"Bagaimana rasanya menjadi jalang yang dibayar mahal, Adrienne?" sindir Allena sambil memandang rendah Adrienne. "Kau hanya jalang!" ulang Allena penuh penekanan. "Ya ya terserah dirimu saja. Sebab mau bagaimana pun, aku tetaplah Nyonya di rumahnya. Lagi pula bukankah seharusnya kau yang pantas disebut jalang sebab sudi ditusuk lelaki yang bukan suamimu? Kau perlu tau, Allena. Bahwa tak ada cinta lelaki yang tulus terkecuali dia menginginkan sesuatu di antara kedua paha wanita. Kau tunggu saja waktu di mana kau akan hancur!" Adrienne berusaha menyembunyikan kekalahannya. Dia menatap angkuh ke arah Allena lalu berlalu pergi menjauh begitu saja. Dia memilih duduk di ujung barisan kursi tunggu dan tak berselera lagi berdebat dengan Allena.Adrienne berusaha acuh dengan apa yang Allena ucapkan. Lagipula, hinaan itu juga tak berpengaruh apapun untuk hidupnya. Dia tetaplah menjadi pemegang tahta tertinggi dalam hubungannya dengan Drew. Yah, meskipun hanya dianggap sebagai jalang yang diba
Adrienne melangkah dengan gontai. Menapaki lorong-lorong rumah sakit yang dingin. Hatinya begitu sakit, mengetahui harapannya untuk bisa berpisah dengan Drew perlahan memudar. Awalnya Adrienne berpikir jika dia tidak hamil, mungkin akan lebih mudah untuk mengajukan perpisahan kepada Drew. Walaupun dia tahu jika Drew memiliki senjata yang dapat mematahkan segala permohonannya. Dan sekarang senjata itu akan semakin kuat dengan hadirnya janin di dalam perutnya.Beberapa tetes air sudah mulai keluar dari matanya. Rasa semangat untuk tetap menjalani hidup perlahan patah. Adrienne bukan tidak bersyukur dengan adanya janin di dalam perutnya. Dia tidak juga merasa menyesal karena mengetahui sedang hamil. Bagaimanapun juga calon bayi didalam kandungannya adalah anaknya. Lepas dari dia menolak siapa ayah bayi itu, akan tetapi Adrienne tetap akan menyayanginya.“Nyonya apa Anda baik-baik saja?” tanya salah satu pengawal, melihat sang majikan yang terlihat sangat lemah.Secepat mungkin Adrienne m
“Tidak bisakah kau untuk tidak berlaku kasar padaku, Drew?!” seru Adrienne meronta, berusaha melepaskan cekalan tangan Drew. Pria itu mencekal dan menariknya dengan kuat diikuti langkah cepatnya. Adrienne sampai-sampai merasa sakit dan terlihat pergelangan tangannya mulai memerah akibat suami keparatnya tersebut.Drew menulikan pendengarannya. Entah apa yang membuat Drew terlihat sangat kesal setelah tadi berbicara dengan seseorang. Yang pasti kini pria matang tersebut terlihat sangat mengerikan. Bahkan Walter yang turut datang ke pesta tersebut walau hanya menunggu di dalam mobil, turut merasakan atmosfer Drew yang sangat berbeda. Namun, bedanya dengan Adrienne, Walter lebih paham dengan Drew. Lama bekerja dengan presiden direktur Lykos Company membuat Walter paham betul apa hal yang bisa membuat Drew tersulut emosi. “Akh!” Adrienne meringis saat bahu kirinya membentur pintu mobil setelah Drew mendorongnya masuk dengan kasar. “Kau ini kenapa?” teriak Adrienne melotot nyalang. Ke
