Rissa naik lift dengan hati berdebar dan berbagai macam pikiran berseliweran. Kantor Mr. Jona berada di lantai paling atas, lantai 10. Kantor dia sendiri berada di lantai 3. Lantai 1 dan 2 adalah divisi pemasaran, sedangkan lantai 4 dan 5 adalah divisi media sosial. Lantai 7 dan 8 digunakan untuk pemotretan para model pakaian mereka. Sementara lantai 9 dan 10 adalah lantai para eksekutif dan jajarannya. Termasuk para sekretaris yang memiliki kantor tersendiri.
Untuk pembuatan baju, perusahaan memiliki perusahaan lain tersendiri yang terpisah. Biasanya hanya orang-orang dari divisi pemasaran yang mengunjunginya, untuk mengecek produksi dan semacamnya untuk kemudian dipasarkan ke pasar. Tim divisi pemasaran bekerja sama dengan tim dari divisi media sosial yang khusus memasarkan pakaian di media sosial. Mereka kuat dalam keduanya, dan hasil penjualan JW Style cukup memuaskan. Setiap tahun perusahaan juga ikut peragaan busana. Biasanya yang memimpin peragaan busana adalah desainer utama perusahaan.
Baru saja lift naik satu lantai, seseorang masuk. Rissa memperhatikan sosoknya yang sangat menonjol. Dia adalah lelaki muda tampan yang berwajah agak pucat seperti orang sedang sakit. Aku hanya sempat memperhatikan pakaian yang dikenalnya, yang sangat modis dan bergaya. Aku cepat-cepat memalingkan wajahku, tak ingin dikira sedang kepo. Satu hal yang pasti, aku tidak kenal dia dan pakaiannya yang bergaya seperti bukan pakaian karyawan.
Rissa dan lelaki berdiri berjauhan di masing-masing sudut lift, tanpa berkata apa-apa. Biasanya antar sesama karyawan akan saling menyapa, tapi kali ini berbeda. Dia tidak menyapa Rissa dan entah mengapa Rissa juga segan untuk menyapanya duluan.
Perjalanan lift rasanya lama sekali karena keheningan itu. Dia hampir membuka mulutnya ketika tiba-tiba terdengar suara.
“Lantai berapa?” tanyanya. Suaranya terdengar merdu walaupun hanya mengucapkan dua kata.
“Paling atas,” kata Rissa dengan suara kecil.
Si lelaki tiba-tiba terkejut.
“Mau ketemu Pak Jona?” tanyanya.
“Iya,” kata Rissa. Pasti dia kaget karena orang kayak aku mau ketemu CEO langsung, katanya dalam hati.
“Tapi saya sedang dalam perjalanan untuk ketemu dia juga!” katanya.
Rissa melongo.
“Anda karyawan baru?” tanya si lelaki lagi.
Rissa mengangguk.
“Anda juga? Dari divisi lain juga?” tanyanya. Apakah mereka akan menemui sang CEO berdua?
“Tidak! Saya karyawan lama,” jawab si lelaki segera.
Rissa mendesah.
“Oh saya kira karyawan baru. Soalnya bulan ini karyawan baru dari divisi saya satu-persatu dipanggil Pak Jona,” katanya.
Si lelaki terlihat terkejut dan hal itu bagi aneh bagi Rissa.
“Maaf. Tapi saya duluan yang akan bertemu dengan Pak CEO. Anda tunggu dulu di kantor sekretaris beliau ya,” kata si lelaki tiba-tiba.
Rissa terkejut.
“Ah! Baiklah,” katanya. Padahal aku duluan yang naik lift, jadi bukannya harusnya aku duluan yang bertemu Pak Jona? Pffft ...
Tapi sudahlah, Rissa yang masih berstatus karyawan baru tak bisa melawan karyawan lama, bisa-bisa dia dibilang tak tahu diri.
Lift lalu membuka dan si lelaki buru-buru keluar. Langkahnya cepat sekali, kata Rissa dalam hati, menahan gerutuan yang akan muncul dalam benaknya lagi.
Dia lalu celingak-celinguk dan mencari kantor sekretaris. Dia segera melihatnya karena di lantai itu hanya ada tiga ruangan. Ruangan CEO, ruangan sekretaris, dan toilet. Selain itu ada tangga yang menuju ke atap. Ifan pernah berseloroh bahwa di atap sana ada landasan helikopter. Semua orang langsung menertawakannya. Tapi kini setelah dia perhatikan, di bawah tangga itu terpasang tanda “private”. Jangan-jangan beneran ada landasan helikopter di atas sana? pikir Rissa.
