Pak Jona memperhatikan daftar karyawan yang ada di depannya.
“Ini semua karyawan baru yang belum bertemu dengan saya?” tanyanya serius. Dia melihat daftar teratas sampai dengan yang paling bawah. Total ada lima belas orang yang berasal dari divisi yang berbeda.
Miss Marissa mengangguk.
“Iya, Pak,” katanya segera. Dia memperhatikan raut wajah bosnya dengan saksama, menunggu reaksi selanjutnya dari Bosnya.
Pak Jona menghela napas.
“Baik. Panggil mereka satu persatu hari ini,” katanya. Dia lalu menaruh daftar karyawan itu lalu mnyandarkan tubuhnya di kursinya dan menutup matanya. Tangannya memegang pelipis.
Marissa lalu memandangnya, keningnya tiba-tiba berkerut. Dia memperhatikan Pak Jona.
“Maaf Pak, bagaimana keadaan Bu Claudia?” tanyanya dengan penuh perhatian.
Pak Jona membuka matanya dan memandangnya.
“Masih sama seperti sebelumnya. Kita dikejar waktu, Marissa,” katanya. Tatapannya, yang begitu sedih dan menderita menyayat hati Marissa.
“Apakah ada yang bisa saya lakukan?” tanya Marissa lalu mendekati bosnya. Dia melihat Pak Jona dengan pandangan khawatir dan iba. Dia lalu memegang lengan bosnya dengan pelan dan penuh perhatian.
Pak Jona berjengit dan menolak tangannya. Marissa tersentak.
“Tidak! Terima kasih banyak. Cukup panggil mereka satu persatu mulai hari ini saja. Aku butuh mereka secepatnya,” katanya. Dia segera berdiri dan menjauh darinya, sambil kembali memegang pelipisnya.
Marissa menelan ludah dengan susah payah. Reaksi Pak Jona tadi sama sekali tidak disangkanya. Tangannya yang sempat memegang tangan bosnya tadi lalu gemetar, tapi Pak Jona tidak memperhatikannya. Lelaki 45 tahun itu sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Walaupun sudah cukup berumur, Pak Jona masih terlihat sangat tampan. Dia memiliki garis-garis wajah yang tegas, hidung yang mancung, dan mata yang indah. Kulitnya putih pucat dan bersih karena rajin dicukur dengan saksama. Rambutnya masih hitam lebat dengan hanya sedikit garis-garis putih. Dia lebih mirip seorang aktor daripada seorang bos perusahaan besar. Jika orang melihatnya, pastilah mereka tidak mengira bahwa dia adalah seorang bos, tapi seorang aktof film. Badannya tinggi dan tegap, namun tampak bahwa usia sudah menyapa dirinya.
Selain itu garis-garis di keningnya agak merusak penampilannya. Garis-garis itu muncul bukan karena usia, melainkan karena kekhawatiran yang kerap menggelayuti benaknya.
Marissa ingin sekali mengangkat beban itu dari pundak Pak Jona, tapi dia bukanlah siapa-siapa. Ia ingin sekali memberikan dukungan sepenuhnya pada Pak Jona. Bahkan pernah, tak hanya sekali dalam pikirannya, dia ingin menjadi istri siri Pak Jona ...
Meskipun tidak sah secara hukum, dia ingin menjadi pundak tempat bersandar lelaki yang dicintainya itu ...
***
Rissa tersenyum. Dia sudah menerima jadwal untuk bertemu dengan Pak Jona! Dia lalu memberi tahu teman-temannya, yang terlihat antusias tapi anehnya semuanya tampak memberinya pandangan aneh nan misterius setelahnya.
“Persiapkan diri kamu buat Pak Bos ya,” kata Ifan gemulai lalu terkikik. Ketika Rissa bertanya lebih jauh kenapa dia harus bersiap, Ifan tak menjawabnya dan hanya terkikik lagi.
“Kamu bener-bener harus siap mental dan batin lho,” kata Gita kemudian.
“Lho kenapa?” tanya Rissa segera tapi Gita hanya tersenyum dan tidak menjawab.
Semua teman-temannya memberi semangat dan ucapan semoga sukses untuknya. Dia menerimanya dengan hati yang gundah. Apakah semenyeramkan itu bertemu dengan Pak Bos? pikirnya dalam hati.
