Sedari hari di mana Drew mengajak Adrienne menikah, gadis itu tak pernah lagi melihat batang hidung pangeran sulung trah Hidalgo tersebut. Entah kemana perginya Drew, seluruh pelayan di mansion pribadi pria matang itu turut mencarinya.
Kini terhitung empat belas hari sudah Adrienne terkurung di dalam sangkar emas Drew. Segala kebutuhannya memang terpenuhi, tetapi Adrienne tidak memiliki akses keluar barang satu langkah pun dari tempat ini. Bahkan Adrienne tidak tahu keadaan di luar sana seperti apa. Apakah rumah mewah ini terletak di tepi jalan kah di tengah hutan atau bahkan di puncak pegunungan. Senang terbebas dari Bondar yang selalu menuntutnya untuk menghasilkan uang setiap hari? Tentu saja Adrienne senang, tetapi bukan kesenangan seperti ini yang dia inginkan. Ini sama saja seperti dia keluar kandang singa masuk kandang macan. “Anna, sampai kapan aku tidak diizinkan keluar?” Adrienne melemparkan pertanyaan pada pelayan yang ditugaskan untuk selalu menemaninya, Anna. “Sampai Tuan memberi izin, Nona. Maaf, saya tidak tau jauh perihal itu,” balas Anna sedikit menundukkan kepalanya. Semua pelayan dan pengawal di rumah mewah tersebut telah mengetahui bahwa Adrienne adalah calon istri dari pewaris utama keluarga Hidalgo. Drew yang menyebarkan berita itu pada seluruh pekerjanya di mansion sehingga mereka bersikap hormat pada Adrienne. Adrienne mengepalkan tangannya. “Benar-benar pria kurang ajar!” desisnya dengan tajam sebelum atensi Adrienne teralihkan oleh kepala pelayan yang mendekati Anna kemudian membisikkan sesuatu yang membuat bola mata Anna melotot. “Nona, Anda harus segera mengganti pakaian dan memperbaiki penampilan. Tuan akan segera datang!” ucap Anna terdengar sedikit panik. Lalu Adrienne? Gadis 21 tahun itu acuh tak acuh. Tidak ada yang salah dengan penampilannya saat ini, mengapa harus memperbaiki penampilan? Biar saja, Adrienne ingin bersikap kurang ajar pada orang yang sudah kurang ajar padanya. “Nona, tolong kerjasamanya. Saya bisa mendapatkan hukuman jika Anda tidak segera mengganti pakaian dan berhias untuk menyambut kedatangannya.” Anna benar-benar gelisah melihat Adrienne yang bergeming duduk di atas kursi sambil menyantap makanan yang beberapa saat lalu dia sediakan untuk Adrienne. Reaksi Adrienne semakin santai seolah dia adalah tuan rumah di kediaman mewah ini. Akan tetapi, bukankah dirinya memang disuruh untuk bersikap demikian? Tempo minggu, salah satu pelayan di sana mengatakan kalau dia bebas melakukan apapun di kediaman ini selagi tidak membuka serta keluar dari pintu mansion dan bukankah dengan ia bersikap acuh seperti sekarang termasuk salah satu bentuk kebebasannya? Lalu mereka ingin menyalahkan Adrienne? Tidak bisa, salahkan saja yang membuat aturan kebebasan itu! Di sana, para pelayan sudah mulai berbaris di pintu utama dengan pakaian hitam putih. Hanya Anna yang tidak berada di tempat karena masih membujuk Adrienne. Risih dengan Anna yang terus saja membujuknya, Adrienne menekan tepi meja makan dan sedikit mendorong kursi lalu dia segera berdiri. Dia merasa kesal dan amat sangat kesal. Hei, seagung apa Drew sampai mereka begitu takut padanya? Pria itu tak ubah hanya seorang monster menjijikan yang tidak layak hidup di muka bumi ini. “Kebanyakan pria brengsek memang suka melakukan sesuatu sesukanya tanpa pernah memikirkan perasaan orang lain. Mati sudah rasa kemanusiaannya!” Adrienne berkomat-kamit. Kakinya melangkah ke pintu utama, mengabaikan Anna yang memintanya untuk ganti pakaian lebih dulu. Ini pertama kali dia akan melihat ke luar. Walau merasa sangat jijik karena ia telah disentuh sepenuhnya oleh Drew, bahkan sempat berpikir untuk menghabisi diri, Adrienne tidak ingin lagi harga dirinya direndahkan. Kini, mahkota di kepalanya harus tetap dipakai, dan agar mahkota tersebut tidak