Bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Bagai anjing yang diikat rantai di lehernya. Kata-kata sakral tersebut selalu menjadi alat yang digunakan laki-laki itu untuk membuat Adrienne bungkam. Sampai sekarang Adrienne bingung, dosa apa yang sudah dia lakukan di masa lalu sehingga kini dirinya harus menanggung beban seberat ini. Walau ketika kecil sebelum enggan dia mengenal cinta, wanita itu selalu bermimpi akan menikahi seorang laki-laki tampan dan juga baik hati layaknya pangeran di kisah cinderella. Yang selalu menghujaninya dengan sejuta kasih sayang dan juga cinta yang indah. Yang selalu melindunginya dan tidak akan membiarkan dirinya terluka sedikitpun. Akan tetapi garis nasib berkata lain. Khayalan hanyalah sebuah impian. Nyatanya perjalanan cintanya begitu rumit dan juga menyakitkan. Hamparan pecahan kaca harus dia lewati namun laki-laki yang seharusnya menolong malah tertawa. Bahkan yang lebih membuatnya hancur, justru suaminya sendirilah yang sudah menaburkan benda tajam ter
"Bagaimana rasanya menjadi jalang yang dibayar mahal, Adrienne?" sindir Allena sambil memandang rendah Adrienne. "Kau hanya jalang!" ulang Allena penuh penekanan. "Ya ya terserah dirimu saja. Sebab mau bagaimana pun, aku tetaplah Nyonya di rumahnya. Lagi pula bukankah seharusnya kau yang pantas disebut jalang sebab sudi ditusuk lelaki yang bukan suamimu? Kau perlu tau, Allena. Bahwa tak ada cinta lelaki yang tulus terkecuali dia menginginkan sesuatu di antara kedua paha wanita. Kau tunggu saja waktu di mana kau akan hancur!" Adrienne berusaha menyembunyikan kekalahannya. Dia menatap angkuh ke arah Allena lalu berlalu pergi menjauh begitu saja. Dia memilih duduk di ujung barisan kursi tunggu dan tak berselera lagi berdebat dengan Allena.Adrienne berusaha acuh dengan apa yang Allena ucapkan. Lagipula, hinaan itu juga tak berpengaruh apapun untuk hidupnya. Dia tetaplah menjadi pemegang tahta tertinggi dalam hubungannya dengan Drew. Yah, meskipun hanya dianggap sebagai jalang yang diba
Adrienne melangkah dengan gontai. Menapaki lorong-lorong rumah sakit yang dingin. Hatinya begitu sakit, mengetahui harapannya untuk bisa berpisah dengan Drew perlahan memudar. Awalnya Adrienne berpikir jika dia tidak hamil, mungkin akan lebih mudah untuk mengajukan perpisahan kepada Drew. Walaupun dia tahu jika Drew memiliki senjata yang dapat mematahkan segala permohonannya. Dan sekarang senjata itu akan semakin kuat dengan hadirnya janin di dalam perutnya.Beberapa tetes air sudah mulai keluar dari matanya. Rasa semangat untuk tetap menjalani hidup perlahan patah. Adrienne bukan tidak bersyukur dengan adanya janin di dalam perutnya. Dia tidak juga merasa menyesal karena mengetahui sedang hamil. Bagaimanapun juga calon bayi didalam kandungannya adalah anaknya. Lepas dari dia menolak siapa ayah bayi itu, akan tetapi Adrienne tetap akan menyayanginya.“Nyonya apa Anda baik-baik saja?” tanya salah satu pengawal, melihat sang majikan yang terlihat sangat lemah.Secepat mungkin Adrienne m
“Tidak bisakah kau untuk tidak berlaku kasar padaku, Drew?!” seru Adrienne meronta, berusaha melepaskan cekalan tangan Drew. Pria itu mencekal dan menariknya dengan kuat diikuti langkah cepatnya. Adrienne sampai-sampai merasa sakit dan terlihat pergelangan tangannya mulai memerah akibat suami keparatnya tersebut.Drew menulikan pendengarannya. Entah apa yang membuat Drew terlihat sangat kesal setelah tadi berbicara dengan seseorang. Yang pasti kini pria matang tersebut terlihat sangat mengerikan. Bahkan Walter yang turut datang ke pesta tersebut walau hanya menunggu di dalam mobil, turut merasakan atmosfer Drew yang sangat berbeda. Namun, bedanya dengan Adrienne, Walter lebih paham dengan Drew. Lama bekerja dengan presiden direktur Lykos Company membuat Walter paham betul apa hal yang bisa membuat Drew tersulut emosi. “Akh!” Adrienne meringis saat bahu kirinya membentur pintu mobil setelah Drew mendorongnya masuk dengan kasar. “Kau ini kenapa?” teriak Adrienne melotot nyalang. Ke
