Sedari hari di mana Drew mengajak Adrienne menikah, gadis itu tak pernah lagi melihat batang hidung pangeran sulung trah Hidalgo tersebut. Entah kemana perginya Drew, seluruh pelayan di mansion pribadi pria matang itu turut mencarinya.
Kini terhitung empat belas hari sudah Adrienne terkurung di dalam sangkar emas Drew. Segala kebutuhannya memang terpenuhi, tetapi Adrienne tidak memiliki akses keluar barang satu langkah pun dari tempat ini. Bahkan Adrienne tidak tahu keadaan di luar sana seperti apa. Apakah rumah mewah ini terletak di tepi jalan kah di tengah hutan atau bahkan di puncak pegunungan. Senang terbebas dari Bondar yang selalu menuntutnya untuk menghasilkan uang setiap hari? Tentu saja Adrienne senang, tetapi bukan kesenangan seperti ini yang dia inginkan. Ini sama saja seperti dia keluar kandang singa masuk kandang macan. “Anna, sampai kapan aku tidak diizinkan keluar?” Adrienne melemparkan pertanyaan pada pelayan yang ditugaskan untuk selalu menemaninya, Anna. “Sampai Tuan memberi izin, Nona. Maaf, saya tidak tau jauh perihal itu,” balas Anna sedikit menundukkan kepalanya. Semua pelayan dan pengawal di rumah mewah tersebut telah mengetahui bahwa Adrienne adalah calon istri dari pewaris utama keluarga Hidalgo. Drew yang menyebarkan berita itu pada seluruh pekerjanya di mansion sehingga mereka bersikap hormat pada Adrienne. Adrienne mengepalkan tangannya. “Benar-benar pria kurang ajar!” desisnya dengan tajam sebelum atensi Adrienne teralihkan oleh kepala pelayan yang mendekati Anna kemudian membisikkan sesuatu yang membuat bola mata Anna melotot. “Nona, Anda harus segera mengganti pakaian dan memperbaiki penampilan. Tuan akan segera datang!” ucap Anna terdengar sedikit panik. Lalu Adrienne? Gadis 21 tahun itu acuh tak acuh. Tidak ada yang salah dengan penampilannya saat ini, mengapa harus memperbaiki penampilan? Biar saja, Adrienne ingin bersikap kurang ajar pada orang yang sudah kurang ajar padanya. “Nona, tolong kerjasamanya. Saya bisa mendapatkan hukuman jika Anda tidak segera mengganti pakaian dan berhias untuk menyambut kedatangannya.” Anna benar-benar gelisah melihat Adrienne yang bergeming duduk di atas kursi sambil menyantap makanan yang beberapa saat lalu dia sediakan untuk Adrienne. Reaksi Adrienne semakin santai seolah dia adalah tuan rumah di kediaman mewah ini. Akan tetapi, bukankah dirinya memang disuruh untuk bersikap demikian? Tempo minggu, salah satu pelayan di sana mengatakan kalau dia bebas melakukan apapun di kediaman ini selagi tidak membuka serta keluar dari pintu mansion dan bukankah dengan ia bersikap acuh seperti sekarang termasuk salah satu bentuk kebebasannya? Lalu mereka ingin menyalahkan Adrienne? Tidak bisa, salahkan saja yang membuat aturan kebebasan itu! Di sana, para pelayan sudah mulai berbaris di pintu utama dengan pakaian hitam putih. Hanya Anna yang tidak berada di tempat karena masih membujuk Adrienne. Risih dengan Anna yang terus saja membujuknya, Adrienne menekan tepi meja makan dan sedikit mendorong kursi lalu dia segera berdiri. Dia merasa kesal dan amat sangat kesal. Hei, seagung apa Drew sampai mereka begitu takut padanya? Pria itu tak ubah hanya seorang monster menjijikan yang tidak layak hidup di muka bumi ini. “Kebanyakan pria brengsek memang suka melakukan sesuatu sesukanya tanpa pernah memikirkan perasaan orang lain. Mati sudah rasa kemanusiaannya!” Adrienne berkomat-kamit. Kakinya melangkah ke pintu utama, mengabaikan Anna yang memintanya untuk