Dia melihat jadwalnya. Pukul 18.30 sore nanti! Sekarang memang sudah mulai perubahan pergantian shift dan dia tak pernah berangkat pagi lagi dan itu memang sangat menguntungkannya. Dia tak harus berangkat sejak Subuh lagi dan ritme kerjanya, walaupun sama saja, tapi dirasakannya lebih santai. Dia juga jadi bisa istirahat dengan lebih baik lagi karena setelah pulang kerja jam10 malam, dia bisa langsung tidur.
Sejak sore jam 5 dia sudah bersiap. Teman-temannya kembali menyemangatinya dan mulai tersenyum aneh lagi tapi dia tak peduli. Dia harus segera bertemu dengan Sang CEO ganteng yang kata Ifan “akan menjungkir-balikkan dunia kamu”.
Miss Dewinta terlihat mendekati mejanya sekitar pukul enam seperempat.
“Kamu udah siap, Miss Rissa?” tanyanya sambil tersenyum.
Rissa menelan ludahnya, tenggorokannya bukan main keringnya. Dia lalu mengambil air putih di atas meja dan meneguknya sedikit, tak berani banyak karena takut harus ke kamar mandi sembari menunggu Pak Jona nanti.
“Baik. Ayo ikuti saya,” kata Miss Dewinta.
Ketika dia meninggalkan ruangan, teman-teman sekerjanya saling berpandangan lalu tertawa.
“Dia nggak tahu apa yang sedang menunggunya,” kata Jovanka sambil menyeringai.
***
Mereka menaiki lift menuju ke lantai teratas. Ketika sudah di dalam lift, Rissa berkata pada Miss Dewinta.
“Pak Jona orangnya seperti apa Miss? Keras? Kaku?” tanyanya, tak bisa menahan rasa khawatir dalam dirinya.
Miss Dewinta menoleh dan tersenyum padanya.
“Nanti kamu juga akan tahu. Rileks aja,” katanya.
Rissa menghembuskan napasnya. Gampang saja Miss Dewinta menyuruhnya rileks! Tapi dia tetap mencobanya, jika tidak dia takut saat bertemu dengan Pak Jona dia justru akan muntah di depannya. Oh no! Jeritnya panik jika itu benar-benar akan terjadi nanti.
Ketika pintu lift membuka, sudah terlihat Miss Marissa menunggunya. Wanita anggun itu mengangguk pada Miss Dewinta.
“Sampai sini saya yang akan mengantar Miss Clarissa, Miss Dewinta,” katanya.
Miss Dewinta mengangguk lalu menepuk pundak Rissa.
“Good luck,” katanya lalu segera kembali ke lift untuk turun.
Miss Marissa memandangnya.
“Mari, Miss,” katanya.
Dia lalu menemani Rissa sampai ke ruangan terbesar di lantai dan kantor itu. Sesampainya di sana dia mengetuk pintu.
“Pak Jona, Miss Rissa sudah siap untuk bertemu dengan Anda,” katanya.
“Baik. Masuk.” Katanya.
“Saya tinggal sampai sini, Miss,” katanya. Rissa mengangguk.
“Terima kasih banyak, Miss.”
Rissa menghela napas lalu membuka pintu.
Pak Jona sedang berada di belakang mejanya ketika dia datang. Setelah melihat Rissa masuk, dia segera berdiri.
“Silakan masuk, Miss,” katanya ramah. Dia lalu keluar dari mejanya seolah menyambut.
Rissa menelan ludah dengan gugup.
“Selamat malam, Pak,” katanya.
“Bagaimana hari-hari di kantor? Apakah Anda senang?” tanyanya.
Rissa melongo. Tapi dia langsung memperbaiki sikapnya dan menjawab.
“Baik. Saya senang bekerja di kantor ini, Pak,” katanya.
Pak Jona mengangguk dan tersenyum.
“Baik. Ada salah satu syarat lagi yang harus Anda tahu untuk dapat diterima di perusahaan ini nantinya,” katanya.
“Baik Pak, apa itu?” tanyanya harap-harap cemas.
Pak Jona memandangnya.
“Begini, ini adalah alasan khusus sebetulnya,” katanya.
“Semua karyawan yang ingin bekerja secara permanen di kantor ini harus menyanggupinya,” lanjutnya.
Rissa mengangguk.
“Baik Pak,” jawabnya. Apa pun itu untuk bekerja terus di JW Company! Tekadnya.
Pak Jona mengangguk dengan puas lalu mulai mendekatinya. Saat dia melakukan itu jantung Rissa seperti berhenti berdetak.
“Pak?” tanyanya gugup.