jatuh, ia harus berjalan tegak pun angkuh layaknya ratu yang tidak boleh ditindas rakyat jelata. Dia mengenyahkan sepenuhnya pemikiran dangkal yang sempat membuat dia berteriak meminta pada Tuhan untuk segera menyelesaikan hidupnya. Bukan seperti itu cara menyelesaikan masalah. “Selamat datang kembali, Tuan.” Kompak, serempak para pelayan yang berjejer di depan pintu kian membungkukkan tubuh. Menyambut kedatangan Drew yang menghilang selama dua pekan penuh tanpa kabar satu pun. Adrienne muak melihat pemandangan tersebut. Apakah yang berkuasa memang harus dijamu sedemikian rupa? pikirnya dalam hati. Lalu, gadis itu berpaling muka saat matanya bersirobok dengan hitam legam bola mata Drew. “Menjijikan!” maki Adrienne dalam hati. Drew terkekeh singkat melihat respon Adrienne. Laporan tentang bagaimana tingkah dan sikap gadis itu di rumah ia terima semuanya tanpa terkecuali. Jujur saja, Drew berani mengacungkan jempol sebagai apresiasi kepada Adrienne atas sikap beraninya. Tak pernah ia temui gadis sepertinya. “Kutunggu jawabanmu atas kesiapanmu dalam satu jam kedepan!” kata Drew berjalan melewati Adrienne. Adrienne memutar tubuh, menatap sinis pada punggung Drew yang semakin jauh. “Aku tidak sudi dan tidak akan pernah sudi menikah dengan pria menjijikan sepertimu!” seru Adrienne begitu berani. Terkekeh kembali, Drew menghentikan langkah lalu melembapkan bibirnya singkat. Kemudian tanpa membalikkan tubuh ia lantas berujar, “Berikan surat perjanjian itu padanya!” Mendengar hal tersebut, Walter–asisten Drew langsung mengeluarkan tablet dan menunjukkan kepada Adrienne salinan perjanjian yang ditanda tangani Bondar dan Drew lengkap beserta materai. Mata Adrienne terbeliak, melotot lebar-lebar setelah membaca surat perjanjian itu. Di sana tertera bahwa jika Adrienne sudah tidak virgin, maka Bondar harus mengembalikan uang yang Drew berikan dalam jumlah dua kali lipat. Gilanya lagi, Adrienne harus bersedia menikah dengan Drew atau melakukan pengembalian uang sebanyak empat kali lipat, dan kurun waktunya hanya satu bulan. “Perjanjian konyol macam apa ini? Aku tidak mau menikah denganmu!” Adrienne spontan melototkan matanya. “Maka pergi dan kembalilah ke hadapanku dalam satu bulan dengan membawa uang sebesar nominal di perjanjian tersebut!” Setelah berkata demikian, Drew kembali melangkah, menaiki anak tangga dan menghilang di lantai tiga. Kembali mencaci kehidupan, Adrienne terus mengutuk dan mengutuk. Bagaimana caranya dia mengembalikan uang sebesar itu? Jika pun bekerja, ia butuh waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun untuk mendapatkannya. Belum lagi dia hanya mengenyam pendidikan sampai tingkatan Primary School atau Sekolah Dasar, itu pun tidak sampai lulus. Hingga akhirnya Adrienne menyerah di hari ketiga setelah kepulangan Drew. Terkuras habis akal dan logikanya untuk melawan pria itu. Sampai Adrienne memutuskan untuk menerima pernikahan dengan Drew dan harus melahirkan keturunan lelaki demi kejayaan keluarga Hidalgo di masa depan. Namun, sebelum benar-benar menerima permintaan Drew, Adrienne lebih dulu mengajukan sebuah syarat yang harus Drew penuhi dan pria itu sama sekali tidak keberatan selagi Adrienne bersedia menjadi miliknya. “Hidup masing-masing. Jangan mencampuri urusanku dan aku tidak akan mencampuri urusanmu. Hubungan kita hanya sebatas teman ranjang walau persetan kau mengatakan begitu menginginkanku, aku tidak percaya omong kosong lelaki!”