ganti pakaian lebih dulu. Ini pertama kali dia akan melihat ke luar. Walau merasa sangat jijik karena ia telah disentuh sepenuhnya oleh Drew, bahkan sempat berpikir untuk menghabisi diri, Adrienne tidak ingin lagi harga dirinya direndahkan. Kini, mahkota di kepalanya harus tetap dipakai, dan agar mahkota tersebut tidak jatuh, ia harus berjalan tegak pun angkuh layaknya ratu yang tidak boleh ditindas rakyat jelata. Dia mengenyahkan sepenuhnya pemikiran dangkal yang sempat membuat dia berteriak meminta pada Tuhan untuk segera menyelesaikan hidupnya. Bukan seperti itu cara menyelesaikan masalah. “Selamat datang kembali, Tuan.” Kompak, serempak para pelayan yang berjejer di depan pintu kian membungkukkan tubuh. Menyambut kedatangan Drew yang menghilang selama dua pekan penuh tanpa kabar satu pun. Adrienne muak melihat pemandangan tersebut. Apakah yang berkuasa memang harus dijamu sedemikian rupa? pikirnya dalam hati. Lalu, gadis itu berpaling muka saat matanya bersirobok dengan hitam legam bola mata Drew. “Menjijikan!” maki Adrienne dalam hati. Drew terkekeh singkat melihat respon Adrienne. Laporan tentang bagaimana tingkah dan sikap gadis itu di rumah ia terima semuanya tanpa terkecuali. Jujur saja, Drew berani mengacungkan jempol sebagai apresiasi kepada Adrienne atas sikap beraninya. Tak pernah ia temui gadis sepertinya. “Kutunggu jawabanmu atas kesiapanmu dalam satu jam kedepan!” kata Drew berjalan melewati Adrienne. Adrienne memutar tubuh, menatap sinis pada punggung Drew yang semakin jauh. “Aku tidak sudi dan tidak akan pernah sudi menikah dengan pria menjijikan sepertimu!” seru Adrienne begitu berani. Terkekeh kembali, Drew menghentikan langkah lalu melembapkan bibirnya singkat. Kemudian tanpa membalikkan tubuh ia lantas berujar, “Berikan surat perjanjian itu padanya!” Mendengar hal tersebut, Walter–asisten Drew langsung mengeluarkan tablet dan menunjukkan kepada Adrienne salinan perjanjian yang ditanda tangani Bondar dan Drew lengkap beserta materai. Mata Adrienne terbeliak, melotot lebar-lebar setelah membaca surat perjanjian itu. Di sana tertera bahwa jika Adrienne sudah tidak virgin, maka Bondar harus mengembalikan uang yang Drew berikan dalam jumlah dua kali lipat. Gilanya lagi, Adrienne harus bersedia menikah dengan Drew atau melakukan pengembalian uang sebanyak empat kali lipat, dan kurun waktunya hanya satu bulan. “Perjanjian konyol macam apa ini? Aku tidak mau menikah denganmu!” Adrienne spontan melototkan matanya. “Maka pergi dan kembalilah ke hadapanku dalam satu bulan dengan membawa uang sebesar nominal di perjanjian tersebut!” Setelah berkata demikian, Drew kembali melangkah, menaiki anak tangga dan menghilang di lantai tiga. Kembali mencaci kehidupan, Adrienne terus mengutuk dan mengutuk. Bagaimana caranya dia mengembalikan uang sebesar itu? Jika pun bekerja, ia butuh waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun untuk mendapatkannya. Belum lagi dia hanya mengenyam pendidikan sampai tingkatan Primary School atau Sekolah Dasar, itu pun tidak sampai lulus. Hingga akhirnya Adrienne menyerah di hari ketiga setelah kepulangan Drew. Terkuras habis akal dan logikanya untuk melawan pria itu. Sampai Adrienne memutuskan untuk menerima pernikahan dengan Drew dan harus melahirkan keturunan lelaki demi kejayaan keluarga Hidalgo di masa depan. Namun, sebelum benar-benar menerima permintaan Drew, Adrienne lebih dulu mengajukan sebuah syarat yang harus Drew penuhi dan pria itu sama sekali tidak keberatan selagi Adrienne bersedia menjadi miliknya. “Hidup masing-masing. Jangan mencampuri urusanku dan aku tidak akan mencampuri urusanmu. Hubungan kita hanya sebatas teman ranjang walau persetan kau mengatakan begitu menginginkanku, aku tidak percaya omong kosong lelaki!”