“Aku sudah mengatakan sejujurnya. Jika kau ingin aku cepat hamil, buat aku selalu merasa bahagia. Karena dengan meningkatnya hormon endorfin pada diriku, akan mempercepat kemungkinan pembuahan hasil!” jelas Adrienne dengan begitu percaya diri. padahal dia sendiri tidak tahu apakan itu ada hubungannya kah tidak. Dia hanya berbohong untuk meluluhkan lagi hati Drew yang malam-malam begini kembali membahas perihal anak. “Ck! Itu hanya alasan untuk menutupi ketidakmampuanmu agar cepat hamil, bukan?!” cerca Drew. “Oke, terserah! Aku sudah mengatakan yang sebenarnya!” Mereka terus saja berdebat tentang penyebab Adrienne tak kunjung hamil Keduanya sama-sama tak ingin mengalah dan justru saling menyalahkan. Hingga perdebatan itu akhirnya terhenti, saat seorang ajudan tiba-tiba menghampiri mereka berdua. “Kau! Kenapa lancang sekali masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu?!” cerca Drew yang terlihat tidak suka dengan kedatangan ajudannya. “Maaf, Sir. Ada tamu yang mencari Anda,” jawab ajudan te
Malam semakin larut, Drew tak kunjung kembali ke rumah. Adrienne duduk di tepi ranjang dengan perasaan yang sulit digambarkan. Pikirannya penuh dengan berbagai macam perasaan yang saling bertubrukan. Dia merasakan kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan yang tak tertahankan. Sambil memandang keluar jendela, batinnya bertanya-tanya, “Bagaimana nasibku kedepannya?” Haruskah dia terus bertahan dalam pernikahan ini, atau tetap sesuai rencana awal, nekad pergi dengan konsekwensi yang mungkin akan lebih menyakitkan?Bagaimana mungkin dia bisa bertahan dalam pernikahan seperti ini? Semua impiannya dulu tentang masa depan bersama Drew, seolah lenyap. Dia merasa terjebak dalam perangkap yang tidak bisa dia hindari. Mencoba lari pun, tak ada jalan.“Aku tahu ini sulit, Adrienne. Tapi kamu harus ingat bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan biarkan mereka mengendalikan hidupmu. Kamu punya hak untuk bahagia dan bebas,” ucapnya dengan mata terpejam. Dia berusaha menguatkan dirinya. Dia ya
“Kau akan pergi ke Toronto dan hidup di sana.” Bola mata Adrienne terbelalak. “Maksud Ayah? Apakah aku akan sekolah di sana? Benarkah Ayah mengizinkanku untuk sekolah dan belajar? Sungguh?” tanyanya nyaris memekik karena belajar dan sekolah adalah salah satu mimpi Adrienne. “Percaya diri sekali kau!” Bondar menoyor kepala Adrienne. “Orang miskin tidak pantas untuk bersekolah, kau tau itu! Kau akan hidup di Toronto dengan pria yang sudah membeli kau!” Begitu Bondar mengucapkan kalimat itu, wajah Adrienne seketika memucat. Matanya terbuka lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dadanya terasa sesak dan jantungnya berdetak semakin cepat kini. “A-ayah menjualku? Bagaimana bisa Ayah melakukan ini? Aku bukan barang yang bisa dijual!” Mempertahankan haknya sebagai seorang anak dan manusia, Adrienne berusaha menentang keputusan Bondar yang sangat tidak manusiawi. “Kau tau, hidup ini keras. Dan ini adalah keputusan yang terbaik!” tampik Bondar menyilangk