Adrienne terbangun dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Tubuhnya bergetar hebat, dan seluruh bagian tubuhnya sakit seperti habis ditimpa puluhan balok secara bertubi-tubi. Rasa sakit itu menyebar di sepanjang tulang punggungnya, hingga ke ujung jari-jarinya. Semalaman, Drew benar-benar menghajar Adrienne tanpa ampun, seperti sedang meluapkan amarah yang membuncah di dalam dirinya.Namun, yang lebih membuat Adrienne merasa sangat prihatin dengan dirinya adalah ketika ia menyadari bahwa Drew telah menghilang begitu saja. Tidak ada jejak suaminya di ranjang mereka yang semalam menjadi saksi bisu perjuangan Adrienne melawan keganasan suami keparatnya. Ranjang itu kini tampak kosong dan sunyi, persis seperti keadaan hati Adrienne yang hancur pun hampa."Tuhan, Engkau di mana? Bolehkah aku mengeluh?"Mata Adrienne memerah dan berkaca-kaca, sedang rasa sakit itu semakin menggelayut di seluruh tubuhnya. Wanita itu mencoba bangkit dari ranjang, tapi tubuhnya seolah menolak untuk bergerak
Adrienne belum memiliki keinginan untuk memberitahu kehamilannya pada siapapun. Akan tetapi,pertanyaan Seleste barusan cukup menohok tenggorokkan Adrienne yang terasa kering walau ia telah berkelit dengan ucapan pedasnya. Bergulat dengan keluarga Drew tidak hanya menguras tenaganya, melainkan menguras mental pun harga diri Adrienne. Adrienne melangkah menuju ruang tengah sambil menegakkan tubuh sedangkan Seleste mengekor di belakang. Terlihat riang gembira tanpa beban. Oh! Apakah dua kakak beradik itu lahir dari rahim yang berbeda? Mengapa Seleste nampak seperti orang normal kebanyakan sedangkan Drew adalah seorang Psikopat? “Kau belum menjawab pertanyaanku, kakak ipar. Aku dengar kemarin malam kalian pergi ke pesta bersama. Kurasa ada sebuah kemajuan dalam hubungan kalian,” ucap Seleste. Ia nyengir kuda tanpa tahu bagaimana tragisnya penyiksaan yang dilakukan kakaknya terhadap Adrienne. Adrienne berdecih sinis, ekor matanya menilik tajam Seleste, “Andai yang kau katakan itu menja
Sudah pukul setengah satu siang Adrienne masih berkutat dengan masakan buatannya. Para pelayan sigap membantunya membereskan peralatan masak, sedang Adrienne tetap fokus menata makanan. Uap panas dari kotak makan masih mengudara. Aroma sedap menyeruak hingga menusuk hidung pun menggoda air liur untuk menetes.“Anna, Apa kau sudah menyiapkan barang-barangku? Kita akan berangkat ke kantor keparat itu sekarang,” tanya Adrienne. Anna cekatan meletakkan tas dan membantu Adrienne menutup kotak makan. “Sudah, Nyonya. Apa ada hal lain yang perlu disiapkan?” Adrienne menggeleng sambil melihat arloji di pergelangan tangannya. “Tidak! Ayo berangkat.” Supir pribadi sudah menunggu kehadiran sang nyonya sejak lima belas menit lalu. Jadwal Adrienne sedikit terlambat karena kondisi tubuh dia belum sepenuhnya membaik, ia masih merasa lemas dan pusing, tetapi Adrienne memaksakan diri. Sepanjang perjalanan Adrienne mendekap kotak makan untuk Drew, seolah menaruh harap pria itu akan menyukai hasil kar
“Dengar ini baik-baik. Jangan sekalipun kau mencoba untuk mencurangiku! Telah kubayar mahal dirimu dan kau tau berapa harga yang harus kau bayar andai kau melanggar peraturanku!” Bengis Drew menatap tajam Adrienne. Walau masih ada sisa-sisa nafsu yang berkeliaran liar di kepalanya, Drew masih sanggup mengintimidasi Adrienne. Memutar bola matanya malas dengan tubuh yang terasa sangat lebah seperti kehilangan seluruh daya sebab Drew begitu menguras energinya, Adrienne merasa kesal. Sial memang, niat hati ia kemari untuk melancarkan aksinya, justru ia mendapatkan ancaman seperti ini. “Berhenti mengancamku seperti itu. Aku pun malas dan lelah jika terus bersitegang denganmu setiap hari dan hanya akur ketika bercinta!” Adrienne bangkit dari posisi rebahannya. Duduk di pinggir meja kerja Drew sambil mengatur napas yang tersengal-sengal. Kekehan rendah Drew mengalun di telinga Adrienne. Wanita itu tahu, Drew mengejeknya. Memang wanita keras kepala mana yang sudi manut terhadap pria seper