“Kau berani bernegosiasi denganku?” Drew terkekeh rendah mendengar permintaan Adrienne yang sangat berani. Pria matang itu duduk menegakkan tubuh, matanya membidik tajam pada lawan bicara di depannya. Sudah berdiri anggun Adrienne menggunakan gaun pengantin, mereka siap melakukan pemberkatan. “Masa bodoh!” desis Adrienne. “Kau pikir aku tidak bisa gila menghadapi orang gila sepertimu? Kau bisa mengencani wanita yang setara denganmu, lalu menikahinya. Bukan justru memanfaatkan kelemahan orang miskin sepertiku dengan embel-embel hutang. Kau tau, alasanmu terlalu klasik! Sebutan apa yang pantas untuk pria sepertimu? Bajingan kah bedebah?” “Kau adalah gadis paling kurang ajar yang pernah kutemui.” Drew berdiri, melangkah menghampiri Adrienne dengan kedua tangan masuk ke dalam sak celana. Berdiri, matanya menajam laksana mata elang yang tengah mengintai buruan. “Well ... sebab aku bajingan, aku memilih gadis keparat sepertimu. Kita akan menjadi pasangan gila yang menghancurkan dunia. Be
Adrienne tertegun, kewarasannya berguncang hebat. Mata yang tadinya terpejam, kini terbuka sempurna. Jadi, sejak tadi Drew membayangkan tengah bercinta dengan perempuan lain hingga berakhir mendesahkan nama Allena? Adrienne terkekeh sinis pun miris. Miris terhadap takdirnya Lalu, sedetik kemudian, Adrienne menendang kuat tubuh bagian bawah Drew yang ambruk di atas dirinya dengan lutut. Pria kontan mengerang kesakitan sebab lutut Adrienne mendarat tepat di kepemilikannya. Penyatuan keduanya pun kian terlepas dan Drew berguling ke sisi kanan. Aksinya tersebut jelas membuat Drew terkejut dan marah. Mata Drew melotot nyalang pada Adrienne, tampak urat kemarahannya mencuat di sekitar pelipis. “Allena! Ya, kau bercinta dengan perempuan bernama Allena! Kau bercinta dengan Allena, bukan Adrienne. Kau gila, kau benar-benar sinting!” teriak Adrienne dengan berapi-api. Sakit di bagian kewanitaannya belum lah hilang, bahkan ia masih merasakan sakit yang teramat akibat permainan Drew. Na
Adrienne terkekeh sinis melihat pesan singkat tersebut. Ia memutar bola mata dengan malas dan memutuskan membalasnya langsung dari ponsel sopir pribadinya itu. “Aku tidak akan menggugurkan anak di dalam kandunganku jika aku hamil nanti. Kau tak perlu mengancam semua orang di sini, Bedebah! Kurang kerjaan sekali kau rupanya.” Dia tidak peduli jika balasan pesannya itu berhasil membuat si sopir dan Anna semakin gugup ketakutan. Menurut Adrienne, Drew sangat lah berlebihan padahal dia sama sekali tidak memiliki pemikiran seperti itu. “Aku jadi penasaran dengan tingkat parnonya,” celetuk Adrienne bergumam pelan. Kemudian wanita itu menatap laki-laki berseragam serba hitam di samping Anna. “Boleh aku meminjam ponselmu?” tanya Adrienne dengan maksud. Sopir tersebut segera menoleh pada Anna dengan satu tangan memegangi pergelangan tangan lainnya. Dia tampak ragu, tetapi kepalanya segera mengangguk saat Anna mengiyakan. “Tentu, Nyonya. Silahkan, Anda boleh memakainya.” Adrienne m