Keesokan paginya, Adrienne bangun dengan keadaan suhu tubuh yang meninggi. Semalam, Drew nyaris merenggut kesuciannya setelah pria itu mencumbu setiap inci tubuhnya dengan posisi ia yang masih terikat rantai. Tersiksa berat Adrienne, meronta, menjerit, berteriak dan meraung, memohon sedikit belas kasihan pada Drew agar tidak melakukannya. Beruntunglah bantuan datang melalui dering telepon yang membuat Drew langsung meninggalkan Adrienne tanpa sepatah kata pun. Matanya yang dulu masih memancarkan kilau kini redup sempurna, penuh dengan luka yang tak terlihat. Hatinya hancur berkeping-keping, setiap bagian dari dirinya menjerit dalam kesedihan yang tak terperi. Dia merasa seolah-olah dunia telah berpaling darinya, meninggalkannya dalam kegelapan yang tak berujung. “Kenapa selalu aku?” Adrienne menjerit dalam hati, kepalanya tertunduk, bahunya berguncang, ia mulai menangis. Adrienne merasa sangat lemah saat ini. Tak memiliki semangat barang secuil pun. Takdir seakan selalu mengeja
Sedari hari di mana Drew mengajak Adrienne menikah, gadis itu tak pernah lagi melihat batang hidung pangeran sulung trah Hidalgo tersebut. Entah kemana perginya Drew, seluruh pelayan di mansion pribadi pria matang itu turut mencarinya. Kini terhitung empat belas hari sudah Adrienne terkurung di dalam sangkar emas Drew. Segala kebutuhannya memang terpenuhi, tetapi Adrienne tidak memiliki akses keluar barang satu langkah pun dari tempat ini. Bahkan Adrienne tidak tahu keadaan di luar sana seperti apa. Apakah rumah mewah ini terletak di tepi jalan kah di tengah hutan atau bahkan di puncak pegunungan. Senang terbebas dari Bondar yang selalu menuntutnya untuk menghasilkan uang setiap hari? Tentu saja Adrienne senang, tetapi bukan kesenangan seperti ini yang dia inginkan. Ini sama saja seperti dia keluar kandang singa masuk kandang macan. “Anna, sampai kapan aku tidak diizinkan keluar?” Adrienne melemparkan pertanyaan pada pelayan yang ditugaskan untuk selalu menemaninya, Anna. “Sam
“Kau berani bernegosiasi denganku?” Drew terkekeh rendah mendengar permintaan Adrienne yang sangat berani. Pria matang itu duduk menegakkan tubuh, matanya membidik tajam pada lawan bicara di depannya. Sudah berdiri anggun Adrienne menggunakan gaun pengantin, mereka siap melakukan pemberkatan. “Masa bodoh!” desis Adrienne. “Kau pikir aku tidak bisa gila menghadapi orang gila sepertimu? Kau bisa mengencani wanita yang setara denganmu, lalu menikahinya. Bukan justru memanfaatkan kelemahan orang miskin sepertiku dengan embel-embel hutang. Kau tau, alasanmu terlalu klasik! Sebutan apa yang pantas untuk pria sepertimu? Bajingan kah bedebah?” “Kau adalah gadis paling kurang ajar yang pernah kutemui.” Drew berdiri, melangkah menghampiri Adrienne dengan kedua tangan masuk ke dalam sak celana. Berdiri, matanya menajam laksana mata elang yang tengah mengintai buruan. “Well ... sebab aku bajingan, aku memilih gadis keparat sepertimu. Kita akan menjadi pasangan gila yang menghancurkan dunia. Be
Adrienne tertegun, kewarasannya berguncang hebat. Mata yang tadinya terpejam, kini terbuka sempurna. Jadi, sejak tadi Drew membayangkan tengah bercinta dengan perempuan lain hingga berakhir mendesahkan nama Allena? Adrienne terkekeh sinis pun miris. Miris terhadap takdirnya Lalu, sedetik kemudian, Adrienne menendang kuat tubuh bagian bawah Drew yang ambruk di atas dirinya dengan lutut. Pria kontan mengerang kesakitan sebab lutut Adrienne mendarat tepat di kepemilikannya. Penyatuan keduanya pun kian terlepas dan Drew berguling ke sisi kanan. Aksinya tersebut jelas membuat Drew terkejut dan marah. Mata Drew melotot nyalang pada Adrienne, tampak urat kemarahannya mencuat di sekitar pelipis. “Allena! Ya, kau bercinta dengan perempuan bernama Allena! Kau bercinta dengan Allena, bukan Adrienne. Kau gila, kau benar-benar sinting!” teriak Adrienne dengan berapi-api. Sakit di bagian kewanitaannya belum lah hilang, bahkan ia masih merasakan sakit yang teramat akibat permainan Drew. Na
