tanya Ifan. “Kenapa kamu disebut, Rissa?” lanjutnya dengan bingung. Dia memandang Rissa dengan tatapan yang mendekati tatapan syok. Mulutnya melongo kaget. Dan bukan dia sendiri yang terkejut. Rissa sendiri juga melongo heran dan berpikir dia salah dengar. Tapi tidak, semua orang memang sedang menatapnya kini. Teman-teman setimnya malah sedang kasak-kusuk. “Apa? Apa dia bilang? Rissa calon keluarga baru?” tanya Gita kaget. “Bukan! Anggota keluarga yang baru!” kata Jovanka sambil terperangah. “Kamu nggak berdiri, Miss?” tanya Miss Dewinta, yang walaupun juga syok tapi tetap ingat untuk mengutamakan sopan santun di mana pun dan di situasi apa pun. “Eh, oke Miss!” Rissa segera berdiri dengan canggung. “Dan telah hadir pula, CEO JW Company dan Keluarga!” si pembaca acara mengumumkan. Perhatian semua orang segera beralih pada kehadiran Pak Jona dan keluarganya. Istri Pak Jona memang sudah hadir, dan dia memang
Selepas makan malam, ada acara santai. Tamu bisa berdiri dan meregangkan kaki mereka sambil ngobrol atau mengambil minuman yang ada di bar mini. Rissa sendiri memilih keluar di balkon yang menghadap ke halaman belakang perusahaan. Dia ingin mencari angin di tengah suasana pesta yang dirasakannya mulai terasa sumpek. Dia juga tak ingin kembali ke tempat teman-temannya karena pasti mereka akan merongrongnya dengan segala macam pertanyaan. Rissa tak ingin kepalanya menjadi pening.Angin terasa dingin, apalagi gaunnya dari bahan yang tipis dan modelnya sedikit terbuka. Tapi lama-kelamaan dia terbiasa dan merasa nyaman. Rissa berdiri di sana sambil membawa cocktailnya. Minuman itu terasa sangat nikmat, walaupun dia heran bahwa vampir ternyata bisa merasakan hal lain kecuali darah manusia.Tiba-tiba dirasakannya hembusan angin dingin di kulitnya yang kini sepucat mayat dan memang dia sekarang adalah mayat hidup. Dia tidak mati tapi juga tidak hidup. Kenyataan itu me