Waktu berlalu dan semuanya tak ada yang berubah. Drew tetap dengan sikap acuh tak acuhnya, tak memberikan perhatian layaknya suami terhadap istri. Sebaliknya ia justru sering menekan Adrienne. Mengancam untuk tidak melakukan hal yang membuat Adrienne menunda kehamilan, itu dan ini. Lalu setelahnya dia akan sibuk, berkutat dengan berkas-berkas perusahaan, melakukan meeting, meninjau proyek dan lain-lain hingga waktu yang Adrienne dapatkan dari suaminya benar-benar jika hanya di ranjang saja. Kebosanan menggelayuti Adrienne hingga dua pekan lamanya. Terhitung kini satu bulan kurang lebih ia berada di sangkar emas tersebut. Asing, itulah yang Adrienne rasakan. Setiap hari Adrienne melemparkan pertanyaan pada dirinya sendiri, sebenarnya apa gunanya ia di sini? Apakah dirinya betulan hanya sekedar wanita pemuas nan harus melahirkan anak lelaki untuk Drew? Baginya, setiap hari adalah rutinitas yang sama, bangun tidur, menyiapkan sarapan, menunggu Drew pergi bekerja, lalu menghabiskan
“Apakah warna lipstik ini benar cocok untukku, Anna?” Adrienne mematut pantulan dirinya di cermin. Sembari itu ia melemparkan pertanyaan pada Anna yang tengah menyisir rambutnya. Dia baru mencoba lipstik baru, atas rekomendasi Anna. Anna melemparkan senyum manis dan menganggukkan kepala. “Cocok, Nyonya. Warna nude sangat pas dengan tone kulit Anda. Tidak membuat kusam ataupun terlalu bold. Natural,” balasnya. “Tuan pasti akan suka melihat riasan Anda hari ini.”Tidak tahu mendapatkan inisiatif dari mana, Adrienne tiba-tiba ingin memakai riasan. Hingga ia meminta Anna untuk mengeluarkan peralatan kosmetik baru yang dia beli beberapa waktu lalu. Bisa dibilang kebutuhan Adrienne di sini terpenuhi dengan baik. Tak ada satupun yang kurang. Makanannya diperhatikan dengan sangat baik, kesehatan fisiknya pun demikian, ada dokter yang memantau kesehatan Adrienne. Jelas saja karena ia adalah calon ibu dari calon pangeran trah Hidalgo generasi selanjutnya. Namun, bukankah hanya sekedar makana
Mendengar pertanyaan sederhana yang terasa berat dari Adrienne, sontak saja berhasil membuat Seleste tersedak ludahnya sendiri. Gadis berambut blonde itu terdiam, dalam waktu yang cukup lama. Ia terlihat tengah berpikir keras memikirkan jawaban yang pas atas pertanyaan Adrienne.“Hey! Aku bertanya padamu. Kenapa kau mematung?” Adrienne menjentikkan jari di depan wajah Seleste sambil mendengus, kesal dengan ketidakresponsifan adik iparnya.Seleste yang tengah melamun lantas terperanjat kaget. Ia mengerjapkan mata lalu berdehem pelan, berusaha menormalkan mimik wajahnya kembali. “Ah maaf, aku tadi teringat sesuatu,” katanya sambil tersenyum canggung.Sementara itu, Adrienne tak menyurutkan rasa curiganya pada Seleste. Dia merasa bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya di kediaman yang berisikan orang-orang munafik ini. “Jangan mengalihkan pembicaraan, Seleste. Aku butuh jawaban yang jujur darimu. Kau pasti tau bagaimana kakakmu!" tanya Adrienne dengan nada lebih mendesak.“Begini. K
Adrienne berdiri di dapur, mengaduk-aduk panci berisi sup yang sudah hampir matang. Aroma wangi kaldu ayam memenuhi ruangan, tetapi pikiran Adrienne melayang ke tempat lain. Sudah satu bulan ini dia berusaha menjadi istri yang ideal untuk Drew. Semua perkataan Seleste dia lakukan tanpa terlewat sedikitpun. Walau perasaan marah dan kesal itu selalu ada sebab kerap kali Drew masih menunjukkan sikap yang sama, yaitu datang jika dia harus memuaskan birahi pria itu. Namun, Adrienne tidak ingin berhenti walau dengan sangat berat hati ia melakukannya. "Jika aku berhenti dan menyerah maka aku akan mati mengenaskan di tangan bajingan itu!" Begitulah kurang lebih kata-kata yang ia sematkan di otak guna memacu semangatnya. Setiap hari, Adrienne menguatkan mental, memupuk kesabaran lebih ekstra lagi. Dia mengurangi kata-kata sarkasnya pada Drew, berpenampilan dengan lebih anggun, melenyapkan nyaris sepenuhnya sosok Adrienne yang sesungguhnya. "Well, kurang baik apa aku sebagai is