Tiba-tiba Pak Jona menyeringai. Rissa tersentak kaget ketika melihat bahwa taring Pak Jona lebih panjang daripada manusia biasa.
Apakah ... Pak Jona adalah ... Dia tak kuasa mengucapkan kata itu dalam hatinya.
Seorang vampir?
Jadi ... apakah ini maksud semua teman-temannya kemarin? Bahwa Pak Jona tidak seperti kelihatannya karena dia memang ... bukan manusia? Dan teman-temannya terus menerus berkata soal perubahan ... Jadi ... apakah mereka sekarang berubah menjadi ... vampir juga? Rissa tersentak ketika dia menyadari satu persatu perubahan temannya. Kulit yang pucat, menyukai daging mentah ... hingga ... gigi taring Gita! Ya, dia ingat apa yang aneh dari mulut Gita, gigi taringnya berubah memanjang! Astaga ... Rissa gemetar bukan main membayangkan semua itu. Jadi semua penampilan elegan rekan-rekannya di kantor ini bukan sebuah kebetulan karena mereka bekerja di kantor elit? Tapi karena mereka ... diubah menjadi vampir? Dia berada di kantor penuh vampir! “Tapi ... kenapa ... kenapa ...” Dia menatap Pak Jona, matanya membelalak lebar. Pak Jona menyeringai. “Aku membutuhkan sesuatu dari kalian. Sesuatu yang hanya bisa kudapatkan dari mengubah
Rissa bermimpi berada di awang-awang. Tubuhnya terasa begitu ringan dan terayun-ayun. Pandangannya berkabut dan tidak jelas. Dia merasa seakan pikiran dan tubuhnya tak terhubung satu sama lain. Apakah seperti ini kematian? Membuat dirinya seolah terayun-ayun seperti bayi dalam dekapan ibunya? pikirnya. Rasanya sangat nyaman, membuatnya tak ingin terbangun. Tiba-tiba dia ingat bagaimana dia mati, bagaimana proses kematiannya, dan dia rasanya ingin menjerit. “Ssst ... ssst! Tidak apa-apa ...” Suara siapa itu tadi? pikirnya. Dia seperti mendengar suara seseorang. Suara asing itu menenangkannya. Nadanya sangat indah, seperti suara musik. Dia jadi ingin tertidur lagi ... Tapi tidak. Sesuatu seperti menyengat tubuhnya dengan sangat kuat dan menyakitkan. Ketika dia berkonsentrasi untuk menemukan inti rasa sakitnya, dia kembali teringat momen sebelum kematiannya ... “Tidak!” jeritnya lagi. “Kenapa dia? Apa racunnya ma
Tapi rupanya bukan hanya dia yang terkejut, tapi juga Aidan. “Apa? Apa maksud ayah?” seru Aidan dengan segera. “Kenapa ayah membuat keputusan mendadak seperti itu?” lanjutnya dengan kaget. Pak Jona memandang anaknya. “Ibumu dan aku sudah setuju. Kami merasa sangat berterima kasih pada Rissa dan ...” “Keterlaluan!” seru Aidan segera. Dia lalu berjalan marah keluar meninggalkan ruangan. Dia melewati begitu saja Rissa yang sedang terenyak. Pak Jona tak mempedulikannya. Dia menoleh pada Rissa yang masih terlalu kaget untuk meresponnya. “Nah, bagaimana menurut Anda?” tanyanya dengan penuh harap. Rissa memandang Pak Jona dengan tatapan “Apakah Anda bercanda?” “Tidak! Saya tidak mau!” serunya segera. Dijodohkan dengan orang yang tidak dikenalnya? Setampan apa pun dia? Dia jelas tidak mau! Tapi Pak Jona tidak menggubrisnya. Sepertinya dia sedang larut dalam euforia karena istrinya sudah pulih. “Kami akan
Grup media sosial divisi Rissa malam itu ramai dengan berita. Jovanka : Istri Pak CEO udah pulih gaes! Jovanka : Udah sembuh! Jovanka : Kalian tahu kan, beliau sakit udah setahunan ini! Miss Dewinta : Astaga Miss Jova, padahal berita ini baru sampai ke telinga saya beberapa jam lalu. Jovanka : Hehe Jovanka : Maaf Miss. Saya denger dari anak media sosial tadi. Miss Dewinta : Iya gapapa kok. Santai aja Miss Gita : Katanya berobat di Singapur? Kanker? Jovanka&nb