Adrienne terbangun dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Tubuhnya bergetar hebat, dan seluruh bagian tubuhnya sakit seperti habis ditimpa puluhan balok secara bertubi-tubi. Rasa sakit itu menyebar di sepanjang tulang punggungnya, hingga ke ujung jari-jarinya. Semalaman, Drew benar-benar menghajar Adrienne tanpa ampun, seperti sedang meluapkan amarah yang membuncah di dalam dirinya.Namun, yang lebih membuat Adrienne merasa sangat prihatin dengan dirinya adalah ketika ia menyadari bahwa Drew telah menghilang begitu saja. Tidak ada jejak suaminya di ranjang mereka yang semalam menjadi saksi bisu perjuangan Adrienne melawan keganasan suami keparatnya. Ranjang itu kini tampak kosong dan sunyi, persis seperti keadaan hati Adrienne yang hancur pun hampa."Tuhan, Engkau di mana? Bolehkah aku mengeluh?"Mata Adrienne memerah dan berkaca-kaca, sedang rasa sakit itu semakin menggelayut di seluruh tubuhnya. Wanita itu mencoba bangkit dari ranjang, tapi tubuhnya seolah menolak untuk bergerak
Adrienne belum memiliki keinginan untuk memberitahu kehamilannya pada siapapun. Akan tetapi,pertanyaan Seleste barusan cukup menohok tenggorokkan Adrienne yang terasa kering walau ia telah berkelit dengan ucapan pedasnya. Bergulat dengan keluarga Drew tidak hanya menguras tenaganya, melainkan menguras mental pun harga diri Adrienne. Adrienne melangkah menuju ruang tengah sambil menegakkan tubuh sedangkan Seleste mengekor di belakang. Terlihat riang gembira tanpa beban. Oh! Apakah dua kakak beradik itu lahir dari rahim yang berbeda? Mengapa Seleste nampak seperti orang normal kebanyakan sedangkan Drew adalah seorang Psikopat? “Kau belum menjawab pertanyaanku, kakak ipar. Aku dengar kemarin malam kalian pergi ke pesta bersama. Kurasa ada sebuah kemajuan dalam hubungan kalian,” ucap Seleste. Ia nyengir kuda tanpa tahu bagaimana tragisnya penyiksaan yang dilakukan kakaknya terhadap Adrienne. Adrienne berdecih sinis, ekor matanya menilik tajam Seleste, “Andai yang kau katakan itu menja
Sudah pukul setengah satu siang Adrienne masih berkutat dengan masakan buatannya. Para pelayan sigap membantunya membereskan peralatan masak, sedang Adrienne tetap fokus menata makanan. Uap panas dari kotak makan masih mengudara. Aroma sedap menyeruak hingga menusuk hidung pun menggoda air liur untuk menetes.“Anna, Apa kau sudah menyiapkan barang-barangku? Kita akan berangkat ke kantor keparat itu sekarang,” tanya Adrienne. Anna cekatan meletakkan tas dan membantu Adrienne menutup kotak makan. “Sudah, Nyonya. Apa ada hal lain yang perlu disiapkan?” Adrienne menggeleng sambil melihat arloji di pergelangan tangannya. “Tidak! Ayo berangkat.” Supir pribadi sudah menunggu kehadiran sang nyonya sejak lima belas menit lalu. Jadwal Adrienne sedikit terlambat karena kondisi tubuh dia belum sepenuhnya membaik, ia masih merasa lemas dan pusing, tetapi Adrienne memaksakan diri. Sepanjang perjalanan Adrienne mendekap kotak makan untuk Drew, seolah menaruh harap pria itu akan menyukai hasil kar
“Dengar ini baik-baik. Jangan sekalipun kau mencoba untuk mencurangiku! Telah kubayar mahal dirimu dan kau tau berapa harga yang harus kau bayar andai kau melanggar peraturanku!” Bengis Drew menatap tajam Adrienne. Walau masih ada sisa-sisa nafsu yang berkeliaran liar di kepalanya, Drew masih sanggup mengintimidasi Adrienne. Memutar bola matanya malas dengan tubuh yang terasa sangat lebah seperti kehilangan seluruh daya sebab Drew begitu menguras energinya, Adrienne merasa kesal. Sial memang, niat hati ia kemari untuk melancarkan aksinya, justru ia mendapatkan ancaman seperti ini. “Berhenti mengancamku seperti itu. Aku pun malas dan lelah jika terus bersitegang denganmu setiap hari dan hanya akur ketika bercinta!” Adrienne bangkit dari posisi rebahannya. Duduk di pinggir meja kerja Drew sambil mengatur napas yang tersengal-sengal. Kekehan rendah Drew mengalun di telinga Adrienne. Wanita itu tahu, Drew mengejeknya. Memang wanita keras kepala mana yang sudi manut terhadap pria seper