Terperanjat, sontak saja kelopak mata Drew terbuka lebar ketika suara itu mengalun kencang di telinganya. Sementara gerakan perempuan di atas Drew kian terhenti dengan tubuh sedikit menegang. Luruh seketika kesenangan mereka. Jiwa yang tengah terbang ke awang-awang, mendadak terhempas jatuh ke dasar hingga umpatan kasar terlolos begitu saja dari bibir Drew. "Fuck!" Memang siapa orang yang tidak geram jika kesenangannya diganggu seperti ini? Adrienne menatap jijik pada dua orang yang sedang bergumul itu. Apalagi ketika Drew langsung menyambar jas guna menutupi tubuh sintal perempuan tersebut yang segera turun dari tubuh suaminya itu. Di belakang Adrienne, Walter menyusul masuk dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya memucat pun tubuhnya terlihat tegang dan kaku ketika Drew melemparkan tatapan menghujam padanya. Segera saja Walter melontarkan kata maaf pada atasannya tersebut sebab ia tak bisa mencegah Adrienne untuk tidak masuk ke dalam. Adrienne tak mempedulikan pria yang
Malam semakin larut, Drew tak kunjung kembali ke rumah. Adrienne duduk di tepi ranjang dengan perasaan yang sulit digambarkan. Pikirannya penuh dengan berbagai macam perasaan yang saling bertubrukan. Dia merasakan kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan yang tak tertahankan. Sambil memandang keluar jendela, batinnya bertanya-tanya, “Bagaimana nasibku kedepannya?” Haruskah dia terus bertahan dalam pernikahan ini, atau tetap sesuai rencana awal, nekad pergi dengan konsekwensi yang mungkin akan lebih menyakitkan?Bagaimana mungkin dia bisa bertahan dalam pernikahan seperti ini? Semua impiannya dulu tentang masa depan bersama Drew, seolah lenyap. Dia merasa terjebak dalam perangkap yang tidak bisa dia hindari. Mencoba lari pun, tak ada jalan.“Aku tahu ini sulit, Adrienne. Tapi kamu harus ingat bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan biarkan mereka mengendalikan hidupmu. Kamu punya hak untuk bahagia dan bebas,” ucapnya dengan mata terpejam. Dia berusaha menguatkan dirinya. Dia ya
“Aku sudah mengatakan sejujurnya. Jika kau ingin aku cepat hamil, buat aku selalu merasa bahagia. Karena dengan meningkatnya hormon endorfin pada diriku, akan mempercepat kemungkinan pembuahan hasil!” jelas Adrienne dengan begitu percaya diri. padahal dia sendiri tidak tahu apakan itu ada hubungannya kah tidak. Dia hanya berbohong untuk meluluhkan lagi hati Drew yang malam-malam begini kembali membahas perihal anak. “Ck! Itu hanya alasan untuk menutupi ketidakmampuanmu agar cepat hamil, bukan?!” cerca Drew. “Oke, terserah! Aku sudah mengatakan yang sebenarnya!” Mereka terus saja berdebat tentang penyebab Adrienne tak kunjung hamil Keduanya sama-sama tak ingin mengalah dan justru saling menyalahkan. Hingga perdebatan itu akhirnya terhenti, saat seorang ajudan tiba-tiba menghampiri mereka berdua. “Kau! Kenapa lancang sekali masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu?!” cerca Drew yang terlihat tidak suka dengan kedatangan ajudannya. “Maaf, Sir. Ada tamu yang mencari Anda,” jawab ajudan te