Aidan lalu memintanya untuk masuk ke ruang meeting yang sedang kosong. Hati Rissa semakin berdebar. Apa yang akan Aidan katakan padanya? Mengapa harus memilih tempat yang berbeda dan tidak berbicara di depan teman-temannya saja?“Tolong jangan salah paham,” kata Aidan langsung ke intinya.Rissa kembali melongo. Sebagian karena ketampanan Aidan dari dekat, dan sebagian karena perkatannya yang membingungkan. Nada suaranya tegas dan terkesan “tidak perlu dibalas, iyakan saja”.Aidan memang sangat tampan dari dekat. Tubuhnya tinggi atletis, bahunya bidang. Wajahnya proporsional, campuran manis dan tampan, dengan kulit pucat khas vampir. Matanya indah dan terlihat cerdas. Dia mewarisi ketampanan dari ayahnya dan wajah manis dari ibunya. Rissa sangat mengagumi Aidan ...Tapi perkataannya sungguh membingungkan. Kenapa dia berkata agar Rissa tidak salah paham?“Anda memang telah menyelamatkan ibu saya, tapi perkataan
“What?” tanya Ifan. “Kenapa kamu disebut, Rissa?” lanjutnya dengan bingung. Dia memandang Rissa dengan tatapan yang mendekati tatapan syok. Mulutnya melongo kaget. Dan bukan dia sendiri yang terkejut. Rissa sendiri juga melongo heran dan berpikir dia salah dengar. Tapi tidak, semua orang memang sedang menatapnya kini. Teman-teman setimnya malah sedang kasak-kusuk. “Apa? Apa dia bilang? Rissa calon keluarga baru?” tanya Gita kaget. “Bukan! Anggota keluarga yang baru!” kata Jovanka sambil terperangah. “Kamu nggak berdiri, Miss?” tanya Miss Dewinta, yang walaupun juga syok tapi tetap ingat untuk mengutamakan sopan santun di mana pun dan di situasi apa pun. “Eh, oke Miss!” Rissa segera berdiri dengan canggung. “Dan telah hadir pula, CEO JW Company dan Keluarga!” si pembaca acara mengumumkan. Perhatian semua orang segera beralih pada kehadiran Pak Jona dan keluarganya. Istri Pak Jona memang sudah hadir, dan dia memang
Selepas makan malam, ada acara santai. Tamu bisa berdiri dan meregangkan kaki mereka sambil ngobrol atau mengambil minuman yang ada di bar mini. Rissa sendiri memilih keluar di balkon yang menghadap ke halaman belakang perusahaan. Dia ingin mencari angin di tengah suasana pesta yang dirasakannya mulai terasa sumpek. Dia juga tak ingin kembali ke tempat teman-temannya karena pasti mereka akan merongrongnya dengan segala macam pertanyaan. Rissa tak ingin kepalanya menjadi pening.Angin terasa dingin, apalagi gaunnya dari bahan yang tipis dan modelnya sedikit terbuka. Tapi lama-kelamaan dia terbiasa dan merasa nyaman. Rissa berdiri di sana sambil membawa cocktailnya. Minuman itu terasa sangat nikmat, walaupun dia heran bahwa vampir ternyata bisa merasakan hal lain kecuali darah manusia.Tiba-tiba dirasakannya hembusan angin dingin di kulitnya yang kini sepucat mayat dan memang dia sekarang adalah mayat hidup. Dia tidak mati tapi juga tidak hidup. Kenyataan itu me
“Apa?!!” “Kenapa kau masih berhubungan dengan gadis itu?!” Sang CEO murka. Istrinya segera menegurnya karena mereka sekarang sedang jadi bahan tontonan semua tamu. “Ssst, sayang, para tamu memperhatikan kita!” Tapi Mr. Jona sedang tak memperhatikan siapa pun saat itu kecuali anak pertamanya dan wanita yang dibawanya. “Sudah ayah bilang jangan berhubungan lagi dengan dia!” tunjuknya pada si wanita. Tangan Aidan bergerak menurunkan tangan ayahnya. “Jangan tunjuk-tunjuk dia seperti itu, ayah!” “Aku ingin berdansa dengannya malam ini. Tolong, musik putar kembali.” Dia segera meraih lengan gadis itu dan mengajaknya ke tengah ruangan. Gadis itu melihat sekeliling dengan gugup tapi tetap terlihat anggun. Dada Mr. Jona bergerak naik turun. Dia mendengus keras lalu pergi meninggalkan ruangan, diikuti dengan istrinya. Rissa menonton adegan itu dalam diam. Siapa wanita itu? pikirnya. Kenapa Pak CEO san