Tapi dia tak memikirkan hal itu lama-lama. Dia harus segera ke kantor sekretaris karena siapa tahu pertemuan lelaki tadi dengan Pak Jona berlangsung lama. Dia mengetuk pintu sekretaris.
“Silakan masuk.” Suara anggun di dalam menjawabnya.
Rissa segera masuk dan terperangah. Dia seperti melihat malaikat turun dari bumi ...
Sekretaris Pak Jona amat sangat, sungguh, rupawan sekali. Dia tinggi dengan kaki jenjang dan proporsi tubuh sempurna. Wajahnya yang putih pucat bagaikan wajah dewi. Bibirnya yang penuh diwarnai merah, sangat kontras dengan pucatnya kulitnya. Rambutnya digelung dengan gaya Prancis yang ketat, sangat formal.
Dia memakai setelan dua pasang, atasan dan bawahan rok ketat yang berwarna biru gelap dengan pita terpasang di kerah seperti pramugari. Ada pulpen terpasang di saku dadanya.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?”
Suaranya memang benar-benar anggun! Rissa yang sudah terperangah saat melihat penampilannya kembali dibuat terperangah oleh suaranya.
“Sa ... saya diminta ke sini. Tadi saya diminta untuk bertemu Pak Jona, tapi rupanya beliau sedang akan ditemui oleh orang lain dan saya diminta menunggu di sini,” katanya agak terbata-bata.
Sang sekretaris lalu tersenyum dan menyilakannya duduk. Saking terpesonanya Rissa dengan penampilan dan suara wanita itu, dia melupakan fakta lainnya yang begitu jelas terpampang di depannya. Kemegahan kantor yang sedang dimasukinya.
Lantai kantor itu seluruhnya terbuat dari marmer hitam mengkilap, dan diberi furnitur berkelas. Jendela-jendela tinggi ditutup, menghalangi sinar matahari sehingga ruangan, seandainya tidak diterangi oleh lampu megah di atas akan sangat gelap gulita.
Sofa yang ditunjuk oleh sang sekretaris bukan main cantiknya. Jelas sofa mahal. Belum lagi meja kerja! Meja kerja itu terbuat dari marmer putih ...
Ada berbagai macam pajangan di atasnya. Globe, patung dewi Yunani, vas berisi bunga mawar ...
Bahkan ruangan itu memiliki perpustakaan pribadi. Ada dua rak buku tinggi di sana, keduanya dipenuhi buku-buku.
“Ayo, silakan duduk. Akan saya buatkan minuman,” kata si sekretaris ketika Rissa masih melongo melihat kantornya. Dia bahkan tidak sadar bahwa ada pantry di ruangan itu! Dan si sekretaris sedang menuju ke sana.
“Oh tidak! Tidak perlu repot-repot,” katanya segera.
“Ah tidak apa-apa. Segelas teh tidak pernah merepotkan,” kata si sekretaris dengan anggun.
Rissa dengan gugup menunggu di sofa dan beberapa menit kemudian di depannya tersaji teh dengan bau yang sangat harum, mengundang seleranya.
“Silakan di minum,” katanya.
Rissa mengangguk dan mengambil tehnya. Saat dia melakukan itu, dia melihat tanda pengenal si sekretaris: Marissa Reynaldi. Bahkan nama si sekretaris sangat cantik...
“Anda tadi bertemu Pak Aidan, ya? Tadi Pak Jona berkata bahwa beliau berencana untuk bertemu Pak Aidan,” katanya.
Rissa langsung tersedak tehnya.
“Astaga, Anda tidak apa-apa?” tanya Marissa segera dan menawarkan tisu.
Rissa terbatuk-batuk.
“Ah maaf, saya tidak apa-apa,” katanya.
Bisa-bisanya tadi dia bertemu dengan Direktur dan tidak mengenalinya! Tapi memang hanya orang-orang tertentu yang mengenal jajaran direksi kantor. Dan karyawan biasa macam dirinya mana bisa bertemu dengan pemimpin kecuali ada kondisi khusus.
Saat dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara keras.
“Aku kira Ayah tidak akan langsung melakukannya!”
Rissa langsung terkejut dan dia mendapati bahwa Marissa juga tampak kaget.
“Itu kejam, ayah! Ayah sama saja membunuh mereka!”