Adrienne terkekeh sinis melihat pesan singkat tersebut. Ia memutar bola mata dengan malas dan memutuskan membalasnya langsung dari ponsel sopir pribadinya itu. “Aku tidak akan menggugurkan anak di dalam kandunganku jika aku hamil nanti. Kau tak perlu mengancam semua orang di sini, Bedebah! Kurang kerjaan sekali kau rupanya.” Dia tidak peduli jika balasan pesannya itu berhasil membuat si sopir dan Anna semakin gugup ketakutan. Menurut Adrienne, Drew sangat lah berlebihan padahal dia sama sekali tidak memiliki pemikiran seperti itu. “Aku jadi penasaran dengan tingkat parnonya,” celetuk Adrienne bergumam pelan. Kemudian wanita itu menatap laki-laki berseragam serba hitam di samping Anna. “Boleh aku meminjam ponselmu?” tanya Adrienne dengan maksud. Sopir tersebut segera menoleh pada Anna dengan satu tangan memegangi pergelangan tangan lainnya. Dia tampak ragu, tetapi kepalanya segera mengangguk saat Anna mengiyakan. “Tentu, Nyonya. Silahkan, Anda boleh memakainya.” Adrienne m
Malam semakin larut, Drew tak kunjung kembali ke rumah. Adrienne duduk di tepi ranjang dengan perasaan yang sulit digambarkan. Pikirannya penuh dengan berbagai macam perasaan yang saling bertubrukan. Dia merasakan kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan yang tak tertahankan. Sambil memandang keluar jendela, batinnya bertanya-tanya, “Bagaimana nasibku kedepannya?” Haruskah dia terus bertahan dalam pernikahan ini, atau tetap sesuai rencana awal, nekad pergi dengan konsekwensi yang mungkin akan lebih menyakitkan?Bagaimana mungkin dia bisa bertahan dalam pernikahan seperti ini? Semua impiannya dulu tentang masa depan bersama Drew, seolah lenyap. Dia merasa terjebak dalam perangkap yang tidak bisa dia hindari. Mencoba lari pun, tak ada jalan.“Aku tahu ini sulit, Adrienne. Tapi kamu harus ingat bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan biarkan mereka mengendalikan hidupmu. Kamu punya hak untuk bahagia dan bebas,” ucapnya dengan mata terpejam. Dia berusaha menguatkan dirinya. Dia ya
“Aku sudah mengatakan sejujurnya. Jika kau ingin aku cepat hamil, buat aku selalu merasa bahagia. Karena dengan meningkatnya hormon endorfin pada diriku, akan mempercepat kemungkinan pembuahan hasil!” jelas Adrienne dengan begitu percaya diri. padahal dia sendiri tidak tahu apakan itu ada hubungannya kah tidak. Dia hanya berbohong untuk meluluhkan lagi hati Drew yang malam-malam begini kembali membahas perihal anak. “Ck! Itu hanya alasan untuk menutupi ketidakmampuanmu agar cepat hamil, bukan?!” cerca Drew. “Oke, terserah! Aku sudah mengatakan yang sebenarnya!” Mereka terus saja berdebat tentang penyebab Adrienne tak kunjung hamil Keduanya sama-sama tak ingin mengalah dan justru saling menyalahkan. Hingga perdebatan itu akhirnya terhenti, saat seorang ajudan tiba-tiba menghampiri mereka berdua. “Kau! Kenapa lancang sekali masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu?!” cerca Drew yang terlihat tidak suka dengan kedatangan ajudannya. “Maaf, Sir. Ada tamu yang mencari Anda,” jawab ajudan te