Adrienne melenggang keluar ruangan dengan kesal. Rasa marah sekaligus malu, bercampur menjadi satu. Raut wajahnya benar-benar menggambarkan kemarahan yang tak mampu lagi dia tahan.“Dasar pria keparat tak punya hati! Sudah kuberikan perhatian, masih juga menjunjung gengsi setinggi langit. Pantas saja dia tak pernah menemukan wanita yang tulus mencintainya!” gerutunya sembari menghentak-hentakan kaki dengan cukup kasar.Sepanjang perjalanan menuju lobi dihabiskan Adrienne dengan menggerutui suami keparatnya itu. Upayanya untuk mengambil hati Drew gagal total. Sungguh menaklukkan lelaki itu benar-benar sulit.Yang lebih menyakitkan lagi, setelah mengajukan pertanyaan menohok pada Adrienne, pria itu lantas mengusirnya secara terang-terangan pun tak peduli dengan perasaan istrinya. Adrienne benar-benar merasa terhina dengan sikap suaminya.Berilah panci gosong pada Adrienne. Dia ingin menutup wajahnya dengan panci! Atau akan ia gunakan untuk menimpuk wajah Drew dengan bokong panci itu.Di
Malam semakin larut, Drew tak kunjung kembali ke rumah. Adrienne duduk di tepi ranjang dengan perasaan yang sulit digambarkan. Pikirannya penuh dengan berbagai macam perasaan yang saling bertubrukan. Dia merasakan kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan yang tak tertahankan. Sambil memandang keluar jendela, batinnya bertanya-tanya, “Bagaimana nasibku kedepannya?” Haruskah dia terus bertahan dalam pernikahan ini, atau tetap sesuai rencana awal, nekad pergi dengan konsekwensi yang mungkin akan lebih menyakitkan?Bagaimana mungkin dia bisa bertahan dalam pernikahan seperti ini? Semua impiannya dulu tentang masa depan bersama Drew, seolah lenyap. Dia merasa terjebak dalam perangkap yang tidak bisa dia hindari. Mencoba lari pun, tak ada jalan.“Aku tahu ini sulit, Adrienne. Tapi kamu harus ingat bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan biarkan mereka mengendalikan hidupmu. Kamu punya hak untuk bahagia dan bebas,” ucapnya dengan mata terpejam. Dia berusaha menguatkan dirinya. Dia ya
“Aku sudah mengatakan sejujurnya. Jika kau ingin aku cepat hamil, buat aku selalu merasa bahagia. Karena dengan meningkatnya hormon endorfin pada diriku, akan mempercepat kemungkinan pembuahan hasil!” jelas Adrienne dengan begitu percaya diri. padahal dia sendiri tidak tahu apakan itu ada hubungannya kah tidak. Dia hanya berbohong untuk meluluhkan lagi hati Drew yang malam-malam begini kembali membahas perihal anak. “Ck! Itu hanya alasan untuk menutupi ketidakmampuanmu agar cepat hamil, bukan?!” cerca Drew. “Oke, terserah! Aku sudah mengatakan yang sebenarnya!” Mereka terus saja berdebat tentang penyebab Adrienne tak kunjung hamil Keduanya sama-sama tak ingin mengalah dan justru saling menyalahkan. Hingga perdebatan itu akhirnya terhenti, saat seorang ajudan tiba-tiba menghampiri mereka berdua. “Kau! Kenapa lancang sekali masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu?!” cerca Drew yang terlihat tidak suka dengan kedatangan ajudannya. “Maaf, Sir. Ada tamu yang mencari Anda,” jawab ajudan te