Jantung Rissa seolah berhenti berdetak. Apa kata Direktur tadi? Membunuh?
Hari itu tanpa ada peringatan sebelumnya, Rissa batal bertemu sang CEO. Pesan itu disampaikan Marissa selepas Pak CEO selesai bertemu Direktur. “Maaf, Miss Rissa. Sepertinya Pak CEO sedang tidak berkenan untuk ditemui,” katanya. Ekspresi wajahnya saat itu terlihat agak khawatir. Dia tidak memberi tahu alasannya lebih jauh pada Rissa karena itu bukan urusannya. Dia juga tidak tahu lebih jauh alasan Pak Jona tidak mau bertemu dengan Rissa. Rissa mengangguk. “Oh, baik Miss. Lalu kapan saya akan bertemu dengan Pak Jona? Sepertinya semua karyawan baru harus bertemu dengan beliau,” katanya. Dia takut bahwa bertemu dengan Pak Jona adalah suatu keharusan bagi karyawan baru dan bisa berabe jika dia tak kunjung juga bertemu dengan sang CEO. Dia takut akan disuruh resign atau semacamnya. Padahal dia masih karyawan kontrak selama tiga bulan. Pertamanya Marissa mengangguk, lalu tiba-tiba dia menggeleng. “Ya, memang begitu peraturannya, Miss. Tapi
Setelah itu anehnya Rissa tak pernah lagi mendapatkan perintah dari atasannya untuk bertemu Pak Jona lagi dan dia merasa aneh soal itu. Jujur, dia jadi merasa agak berbeda dengan teman-teman yang sudah bertemu dengannya. Teman-temannya sendiri tak mau membahas pertemuan mereka dengan sang CEO. Kata mereka hal itu rahasia dan mereka sudah diperintahkan untuk tidak memberitahu siapa pun yang belum pernah bertemu dengan Pak Jona. “Nanti kamu juga bakalan tahu kok,” kata Gita segera sambil memperhatikan riasannya ketika Rissa bertanya padanya dengan murung. Kulitnya padahal sudah putih pucat sempurna tapi setiap beberapa menit sekali dia pasti akan mengambil cermin dan memeriksa wajahnya. Dia juga memulas kembali lipstik merah marunnya. “Kamu pake perawatan apa sih kulitmu jadi mulus gitu?” tanya Rissa iri. Dia melihat bahwa kulit Gita benar-benar mulus seolah tanpa cela. Bahkan dia tak bisa melihat pori-pori wajah temannya itu saking terlihat sempurnanya.
Pak Jona memperhatikan daftar karyawan yang ada di depannya. “Ini semua karyawan baru yang belum bertemu dengan saya?” tanyanya serius. Dia melihat daftar teratas sampai dengan yang paling bawah. Total ada lima belas orang yang berasal dari divisi yang berbeda. Miss Marissa mengangguk. “Iya, Pak,” katanya segera. Dia memperhatikan raut wajah bosnya dengan saksama, menunggu reaksi selanjutnya dari Bosnya. Pak Jona menghela napas. “Baik. Panggil mereka satu persatu hari ini,” katanya. Dia lalu menaruh daftar karyawan itu lalu mnyandarkan tubuhnya di kursinya dan menutup matanya. Tangannya memegang pelipis. Marissa lalu memandangnya, keningnya tiba-tiba berkerut. Dia memperhatikan Pak Jona. “Maaf Pak, bagaimana keadaan Bu Claudia?” tanyanya dengan penuh perhatian. Pak Jona membuka matanya dan memandangnya. “Masih sama seperti sebelumnya. Kita dikejar waktu, Marissa,” katanya. Tatapannya, yang begitu sedih dan men
Jadi ... apakah ini maksud semua teman-temannya kemarin? Bahwa Pak Jona tidak seperti kelihatannya karena dia memang ... bukan manusia? Dan teman-temannya terus menerus berkata soal perubahan ... Jadi ... apakah mereka sekarang berubah menjadi ... vampir juga? Rissa tersentak ketika dia menyadari satu persatu perubahan temannya. Kulit yang pucat, menyukai daging mentah ... hingga ... gigi taring Gita! Ya, dia ingat apa yang aneh dari mulut Gita, gigi taringnya berubah memanjang! Astaga ... Rissa gemetar bukan main membayangkan semua itu. Jadi semua penampilan elegan rekan-rekannya di kantor ini bukan sebuah kebetulan karena mereka bekerja di kantor elit? Tapi karena mereka ... diubah menjadi vampir? Dia berada di kantor penuh vampir! “Tapi ... kenapa ... kenapa ...” Dia menatap Pak Jona, matanya membelalak lebar. Pak Jona menyeringai. “Aku membutuhkan sesuatu dari kalian. Sesuatu yang hanya bisa kudapatkan dari mengubah