Drew menatap pemandangan kota dari jendela kantornya dengan perasaan campur aduk. Suara hiruk-pikuk dari jalanan yang biasanya memberinya sedikit ketenangan kini justru terasa mengganggu. Segala sesuatu di luar sana terlihat normal, sementara di dalam dirinya, segala sesuatunya berantakan. Ia merasakan tekanan yang terus meningkat dari berbagai sisi: perusahaan yang sedang diguncang serangan siber, desakan dari ayahnya untuk segera memiliki anak, dan ketegangan yang terus memuncak dalam rumah tangganya dengan Adrienne.Dia tahu, untuk menjaga segalanya tetap berjalan, dia tidak bisa membiarkan emosinya menguasai dirinya. Namun, setiap kali dia berpikir tentang situasi di rumah—tentang Adrienne dan apa yang diharapkan darinya—Drew merasa seperti berada di ambang ledakan. Ini bukan hanya tentang pewaris keluarga atau mempertahankan kendali atas perusahaan. Ini adalah tentang menjaga fasad yang selama ini dia bangun; bahwa dirinya adalah pria yang memegang kendali penuh, baik dalam bis
Drew terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Adrienne. Napasnya yang tadi memburu perlahan mulai mereda, namun tatapannya tetap tajam. Dia melepaskan cengkeramannya dari rahang Adrienne tanpa melepas penyatuan keduanya. “Kau pikir kau bisa mengaturku?” Suaranya rendah, tapi mengandung ancaman yang jelas.Adrienne mendorong perut Drew, mencoba menciptakan jarak sejauh mungkin dari Drew. Matanya masih dipenuhi ketakutan, tapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya lebih dari ini. Dia harus kuat, untuk dirinya sendiri.“Aku hanya ingin kau memilih, Drew. Aku istrimu,” katanya dengan suara serak. “Bukan alat untuk melahirkan anak saat kau mau.”Drew mendengus, semakin kesal hatinya hingga ia kembali bergerak. Memenui Adrienne sedalam mungkin dan lingkar mata Adrienne semakin memerah. “Jangan berpikir kau bisa mengatur hidupku. Anak itu harus ada, dan kau yang akan memberikannya padaku.”Adrienne menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dia tahu percuma berdebat sekarang. Drew akan selalu men
Keesokan harinya, Adrienne dikejutkan dengan kedatangan ayah mertuanya di mansion secara tiba-tiba. Dalton Hidalgo bertolak bersama kedua ajudan yang setia berjalan di belakangnya. Adrienne yang belum siap dengan kehadiran Dalton, langsung buru-buru memastikan penampilannya agar tak buruk sekali di hadapan paruh baya itu. Sementara Drew yang sedang berkutat dengan layar monitor dengan kepala berdenyut sakit, turut terkejut karena Dalton tidak mengabarinya sama sekali. Ia bergegas keluar menghampiri ayahnya. “Selamat datang, Dad,” sapa Drew berpelukan singkat dengan Dalton. Singkat Dalton menepuk punggung Drew. “Mana menantuku?” tanyanya. “Aku membuatnya kelelahan hingga pagi buta. Rien masih di kamar,” balas Drew dengan tenang. Seolah jawaban dari pertanyaan Dalton sudah direncanakan. Begitulah piciknya Drew. “Sopan bicara seperti itu sama orang tua?” Drew terkekeh rendah melihat mata Dalton yang memicing sinis. Ia mengajak Dalton ke ruang kerja setelah meminta maid agar menyiap
Adrienne memutuskan untuk pergi ke ruang santai dan mencoba mengalihkan perasaannya dengan hal lain. Setibanya di ruang bersantai, ia meraih remote televisi dan menyalakan layar, meskipun dia tidak benar-benar tertarik pada apa yang sedang terpampang di layar televisi kini. Dia hanya butuh sesuatu untuk membuat pikirannya tetap sibuk. Namun, suara dari televisi justru terasa samar, tidak bisa menandingi kegelisahan yang terus mengganggu pikirannya.Tak lama kemudian, suara langkah Drew terdengar mendekat. Adrienne segera berusaha mengatur ekspresinya, berusaha agar terlihat biasa saja. Drew masuk datang dengan rambut setengah basah, mengenakan kaos polo putih dan celana santai krem.“Kau di sini,” kata Drew datar sambil sesekali menatap layar ponsel.“Iya,” jawab Adrienne singkat, tanpa menoleh ke arahnya.Drew tidak banyak bicara, lalu duduk di sofa, tak jauh dari tempat Adrienne berada. Suasana di antara mereka terasa sedikit canggung, tetapi Adrienne berusaha mengabaikannya.Drew