Drew menatap pemandangan kota dari jendela kantornya dengan perasaan campur aduk. Suara hiruk-pikuk dari jalanan yang biasanya memberinya sedikit ketenangan kini justru terasa mengganggu. Segala sesuatu di luar sana terlihat normal, sementara di dalam dirinya, segala sesuatunya berantakan. Ia merasakan tekanan yang terus meningkat dari berbagai sisi: perusahaan yang sedang diguncang serangan siber, desakan dari ayahnya untuk segera memiliki anak, dan ketegangan yang terus memuncak dalam rumah tangganya dengan Adrienne.Dia tahu, untuk menjaga segalanya tetap berjalan, dia tidak bisa membiarkan emosinya menguasai dirinya. Namun, setiap kali dia berpikir tentang situasi di rumah—tentang Adrienne dan apa yang diharapkan darinya—Drew merasa seperti berada di ambang ledakan. Ini bukan hanya tentang pewaris keluarga atau mempertahankan kendali atas perusahaan. Ini adalah tentang menjaga fasad yang selama ini dia bangun; bahwa dirinya adalah pria yang memegang kendali penuh, baik dalam bis
Drew terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Adrienne. Napasnya yang tadi memburu perlahan mulai mereda, namun tatapannya tetap tajam. Dia melepaskan cengkeramannya dari rahang Adrienne tanpa melepas penyatuan keduanya. “Kau pikir kau bisa mengaturku?” Suaranya rendah, tapi mengandung ancaman yang jelas.Adrienne mendorong perut Drew, mencoba menciptakan jarak sejauh mungkin dari Drew. Matanya masih dipenuhi ketakutan, tapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya lebih dari ini. Dia harus kuat, untuk dirinya sendiri.“Aku hanya ingin kau memilih, Drew. Aku istrimu,” katanya dengan suara serak. “Bukan alat untuk melahirkan anak saat kau mau.”Drew mendengus, semakin kesal hatinya hingga ia kembali bergerak. Memenui Adrienne sedalam mungkin dan lingkar mata Adrienne semakin memerah. “Jangan berpikir kau bisa mengatur hidupku. Anak itu harus ada, dan kau yang akan memberikannya padaku.”Adrienne menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dia tahu percuma berdebat sekarang. Drew akan selalu men
Keesokan harinya, Adrienne dikejutkan dengan kedatangan ayah mertuanya di mansion secara tiba-tiba. Dalton Hidalgo bertolak bersama kedua ajudan yang setia berjalan di belakangnya. Adrienne yang belum siap dengan kehadiran Dalton, langsung buru-buru memastikan penampilannya agar tak buruk sekali di hadapan paruh baya itu. Sementara Drew yang sedang berkutat dengan layar monitor dengan kepala berdenyut sakit, turut terkejut karena Dalton tidak mengabarinya sama sekali. Ia bergegas keluar menghampiri ayahnya. “Selamat datang, Dad,” sapa Drew berpelukan singkat dengan Dalton. Singkat Dalton menepuk punggung Drew. “Mana menantuku?” tanyanya. “Aku membuatnya kelelahan hingga pagi buta. Rien masih di kamar,” balas Drew dengan tenang. Seolah jawaban dari pertanyaan Dalton sudah direncanakan. Begitulah piciknya Drew. “Sopan bicara seperti itu sama orang tua?” Drew terkekeh rendah melihat mata Dalton yang memicing sinis. Ia mengajak Dalton ke ruang kerja setelah meminta maid agar menyiap
Adrienne memutuskan untuk pergi ke ruang santai dan mencoba mengalihkan perasaannya dengan hal lain. Setibanya di ruang bersantai, ia meraih remote televisi dan menyalakan layar, meskipun dia tidak benar-benar tertarik pada apa yang sedang terpampang di layar televisi kini. Dia hanya butuh sesuatu untuk membuat pikirannya tetap sibuk. Namun, suara dari televisi justru terasa samar, tidak bisa menandingi kegelisahan yang terus mengganggu pikirannya.Tak lama kemudian, suara langkah Drew terdengar mendekat. Adrienne segera berusaha mengatur ekspresinya, berusaha agar terlihat biasa saja. Drew masuk datang dengan rambut setengah basah, mengenakan kaos polo putih dan celana santai krem.“Kau di sini,” kata Drew datar sambil sesekali menatap layar ponsel.“Iya,” jawab Adrienne singkat, tanpa menoleh ke arahnya.Drew tidak banyak bicara, lalu duduk di sofa, tak jauh dari tempat Adrienne berada. Suasana di antara mereka terasa sedikit canggung, tetapi Adrienne berusaha mengabaikannya.Drew