Rissa bermimpi berada di awang-awang. Tubuhnya terasa begitu ringan dan terayun-ayun. Pandangannya berkabut dan tidak jelas. Dia merasa seakan pikiran dan tubuhnya tak terhubung satu sama lain. Apakah seperti ini kematian? Membuat dirinya seolah terayun-ayun seperti bayi dalam dekapan ibunya? pikirnya. Rasanya sangat nyaman, membuatnya tak ingin terbangun. Tiba-tiba dia ingat bagaimana dia mati, bagaimana proses kematiannya, dan dia rasanya ingin menjerit. “Ssst ... ssst! Tidak apa-apa ...” Suara siapa itu tadi? pikirnya. Dia seperti mendengar suara seseorang. Suara asing itu menenangkannya. Nadanya sangat indah, seperti suara musik. Dia jadi ingin tertidur lagi ... Tapi tidak. Sesuatu seperti menyengat tubuhnya dengan sangat kuat dan menyakitkan. Ketika dia berkonsentrasi untuk menemukan inti rasa sakitnya, dia kembali teringat momen sebelum kematiannya ... “Tidak!” jeritnya lagi. “Kenapa dia? Apa racunnya ma
Tapi rupanya bukan hanya dia yang terkejut, tapi juga Aidan. “Apa? Apa maksud ayah?” seru Aidan dengan segera. “Kenapa ayah membuat keputusan mendadak seperti itu?” lanjutnya dengan kaget. Pak Jona memandang anaknya. “Ibumu dan aku sudah setuju. Kami merasa sangat berterima kasih pada Rissa dan ...” “Keterlaluan!” seru Aidan segera. Dia lalu berjalan marah keluar meninggalkan ruangan. Dia melewati begitu saja Rissa yang sedang terenyak. Pak Jona tak mempedulikannya. Dia menoleh pada Rissa yang masih terlalu kaget untuk meresponnya. “Nah, bagaimana menurut Anda?” tanyanya dengan penuh harap. Rissa memandang Pak Jona dengan tatapan “Apakah Anda bercanda?” “Tidak! Saya tidak mau!” serunya segera. Dijodohkan dengan orang yang tidak dikenalnya? Setampan apa pun dia? Dia jelas tidak mau! Tapi Pak Jona tidak menggubrisnya. Sepertinya dia sedang larut dalam euforia karena istrinya sudah pulih. “Kami akan
Grup media sosial divisi Rissa malam itu ramai dengan berita. Jovanka : Istri Pak CEO udah pulih gaes! Jovanka : Udah sembuh! Jovanka : Kalian tahu kan, beliau sakit udah setahunan ini! Miss Dewinta : Astaga Miss Jova, padahal berita ini baru sampai ke telinga saya beberapa jam lalu. Jovanka : Hehe Jovanka : Maaf Miss. Saya denger dari anak media sosial tadi. Miss Dewinta : Iya gapapa kok. Santai aja Miss Gita : Katanya berobat di Singapur? Kanker? Jovanka&nb
Aidan lalu memintanya untuk masuk ke ruang meeting yang sedang kosong. Hati Rissa semakin berdebar. Apa yang akan Aidan katakan padanya? Mengapa harus memilih tempat yang berbeda dan tidak berbicara di depan teman-temannya saja?“Tolong jangan salah paham,” kata Aidan langsung ke intinya.Rissa kembali melongo. Sebagian karena ketampanan Aidan dari dekat, dan sebagian karena perkatannya yang membingungkan. Nada suaranya tegas dan terkesan “tidak perlu dibalas, iyakan saja”.Aidan memang sangat tampan dari dekat. Tubuhnya tinggi atletis, bahunya bidang. Wajahnya proporsional, campuran manis dan tampan, dengan kulit pucat khas vampir. Matanya indah dan terlihat cerdas. Dia mewarisi ketampanan dari ayahnya dan wajah manis dari ibunya. Rissa sangat mengagumi Aidan ...Tapi perkataannya sungguh membingungkan. Kenapa dia berkata agar Rissa tidak salah paham?“Anda memang telah menyelamatkan ibu saya, tapi perkataan