Drew menatap pemandangan kota dari jendela kantornya dengan perasaan campur aduk. Suara hiruk-pikuk dari jalanan yang biasanya memberinya sedikit ketenangan kini justru terasa mengganggu. Segala sesuatu di luar sana terlihat normal, sementara di dalam dirinya, segala sesuatunya berantakan. Ia merasakan tekanan yang terus meningkat dari berbagai sisi: perusahaan yang sedang diguncang serangan siber, desakan dari ayahnya untuk segera memiliki anak, dan ketegangan yang terus memuncak dalam rumah tangganya dengan Adrienne.Dia tahu, untuk menjaga segalanya tetap berjalan, dia tidak bisa membiarkan emosinya menguasai dirinya. Namun, setiap kali dia berpikir tentang situasi di rumah—tentang Adrienne dan apa yang diharapkan darinya—Drew merasa seperti berada di ambang ledakan. Ini bukan hanya tentang pewaris keluarga atau mempertahankan kendali atas perusahaan. Ini adalah tentang menjaga fasad yang selama ini dia bangun; bahwa dirinya adalah pria yang memegang kendali penuh, baik dalam bis
Drew terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Adrienne. Napasnya yang tadi memburu perlahan mulai mereda, namun tatapannya tetap tajam. Dia melepaskan cengkeramannya dari rahang Adrienne tanpa melepas penyatuan keduanya. “Kau pikir kau bisa mengaturku?” Suaranya rendah, tapi mengandung ancaman yang jelas.Adrienne mendorong perut Drew, mencoba menciptakan jarak sejauh mungkin dari Drew. Matanya masih dipenuhi ketakutan, tapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya lebih dari ini. Dia harus kuat, untuk dirinya sendiri.“Aku hanya ingin kau memilih, Drew. Aku istrimu,” katanya dengan suara serak. “Bukan alat untuk melahirkan anak saat kau mau.”Drew mendengus, semakin kesal hatinya hingga ia kembali bergerak. Memenui Adrienne sedalam mungkin dan lingkar mata Adrienne semakin memerah. “Jangan berpikir kau bisa mengatur hidupku. Anak itu harus ada, dan kau yang akan memberikannya padaku.”Adrienne menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dia tahu percuma berdebat sekarang. Drew akan selalu men
Keesokan harinya, Adrienne dikejutkan dengan kedatangan ayah mertuanya di mansion secara tiba-tiba. Dalton Hidalgo bertolak bersama kedua ajudan yang setia berjalan di belakangnya. Adrienne yang belum siap dengan kehadiran Dalton, langsung buru-buru memastikan penampilannya agar tak buruk sekali di hadapan paruh baya itu. Sementara Drew yang sedang berkutat dengan layar monitor dengan kepala berdenyut sakit, turut terkejut karena Dalton tidak mengabarinya sama sekali. Ia bergegas keluar menghampiri ayahnya. “Selamat datang, Dad,” sapa Drew berpelukan singkat dengan Dalton. Singkat Dalton menepuk punggung Drew. “Mana menantuku?” tanyanya. “Aku membuatnya kelelahan hingga pagi buta. Rien masih di kamar,” balas Drew dengan tenang. Seolah jawaban dari pertanyaan Dalton sudah direncanakan. Begitulah piciknya Drew. “Sopan bicara seperti itu sama orang tua?” Drew terkekeh rendah melihat mata Dalton yang memicing sinis. Ia mengajak Dalton ke ruang kerja setelah meminta maid agar menyiap
Adrienne memutuskan untuk pergi ke ruang santai dan mencoba mengalihkan perasaannya dengan hal lain. Setibanya di ruang bersantai, ia meraih remote televisi dan menyalakan layar, meskipun dia tidak benar-benar tertarik pada apa yang sedang terpampang di layar televisi kini. Dia hanya butuh sesuatu untuk membuat pikirannya tetap sibuk. Namun, suara dari televisi justru terasa samar, tidak bisa menandingi kegelisahan yang terus mengganggu pikirannya.Tak lama kemudian, suara langkah Drew terdengar mendekat. Adrienne segera berusaha mengatur ekspresinya, berusaha agar terlihat biasa saja. Drew masuk datang dengan rambut setengah basah, mengenakan kaos polo putih dan celana santai krem.“Kau di sini,” kata Drew datar sambil sesekali menatap layar ponsel.“Iya,” jawab Adrienne singkat, tanpa menoleh ke arahnya.Drew tidak banyak bicara, lalu duduk di sofa, tak jauh dari tempat Adrienne berada. Suasana di antara mereka terasa sedikit canggung, tetapi Adrienne berusaha mengabaikannya.Drew