Allena mendengus lalu terkekeh di seberang telepon. Ia tak memikirkan perasaan Adrienne sama sekali, tak peduli bahwa seharusnya sesama perempuan turut merasakan sakit ketika diperlakukan tidak adil. “Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik, meskipun caramu sering membuatku kesal.”Drew terkekeh pelan. “Setidaknya aku tahu bagaimana membuatmu senang,” jawab Drew dengan nada ringan, meski pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai masalah.“Kenapa tidak kembali ke apartemen? Kau senang sekali berdua bersamanya daripada denganku?” Allena mengubah topik, suaranya terdengar sangat menyebalkan. Drew membuang napas panjang seraya memijat kening pelan. Ia sendiri tak tahu mengapa ingin sekali kembali ke mansion. Bisa dikatakan bahwa dirinya akan selalu pulang menemui Allena jika fisik dan otaknya tengah benar-benar lelah, lalu berakhir kelelahan berdua dengan Allena. Menyatu dan saling berbagi keringat. “Nanti aku bertolak setelah urusan di kantor selesai. Uang yang kukirim s
Keesokan paginya, Adrienne terbangun lebih awal dari biasanya. Dia merasa sedikit lebih segar setelah tidur malam yang panjang, meskipun pikiran tentang sikap Drew dan masalah di perusahaan suaminya itu masih membayangi.Saat sedang menyiapkan sarapan ringan di dapur, Adrienne mendengar pintu depan terbuka. Ia menoleh dan melihat Drew masuk dengan wajah sangat kusut dan kelelahan. Kantung mata Drew menghitam, dan bahunya sedikit turun, jelas bahwa Drew melalui banyak waktu dengan penuh tekanan dan kerja keras.Drew memberikan jas pada maid seperti biasa, lalu berjalan menuju meja makan, di mana Adrienne sudah menyiapkan secangkir kopi untuknya. Tanpa banyak bicara, ia mengambil cangkir itu dan menghirup kopi panasnya, mencoba menghilangkan rasa lelah yang menumpuk.Adrienne memperhatikan Drew dengan cermat. “Bagaimana situasinya?” tanya Adrienne berinisiatif dengan nada tenang, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya dari penampilan Drew saat ini.Drew mengangguk pelan, meletakkan
“Drew, ini masalah besar,” kata Adrienne, suaranya mantap. “Kau harus kembali ke Toronto dan mengurus ini langsung. Jangan memaksakan diri untuk tetap di sini.”Drew memandang Adrienne, ragu. “Aku tak ingin menghancurkan kesenanganmu. Kita bisa tetap berlibur di sini, dan aku bisa bekerja dari sini sementara.” Adrienne menggeleng. “Ck, jangan jadi atasan yang hanya tau kesenangannya sendiri, Drew. Kau perlu berada di sana. Perusahaanmu butuh kehadiranmu!” Drew terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Adrienne. Ia tahu bahwa Adrienne benar, dan masalah di perusahaan tidak bisa ditunda. Hanya dengan berada di Toronto, ia bisa mengatasi situasi dengan cepat.“Baiklah,” kata Drew akhirnya. “Kita akan kembali ke Toronto malam ini.”Adrienne mengangguk. “Aku akan segera mengemas barang-barang kita.” Drew menghubungi Walter lagi, memberi tahu bahwa ia akan segera kembali ke Toronto. Sementara itu, Adrienne mulai mengemas barang-barang mereka di villa begitu sampai. Meskipun ada rasa kec