“Kau berani bernegosiasi denganku?” Drew terkekeh rendah mendengar permintaan Adrienne yang sangat berani. Pria matang itu duduk menegakkan tubuh, matanya membidik tajam pada lawan bicara di depannya. Sudah berdiri anggun Adrienne menggunakan gaun pengantin, mereka siap melakukan pemberkatan. “Masa bodoh!” desis Adrienne. “Kau pikir aku tidak bisa gila menghadapi orang gila sepertimu? Kau bisa mengencani wanita yang setara denganmu, lalu menikahinya. Bukan justru memanfaatkan kelemahan orang miskin sepertiku dengan embel-embel hutang. Kau tau, alasanmu terlalu klasik! Sebutan apa yang pantas untuk pria sepertimu? Bajingan kah bedebah?” “Kau adalah gadis paling kurang ajar yang pernah kutemui.” Drew berdiri, melangkah menghampiri Adrienne dengan kedua tangan masuk ke dalam sak celana. Berdiri, matanya menajam laksana mata elang yang tengah mengintai buruan. “Well ... sebab aku bajingan, aku memilih gadis keparat sepertimu. Kita akan menjadi pasangan gila yang menghancurkan dunia. Be
Adrienne tertegun, kewarasannya berguncang hebat. Mata yang tadinya terpejam, kini terbuka sempurna. Jadi, sejak tadi Drew membayangkan tengah bercinta dengan perempuan lain hingga berakhir mendesahkan nama Allena? Adrienne terkekeh sinis pun miris. Miris terhadap takdirnya Lalu, sedetik kemudian, Adrienne menendang kuat tubuh bagian bawah Drew yang ambruk di atas dirinya dengan lutut. Pria kontan mengerang kesakitan sebab lutut Adrienne mendarat tepat di kepemilikannya. Penyatuan keduanya pun kian terlepas dan Drew berguling ke sisi kanan. Aksinya tersebut jelas membuat Drew terkejut dan marah. Mata Drew melotot nyalang pada Adrienne, tampak urat kemarahannya mencuat di sekitar pelipis. “Allena! Ya, kau bercinta dengan perempuan bernama Allena! Kau bercinta dengan Allena, bukan Adrienne. Kau gila, kau benar-benar sinting!” teriak Adrienne dengan berapi-api. Sakit di bagian kewanitaannya belum lah hilang, bahkan ia masih merasakan sakit yang teramat akibat permainan Drew. Na
Adrienne terkekeh sinis melihat pesan singkat tersebut. Ia memutar bola mata dengan malas dan memutuskan membalasnya langsung dari ponsel sopir pribadinya itu. “Aku tidak akan menggugurkan anak di dalam kandunganku jika aku hamil nanti. Kau tak perlu mengancam semua orang di sini, Bedebah! Kurang kerjaan sekali kau rupanya.” Dia tidak peduli jika balasan pesannya itu berhasil membuat si sopir dan Anna semakin gugup ketakutan. Menurut Adrienne, Drew sangat lah berlebihan padahal dia sama sekali tidak memiliki pemikiran seperti itu. “Aku jadi penasaran dengan tingkat parnonya,” celetuk Adrienne bergumam pelan. Kemudian wanita itu menatap laki-laki berseragam serba hitam di samping Anna. “Boleh aku meminjam ponselmu?” tanya Adrienne dengan maksud. Sopir tersebut segera menoleh pada Anna dengan satu tangan memegangi pergelangan tangan lainnya. Dia tampak ragu, tetapi kepalanya segera mengangguk saat Anna mengiyakan. “Tentu, Nyonya. Silahkan, Anda boleh memakainya.” Adrienne m
Waktu berlalu dan semuanya tak ada yang berubah. Drew tetap dengan sikap acuh tak acuhnya, tak memberikan perhatian layaknya suami terhadap istri. Sebaliknya ia justru sering menekan Adrienne. Mengancam untuk tidak melakukan hal yang membuat Adrienne menunda kehamilan, itu dan ini. Lalu setelahnya dia akan sibuk, berkutat dengan berkas-berkas perusahaan, melakukan meeting, meninjau proyek dan lain-lain hingga waktu yang Adrienne dapatkan dari suaminya benar-benar jika hanya di ranjang saja. Kebosanan menggelayuti Adrienne hingga dua pekan lamanya. Terhitung kini satu bulan kurang lebih ia berada di sangkar emas tersebut. Asing, itulah yang Adrienne rasakan. Setiap hari Adrienne melemparkan pertanyaan pada dirinya sendiri, sebenarnya apa gunanya ia di sini? Apakah dirinya betulan hanya sekedar wanita pemuas nan harus melahirkan anak lelaki untuk Drew? Baginya, setiap hari adalah rutinitas yang sama, bangun tidur, menyiapkan sarapan, menunggu Drew pergi bekerja, lalu menghabiskan