Allena mendengus lalu terkekeh di seberang telepon. Ia tak memikirkan perasaan Adrienne sama sekali, tak peduli bahwa seharusnya sesama perempuan turut merasakan sakit ketika diperlakukan tidak adil. “Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik, meskipun caramu sering membuatku kesal.”Drew terkekeh pelan. “Setidaknya aku tahu bagaimana membuatmu senang,” jawab Drew dengan nada ringan, meski pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai masalah.“Kenapa tidak kembali ke apartemen? Kau senang sekali berdua bersamanya daripada denganku?” Allena mengubah topik, suaranya terdengar sangat menyebalkan. Drew membuang napas panjang seraya memijat kening pelan. Ia sendiri tak tahu mengapa ingin sekali kembali ke mansion. Bisa dikatakan bahwa dirinya akan selalu pulang menemui Allena jika fisik dan otaknya tengah benar-benar lelah, lalu berakhir kelelahan berdua dengan Allena. Menyatu dan saling berbagi keringat. “Nanti aku bertolak setelah urusan di kantor selesai. Uang yang kukirim s
Keesokan paginya, Adrienne terbangun lebih awal dari biasanya. Dia merasa sedikit lebih segar setelah tidur malam yang panjang, meskipun pikiran tentang sikap Drew dan masalah di perusahaan suaminya itu masih membayangi.Saat sedang menyiapkan sarapan ringan di dapur, Adrienne mendengar pintu depan terbuka. Ia menoleh dan melihat Drew masuk dengan wajah sangat kusut dan kelelahan. Kantung mata Drew menghitam, dan bahunya sedikit turun, jelas bahwa Drew melalui banyak waktu dengan penuh tekanan dan kerja keras.Drew memberikan jas pada maid seperti biasa, lalu berjalan menuju meja makan, di mana Adrienne sudah menyiapkan secangkir kopi untuknya. Tanpa banyak bicara, ia mengambil cangkir itu dan menghirup kopi panasnya, mencoba menghilangkan rasa lelah yang menumpuk.Adrienne memperhatikan Drew dengan cermat. “Bagaimana situasinya?” tanya Adrienne berinisiatif dengan nada tenang, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya dari penampilan Drew saat ini.Drew mengangguk pelan, meletakkan
“Drew, ini masalah besar,” kata Adrienne, suaranya mantap. “Kau harus kembali ke Toronto dan mengurus ini langsung. Jangan memaksakan diri untuk tetap di sini.”Drew memandang Adrienne, ragu. “Aku tak ingin menghancurkan kesenanganmu. Kita bisa tetap berlibur di sini, dan aku bisa bekerja dari sini sementara.” Adrienne menggeleng. “Ck, jangan jadi atasan yang hanya tau kesenangannya sendiri, Drew. Kau perlu berada di sana. Perusahaanmu butuh kehadiranmu!” Drew terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Adrienne. Ia tahu bahwa Adrienne benar, dan masalah di perusahaan tidak bisa ditunda. Hanya dengan berada di Toronto, ia bisa mengatasi situasi dengan cepat.“Baiklah,” kata Drew akhirnya. “Kita akan kembali ke Toronto malam ini.”Adrienne mengangguk. “Aku akan segera mengemas barang-barang kita.” Drew menghubungi Walter lagi, memberi tahu bahwa ia akan segera kembali ke Toronto. Sementara itu, Adrienne mulai mengemas barang-barang mereka di villa begitu sampai. Meskipun ada rasa kec