Allena mendengus lalu terkekeh di seberang telepon. Ia tak memikirkan perasaan Adrienne sama sekali, tak peduli bahwa seharusnya sesama perempuan turut merasakan sakit ketika diperlakukan tidak adil. “Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik, meskipun caramu sering membuatku kesal.”Drew terkekeh pelan. “Setidaknya aku tahu bagaimana membuatmu senang,” jawab Drew dengan nada ringan, meski pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai masalah.“Kenapa tidak kembali ke apartemen? Kau senang sekali berdua bersamanya daripada denganku?” Allena mengubah topik, suaranya terdengar sangat menyebalkan. Drew membuang napas panjang seraya memijat kening pelan. Ia sendiri tak tahu mengapa ingin sekali kembali ke mansion. Bisa dikatakan bahwa dirinya akan selalu pulang menemui Allena jika fisik dan otaknya tengah benar-benar lelah, lalu berakhir kelelahan berdua dengan Allena. Menyatu dan saling berbagi keringat. “Nanti aku bertolak setelah urusan di kantor selesai. Uang yang kukirim s
Keesokan paginya, Adrienne terbangun lebih awal dari biasanya. Dia merasa sedikit lebih segar setelah tidur malam yang panjang, meskipun pikiran tentang sikap Drew dan masalah di perusahaan suaminya itu masih membayangi.Saat sedang menyiapkan sarapan ringan di dapur, Adrienne mendengar pintu depan terbuka. Ia menoleh dan melihat Drew masuk dengan wajah sangat kusut dan kelelahan. Kantung mata Drew menghitam, dan bahunya sedikit turun, jelas bahwa Drew melalui banyak waktu dengan penuh tekanan dan kerja keras.Drew memberikan jas pada maid seperti biasa, lalu berjalan menuju meja makan, di mana Adrienne sudah menyiapkan secangkir kopi untuknya. Tanpa banyak bicara, ia mengambil cangkir itu dan menghirup kopi panasnya, mencoba menghilangkan rasa lelah yang menumpuk.Adrienne memperhatikan Drew dengan cermat. “Bagaimana situasinya?” tanya Adrienne berinisiatif dengan nada tenang, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya dari penampilan Drew saat ini.Drew mengangguk pelan, meletakkan
“Drew, ini masalah besar,” kata Adrienne, suaranya mantap. “Kau harus kembali ke Toronto dan mengurus ini langsung. Jangan memaksakan diri untuk tetap di sini.”Drew memandang Adrienne, ragu. “Aku tak ingin menghancurkan kesenanganmu. Kita bisa tetap berlibur di sini, dan aku bisa bekerja dari sini sementara.” Adrienne menggeleng. “Ck, jangan jadi atasan yang hanya tau kesenangannya sendiri, Drew. Kau perlu berada di sana. Perusahaanmu butuh kehadiranmu!” Drew terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Adrienne. Ia tahu bahwa Adrienne benar, dan masalah di perusahaan tidak bisa ditunda. Hanya dengan berada di Toronto, ia bisa mengatasi situasi dengan cepat.“Baiklah,” kata Drew akhirnya. “Kita akan kembali ke Toronto malam ini.”Adrienne mengangguk. “Aku akan segera mengemas barang-barang kita.” Drew menghubungi Walter lagi, memberi tahu bahwa ia akan segera kembali ke Toronto. Sementara itu, Adrienne mulai mengemas barang-barang mereka di villa begitu sampai. Meskipun ada rasa kec