“Apakah warna lipstik ini benar cocok untukku, Anna?” Adrienne mematut pantulan dirinya di cermin. Sembari itu ia melemparkan pertanyaan pada Anna yang tengah menyisir rambutnya. Dia baru mencoba lipstik baru, atas rekomendasi Anna. Anna melemparkan senyum manis dan menganggukkan kepala. “Cocok, Nyonya. Warna nude sangat pas dengan tone kulit Anda. Tidak membuat kusam ataupun terlalu bold. Natural,” balasnya. “Tuan pasti akan suka melihat riasan Anda hari ini.”Tidak tahu mendapatkan inisiatif dari mana, Adrienne tiba-tiba ingin memakai riasan. Hingga ia meminta Anna untuk mengeluarkan peralatan kosmetik baru yang dia beli beberapa waktu lalu. Bisa dibilang kebutuhan Adrienne di sini terpenuhi dengan baik. Tak ada satupun yang kurang. Makanannya diperhatikan dengan sangat baik, kesehatan fisiknya pun demikian, ada dokter yang memantau kesehatan Adrienne. Jelas saja karena ia adalah calon ibu dari calon pangeran trah Hidalgo generasi selanjutnya. Namun, bukankah hanya sekedar makana
Mendengar pertanyaan sederhana yang terasa berat dari Adrienne, sontak saja berhasil membuat Seleste tersedak ludahnya sendiri. Gadis berambut blonde itu terdiam, dalam waktu yang cukup lama. Ia terlihat tengah berpikir keras memikirkan jawaban yang pas atas pertanyaan Adrienne.“Hey! Aku bertanya padamu. Kenapa kau mematung?” Adrienne menjentikkan jari di depan wajah Seleste sambil mendengus, kesal dengan ketidakresponsifan adik iparnya.Seleste yang tengah melamun lantas terperanjat kaget. Ia mengerjapkan mata lalu berdehem pelan, berusaha menormalkan mimik wajahnya kembali. “Ah maaf, aku tadi teringat sesuatu,” katanya sambil tersenyum canggung.Sementara itu, Adrienne tak menyurutkan rasa curiganya pada Seleste. Dia merasa bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya di kediaman yang berisikan orang-orang munafik ini. “Jangan mengalihkan pembicaraan, Seleste. Aku butuh jawaban yang jujur darimu. Kau pasti tau bagaimana kakakmu!" tanya Adrienne dengan nada lebih mendesak.“Begini. K
Adrienne berdiri di dapur, mengaduk-aduk panci berisi sup yang sudah hampir matang. Aroma wangi kaldu ayam memenuhi ruangan, tetapi pikiran Adrienne melayang ke tempat lain. Sudah satu bulan ini dia berusaha menjadi istri yang ideal untuk Drew. Semua perkataan Seleste dia lakukan tanpa terlewat sedikitpun. Walau perasaan marah dan kesal itu selalu ada sebab kerap kali Drew masih menunjukkan sikap yang sama, yaitu datang jika dia harus memuaskan birahi pria itu. Namun, Adrienne tidak ingin berhenti walau dengan sangat berat hati ia melakukannya. "Jika aku berhenti dan menyerah maka aku akan mati mengenaskan di tangan bajingan itu!" Begitulah kurang lebih kata-kata yang ia sematkan di otak guna memacu semangatnya. Setiap hari, Adrienne menguatkan mental, memupuk kesabaran lebih ekstra lagi. Dia mengurangi kata-kata sarkasnya pada Drew, berpenampilan dengan lebih anggun, melenyapkan nyaris sepenuhnya sosok Adrienne yang sesungguhnya. "Well, kurang baik apa aku sebagai is
Terperanjat, sontak saja kelopak mata Drew terbuka lebar ketika suara itu mengalun kencang di telinganya. Sementara gerakan perempuan di atas Drew kian terhenti dengan tubuh sedikit menegang. Luruh seketika kesenangan mereka. Jiwa yang tengah terbang ke awang-awang, mendadak terhempas jatuh ke dasar hingga umpatan kasar terlolos begitu saja dari bibir Drew. "Fuck!" Memang siapa orang yang tidak geram jika kesenangannya diganggu seperti ini? Adrienne menatap jijik pada dua orang yang sedang bergumul itu. Apalagi ketika Drew langsung menyambar jas guna menutupi tubuh sintal perempuan tersebut yang segera turun dari tubuh suaminya itu. Di belakang Adrienne, Walter menyusul masuk dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya memucat pun tubuhnya terlihat tegang dan kaku ketika Drew melemparkan tatapan menghujam padanya. Segera saja Walter melontarkan kata maaf pada atasannya tersebut sebab ia tak bisa mencegah Adrienne untuk tidak masuk ke dalam. Adrienne tak mempedulikan pria yang